home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Because I Love You

Because I Love You

Share:
Author : JaeJae
Published : 28 Jan 2014, Updated : 28 Jan 2014
Cast : Kim Woo Bin, Lee Ji Hyeon (fictional character), Lee Jong Suk and another cast
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |1897 Views |0 Loves
Because I Love You
CHAPTER 1 : Oneshoot

BECAUSE I LOVE YOU

 

Black Romance present…

 

A story by JH_Nimm

(http://jh-nimm.blogspot.com, http://www.twitter.com/JH_Nimm)

 

 

Title: Because I Love You

Also known as: Because I Love You

Genre: Romance, Sad, Hurt

Rating: T (PG-13)

Length: Oneshoot

 

 

Disclaimer:

Cerita ini adalah sebuah FIKTIF belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat dan kejadian, semata-mata karena ketidaksengajaan.

All casts are belong to God, but this story is JH_Nimm’s.

Don’t re-share without my permission.

Don’t forget to leave your appreciation.

Happy Reading… Thank you… :3

                                                                                 

Note: yang di tulis miring adalah FLASHBACK!!

                           

 

BACKSOUND:

Zia – Because I Love You

Huh Gak – Memory of Your Scent

 

 

Cast(s):

  • Kim Woo Bin
  • Lee Ji Hyeon
  • Lee Jong Suk
  • And another cast(s).

 

 

 

 

 

== PROLOG ==

Selama jantung ini masih bisa berdetak, akan ku pastikan bahwa jantung ini akan berdetak beriringan dengan detak jantungmu

Selama tangan ini masih bisa menggenggammu, akan ku pastikan bahwa hanya dirimu lah yang akan ku peluk seerat mungkin seolah kita tak akan pernah terpisahkan

(January 27, 2014)

 

 

 

Author’s POV

 

                Semilir angin berhembus dengan begitu kencangnya. Menambah kesan dingin di malam yang gelap karena langit mulai terselimuti oleh awan biru yang dengan setia datang setiap malam. Tak ada bintang yang biasanya bertaburan dengan begitu indah. Bahkan yang mewarnai langit biru malam yang kelam hanyalah buliran-buliran putih nan bersih yang turun dari langit. Sebuah pertanda bahwa memang ini sudah memasuki musim dingin.

 

                Di dalam sebuah kamar bernuansa klasik yang cukup besar, tampak seorang pria tengah terduduk di tepian tempat tidurnya dengan ukuran king size itu. Semburat di wajah pria bernama Kim Woo Bin itu tampak guratan-guratan kesedihan di wajah tampannya. Namun matanya dengan pasti menatap sebuah foto yang ia genggam dengan begitu erat oleh kedua tangannya. Seiring dengan dentingan jam berdetak, semakin Woo Bin menatap foto itu, semakin ia teringat dengan kenangan-kenangan di masa lalunya bersama seorang perempuan yang begitu ia cintai, yaitu Lee Ji Hyeon.

 

 

 

Flashback 4 years ago…

 

                Di sebuah taman kota yang terhiasi dengan banyak accessories bernuansa musim dingin dan Natal itu, tampak seorang wanita tengah duduk di sebuah bangku taman berwarna putih. Wanita itu adalah Ji Hyeon yang saat itu sedang menunggu kedatangan seorang pria yang selalu mengganggu hati dan pikirannya akhir-akhir ini, yaitu Kim Woo Bin. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

                Sudah hampir 30 menit Ji Hyeon menunggu di taman itu, namun Woo Bin masih belum datang juga. Sementara satu hal yang sangat tidak di sukai oleh Ji Hyeon adalah menunggu. Karena bagi Ji Hyeon, menunggu adalah sebuah hal yang membosankan.

 

                “Mianhae[1]…”

 

                Terdengar suara seorang pria yang membuat Ji Hyeon segera mengangkat kepalanya yang tertunduk untuk menatap sang pemilik suara, yaitu Woo Bin.

 

                “Jeongmal mianhae[2]…” ucap Woo Bin seraya mengatur napasnya.

 

                Ji Hyeon tidak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatap Woo Bin, tanpa menunjukkan rasa marah karena terlalu lama menunggu ataupun rasa senang karena Woo Bin yang ia tunggu-tunggu itu sudah datang. Bagi Woo Bin, jika Ji Hyeon seperti ini, membuatnya sedikit kesulitan karena ia tidak pernah bisa menebak apa yang sejatinya Ji Hyeon rasakan dan pikirkan.

 

                “Kau pasti sudah lama menunggu?” tanya Woo Bin.

 

                Ji Hyeon hanya menjawab pertanyaan Woo Bin dengan menganggukkan kepalanya.

 

                “Wae[3]?” tanya Woo Bin sembari sedikit merajuk untuk membuat wanita pemilik hatinya itu buka suara.

 

                Ji Hyeon masih belum ingin bicara.

 

                “Daedabhae[4]…” bujuk Woo Bin yang sebenarnya khawatir Ji Hyeon sedang marah sampai-sampai tak mau menjawabnya seperti itu.

 

                Ji Hyeon masih juga tak ingin menjawab Woo Bin. Membuat situasi seorang Woo Bin semakin sulit. Woo Bin pun menarik napas dalam, lalu kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku mantelnya.

 

                “Aku harap kali ini kau akan menjawabku,” ucap Woo Bin seraya berlutut di hadapan Ji Hyeon yang masih terduduk di bangku taman berwarna putih itu.

 

                Ji Hyeon jelas sedikit terkejut dengan perlakuan Woo Bin. Sementara Woo Bin menatap tepat ke mata Ji Hyeon yang berwarna kecoketalan itu dengan hangat. Melalui tatapan hangat itu, Woo Bin ingin menyampaikan sebuah ketulusan dari hatinya yang terdalam untuk Ji Hyeon.

