home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > We Can't Separated Yet

We Can't Separated Yet

Share:
Author : JaeJae
Published : 29 Jan 2014, Updated : 01 Feb 2014
Cast : Wu Yi Fan, Lee Ji Hyeon (fictional character), Song Qian, Xi Luhan, and another cast(s).
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |1543 Views |1 Loves
We can't Separated Yet
CHAPTER 1 : Oneshoot

 

 

 = PROLOG =

I want to learn all about you

What do you like

What do you dislike

What do you want

What’s your big dream

It’s all about you

Can you teach me to entering your life?

And can you take me to standing besides you?

And can you hold my hand forever?

 

 

 

Author’s POV

                Mentari pagi mulai menyibakkan cahaya putih kekuningannya. Mencoba menghangatkan jagat raya yang sempat mendingin ketika di kunjungi sang malam dengan rembulan purnama yang merona. Kilauan putih kekuningan itu menembus dedaunan menghangatkan setiap sudut dan setiap inchi bumi yang dengan riangnya menyingkap kabut yang sempat meninggalkan jejak-jejak embun.

 

                Dalam temaram pagi yang cerah, tampak seorang gadis tengah duduk sendirian di halte bis. Ia dengan santai menunggu datangnya bis yang akan mengantarnya menuju ke sebuah gedung yang menjadi tempatnya mencari ilmu. Di seberang jalan, tampak seorang pemuda yang dengan gagahnya berdiri sambil memandangi pemandangan jalanan di sekitarnya. Seragam sekolahnya masih membalut tubuhnya dengan rapi. Di sampingnya terdapat sebuah sepeda yang setiap hari mengantarkannya menuju sekolah.

 

                Sesekali beberapa kendaraan lewat, namun bis yang di tunggu gadis itu tak jua datang. Sementara di seberang jalan, pemuda gagah itu tampak semakin gelisah dan sesekali melirik jam tangan berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ketika tak ada kendaraan dan jalanan menjadi lengang, secara tak sengaja pandangan gadis dan pemuda gagah itu bertabrakan. Mereka saling menatap satu sama lain, namun tak ada sepatah kata sapaan pun yang sukses terlontar dari mulut mereka. Hanya diam dan bertatapan lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah lain. Situasi yang selalu terjadi. Karena ini memang bukan pertama kalinya gadis dan pemuda gagah itu bertemu.

 

                Beberapa lama kemudian, bis berwarna biru itu akhirnya datang juga. Gadis itupun segera menaiki bis tersebut. Sementara sang pemuda, masih dengan setia berdiri menunggu kedatangan seseorang yang sanggup membuatnya gelisah di tengah cerahnya mentari pagi. Ketika bis perlahan melaju, gadis itu sempat kembali mengarahkan pandangannya melalui jendela pada pemuda yang selalu ia temui di pagi hari itu. Begitu juga pemuda itu, ketika bis yang sempat melintas di hadapannya itu perlahan melaju, ada sebuah dorongan untuk terus menatap kepergian bis itu, hingga bis tersebut benar-benar menghilang dan tak terlihat dari jarak pandangnya.

 

                Pertemuan antara gadis dan pemuda itu memanglah bukan pertemuan pertama. Namun setiap pertemuan, mereka terpisahkan oleh jalanan yang berseberangan. Tak pernah ada kata sapaan. Hanya saling menatap bahkan itupun tak lama. Intens pertemuan mereka bahkan terbilang sangat sering, namun tidak ada niatan bahkan tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk saling berkenalan.

 

 

 

4 years later…

                Cahaya rembulan tanggal 14 mulai memancar di pelupuk timur. Rupa bulat sempurnanya menambah keindahan hiasan malam ini. Belum lagi bintang yang bertaburan membentuk rasi Sagittarius menambah keindahan malam-malam menjelang penghujung tahun. Sungguh pemandangan malam yang begitu sempurna.

 

                Cahaya kecil dari lilin-lilin kecil itu tertiup angin, namun tak jua terpadamkan. Cahaya lilin itulah yang menemani percakapan yang terjadi antara 2 keluarga yang tengah bertemu. Tetapi lain lagi dengan 2 insan yang semenjak pertemuan, tetap bungkam seolah tak ingin ada sepatah katapun yang terucap. Sesekali mereka saling menatap, namun tidak jua saling berkata. Mereka tetap bungkam.

 

                “Aku sangat setuju jika kita pererat lagi persahabatan kita ini,” ujar seorang pria paruh baya dengan kemeja berwarna biru muda itu.

 

                Lelaki paruh baya dengan kemeja berwarna biru itu adalah Direktur Li. Wu Xian Hua. Seorang pemilik perusahaan batu bara ternama di China. Wu Xian Hua atau Direktur Wu memang lama tinggal di Korea, bahkan besar di Korea dan menjalin persahabatan sejak kecil dengan pemilik perusahaan penerbangan ternama di Korea, yaitu Direktur Lee. Lee Jung Kwon atau yang lebih di kenal dengan nama Arthur Lee. Seorang pria keturunan Korea-Inggris.

 

                “Usulan yang bagus, akan semakin baik jika hubungan kita tidak hanya sebatas sahabat saja. Tetapi menjadi keluarga. Itu akan sangat baik,” ujar Direktur Lee.

 

                “Puterimu juga sangat cantik. Akan sangat serasi bila dipasangkan dengan puteraku,” Direktur Wu menatap seorang gadis dengan gaun berwarna putih yang sejak tadi terdiam dihadapannya.

 

                “Puteramu juga sangat tampan dan gagah,” ujar Direktur Lee seraya menatap sesosok pemuda yang duduk di samping Direktur Wu itu.

 

                “Wu Fan-a, kenalkan dirimu…” ujar Direktur Wu seraya menyenggol sikut puteranya yang sejak tadi terdiam itu.

 

                “Annyeong hamsimnikka, Wu Yi Fan imnida¹,” ucap Wu Fan datar bahkan nyaris tanpa ekspressi.

 

                “Ji Hyeon-a, ayo perkenalkan dirimu,” ujar Direktur Lee.

 

                “Annyeong hasimnikka, Lee Ji Hyeon imnida…” ucap Ji Hyeon.

 

                “Nama yang cantik, seperti orangnya,” ucap Direktur Wu.

 

                “Gamsahamnida²,” ucap Ji Hyeon.

 

                “Arthur-sshi, bagaimana jika kita berikan waktu pada Wu Fan juga Ji Hyeon untuk sekedar berjalan-jalan sambil saling berkenalan lebih jauh,” usul Direktur Wu.

 

                Wu Fan terkejut mendengar perkataan Ayahnya itu dan hanya menatap Ayahnya dengan tatapan dingin.

 

                “Ide yang bagus,” timpal Direktur Lee.

 

                “Wu Fan-a, sebaiknya kau ajak Ji Hyeon berjalan-jalan atau mungkin makan malam,” pinta Direktur Wu.

 

                “Baiklah,” dengan malas, Wu Fan pun beranjak dari duduknya dan mulai melangkahkan kakinya.

 

                “Ji Hyeon-a,” Direktur Lee memberikan isyarat pada Ji Hyeon untuk mengikuti Wu Fan.

 

                Dengan sedikit rasa terpaksa, Ji Hyeon pun akhirnya mengikuti Wu Fan. Ketika Wu Fan dan Ji Hyeon sampai di halaman depan, Wu Fan segera memasuki mobilnya yang memang terparkir tepat di halaman.

 

                “Masuklah!” seru Wu Fan pada Ji Hyeon yang masih terdiam di bibir pintu.

 

                Ji Hyeon pun mulai melangkahkan kakinya menuju ke mobil berwarna hitam yang akan membawanya menelusuri jalanan malam bersama Wu Fan itu. Selama di perjalanan, tidak ada sepatah katapun yang baik Ji Hyeon ataupun Wu Fan lontarkan. Mereka hanya diam dalam keheningan. Ji Hyeon hanya terdiam dan bingung dengan apa yang harus ia lakukan dan katakan, sementara Wu Fan fokus pada jalanan yang entah akan membawanya kemana itu.

 

                “Kita akan kemana?” akhirnya Ji Hyeon buka suara ketika mendapati jalanan di depannya adalah jalanan sepi yang tidak ia kenali.

 

                Wu Fan tidak bergeming dan tetap fokus menyetir. Dari sudut matanya, Wu Fan bisa melihat bahwa Ji Hyeon mulai terlihat khawatir. Tentu saja, gadis mana yang tidak akan khawatir ketika seorang pria yang baru saja di kenalnya membawanya ke sebuah jalanan sepi yang tidak ia kenali.

 

                “Kita…”

 

                “Tenang saja, aku tidak akan berbuat macam-macam padamu,” ujar Wu Fan.

 

                Mobil hitam yang ditumpangi Ji Hyeon dan Wu Fan itu terus melaju dalam kendali Wu Fan. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat yang asing bagi Ji Hyeon.

 

                “Kaja³!” ajak Wu Fan seraya membuka pintu mobilnya.

 

                Wu Fan turun dari mobil hitam itu. Ji Hyeon yang bingung pun terpaksa mengikuti kemana Wu Fan akan membawanya, walau dakam pikirannya memang ada sebuah kekhawatiran. Ternyata Wu Fan tetap menangkap raut kekhawatiran itu.

 

                “Jangan menunjukkan ekspressi khawatir seperti itu, aku tidak suka melihatnya,” ucap Wu Fan seraya menghentikan langkahnya. “Jangan berpikiran buruk terhadapku,” lanjut Wu Fan seraya membalikkan badannya dan sukses membuat Ji Hyeon yang memang berada di belakangnya itu terkejut.

 

                Wu Fan dan Ji Hyeon terus menelusuri jalanan kecil yang ternyata akan membawanya ke sebuah danau.

 

                “Kenapa kita kemari?” tanya Ji Hyeon.

 

                “Kau tidak suka?” tanya Wu Fan balik.

 

                “Aniya⁴… bukan begitu,” jawab Ji Hyeon cepat.

 

                Setelah terlibat percakapan kecil itupun, suasana menjadi hening. Ji Hyeon menatap lurus ke arah danau, sementara Wu Fan menatap langit malam yang memang saat itu bertabur bintang rasi Sagittarius. Malam yang cukup romantis, namun tidak bagi Ji Hyeon dan Wu Fan yang memang baru saja saling mengenal.

 

                “Apa kau masih ingat wajahku?” tanya Wu Fan secara tiba-tiba.

 

                “Eum… ya…” jawab Ji Hyeon ragu.

 

                “Saat itu kita sering bertemu, bukan?” tanya Wu Fan lagi.

 

                “Geurae⁵, aku sering melihatmu di halte bis,” jawab Ji Hyeon.

 

                Wu Fan terdiam dan mengalihkan pandangannya pada wajah Ji Hyeon. Meskipun remang, Wu Fan masih bisa melihat wajah Ji Hyeon dengan cukup jelas. Ada sebuah ke khawatiran yang terbersit dari wajah Wu Fan.

 

                “Kau tahu, kita di jodohkan,” Wu Fan kembali mengarahkan pandangannya pada langit malam yang bertabur bintang itu. “Dan kau tahu, kita tidak bisa menolak perjodohan itu. Karena jika sampai kita menolak perjodohan itu…” lanjut Wu Fan.

 

                “Aku tahu…” Ji Hyeon memotong ucapan Wu Fan.

 

                “Ini pasti akan sulit bagimu,” ujar Wu Fan seraya kembali mengarahkan pandangannya pada wajah Ji Hyeon.

 

                Ji Hyeon hanya menatap Wu Fan yang tengah menatapnya itu dengan tatapan heran.

 

                “Kita akan menikah di bawah perjodohan, jika pun nanti aku sama sekali tidak menyentuhmu, maka saat kita bercerai nanti, orang-orang pasti akan memandangmu lain,” jelas Wu Fan.

 

                “Kenapa kau terpikirkan akan hal itu?” tanya Ji Hyeon.

 

                “Kau seorang perempuan dan pikirkanlah, ini akan sulit bagimu nantinya. Apalagi mungkin setelah kita menikah, kau menyukai pria lain sedangkan kau berstatus sebagai istriku,” jelas Wu Fan lagi. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Wu Fan.

 

                “Mollasseo⁶…” jawab Ji Hyeon setengah berbisik.

 

                “Sejujurnya aku mengkhawatirkanmu jika perjodohan ini benar-benar terlaksana,” ucap Wu Fan seraya memandang danau yang airnya tampak tenang itu.

 

                Ji Hyeon tidak bergeming. Di tatapnya sejenak pria yang saat ini ada di sampingnya itu. Dalam hatinya, Ji Hyeon merasa berterima kasih karena meskipun Wu Fan bukanlah siapa-siapanya, tapi Wu Fan mengkhawatirkannya. Ya meskipun memang Ji Hyeon juga terpikir bahwa pasti Wu Fan juga mengkhawatirkan dirinya sendiri.

 

                “Hattchi…” tiba-tiba terdengar Ji Hyeon bersin.

 

                “Waeyo?⁷” tanya Wu Fan seraya kembali mengalihkan pandangannya pada Ji Hyeon yang saat itu tengah mengusap-usap tangannya untuk menghangatkan diri.

 

                “Gwaenchanha⁸…” jawab Ji Hyeon.

 

                Wu Fan tanggap bahwa Ji Hyeon kedinginan. Apalagi melihat gaun yang sedang di kenakan Ji Hyeon saat itu memang sedikit terbuka. Wu Fan pun melepaskan jasnya dan memberikannya pada Ji Hyeon.

 

                “Mwoya?⁹” tanya Ji Hyeon heran saat Wu Fan menyerahkan jasnya.

 

                “Kau kedinginan, kan?” tanya Wu Fan balik.

 

                Ji Hyeon pun mengambil jas Wu Fan dan memakainya.

 

                “Gomawo¹⁰, Wu Fan-sshi…” ucap Ji Hyeon.

***

 

 

Several months later…

                Pernikahan Wu Fan dan Ji Hyeon terlaksana, seperti apa yang Wu Fan khawatirkan. Baik Ji Hyeon maupun Wu Fan memang tidak bisa berbuat banyak, karena ini juga demi mempertahankan hubungan persahabatan kedua keluarga yang memang sudah terjalin sejak lama. Ketika Ji Hyeon dan Wu Fan hendak berangkat ke Pattaya, Thailand untuk berbulan madu, ternyata ada seseorang yang sengaja datang untuk sekedar mengucapkan selamat atas pernikahan Ji Hyeon dan Wu Fan itu.

 

                “Semoga kalian selalu bahagia…” ujar seorang pria seraya memberikan sebucket bunga mawar pink pada Ji Hyeon.

 

                “Gamsahamnida…” ucap Ji Hyeon seraya menerima bunga mawar pink itu.

 

                “Wu Fan-sshi, bisakah kita bicara sebentar?” tanya pria itu.

 

                “Sure…” jawab Wu Fan.

 

                Pria itupun membawa Wu Fan beberapa langkah menjauh dari Ji Hyeon dan kerumunan orang-orang.

 

                “Wu Fan-sshi, maukah kau berjanji sesuatu?” tanya pria itu.

 

                “Mwoya?” tanya Wu Fan balik seraya menatap wajah pria yang berada di hadapannya itu.

 

                “Maukah kau berjanji untuk selalu menjaga Ji Hyeon, membuat Ji Hyeon bahagia dan berjanji untuk tidak akan pernah membuat Ji Hyeon sedih apalagi menangis?” pria itu menatap tepat ke manic mata Wu Fan. Dari pertanyaannya itu, Wu Fan dapat merasa bahwa pemuda itu serius.

 

                “Aku… sejujurnya aku sulit untuk berjanji seperti apa yang kau katakan. Mianhae¹¹…” jawab Wu Fan.

 

                “Waeyo?” tanya pria itu.

 

                “Aku khawatir, aku tidak akan bisa memenuhi janji itu,” jawab Wu Fan.

 

                Pria itu hanya menatap Wu Fan. Dari sorot matanya cukup terlihat bahwa ia tengah memohon pada Wu Fan agar Wu Fan bisa memenuhi permintaannya.

 

                “Maaf, aku harus pergi sekarang,” ujar Wu Fan seraya menepuk bahu pria itu.

 

                “Aku percaya, kau pasti bisa menjaga Ji Hyeon dengan baik. Kau menikah dengan Ji Hyeon, itu artinya Tuhan lebih mempercayakan padamu bahwa kau bisa menjaganya lebih baik dariku,” gumam batin pria itu seraya menatap kepergian Wu Fan.

***

 

                Setelah selama beberapa jam berada dalam pesawat, akhirnya Ji Hyeon juga Wu Fan sampai di Pattaya, Thailand. Tanpa banyak beristirahat, Ji Hyeon dan Wu Fan memutuskan untuk berjalan-jalan ke pantai menikmati sunset. Namun di tengah perjalanan, Ji Hyeon dan Wu Fan memutuskan untuk jalan masing-masing. Ji Hyeon memilih untuk kembali ke hotel tempat mereka menginap, sementara Wu Fan memutuskan untuk berjalan-jalan sambil menikmati udara Pattaya.

 

                Ketika Wu Fan tengah menikmati pemandangan sunset dari pantai Pattaya, mata Wu Fan tertuju pada sesosok gadis yang amat ia kenali. Gadis itu tengah berjalan berdampingan dan terlihat begitu bahagia bersama seorang pria yang Wu Fan tak kenali siapa.

 

                “Ternyata ini alasanmu…” gumam batin Wu Fan.

 

                Wu Fan terus mengamati gadis itu. Ternyata gadis itu juga sempat melirik ke arah Wu Fan yang memang sedang memperhatikannya. Tapi gadis itu segera memalingkan wajahnya dan pergi. Melihat kepergian gadis itu, Wu Fan hanya bisa tersenyum miris. Bagaimana tidak, gadis itu adalah masa lalunya, gadis yang teramat ia cintai yang tega meninggalkannya tanpa alasan dan kini Wu Fan melihat dengan mata kepalanya sendiri, gadis itu tengah berjalan bersama seorang pria.

***

 

                Hingga malam tiba, belum ada tanda-tanda bahwa Wu Fan akan pulang. Ji Hyeon tentu saja khawatir, karena ponsel Wu Fan tidak dapat di hubungi. Hingga akhirnya Ji Hyeon pun memilih untuk tetap menunggu Wu Fan pulang. Namun ternyata, Ji Hyeon tertidur dan Wu Fan pulang di saat Ji Hyeon telah tertidur.

 

                CKLREEKK…

 

                Terdengar suara seseorang membuka dan menutup pintu. Ji Hyeon pun segera terbangun karena takut ada orang yang masuk. Ji Hyeon khawatir yang masuk adalah orang jahat. Namun ternyata yang datang adalah Wu Fan dalam keadaan mabuk. Dalam keadaan sadar dan tidak, Wu Fan pun menghampiri Ji Hyeon yang saat itu tengah terduduk di sofa.

 

                “Kau menungguku?” tanya Wu Fan.

 

                Ji Hyeon pun segera beranjak ketika tubuh Wu Fan hamper limbung.

 

                “Kau mabuk,” ujar Ji Hyeon seraya menopang Wu Fan.

 

                “Kau tahu, hidupku sangat miris,” ujar Wu Fan.

 

                “Sebaiknya kau sekarang beristirahat,” Ji Hyeon mengabaikan kata-kata Wu Fan dan membawa Wu Fan menuju ke kasur.

 

                Ji Hyeon membaringkan tubuh Wu Fan di atas sebuah kasur king size itu. Ternyata Wu Fan langsung terlelap. Ji Hyeon pun melepaskan sepatu Wu Fan dan kemudian menyelimuti Wu Fan. Setelah itu, Ji Hyeon kembali menuju sofa dan tidur. Ji Hyeon sengaja tidur di sofa demi mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

 

                Pagi hari, ketika terbangun Wu Fan mendapatinya sudah berada di kamar hotel yang memang ia sewa untuk berbulan madu dengan Ji Hyeon. Wu Fan terkejut karena ia takut terjadi sesuatu. Namun ketika Wu Fan melihat ke samping kiri dan kanannya, ia hanya tidur sendiri dan tidak ada Ji Hyeon di sana. Wu Fan sedikit merasa lega, karena itu artinya ia tidak berbuat macam-macam pada Ji Hyeon. Karena semenjak awal rencana perjodohan mereka, Wu Fan sudah berkomitmen untuk tidak akan menyentuh Ji Hyeon. Namun Wu Fan terkejut ketika mendapati sesosok gadis tengah tertidur di sebuah sofa.

 

                “Apa yang ada dalam pikranmu?” tanya Wu Fan seraya menatap sosok Ji Hyeon yang tengah tertidur di sofa itu.

 

                Wu Fan pun segera beranjak dan menuju ke sofa tempat Ji Hyeon tertidur. Wu Fan berjongkok tepat di depan sofa itu dan menatap wajah Ji Hyeon.

 

                “Kau pasti lelah menungguku selamaman,” ucap Wu Fan seraya menyibakkan poni yang menutupi dahi Ji Hyeon. Tanpa sadar, sesungging senyuman tampak dari wajah Wu Fan.

 

                Dengan hati-hati, Wu Fan mengangkat tubuh Ji Hyeon untuk memindahkan Ji Hyeon ke kasur. Wu Fan pikir, badan Ji Hyeon pasti akan merasa pegal karena semalaman tidur di sofa seperti itu. Wu Fan pun membaringkan tubuh Ji Hyeon di kasur. Sejenak Wu Fan memandangi wajah Ji Hyeon yang masih tertidur itu.

 

                “Kenapa kau harus terjebak seperti ini?” tanya Wu Fan seraya membelai rambut Ji Hyeon.

 

                Rupanya Ji Hyeon merasa ada seseorang yang tengah membelai rambutnya. Ji Hyeon pun segera membuka matanya dan Ji Hyeon sangat terkejut begitu mendapati Wu Fan lah yang tengah membelai rambutnya. Di tambah lagi wajahnya dan wajah Wu Fan teramat dekat.

 

                “Apa yang kau lakukan?” tanya Ji Hyeon seraya mendorong Wu Fan dan terbangun.

 

                “Aku hanya memindahkanmu dari sofa,” jawab Wu Fan.

 

                Ji Hyeon menatap Wu Fan dengan tatapan antara takut dan tidak percaya.

 

                “Kau tidak percaya padaku?” tanya Wu Fan.

 

                “Aku hanya…” ucapan Ji Hyeon tertahan.

 

                “Hanya takut aku akan menyentuhmu lebih jauh?” Wu Fan memotong kata-kata Ji Hyeon.

 

                Ji Hyeon pun menatap Wu Fan sejenak. Dalam tatapannya, Ji Hyeon terpikirkan untuk mencoba mempercayai Wu Fan. Ji Hyeon pun segera beranjak, meninggalkan Wu Fan yang masih terduduk di tempat tidur yang tengah menatapnya dengan heran itu.

***

 

 

Several months later…

                Perjalanan rumah tangga Ji Hyeon dan Wu Fan tidak berjalan layaknya hubungan rumah tangga lainnya. Bahkan meskipun mereka hidup dalam satu atap, tapi Ji Hyeon dan Wu Fan sengaja pisah kamar. Mereka hanya terlihat mesra ketika dihadapan keluarga masing-masing. Baik dari pihak keluarga Wu Fan, maupun keluarga Ji Hyeon memang sudah menuntut mereka untuk memiliki anak. Namun Wu Fan dan Ji Hyeon selalu tidak pernah memberikan jawaban atas hal itu. Karena memang Wu Fan dan Ji Hyeon menikah atas dasar formalitas untuk menjaga agar hubungan kedua keluarga tetap berjalan dengan baik.

***

 

                Saat itu. Wu Fan sedang menunggu di sebuah café. Rencananya hari ini ia akan bertemu dengan salah satu rekan bisnisnya. Namun setelah selama 30 menit ia menunggu, rekan bisnisnya itu tak kunjung datang juga.

 

                “Wu Fan Oppa¹²…” tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat Wu Fan kenali.

 

                Wu Fan pun segera mengedarkan pandangannya untuk mencari tahu siapa pemilik suara yang sangat tidak asing baginya itu. Betapa terkejutnya Wu Fan ketika mendapati seorang gadis tengah tersenyum manis dan berjalan ke arahnya. Tanpa menunggu Wu Fan mempersilakannya, gadis itu duduk tepat di kursi yang berada di hadapan Wu Fan.

 

                “Bagaimana kabarmu?” tanya gadis itu.

 

                Wu Fan hanya memandangi gadis itu dengan tatapan tajam.

 

                “Sudah lama kita tidak bertemu dan kau banyak berubah,” ujar gadis itu. “Sejujurnya aku sangat merindukanmu,” lanjut gadis itu.

 

                Wu Fan masih juga tak bergeming.

 

                “Wu Fan Oppa, aku dengar kau sudah menikah. Gadis yang kau nikahi itu pasti sangat beruntung mendapatkan seorang pria tampan dan berasal dari keluarga kaya sepertimu,” ujar gadis itu.

 

                Wu Fan masih juga tidak menanggapi setiap perkataan gadis itu.

 

                “Kau menikahi gadis itu karena kau mencintainya, kan?” tanya gadis itu secara tiba-tiba.

 

                “Apa maksudmu?” tanya Wu Fan balik.

 

                “Wu Fan Oppa, aku hanya khawatir kau tidak bisa melupakanku,” ujar gadis itu.

 

                “Bicara apa kau?” tanya Wu Fan sedikit mulai kesal.

 

                “Aku tahu sendiri dulu bagaimana kau begitu mencintaiku dan aku juga tahu bagaimana kau begitu frustrasi ketika aku meninggalkanmu. Jadi yang aku katakan ini tidak sepenuhnya salah,” ucap gadis itu.

 

                Wu Fan merasa keadaannya semakin tidak baik. Wu Fan pun beranjak dan memutuskan untuk meninggalkan café itu.

 

                “Aku yakin kau pasti akan kembali padaku, cepat atau lambat,” gumam batin gadis itu seraya tersenyum licik.

 

 

Flashback to 4 years ago…

Author’s POV

                Sore itu, tampak Wu Fan tengah duduk di bawah pohon yang berada tak jauh di belakang rumahnya. Dengan teliti, tangannya menggambar sebuah sketsa wajah. Sebuah sketsa wajah seorang gadis yang selalu memenuhi ruang pikirannya itu.

 

                “Sedang apa?” tiba-tiba terdengar sebuah suara yang memang taka sing bagi Wu Fan namun sanggup membuatnya sedikit terkejut itu.

 

                “Ah Qian-a, aku sedang menggambar sketsa,” jawab Wu Fan tergugup.

 

                “Boleh aku melihatnya?” tanya gadis yang ternyata bernama Qian itu.

 

                “Sebaiknya jangan dulu, karena aku belum selesai membuatnya,” jawab Wu Fan.

 

                “Eung… sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan,” ujar Qian seraya melangkahkan kakinya sedikit menjauh dari Wu Fan.

 

                “Mwoya?” tanya Wu Fan seraya beranjak dari duduknya dan berdiri di belakang Qian.

 

                Qian membalikkan badannya lalu menatap wajah Wu Fan yang tepat berada dihadapannya itu sekarang. Sejenak ada keheningan karena Qian belum juga mengatakan maksudnya sementara Wu Fan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Qian.

 

                “Kau janji tidak akan marah padaku, kan?” tanya Qian.

 

                “Iya, kau juga tahu sendiri aku tidak pernah bisa marah padamu,” jawab Wu Fan.

 

                “Tapi kali ini…” Qian menggantung kalimatnya, membuat Wu Fan semakin harap-harap cemas dengan kalimat selanjutnya.

 

                “Mwoya?” tanya Wu Fan seraya menetralkan suansana hatinya.

 

                “Kita sudahi sampai di sini saja,” ujar Qian.

 

                “Apa maksudmu?” tanya Wu Fan.

 

                “Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” jawab Qian.

 

                “Wae¹³?” tanya Wu Fan.

 

                “Aku tidak bisa mempertahankan hubungan kita,” jawab Qian.

 

                “Wae?” tanya Wu Fan lagi.

 

                “Mianhae…” ujar Qian.

 

                “Kau hanya bercanda, kan?” tanya Wu Fan meyakinkan apa yang ia dengar itu hanyalah lelucon.

 

                “Aku tidak bercanda,” jawab Qian.

 

                “Qian-a, bercandamu ini tidak lucu,” ujar Wu Fan mencoba menahan sesak yang sebenarnya mulai menyeruak dalam dirinya.

 

                “Mianhae…”ujar Qian seraya berlari meninggalkan Wu Fan yang saat itu hanya bisa tertegun menatap kepergiannya.

 

                “Wae? Wae ireohke¹⁴?” tanya Wu Fan kepada dirinya sendiri.

 

                Wu Fan pun meraih sketsa yang belum sempat ia tuntaskan itu. Ia menatap wajah yang ia gambar itu. Wajah Song Qian, gadis yang sangat ia cintai yang sengaja ia buat sketsa sebagai hadiah ulang tahun untuk Qian nanti. Sketsa wajah yang selalu menghiasi pikirannya yang belum sempat ia tuntaskan itupun hendak ia robek. Namun ada rasa tak kuasa dalam hatinya untuk merobek sketsa wajah itu.

Flashback END

 

 

Author’s POV

                Wu Fan menuju ke kamarnya. Di dalam kamarnya, ia membuka sebuah laci di meja yang terletak tepat di samping tempat tidurnya. Di dalam laci itu, ia menemukan sebuah kertas yang tergambar sebuah sketsa. Sebuah sketsa wajah yang tak sempat ia tuntaskan karena rasa sakit yang menjalar dihatinya dan sebuah perpisahan sepihak yang terlalu cepat menghampirinya di masa lalu. Tanpa ia sadari, matanya mulai berkaca-kaca ketika menatap sketsa wajah itu.

 

                “Sejujurnya aku juga sangat merindukanmu. Semenjak dulu,” gumam Wu Fan.

 

                Ternyata di bibir pintu, ada Ji Hyeon yang tengah memperhatikannya. Ji Hyeon menatap Wu Fan dan Ji Hyeon mendengar gumaman Wu Fan itu. Ji Hyeon mengerti benar apa yang terjadi pada Wu Fan. Ji Hyeon tahu, Wu Fan tengah merindukan masa lalunya. Tanpa Ji Hyeon sadari, rasa sesak mulai merasuki perasaannya.

***

 

 

                Hari itu, Wu Fan sedang berada di kantornya. Ia tengah mengurusi beberapa file yang harus segera ia laporkan kepada Direktur Wu, Ayahnya yang merupakan pimpinan perusahaan. Ketika Wu Fan tengah sejenak beristirahat, tiba-tiba seseorang masuk tanpa seizin Wu Fan.

 

                “Untuk apa kau datang kemari?” tanya Wu Fan.

 

                “Untuk bertemu denganmu,” jawab orang itu.

 

                “Qian-a, pergilah sebelum aku mengusirmu,” ujar Wu Fan tegas.

 

                “Yakin kau akan mengusirku?” tanya gadis yang ternyata bernama Qian itu.

 

                Wu Fan hanya terdiam. Ia menatap Qian dengan tatapan tajam. Wu Fan juga sadar bahwa apa yang ia katakan memang tidak sesuai dengan kata hatinya. Karena mana mungkin ia tega mengusir Qian yang jelas-jelas sangat ia rindukan itu.

 

                “Apa kau tidak merindukanku?” tanya Qian.

 

                “Apa maksudmu?” tanya Wu Fan balik.

 

                Qian menatap Wu Fan. Tatapan yang sangat Wu Fan rindukan.

 

                “Aku sudah menikah dan memiliki seorang istri. Mana mungkin aku merindukanmu?” ujar Wu Fan seraya mengalihkan pandangannya agar tidak bertabrakan dengan tatapan Qian.

 

                “Wu Fan Oppa, ketahuilah bahwa satu hal yang tidak pernah bisa kau sembunyikan adalah tatapanmu yang tidak pernah bisa menunjukkan kebohongan. Dari matamu, terlihat jelas bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya,” jelas Qian.

 

                Wu Fan tidak bergeming. Wu Fan beranjak dan hendak meninggalkan ruangan yang mulai membuatnya tak nyaman itu.

 

                “Apa kau masih sanggup untuk menyembunyikannya dariku? Kita saling mengenal sudah sejak lama dan aku sangat tahu dirimu…” ucapan Qian tertahan begitu Wu Fan menghentikn langkahnya dan menatapnya.

 

                “Aku memang sangat merindukanmu. Sudah sejak lama,” ujar Wu Fan.

 

                “Wu Fan Oppa…”

 

                “Tapi ketika aku benar-benar merindukanmu, dimana kau? Kemana kau pergi? Kenapa kau meninggalkanku?”  tanya Wu Fan.

 

                “Aku tahu, aku salah. Maafkan aku,” ujar Qian.

 

                “Haruskah aku memaafkanmu?” tanya Wu Fan pada dirinya sendiri.

 

                “Wu Fan Oppa, sejujurnya aku kembali ke sini adalah tak lebih hanya untuk meminta maaf padamu, untuk menebus semua kesalahanku padamu dan aku ingin kita seperti dulu lagi,” jelas Qian. “Sejujurnya juga aku masih sangat mencintaimu,” lanjut Qian.

 

                Wu Fan terdiam. Dalam benaknya, memang ia juga masih mencintai Qian, namun tak dapat di pungkiri bahwa rasa sakit ketika Qian menyatakan perpisahan secara sepihak itu masih membekas dalam hatinya.

 

                “Saat itu, aku terpaksa meninggalkanmu. Bagiku, benar-benar tidak mudah dan aku menangis setelah aku mengatakan bahwa kita harus berpisah. Saat itu, aku benar-benar tidak ingin berpisah denganmu namun keadaan yang memaksaku harus memilih. Maafkan aku…” jelas Qian.

 

                Wu Fan masih tidak bergeming. Sementara Qian kini mulai menangis.

 

                “Maafkan aku…” ucap Qian dan air matanya semakin deras menuruni wajahnya.

 

                Qian tertunduk. Di saat itu lah, Wu Fan menghampirinya dan memeluknya.

 

                “Aku sangat merindukanmu,” ujar Wu Fan seraya memeluk Qian dengan erat untuk melepaskan semua kerinduan yang memang sudah ia pendam sejak 4 tahun yang lalu.

 

                Ternyata di bibir pintu, ada seseorang yang menyaksikan hampir seluruh kejadian itu. Orang itu tak lain adalah Ji Hyeon. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana suaminya kini tengah memeluk seorang gadis yang sangat dirindukan suaminya itu.

 

                “Arasseo¹⁵…” ucap Ji Hyeon setengah berbisik seraya melangkah meninggalkan tempat yang membuatnya merasa sesak itu.

 

                Ji Hyeon pun melangkahkan kakinya menelusuri jalanan Seoul. Ia seolah orang bodoh. Bahkan mungkin ia kini tampak seperti orang gila. Berjalan mengikuti kemana kakinya melangkah tanpa tahu tujuan. Dalam pikirannya, terbayang kejadian yang baru saja ia lihat. Ia tahu benar bahwa memang pernikahannya dengan Wu Fan hanyalah sebatas formalitas. Namun bagaimanapun, ia adalah seorang istri dan istri mana yang tidak akan merasa sakit ketika melihat suaminya memeluk wanita lain dan wanita tersebut adalah masa lalu yang sangat di cintai suaminya?

 

                Ji Hyeon terduduk di sebuah bangku taman. Tanpa Ji Hyeon sadari, perlahan cairan bening itu mulai keluar dari pelupuk matanya. Dalam hatinya, kini ada sebuah rasa yang membuatnya begitu terluka.

 

                “Ji Hyeon-a…” ucap sebuah suara yang tak asing bagi Ji Hyeon, namun Ji Hyeon tak mau menghiraukan suara itu.

 

                “Apa yang…” ucapan pria itu tertahan ketika melihat Ji Hyeon tengah menangis.

 

                Pria itu pun segera duduk di samping Ji Hyeon dan meraih Ji Hyeon ke dalam pelukannya.

 


Uljima…¹⁶” ucap pria itu.

 

                “Wae? Wae ireohke?” tanya Ji Hyeon di sela-sela tangisnya.

 

                Pria itu tak bergeming, membiarkan Ji Hyeon meluapka perasan yang tengah membuncah dalam dadanya.

 

                “Lu Han-a, aku tidak mau seperti ini,” ujar Ji Hyeon.

 

                “Arasseo…” hanya itu kata-kata yang sanggup keluar dari mulut pria bernama Lu Han itu.

 

                “Kenapa aku harus terjebak dalam perjodohan dan pernikahan ini?” tanya Ji Hyeon.

 

                “Jika aku bisa, aku ingin membebaskanmu dari kesulitan ini. Aku tahu kau pasti sangat tersiksa dengan keadaanmu saat ini. Jika saja saat itu kau menikah denganku, mungkin kau tidak akan pernah menangis seperti ini. Karena aku pasti akan membuatmu selalu bahagia…” gumam batin Luhan.

***

 

                Malam itu, Wu Fan pulang sedikit terlambat. Namun Ji Hyeon masih sanggup untuk membukakan pintu untuknya, karena memang Ji Hyeon sendiri juga belum tidur.

 

                “Kau belum tidur?” tanya Wu Fan ketika Ji Hyeon membukakan pintu untuknya.

 

                Ji Hyeon hanya diam dan segera kembali menuju ke kamarnya tanpa menghiraukan Wu Fan. Ji Hyeon dapat melihat dengan jelas, kebahagiaan tergambar jelas dari raut wajah Wu Fan. Dan malam ini, memang Wu Fan menampakkan keceriaan yang sempat menghilang selama 4 tahun itu. Dan ini, pertama kalinya Ji Hyeon melihat Wu Fan begitu bahagia semenjak pernikahan mereka.

 

                “Ada apa dengannya?” tanya Wu Fan pada dirinya sendiri mendapati Ji Hyeon yang lain dari biasanya itu.

***

 

 

                Pagi harinya, Wu Fan bangun sedikit terlambat. Namun sarapan pagi sudah tersedia di meja makan. Tapi kali ini, tidak ada Ji Hyeon yang selalu menemani dan membuatkannya sarapan. Ji Hyeon menghilang.

 

                “Kemana anak itu?” tanya Wu Fan.

 

                Wu Fan pun mencari Ji Hyeon ke kamarnya. Barang kali mungkin Ji Hyeon tengah ada di kamarnya. Tapi Ji Hyeon tetap tidak ada. Akhirnya Wu Fan pun hanya sarapan sendirian dan segera pergi ke kantor ketika ia sudah selesai sarapan.

***

 

 

                Malam harinya, setelah puas berjalan-jalan ke Busan, Ji Hyeon baru pulang. Ketika memasuki rumah, Ji Hyeon mendengar suara Wu Fan tertawa. Ji Hyeon pun menuju ke kamar Wu Fan yang saat itu pintunya sedikit terbuka. Dari celah itu, Ji Hyeon dapat melihat dengan jelas Wu Fan tengah bersama seorang gadis. Gadis yang saat itu ia lihat tengah berpelukan dengan Wu Fan di kantornya. Ji Hyeon pun memilih untuk meninggalkan tempat itu dan menuju ke kamarnya. Ternyata Wu Fan mendengar langkah kaki Ji Hyeon dan segera keluar dari kamarnya.

 

                “Ji Hyeon-a…” panggil Wu Fan.

 

                Ji Hyeon pun menghentikan langkahnya.

 

                “Ji Hyeon-a, aku bisa menjelaskannya,” ujar Wu Fan seraya melangkah mendekati Ji Hyeon.

 

                Ji Hyeon tidak bergeming dan hanya menundukkan kepalanya.

 

                “Ji Hyeon-a, tidak terjadi sesuatu di antara kami. Gadis itu…” Wu Fan gugup.

 

                “Arasseo…” ujar Ji Hyeon.

 

                “Ji Hyeon-a, aku…” ucapan Wu Fan tertahan, Wu Fan bingung harus mengatakan apa.

 

                “Gwaenchanha…” ujar Ji Hyeon.

 

                “Ji Hyeon-a…”

 

                “Gwaenchanha…”

 

                Ji Hyeon pun kembali melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya meninggalkan Wu Fan yang saat itu tengah kebingungan. Namun dalam pikiran Wu Fan juga terbersit, Ji Hyeon pasti mengerti. Lagi pula, Ji Hyeon mana mungkin mencintainya, jadi Ji Hyeon tidak mungkin terluka toh pernikahan mereka saja hanya formalitas.

***

 

 

                Selama berhari-hari, Ji Hyeon dan Wu Fan tidak saling bertemu. Bahkan kini Ji Hyeon lebih sering pulang ke rumah orang tuanya. Wu Fan pun memutuskan untuk menelepon Ji Hyeon. Namun Ji Hyeon selalu tidak mengangkatnya. Bahkan ketika Wu Fan menelepon ke rumahnya pun, Ji Hyeon selalu menolak untuk menerima telepon dari Wu Fan. Dalam benak Wu Fan, ia merasa takut Ji Hyeon akan menceritakan soal perselingkuhannya dengan Qian pada orang tuanya. Namun Wu Fan yakin, Ji Hyeon tidak akan mungkin berani menceritakan apapun pada keluarganya. Wu Fan tahu benar akan Ji Hyeon.

***

 

 

                “Apa maksudnya ini?” tanya Direktur Wu seraya melemparkan beberapa foto pada Wu Fan yang saat itu tengah duduk di hadapannya.

 

                Wu Fan pun mengambil foto-foto itu dan melihatnya. Wu Fan sangat terkejut, karena foto-foto itu adalah fotonya bersama Qian.

 

                “Ayah, aku bisa menjelaskannya…” ujar Wu Fan.

 

                “Kau berselingkuh, hah? Bagaimana bisa kau melakukan hal bodoh dan memalukan seperti itu?” bentak Direktur Wu.

 

                “Ayah…”

 

                “Kau bingung bagaimana bisa aku mengetahuinya?” tanya Direktur Wu.

 

                Wu Fan terdiam. Baru kali ini Wu Fan melihat bagaimana Direktur Wu begitu marah.

 

                “Kau pikir Ayahmu ini bodoh, hah?” bentak Direktur Wu lagi.

 

                “Ayah, aku…”

 

                “Aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun darimu. Ketika Asisten Arthur datang padaku dan mengatakan bahwa ia melihatmu bersama seorang wanita, aku merasa geram padanya. Tapi ternyata setelah ku selidiki, kau memang benar-benar berselingkuh dengan wanita lain,” jelas Direktur Wu.

 

                “Ayah, maafkan aku…” ujar Wu Fan.

 

                Direktur Wu menampar Wu Fan.

 

                “Kau membuatku malu,” ujar Direktur Wu.

 

                “Hentikan!” tiba-tiba terdengar sebuah suara.

 

                “Ji Hyeon-a, untuk apa kau datang lagi kemari?” tanya Direktur Wu.

 

                Wu Fan mengarahkan pandangannya pada Ji Hyeon yang saat itu tengah menghampirinya.

 

                “Ini salahku,” ujar Ji Hyeon seraya menatap Direktur Wu.

 

                “Ji Hyeon-a…”

 

                “Aku yang salah karena aku membiarkan suamiku berselingkuh dengan wanita lain,” ujar Ji Hyeon.

 

                “Wu Fan-a, dengarlah. Di saat seperti ini pun, Ji Hyeon masih membelamu. Tapi kau tega menyakiti hati gadis sebaik Ji Hyeon,” ujar Direktur Wu.

 

                “Ayah, maafkan aku…” ujar Wu Fan seraya berlutut di kaki Direktur Wu.

 

                “Aku kecewa padamu,” Direktur Wu pun meninggalkan Wu Fan dan Ji Hyeon.

 

                “Ayah…” panggil Wu Fan, namun Direktur Wu tidak menghiraukannya dan dengan mantap tetap berjalan keluar dari rumah itu.

 

                “Gwaenchanhayo¹⁷?” tanya Ji Hyeon seraya duduk di samping Wu Fan.

 

                Wu Fan hanya menatap Ji Hyeon.

 

                “Kenapa kau masih mau datang kemari? Kenapa kau membelaku?” tanya Wu Fan.

 

                “Aku…” ucapan Ji Hyeon tertahan ketika Wu Fan memeluknya.

 

                “Mianhae… jeongmal mianhae¹⁸…” ujar Wu Fan.

***

 

 

Flashback several days ago

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK