Sehun baru saja sampai di apartementnya. Ia masuk begitu saja tanpa memberi salam seperti biasanya. Melenggang masuk seperti tak merasa bahwa ada seorang gadis yang selalu setia menunggunya pulang.
“Darimana saja kau? Kau meninggalkan Hyebin begitu saja di Mall tanpa merasa bersalah.” Terdengar suara seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di ruang tamu bersama Hyebin. Sebenarnya Sehun sedikit terkejut mendengar suara wanita itu, tapi ia mencoba berpura-pura tenang.
“Bukan urusanmu.” Jawab Sehun dan berlalu begitu saja. Sehun masuk ke dapur untuk mengambil minum. Tanpa ia sadari wanita paruh baya itu mengikutinya. Wanita itu kemudian berdiri sambil bersandar pada tembok dapur dengan tangan yang ia lipat didada.
“Kau masih saja pembangkang dan bersikap semaumu. Ku pikir setelah kau bebas dari rumah dan hidup bersama tunanganmu, sifat keras kepalamu akan berubah, ternyata tidak sama sekali. Tapi tak apa, aku bersyukur setidaknya kau masih disini dan tidak kabur ke jalanan.” Ujar wanita paruh baya itu. Hyebin hanya menunggu di ruang tengah, ia lebih memilih diam dan tak mau ikut campur.
“Sebenarnya apa maumu? Cepat katakan dan kemudian pergilah.” Jawab Sehun yang masih memegang gelas berisi air putih di tangannya.
“Abeojimu barusaja memenangkan sebuah tender besar di Jepang, ia akan mengadakan sebuah makan malam keluarga untuk merayakannya. Kau dan Hyebin wajib datang karena kelurga besar Hyebin juga kami undang, sekaligus untuk membicarakan tentang pernikahan kalian berdua.” Wanita paruh baya itu tersenyum sekilas melihat raut muka Sehun yang begitu dingin menatapnya.
“Sudah ku katakan aku tak mau menikah sebelum kami lulus kuliah.” Sehun meletakan gelas yang ia genggam dengan kasar.
“Kalian sudah dua tahun bertunangan, apalagi yang mau kalian tunggu? Aku sudah mengatakan ini pada Hyebin dan ia menyetujuinya. Kau bisa mengambil alih perusahaan Abeojimu yang berada di Busan jika kau sudah menikah nanti.” Jelas wanita paruh baya itu. Ia lalu kembali ke ruang tamu dan meraih tas hitam miliknya.
“Eomma pergi dulu. Masih banyak hal yang harus Eomma persiapkan untuk acara besok malam. Bersiaplah. Kalian berdua harus mulai memikirkan masa depan, jangan habiskan waktu untuk bersenang-senaang jika kalian tak ingin menyesal nantinya.” Wanita paruh baya yang menyebut dirinya Eomma itu kemudian pergi meninggalkan Sehun dan Hyebin di apartementnya.
Suasana terasa begitu canggung antara Sehun dan Hyebin. Keduanya hanya membisu, terlebih Hyebin, ia tak bisa memulai perbincangan terlebih dulu. Takut salah bicara batinnya. Tapi semakin lama semakin banyak pula pertanyaan yang muncul di dalam kepalanya. Rasanya akan meledak jika ia tak mengungkapkannya. Bertanya sedikit tak masalah mungkin.
Hyebin mulai dengan mendekati Sehun yang tengah duduk di ujung tempat tidurnya. Ia duduk di samping Sehun yang sedari tadi membisu setelah kedatangan Eommanya, entah apa yang tengah ia pikirkan sekarang. Raut muka Sehun yang memerah seperti menahan amarah.
“ehm, Sehunnie..” Hyebin mulai berani membuka mulutnya untuk memecah kebekuan diantara mereka. Tapi Sehun tak menjawab.
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?” Lanjut Hyebin yang masih saja tak dihiraukan oleh Sehun. Sehun masih diam dan menatap kosong pada jendela kamarnya yang tertutup tirai coklat muda.
“Sejak awal kita dijodohkan aku selalu bertanya dalam hatiku mengapa sikapmu terlihat begitu dingin kepada Eomma dan keluargamu? Bukankah ia adalah ibu kandungmu sendiri? Keluargamu.” Tanya Hyebin perlahan.
“Maaf jika aku lancang.” Lanjutnya menyesal bertanya seperti itu pada Sehun.
“Masihkah pantas aku memanggil wanita itu dengan sebutan Eomma? Setelah apa yang telah ia dan keluargaku perbuat padaku yang mereka sebut anak?” Sehun menerawang ke luar jendela kamarnya.
“Ketika aku berumur sebelas tahun perusahaan Abeojiku hampir saja bangkrut. Saat itu Sekyung hyung berumur tiga belas tahun sakit-sakitan dan membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk perawatannya. Wanita itu hanya memikirkan Sekyung hingga ia mengabaikanku sebagai anak bungsunya.” Sehun mulai bercerita dengan nada suara yang begitu berat.
“Suatu hari karena terlalu stress memikirkan banyaknya permasalahan yang ia hadapi, ia kabur entah kemana. Ia pergi meninggalkanku dan Sekyung. Abeoji kewalahan mengurus kami berdua dan juga perusahaannya yang berantakan, dia kemudian mengirim Sekyung ke Jepang untuk pengobatan dengan tabungan yang tersisa. Dan aku, dia mengirimku ke asrama di pinggir kota. Asrama yang aku anggap sebagai neraka.
Lalu setelah tiga tahun Sekyung dinyatakan sembuh, dan perusahaan abeoji mulai berkembang lagi, wanita itu kembali tanpa rasa menyesal sedikitpun. Mereka mulai membangun kembali perusahaan yang hampir saja bangkrut itu. Semakin tahun perkembangannya mulai menunjukan kenaikan derastis. Tapi mereka melupakanku.” Mata Sehun berkaca-kaca. Tanpa sadar airmatanya turun begitu saja membasahi pipinya. Tubuhnya semakin bergetar menceritakan kisah yang sebenarnya tak ingin ia ingat itu. Luka lama yang tak pernah bisa ia sembuhkan.
“Setelah aku hampir lulus SMP baru Halmoni menjemputku. Sebelumnya aku tumbuh dilingkungan yang keras, membuatku semakin membenci wanita itu dan keluargaku. Bahkan ketika aku telah kembali tinggal bersama mereka, wanita itu lebih perhatian kepada Sekyung daripada aku. Ia memberikan semua yang Sekyung minta, memperlakukannya seperti pangeran. Apalagi setelah Sekyung masuk universitas dan mulai mengambil alih perusahaan, rasanya setiap kemanapun langkahnya yang ia banggakan hanyalah anak emas itu. Mungkin ia lupa bahwa ia masih memiliki satu putra yang lain yang ia abaikan. Hanya Halmoni alasanku tetap bertahan dirumah itu. Rumah yang bahkan lebih dari neraka bagiku.”
Melihat Sehun menangis menceritakan masa lalunya membuat Hyebin tau betapa sakit yang Sehun rasakan. Ini pertama kalinya ia melihat Sehun menitihkan airmata. Digenggamnya tangan Sehun perlahan, menyandarkan kepala Sehun pada bahunya, mencoba menenangkan tunangannya itu. Kini ia sadar mengapa sikap Sehun begitu dingin, bukan hanya kepadanya, melainkan juga pada keluarganya.
Hyebin tersentak ketika Sehun secara tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya. Ia pikir Sehun akan marah, tapi tidak. Sehun merebahkan tubuhnya dan menempatkan kepalanya di paha Hyebin. Menangis di pangkuan Hyebin. Meski tanpa suara, Hyebin bisa merasakan tangis Sehun dipangkuannya.
Dibelainya lembut kepala Sehun, untuk menenangkannya. Ingin sekali Hyebin mengatakan bahwa Sehun tak perlu khawatir karena Hyebin akan selalu ada disampingnya. Ia tak pernah menyangka bahwa Sehun akan terbuka menceritakan kisah masa lalunya yang begitu menyakitkan. Sehun mungkin sudah terlalu lelah untuk memendamnya sendirian, ia membaginya kepada Hyebin tunangannya. Sedingin apapun batu es ia akan mencair juga.
***
Sehun bangun lebih pagi hari ini. Ia memang selalu bangun pagi di hari sabtu untuk bersepeda. Bahkan terkadang ia pergi ke kampus dengan bersepeda. Awalnya Sehun tak terlalu gemar bersepeda, ia menggunakan sepeda saat awal ia tinggal bersama dengan Hyebin. Sehun menggunakan sepeda sebagai alasan untuk tak pergi semobil bersama Hyebin, namun semakin lama ia mulai menikmati alasannya itu. Bersepeda dipinggir kota. Menikmati ketenangan kota di pagi hari. Menghirup udara yang masih cukup segar karena embun. Cukup bisa menghilangkan stress batin Sehun.
Setelah puas bersepeda Sehun pulang ke apartement. Hyebin telah menantinya dengan mata yang berbinar.
“Aku telah menunggumu. Kajja ganti bajumu lalu kita pergi. Setengah jam lagi sopir Abeoji akan menjemput kita.” Ujar Hyebin sambil memberikan jas abu-abu kepada Sehun. Sehun hanya melirik jas abu-abu itu lalu mengambilnya dari tangan Hyebin.
Sehun dan Hyebin sampai di salah satu hotel bintang empat terkemuka di Seoul. Sehun terlihat gagah mengenakan jas berwarna abu-abu yang telah disiapkan oleh Hyebin tadi siang. Hyebin sendiri datang mengenakan mini dress berwarna merah jambu yang ia beli tempo hari bersama Sehun. Membuat sepasang tunangan itu terlihat begitu serasi berjalan berdampingan. Tampan dan cantik. Sama-sama memiliki kulit yang berwarna putih pucat dan tinggi semampai. Tak heran jika banyak yang iri dengan pasangan muda ini. Meski tak ada yang tahu bahwa terkadang mereka saling bersikap dingin satu sama lain.
Keduanya kemudian melenggang ke tempat acara. Bukan suatu hal yang jarang dilakukan oleh ayah Sehun untuk mengadakan jamuan besar di hotel. Ini adalah salah satu hotel miliknya. Walau hanya sebuah makan malam keluarga.
Hyebin tersenyum manis dan membungkuk untuk memberi salam kepada seorang pria paruh baya yang bertubuh tinggi yang tengah berdiri bersama seorang lelaki yang lebih muda disamping kirinya. Kedua pria itu membalas salam Hyebin dengan ramah. Namun tidak dengan Sehun, ia lebih memilih untuk melewati kedua pria itu.
“Lihatlah anak itu, bahkan ia tak memberikan hormat kepada ayah dan kakaknya yang dengan jelas berdiri didepannya.” Ujar pria paruh baya itu. Hyebin hanya membalas dengan senyum. Jika mengingat apa yang telah Sehun ceritakan kemarin, wajar saja jika Sehun begitu benci dengan keluarganya. Dan bersikap tak sopan terhadap mereka.
Makan malam dimulai ketika keluarga besar keduanya telah berkumpul. Orang tua Hyebin datang bersama kakak pertama Hyebin. Hyebin adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Hyebin memiliki kakak laki-laki dan perempuan. Keduanya telah menikah dan sama-sama telah memiliki seorang anak. Sebagai anak terakhir, wajar jika Hyebin begitu disayang dan dimanja oleh keluarganya. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang Sehun rasakan di keluarganya.
“Jadi kapan pernikahan Oh Se Hun dan Hyun Hye Bin akan diselenggarakan? Ini sudah terlalu lama setelah pertunangan. Segera nikahkan saja mereka. Ku rasa mereka memang sudah saatnya untuk melangkah ke jenjang selanjutnya.” Ayah Sehun memulai perbincangan di meja makan besar itu. Sehun dan Hyebin yang duduk berdampingan hanya diam.
“Ku pikir kita akan menunggu mereka lulus kuliah dulu.” Jawab ibu Hyebin.
“ah, itu terlalu lama. Mereka sudah setahun tinggal bersama dan sejauh ini tak ada masalah yang berarti bukan. Mereka juga terlihat begitu serasi. Aku tak sabar ingin segera berbesanan dengan keluarga Hyun, bukankah begitu suamiku?” Sahut ibu Sehun.
“Kenapa kalian berdua harus selalu mengurusi hidupku? Kenapa kalian tidak mengurusi anak emas kalian itu saja, agar ia tak terlalu lama bermain dengan gadis-gadis liar dijalanan.” Sehun melirik tajam ke arah pria yang duduk disamping ibunya. Siapa lagi kalau bukan Oh Se Kyung kakak lelakinya.
“Berhenti berkata tidak sopan Oh Se Hun! Jaga ucapanmu pada Hyungmu. Apa kau tak malu ada keluarga calon mertuamu disini?” Bentak ayah Sehun. Sedangkan Sekyung hanya bisa tertunduk dengan apa yang diucapkan oleh adik lelakinya itu. Sekyung tak pernah bisa melawan Sehun sejak kecil. Ia seolah merasa bersalah kepada adiknya itu.
“Seperti itu kah anak emas yang selalu kalian banggakan selama ini? Yang selalu kau promosikan sebagai anakmu yang jenius dan selalu menuruti perkataan kalian? Bahkan ia tak lebih baik dari seorang berandalan ketika dibelakang kalian.” Sehun tak memperdulikan dengan siapa ia berbicara saat ini. Ia hanya sudah terlalu muak dengan kakaknya itu. Yang selalu kedua orang tuanya banggakan. Yang membuatnya kehilangan kasih sayang masa kecilnya.
“KAU!” Ayah Sehun naik pitam. Ia tak menyangka bahwa anak bungsunya akan sekurang ajar ini bahkan didepan calon mertuanya sendiri.
“Nikahkan saja anak emasmu itu dulu, baru aku. Aku bisa menikah kapan saja bersama Hyebin jika aku mau.” Sehun semakin membuat ayahnya emosi. Hyebin yang berada disamping Sehun meraih tangan Sehun. Mengisyaratkan untuk Sehun menyudahi kalimatnya. Hyebin tak mau keluarganya memandang buruk pada sikap Sehun yang tak hormat kepada orang tua dan kakaknya.