 

                “Ji Hyeon-a…” ucap Woo Bin seraya membuka kotak kecil berwarna putih yang ternyata berisi sepasang cincin itu. “Menikahlah denganku…”

 

                Mendengar pernyataan Woo Bin, Ji Hyeon hanya menatap Woo Bin. Dari tatapan Woo Bin, tak dapat di pungkiri memang Ji Hyeon menemukan sebuah ketulusan dari seorang pria yang memang sudah sejak 2 tahun yang itu menjadi kekasihnya.

 

                “Menikahlah denganku…” ucap Woo Bin sekali lagi.

 

                “Oppa[5]…” akhirnya Ji Hyeon buka suara.

 

                Mendengar suara Ji Hyeon, jantung Woo Bin berdetak semakin kencang. Woo Bin sadari bahwa ia harus bersiap dengan apapun jawaban Ji Hyeon. Walaupun memang tak dapat di pungkiri bahwa ada sebuah keyakinan besar dalam benak Woo Bin bahwa Ji Hyeon akan menerima lamarannya tersebut.

 

                “Ada sebuah hal yang harus aku jelaskan padamu,” ucap Ji Hyeon.

 

                Woo Bin menatap Ji Hyeon. Sebuah kekhawatiran mulai menyelimuti batinnya. Terlebih sebuah kelemahannya adalah tak pernah bisa membaca apa yang akan Ji Hyeon katakan, meskipun sudah hampir 4 tahun mereka bersama-sama sejak pertemuan pertama mereka di sekolah menengah. Saat itu, Ji Hyeon adalah adik kelas Woo Bin.

 

                “Menikahlah denganku…” hanya kata-kata itu lagi yang sanggup Woo Bin ucapkan.

 

                “Kau harus mendengarkan…” ucapan Ji Hyeon tertahan.

 

                “Menikahlah denganku…” ucap Woo Bin lagi seolah ia tak ingin mendengar jawaban ataupun ungkapan lain dari Ji Hyeon. (http://www.twitter.com/JH_Nimm)

 

                Sejenak Ji Hyeon terdiam dan menarik napasnya dalam.

 

                “Menikahlah denganku…” ucap Woo Bin lagi.

 

                “Baiklah…” jawab Ji Hyeon.

 

                Segera setelah mendengar jawaban Ji Hyeon, senyuman cerah terlukis di wajah tampan Woo Bin. Sebuah jawaban yang membuat detak jantungnya sempat tak terkendali itu akhirnya meluncur dengan bebas dari Ji Hyeon. Woo Bin pun segera mengambil salah satu cincin dan memasangkannya di jari manis Ji Hyeon.

 

                “Gomawo[6]…” ucap Woo Bin seraya berdiri.

 

                Ji Hyeon hanya tersenyum. Woo Bin pun merentangkan tangannya. Sebuah pertanda bahwa ia ingin Ji Hyeon memeluknya. Melihat Woo Bin, Ji Hyeon pun beranjak dari duduknya dan segera memeluk pria yang begitu ia cintai itu dengan erat seolah tak ada yang boleh memisahkan mereka lagi. 

****

 

 

1 month later…

 

                Hari ini adalah sebuah hari yang sudah lama Woo Bin nanti-nantikan, dimana ia akan segera mengucapkan sebuah janji suci di depan latar dan dihadapan saksi dengan wanita yang begitu ia sayangi itu.

 

Gurat ketegangan mulai targambar di wajah Woo Bin ketika ia berdiri di depan latar menunggu sang mempelai wanita yang dalam hitungan menit akan menjadi pendamping hidupnya untuk selamanya itu. Bahkan gurat ketegangan itu semakin jelas terlihat di wajah tampannya manakala sang pengantin wanita mulai berjalan di karpet merah yang akan mengantarkan sang pengantin wanita pada pengantin pria.

 

                “Yebbeo[7]… neomu yeobbeo[8]…” batin Woo Bin.

 

                Mata Woo Bin tak terlepas dari Ji Hyeon yang saat itu bergandengan dengan Ayahnya yang akan mengantarkannya pada Woo Bin. Bagi Woo Bin, Ji Hyeon tampak semakin cantik ketika ia mengenakan gaun pengantin yang berwarna putih menandakan kesucian seperti sucinya cinta Woo Bin untuk Ji Hyeon begitupula sebaliknya itu.

 

                Tangan Woo Bin terlihat gemetar ketika ia akan menyambut tangan Ji Hyeon dan membawa Ji Hyeon berdiri di sampingnya, di depan latar yang akan menjadi saksi pernikahan suci ini. Meskipun kegugupan begitu menyelimuti dirinya, namun sesungging senyuman masih bisa Woo Bin ukir di wajah tampannya itu.

 

                Pendeta pun membuka sebuah buku yang bertuliskan janji suci untuk di ucapkan oleh pengantin pria dan pengantin wanita itu.

 

                “Apakah kau, Kim Woo Bin, bersedia menerima Lee Ji Hyeon sebagai istrimu dan berjanji untuk selalu melindungi, mencintai dan menyayanginya dalam suka dan duka?”

 

                “Ya…” jawab Woo Bin dengan tegas dan pasti seolah tak ada lagi keraguan dalam benaknya untuk menjadikan Ji Hyeon sebagai pendamping hidupnya.

 

                “Apakah kau, Lee Ji Hyeon, bersedia menerima Kim Woo Bin sebagai suamimu dan berjanji untuk selalu melindungi, mencintai dan menyayanginya dalam suka dan duka?”

 

                Ji Hyeon terlihat menarik napasnya dalam, sedangkan Woo Bin tak bisa mengalihkan tatapannya dari Ji Hyeon. Jantung Woo Bin berdetak dengan begitu cepat menantikan jawaban sang pengantin wanitanya itu.

 

                “Ya...” jawab Ji Hyeon.

 

                Sesungging senyuman terukir di wajah tampan Woo Bin ketika ia mendengar jawaban Ji Hyeon.

 

                “Kim Woo Bin dan Lee Ji Hyeon, sekarang kalian telah sah menjadi sepasang suami-istri,”

 

                Woo Bin pun segera memasangkan kembali cincin di jari manis Ji Hyeon. Kemudian Ji Hyeon pun memasangkan pasangan dari cincinnya itu di jari manis Woo Bin.

 

                “Gomawo…” ucap Woo Bin.

 

                Ji Hyeon menganggukkan kepalanya. Kemudian Woo Bin pun mendekatkan wajahnya pada wajah Ji Hyeon, perlahan kedua sayap bibir Woo Bin mulai menyentuh bibir Ji Hyeon. Sebuah sentuhan hangat dan penuh dengan ketulusan juga kebahagiaan, hanya itu yang ingin Woo Bin sampaikan pada Ji Hyeon melalui ciumannya itu. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

END of flashback…

****

 

 

 

                Sang mentari kembali datang untuk menyapa seluruh alam. Meskipun sinar hangatnya tak sanggup untuk menjamah seluruh jagat raya karena awan musim dingin yang menghalanginya. Meskipun pagi tak sehangat seperti di musim semi, namun burung-burung masih berkicauan di tengah dinginnya musim dingin ini.

 

                Di dalam sebuah kamar bernuansa klasik itu, tampak Woo Bin masih tertidur. Hanya ketika suara alarm yang berdering lah yang mampu membuatnya perlahan membuka matanya untuk terbangun dari tidur lelapnya.

 

                Ketika matanya terbuka dengan sempurna, Woo Bin hanya bisa menatap sisi kosong di sampingnya dimana biasanya seorang wanita bernama Ji Hyeon itu tidur bersamanya. Tangan kanan Woo Bin terarah untuk membelai tempat kosong itu. Sekilas bayangan Ji Hyeon terlintas di pikirannya membuatnya merindukan masa-masa ketika Ji Hyeon tersenyum dengan begitu cerah setiap pagi.

 

                Meskipun dering alarm masih berbunyi dengan cukup keras dari handphonenya, namun Woo Bin masih belum ingin menghiraukannya. Bahkan Woo Bin mulai terlarut dalam kenangan dimana setiap pagi ketika ia membuka matanya dan terbangun dari tidurnya ada Ji Hyeon di sampingnya.

 

 

Flashback 3 years ago…

 

                Pernikahan Woo Bin dan Ji Hyeon sudah berjalan selama 1 tahun. Namun sayangnya, mereka masih belum diberikan kesempatan untuk menambahkan satu penghuni lagi di rumah. Woo Bin dan Ji Hyeon masih belum di berikan kesempatan untuk menimang seorang putera yang tampan seperti Woo Bin ataupun puteri yang cantik seperti Ji Hyeon. Padahal menimang dan bermain dengan anak kecil adalah sebuah mimpi yang hampir setiap malam bertandang ke mimpi Woo Bin.

 

                Seperti pagi ini, perlahan Woo Bin membuka matanya ketika sinar hangat sang mentari menembus tirai putih yang terpasang di jendela kamarnya. Sebuah senyuman terlukis di wajah tampan Woo Bin di hari yang masih begitu pagi. Bagaimana Woo Bin tidak merasa bahagia di hari sepagi ini, karena ada seorang bidadari tambatan hati yang masih tertidur dengan lelap di sampingnya.

 

                “Saranghae[9]…” bisik Woo Bin.

 

                Perlahan tangan Woo Bin terarah untuk membelai rambut panjang kecokelatan milik Ji Hyeon yangterurai itu. Rupanya ketika tangan Woo Bin menyentuh kepalanya, perlahan Ji Hyeon membuka matanya.

 

                “Na do saranghae[10]…” ucap Ji Hyeon.

 

                Woo Bin pun menarik Ji Hyeon ke dalam pelukannya. Membiarkan wajah cantik sang istri terbenam dalam dadanya.

****

 

 

7 months later…

 

                Sore itu tampak Woo Bin tengah duduk di sofa berwarna merah maroon di ruang tengah. Ia baru saja pulang dari kantor setelah selama berjam-jam mengurusi sebuah perusahaan yang merupakan perusahaan sang Ayah. Sementara Ji Hyeon sedang tidak berada di rumah. Di pesan yang Ji Hyeon kirimkan mengatakan bahwa Ji Hyeon sedang keluar sebentar dan meminta Woo Bin untuk tidak khawatir. Namun sayangnya, di luar justru terdengar bunyi petir yang membuat Woo Bin mulai khawatir.

 

                “Aish, kenapa dia belum pulang juga?”

 

                Woo Bin pun mengambil handphonenya dan segera menelepon Ji Hyeon. Namun meskipun berkali-kali Woo Bin mencoba menelepon Ji Hyeon, Ji Hyeon tidak mengangkat teleponnya.

 

                “Ppali daedabhae[11]…

 

                Woo Bin pun akhirnya memutuskan untuk mencari Ji Hyeon. Namun baru saja ia mengambil jas hujan, Ji Hyeon justru sudah pulang dengan keadaan baik-baik saja. Melihat Ji Hyeon pulang, Woo Bin pun segera menghampiri Ji Hyeon dan memeluk Ji Hyeon. (http://www.twitter.com/JH_Nimm)

 

                “Darimana saja kau?” tanya Woo Bin.

 

                “Bukankah aku sudah mengirimkan pesan bahwa aku akan keluar sebentar?” tanya Ji Hyeon balik.

 

                “Tapi aku begitu mengkhawatirkanmu,” jawab Woo Bin.

 

                “Wae?” tanya Ji Hyeon.

 

                “Kau lihat, di luar hujan deras,” jawab Woo Bin.

 

                Woo Bin pun melepaskan Ji Hyeon dari pelukannya.

 

                “Gwaenchanhttni[12]?” tanya Woo Bin.

 

                “Gwaenchanha[13]jawab Ji Hyeon.

 

               Sesungging senyuman terukir di wajah Ji Hyeon. Namun sayangnya sebuah senyuman yang tak seperti biasanya. Sebuah senyuman yang kali ini membuat Woo Bin khawatir.

 

                “Ada yang ingin ku katakan padamu,” ucap Ji Hyeon tiba-tiba.

 

                Kekhawatiran Woo Bin semakin bertambah terlebih lagi ketika ia mendengar suara Ji Hyeon yang terdengar bergetar.

 

                “Mworago[14]?” tanya Woo Bin seraya menggenggam wajah istrinya itu dengan kedua tangannya.

 

                “Kita masih belum punya anak dan itu karena aku,” jawab Ji Hyeon.

 

                “Geurigo, wae[15]?” tanya Woo Bin.

 

                “Aku takut keluargamu akan kecewa padaku,” jawab Ji Hyeon.

 

                “Waeyo geurae[16]? Mengapa tiba-tiba kau mengkhawatirkan hal itu, hmm?” tanya Woo Bin.

 

                Belum sempat Ji Hyeon menjawab pertanyaan Woo Bin, buliran bening justru mendahului mengalir di wajahnya. Melihat Ji Hyeon menangis, rasa khawatir di benak Woo Bin semakin bertambah. Woo Bin pun kembali menarik Ji Hyeon ke dalam pelukannya. Dengan hangat, Woo Bin membelai rambut Ji Hyeon, mencoba untuk memberikan sedikit kekuatan pada Ji Hyeon.

 

                “Gwaenchanha, kau tidak perlu mengkhawatirkan akan hal itu,” ucap Woo Bin.

 

                Tiba-tiba Ji Hyeon melepaskan pelukan Woo Bin.

 

                “Wae?” tanya Woo Bin.

 

                “Kali ini tolong dengarkan aku,” jawab Ji Hyeon.

 

                Woo Bin hanya menganggukkan kepalanya.

 

                “Aku sudah memikirkan hal ini sejak lama. Mungkin akan lebih baik jika kau mencari seorang wanita lain yang bisa memberikanmu keturunan,” ucap Ji Hyeon.

 

                Woo Bin jelas terkejut mendengar kata-kata Ji Hyeon. “Apa yang kau katakan? Kau sedang bercanda, hmm?”

 

                “Aniyo[17]…” jawab Ji Hyeon.

 

                “Ji Hyeon-a…”

 

                “Aku sungguh tidak sedang bercanda,” ucap Ji Hyeon tegas.

 

                Mendengar ketegasan di nada bicara Ji Hyeon, Woo Bin mulai bertanya-tanya apa yang tengah terjadi pada Ji Hyeon.

 

                “Wae? Kenapa tiba-tiba kau seperti ini?” tanya Woo Bin.

 

                “Aku hanya ingin kau bahagia,” jawab Ji Hyeon.

 

                “Ji Hyeon-a…”

 

                “Sebagai seorang pria, apalagi seorang suami, aku tahu bahwa kau pun pasti mengharapkan setidaknya seorang anak. Sedangkan aku, sebagai istrimu tak dapat memberikanmu seorang anakpun,” ucap Ji Hyeon.

 

                Woo Bin terdiam. Memang apa yang Ji Hyeon katakan ada benarnya. Ia juga tak memungkiri bahwa ia menginginkan seorang anak. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

                “Karena itulah aku memintamu untuk mencari wanita lain yang bisa memberikanmu keturunan,” jelas Ji Hyeon.

 

                “Kali ini dengarkan aku…” ucap Woo Bin. “Meskipun tak ada seorang anakpun di dalam kehidupan kita, itu tidak masalah bagiku. Memang aku begitu menginginkannya, tetapi jika memang kita ditakdirkan untuk tak memilikinya satupun, itu artinya Tuhan belum mempercayai kita untuk menjaga dan mengasuh malaikat kecilnya.”

 

                “Tapi aku ingin melihatmu bahagia,” ucap Ji Hyeon.

 

                “Ji Hyeon-a, bagiku saat ini memilikimu dan menjadikanmu sebagai istriku adalah kebahagiaan. Karena yang terpenting bagiku adalah dirimu. Yang hanya aku tahu adalah aku ingin membahagiakanmu dan aku ingin bersamamu selamanya,” jelas Woo Bin.

 

                “Tapi…”

 

                Belum sempat Ji Hyeon melanjutkan kalimatnya, Woo Bin menariknya ke dalam pelukannya. Woo Bin memeluk Ji Hyeon dengan begitu erat membiarkan Ji Hyeon mencurahkan seluruh tangisnya dalam dadanya.

 

END of flashback…

 

****

 

 

                Woo Bin terduduk di sofa berwarna merah maroon yang berada di ruang tengah. Kembali ia menatap sebuah foto dimana tergambar seorang wanita yang begitu ia rindukan itu di tangannya. Dengan cuaca dan suasana saat ini, cukup membuatnya teringat akan sebuah pertengkaran besar untuk pertama kalinya dengan Ji Hyeon.

 

                Sesak mulai menyeruak dalam benak Woo Bin ketika ia teringat akan pertengkaran yang justru menjadi jembatan perpisahannya dengan Ji Hyeon itu. Bahkan perlahan buliran bening mulai mengalir di mata indah Kim Woo Bin ketika satu per satu kenangan itu terbayang dalam pikirannya.

 

 

 

Flashback 2 years ago…

 

                Belum lama sejak permintaan bodoh Ji Hyeon untuk Woo Bin sekitar 5 bulan yang lalu, Ji Hyeon kembali membahasnya dengan Woo Bin. Seolah Ji Hyeon tidak mengerti bahwa dengan terus mengatakan permintaan bodoh itu hanya akan membuat Woo Bin terluka.

 

                “Sudah ku berulang kali ku katakan padamu bahwa aku tak mungkin menikahi wanita lain,” ucap Woo Bin.

 

                “Oppa, tak bisakah kau mengerti keadaanku saat ini?” tanya Ji Hyeon.

 

                “Justru kau lah yang harus mengerti keadaanku saat ini,” ucap Woo Bin dengan nada sedikit meninggi.

 

                Tak dapat di pungkiri bahwa Woo Bin mulai kesal dan jengah. Bukan kesal karena Ji Hyeon yang seolah tak mengerti bahwa ia tak bisa menikahi wanita lain, tetapi Woo Bin kesal karena permintaan bodoh yang tak akan mungkin ia sanggupi itu.

 

                “Aku ingin bercerai,” ucap Ji Hyeon tiba-tiba.

 

                “MWO[18]? APA YANG BARU SAJA KAU KATAKAN?” tanya Woo Bin.

 

                “AKU INGIN BERCERAI!!!” teriak Ji Hyeon.

 

                “ Mwo? Apa kau pikir aku menikahimu hanya untuk menceraikanmu seperti ini?” tanya Woo Bin.

 

                “Jika kau tidak ingin bercerai denganku, maka penuhi permintaanku untuk mencari wanita lain dan mempunyai anak darinya,” jawab Ji Hyeon.

 

                “Shirheo[19]!” ucapWoo Bin.

 

                Ji Hyeon terdiam. Ia tak sanggup menahan sesak yang terus menyeruak dalam batinnya itu.

 

                “Berhenti meminta hal yang bodoh seperti itu,” ucap Woo Bin lirih.

 

                Woo Bin menggenggam kedua bahu Ji Hyeon dengan maksud untuk memeluk Ji Hyeon. Namun Ji Hyeon justru menepis tangan Woo Bin. (http://www.twitter.com/JH_Nimm)

 

                “Jebal[20]…” ucap Ji Hyeon.

 

                “Shirheo!” jawab Woo Bin.

 

                “Apa kau pikir aku baik-baik saja seperti ini?” tanya Ji Hyeon.

 

                Woo Bin hanya menatap Ji Hyeon.

 

                “Setiap hari aku merasa tersiksa. Aku tersiksa karena melihatmu, suamiku, bahkan tak dapat ku bahagiakan lebih karena aku tak bisa memberikan seorang anak. Aku juga takut. Aku bukan hanya takut bahwa kau akan begitu kecewa padaku, tetapi keluargamu juga. Aku yakin, bukan hanya keluargaku tetapi pasti keluargamu menginginkan seorang cucu,” jelas Ji Hyeon.

 

                “Ji Hyeon-a…”

 

                “AKU BENAR-BENAR TIDAK BISA PUNYA ANAK!!!” ucap Ji Hyeon.

 

                DEG!

 

                Seolah saat itu juga jantung Woo Bin berhenti berdetak. Terpukul. Jelas.

 

                “Ji Hyeon-a… aku…”

 

                Woo Bin kali ini bahkan kesulitan untuk mengatakan sepatah katapun untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya saat ini ia rasakan. Melihat reaksi Woo Bin, Ji Hyeon pun meninggalkan Woo Bin dan keluardari rumah.

 

                “Ji Hyeon-a, jamkkanman[21]. Kajima[22]…” pinta Woo Bin.

 

                Namun Ji Hyeon tak berniat untuk menghiraukan Woo Bin dan tetap pergi.

 

END of flashback…

****

 

 

                Semakin Woo Bin teringat dengan pertengkarannya dengan Ji Hyeon, semakin sesak menyeruak dalam dadanya. Bahkan bukan hanya rasa sesak yang kini menyelimuti batinnya, tetapi juga perasaan bersalah dan kerinduan terhadap Ji Hyeon yang membuat perasaannya semakin memburuk.

 

                “Mianhae… Bogoshipeo[23]…” hanya itu kata-kata yang sanggup Woo Bin ucapkan di sela-sela tangisnya.

 

                Jika saja Woo Bin bisa meminta sebuah hal besar pada Tuhan, maka yang akan Woo Bin minta tak akan lebih dari mengembalikan Ji Hyeon ke sisinya. Bahkan jikapun selamanya ia tak memiliki anak, Woo Bin akan rela jikapun hanya hidup berdua dengan Ji Hyeon. Asalkan itu Ji Hyeon, maka Woo Bin tak akan membutuhkan hal lain lagi di dunia ini. Ia hanya menginginkan Ji Hyeon.

 

 

Flashback 1.5 years ago…

 

                Sudah 6 bulan semenjak pertengkaran hebat Woo Bin dengan Ji Hyeon. Namun sayangnya belum menunjukkan tanda-tanda bahwa Ji Hyeon akan kembali, meskipun berkali-kali Woo Bin datang ke rumah Ji Hyeon dan berkali-kali juga keluarga Ji Hyeon tidak mengizinkan Woo Bin untuk menemui Ji Hyeon. Tetapi meskipun begitu, Woo Bin sungguh tak berniat untuk menceraikan Ji Hyeon. Bahkan Woo Bin pun tak berniat untuk memenuhi permintaan bodoh Ji Hyeon itu.

 

                Hingga pada suatu hari, ketika Woo Bin baru saja pulang dari kantor dan hendak membuka pintu rumahnya, seseorang justru datang.

 

                “Nuguseyo[24]?” tanya Woo Bin ketika melihat seorang pria yang sekiranya seumuran dengannya itu datang.

 

                “Lee Jong Suk imnida[25],” jawab pria itu. “Aku kemari untuk mencari Kim Woo Bin,”

 

                Woo Bin pun membawa pria bernama Lee Jong Suk itu masuk ke dalam rumahnya untuk berbincang di ruang tamu. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

                “Wae?” tanya Woo Bin.

 

                “Ada yang ingin ku jelaskan tentang Ji Hyeon,” jawab Jong Suk.

 

                Begitu banyak pertanyaan muncul dalam benak Woo Bin. Tak luput juga kekhawatiran turut menyeruak dalam benaknya. Ia khawatir jika saja pria itu adalah suami baru Ji Hyeon. Ia juga khawatir bahwa mungkin saja Jong Suk datang padanya hanya untuk meminta berkas perceraian darinya.

 

                “Ji Hyeon? Wae?” tanya Woo Bin.

 

                “Sebenarnya sudah lama Ji Hyeon menyembunyikan hal ini darimu. Bahkan sejak sebelum kalian menikah,” jawab Jong Suk.

 

                Woo Bin semakin khawatir dengan apa yang akan di katakan oleh pria bernama Jong Suk itu.

 

                “Aku sudah memikirkannya sejak lama juga dan aku pikir tidak ada salahnya untuk memberitahukanmu semuanya sebelum terlambat,” ucap Jong Suk.

 

                Mendengar setiap ucapan Jong Suk, kekhawatiran semakin menyeruak dalam benak Woo Bin. Bukan karena hubungan Ji Hyeon dengan Jong Suk lagi, melainkan ketakutan bahwa terjadi sesuatu pada Ji Hyeon.

 

                “Apa ini ada hubungannya dengan Ji Hyeon yang tidak bisa hamil?” tanya Woo Bin.

 

                “Bukan hanya itu, tapi lebih dari itu,” jawab Jong Suk.

 

                Woo Bin mulai mengantisipasi hal-hal yang akan dibicarakan Jong Suk.

 

                “Sebenarnya aku adalah dokter pribadi Ji Hyeon, selain Jung Euisa Seonsaengnim dan Park Euisa Seonsaengnim. Sejak tahun pertama di sekolah menengah, Ji Hyeon di diagnosa menghidap kanker darah. Namun penyakit Ji Hyeon itu baru mulai dengan ganas menyerang Ji Hyeon beberapa bulan sebelum menikah denganmu,” jelas Jong Suk.

 

                “Tapi Ji Hyeon terlihat baik-baik saja,” ucap Woo Bin.

 

                “Itu karena Ji Hyeon sengaja menyembunyikannya darimu. Sebenarnya setelah menikah denganmu, Ji Hyeon bukan hanya pergi ke Park Euisa Seonsaengnim untuk memeriksakan mengenai apakah ia bisa mengandung atau tidak. Tetapi Ji Hyeon juga datang padaku dan Jung Euisa Seonsaengnim untuk memeriksakan penyakitnya. Karena penyakitnya semakin parah, kami terpaksa memberikan Ji Hyeon obat yang akan mencegahnya untuk hamil,” jelas Jong Suk.

 

                “Maldo andwae[26]…” Woo Bin tak percaya dengan apa yang baru saja Jong Suk jelaskan.

 

                “Beberapa bulan terakhir ini mungkin Ji Hyeon terlihat sedikit berbeda bahkan Ji Hyeon juga meminta hal yang tak mungkin dapat kau lakukan, bukan?” tanya Jong Suk.

 

                “Geurae[27]…” jawab Woo Bin.

 

                “Itu karena terakhir kali Ji Hyeon memeriksakan penyakitnya, kami harus menemukan fakta bahwa penyakit Ji Hyeon semakin parah,” jelas Jong Suk.

 

               Woo Bin terdiam. Ia sungguh berharap bahwa saat ini ia sedang bermimpi. Dimana ketika ia terbangun kembali, Ji Hyeon akan baik-baik saja dan tetap menjadi istrinya.

 

                “Dan saat ini Ji Hyeon sedang di rawat di rumah sakit,” ucap Jong Suk.

 

                “Rumah sakit? Apa separah itu?” tanya Woo Bin yang masih juga tak bisa menerima kenyataan.

 

                “Joesonghamnida[28]…” hanya itu jawaban yang sanggup Jong Suk berikan sebagai perwakilan dari penjelasan yang akan Woo Bin mengerti tanpa harus Jong Suk jelaskan lebih lanjut.

 

                Selama beberapa jam setelah Jong Suk pergi, Woo Bin masih berdiam di rumahnya. Ia mencoba untuk menumpahkan seluruh kesesakan dalam batinnya sebelum ia menemui Ji Hyeon. Ia juga mencoba mempersiapkan diri untuk melihat Ji Hyeon dalam keadaan seperti yang Jong Suk jelaskan. (http://www.twitter.com/JH_Nimm)

 

                Woo Bin pun mulai beranjak dari duduknya dan segera mengambil kunci mobilnya untuk berangkat ke rumah sakit tempat Ji Hyeon di rawat. Ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit, Woo Bin berharap bahwa yang ia temukan di rumah sakit bukanlah Ji Hyeon wanitanya. Woo Bin berharap bahwa itu bukanlah Ji Hyeon yang begitu ia sayangi.

 

                Sesampainya di rumah sakit, langkah Woo Bin terasa berat. Terlebih lagi ketika ia berjalan menuju ke ruangan tempat Ji Hyeon di rawat, seolah ia berjalan menuju sebuah tempat yang sebenarnya bukan keinginanya. Seiring dengan langkah kakinya, Woo Bin memanjatkan harapan bahwa Ji Hyeon ada di rumah sakit ini hanya untuk memberikannya kejutan bahwa ia akan melahirkan anak pertama mereka.

 

                “Woo Bin-sshi…” ucap Jong Suk yang baru saja keluardari ruangan tempat Ji Hyeon di rawat itu.

 

                Woo Bin tak menjawab. Ia hanya menatap pintu berwarna putih dengan jendela kecil di tengahnya itu. Kembali ia berharap bahwa yang berada di dalam ruangan itu bukanlah Ji Hyeon.

 

                “Saat ini Ji Hyeon masih belum juga sadarkan diri,” ucap Jong Suk.

 

                Woo Bin masih tak hendak untuk menjawab.

 

                “Tetaplah berada di sampingnya dan menemaninya,” ucap Jong Suk seraya menepuk bahu Woo Bin.

 

                Mendengar ucapan Jong Suk, Woo Bin hanya menatap Jong Suk. Tentu Jong Suk mengerti benar tatapan Woo Bin yang memintanya untuk berusaha menyembuhkan Ji Hyeon bagaimanapun caranya.

 

                Dengan langkah yang terasa berat, Woo Bin pun memasuki ruangan bernomor 277 itu. Di tatapnya seseorang yang terbaring lemah dengan beberapa peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Kembali harapan bahwa yang tengah terbaring di sana bukanlah Ji Hyeon menyeruak dalam batin Woo Bin. Namun semakin mendekat, Woo Bin justru harus menerima kenyataan bahwa yang benar-benar sedang terbaring di sana adalah Ji Hyeon.

 

                “Ji Hyeon-a…”

 

                Woo Bin tak kuasa lagi menahan buliran bening yang sejak lama ia puaskan hanya menjadi kaca-kaca dimatanya itu. Di genggamnya dengan hangat tangan Ji Hyeon yang terasa dingin itu. Dan di tatapnya wajah Ji Hyeon yang selalu tersenyum ceria itu justru kini tampak begitu pucat.

 

                “Wae? Kenapa kau tidak memberitahukannya padaku?” tanya Woo Bin.

 

                Woo Bin sadar sepenuhnya bahwa Ji Hyeon tak mungkin akan menjawabnya dalam kondisi koma seperti ini.

 

                “Apa kau takut aku akan memarahimu, hmm?” tanya Woo Bin lagi.

 

                Tangan Woo Bin terarah untuk membelai wajah Ji Hyeon. Begitu besar kerinduan Woo Bin terhadap Ji Hyeon, namun sayangnya Woo Bin justru harus bertemu dengan Ji Hyeon dalam keadaan pucat tak berseri seperti ini.

 

                “Aku memang marah padamu. Aku marah padamu karena kau tak memberitahuku sejak awal. Jika saja kau memberitahuku sejak awal, mungkin semuanya tak akan seperti ini. Bahkan mungkin saat ini kau bukan sedang terbaring lemah di rumah sakit seperti ini. Tapi kau sedang terbaring di sampingku dan tersenyum kepadaku,” ucap Woo Bin.

****

 

 

2 months later…

 

                Setiap hari Woo Bin selalu menemani Ji Hyeon di rumah sakit, meskipun ia tak tahu kapan Ji Hyeon akan terbangun dari tidur panjangnya itu. Bahkan Woo Bin tak akan pernah mau pulang ke rumah untuk makan dan mengganti pakaian, jika saja keluarganya dan keluarga Ji Hyeon tak membujuknya. Karena Woo Bin meinginginkan bahwa yang pertama kali Ji Hyeon lihat ketika Ji Hyeon tersadar adalah dirinya.

 

                Begitupun hari ini, Woo Bin masih dengan setia menemani Ji Hyeon yang masih belum sadarkan diri itu. Dengan hangat Woo Bin menggenggam tangan Ji Hyeon yang terasa dingin.

 

                “Ji Hyeon-a…” ucap Woo Bin ketika merasa tangan Ji Hyeon bergerak. “Kau sudah sadar?”

 

                Sebuah harapan besar bahwa Ji Hyeon akan segera tersadar dan sembuh. Woo Bin pun memencet tombol darurat agar dokter segera datang untuk memeriksakan keadaan Ji Hyeon.

 

                “Woo Bin-sshi…” ucap Jong Suk ketika datang ke ruang perawatan Ji Hyeon setelah mendapat kabar darurat dari ruangan Ji Hyeon itu.

 

                “Tangan Ji Hyeon sempat bergerak,” ucap Woo Bin.

 

                “Aku akan memeriksanya,” ucap Jong Suk seraya mendekat pada Ji Hyeon.

 

                Jong Suk pun memeriksa keadaan Ji Hyeon. Sesekali matanya memperhatikan monitor yang menunjukkan frekuensi detak jantung dan nafas Ji Hyeon. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

                “Bagaimana? Ji Hyeon akan sadar?” tanya Woo Bin.

 

                Belum sempat Jong Suk menjawab, salah satu garis frekuensi yang awalnya berbentuk gelombang yang naik dan turun itu justru membentuk sebuah garis lurus.

 

                “Wae? Waeyo[29]?” Woo Bin mulai khawatir karena Jong Suk tidak juga menjawabnya.

 

                “Woo Bin-sshi, Ji Hyeon…”

 

                Kali ini pun, belum sempat Jong Suk menjelaskannya pada Woo Bin, dua garis lain yang awalnya membentuk gelombang naik dan turun itu juga sama-sama membentuk sebuah garis lurus.

 

                “Ji Hyeon-a…”

 

                Woo Bin segera menghampiri Ji Hyeon ketika menyadari sesuatu telah terjadi.

 

                “Joesonghamnida, Woo Bin-sshi…” ucap Jong Suk.

 

                Namun Woo Bin sama sekali tak menghiraukan Jong Suk. Ia menatap Ji Hyeon yang sudah tak bernyawa lagi itu.

 

                “Ji Hyeon-a, ireona[30]… ppali ireona[31]…” ucap Woo Bin seraya memeluk tubuh Ji Hyeon.

 

                Buliran bening yang hampir mengering itu kini kembali membasahi wajah tampan Woo Bin.

 

                “Ppali ireona… jebal… Ji Hyeon-a…”

 

                Jong Suk pun mencoba menenangkan Woo Bin. Sayangnya Woo Bin bahkan tak menggubris keberadaan Jong Suk dan keluarganya juga keluarga Ji Hyeon yang baru saja datang itu.

 

                “Ppali ireona. Buka matamu dan bangunlah. Tersenyumlah seperti biasa. Jangan membuatku terus ketakutan seperti ini. Jebal…” ucap Woo Bin.

 

                Sekuat apapun Woo Bin meminta Ji Hyeon untuk kembali terbangun, namun Ji Hyeon tak akan lagi bisa berada di sampingnya.

 

END of flashback…

****

 

 

                Dengan pakaian yang sangat rapi, membuat seorang Kim Woo Bin semakin terlihat tampan. Bahkan dengan se-bucket bunga lily di tangannya membuat Woo Bin semakin bercahaya. Namun sayangnya, dengan pakaian rapi dan se-bucket bunga lily itu, Woo Bin bukan bermaksud untuk datang ke sebuah pertemuan ataupun untuk melamar seorang wanita. Tetapi ia datang ke sebuah gundukan tanah dengan sebuah batu nisan bertuliskan nama seorang gadis yang begitu ia cintai, Ji Hyeon.

 

                Sesampainya di pemakaman, Woo Bin meletakkan se-bucket bunga lily itu di atas batu nisan makam Ji Hyeon. sesungging senyuman terlukis di wajah tampannya, walaupun sejatinya batinnya menangis dengan hebat.

 

                “Lihatlah! Aku sangat tampan, bukan?” tanya Woo Bin.

 

                Woo Bin pun membelai batu nisan Ji Hyeon. Seiring dengan tangannya yang menyentuh batu nisan itu, saat itu juga air mata dengan begitu bebas kembali mengalir di mata Woo Bin.

 

                “Ji Hyeon-a, dulu aku bisa dengan bebas membelai rambutmu yang berwarna kecokelatan itu. Aku sangat senang ketika kau mengurai rambutmu. Karena kau begitu cantik ketika rambutmu terurai. Tapi sekarang aku hanya bisa membelai sebuah batu nisan yang bertuliskan namamu. Saat itu juga setiap kita bertemu, aku akan membawakanmu bunga lily. Ketika itu, kau menerima bunga itu dariku dengan tanganmu dan kemudian memelukku dengan erat. Namun saat ini, aku hanya bisa meletakkan bunga kesukaanmu ini di atas sebuah tempat yang membuat kita terpisah seperti ini,”

 

                “Aku bahkan tak sempat memelukmu dan melihat senyumanmu untuk terakhir kalinya,”

 

                Setelah puas menyatakan kerinduannya, Woo Bin pun mengambil secarik kertas dari sakunya. Secarik kertas yang hampir usang dan robek. Secarik kertas yang merupakan surat terakhir dari Ji Hyeon untuknya. Kembali Woo Bin pun membaca kata demi kata dari surat itu, meskipun Woo Bin sadar benar bahwa hanya dengan membacanya kembali hanya akan membuat sesak dalam benaknya semakin menyeruak. (http://jh-nimm.blogspot.com)

 

 

Untuk: Nae yeongwonhan sarang, Woo Bin

 

Harus ku sadari pada akhirnya bahwa tidak seharusnya kita bertemu.

Karena kita dipertemukan, tak dapat di pungkiri bahwa memang ada sebuah perpisahan yang akan mengiringinya. Entah kapanpun itu.

Seandainya saja jika kita tidak saling bertemu, mungkin aku tidak akan jatuh cinta padamu dan kau juga tidak akan mencintaiku.

Benar tidak?

 

Memang salahku. Seharusnya aku tidak jatuh cinta padamu.

Tidak seharusnya juga aku menerima lamaranmu saat itu.

Dan seharusnya juga ku jelaskan lebih awal tentang hal ini.

Tapi ketika akan ku jelaskan semuanya, lidahku justru kelu.

Terlebih ketika berkali-kali kau mengatakan, “menikahlah denganku,”.

Sungguh itu adalah sebuah kalimat yang tak pernah ku bayangkan.

Tetapi rupanya aku menerimamu dan kita menikah.

 

Harus kau tahu bahwa aku begitu bahagia bisa menikah denganmu.

Sebuah kebahagiaan yang teramat besar bagiku bisa menjadi pendamping hidupmu.

Meskipun ku sadari tidak akan selamanya aku bersamamu.

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK