home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Severely

Severely

Share:
Author : n_ssss
Published : 12 Dec 2013, Updated : 12 Dec 2013
Cast : Lee Joon - Jessica (OC)
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |1280 Views |0 Loves
Severely
CHAPTER 1 : Joon...

Aku hanya dapat memandang kosong sebuah foto berfigura dihadapanku. Apa yang dapat aku lakukan selain ini? Menangis? Sudah terlalu banyak air mata yang aku buang sejak kemarin. Apakah kalian sudah bisa menebak apa yang kutangisi sejak kemarin? Pasti kalian berpikir aku menangisi sesuatu hal yang bodoh seperti, kekasih. Tidak, aku tidak sedang menangisi seorang lelaki yang meninggalkanku karena dia memutuskanku. Ingin tau apa yang aku tangisi sejak kemarin siang? Ya, seorang lelaki. Tetapi dia sama sekali bukan kekasihku atau orang yang aku suka. Dia lelaki yang paling aku sayangi setelah ayah. Dia kakakku, Joon.

 

Dia meninggalkan aku dan semuanya untuk selamanya. Padahal seminggu yang lalu ia baru aja berkata bahwa dia akan menemaniku berjalan-jalan ke Lotte World hari Sabtu ini. Tetapi takdir berkata lain. Kadang sesuatu yang kita rencanakan, tidak dapat terlaksana dengan lancar. Dia meninggal di umur yang masih sangat belia, 18 tahun.

 

Seoul, 16 Juni 2011

“Jessy, tolong belikan Ayah koran di tempat biasa. Peloper koran hari ini tidak datang. Ini uangnya” kata Ayah sambil memberi aku seribu won. “Baiklah” ucapku sambil beranjak pergi keluar rumah.

 

“Lalalala...” melangkahkan kakiku dan bersenandung di pagi hari memang sangat menyenangkan. Semenjak kepergian kakak dua hari yang lalu, aku sudah terlalu sering mengurung diriku di kamar dan mengeluarkan banyak air mata. “Jessica! Tunggu aku!” teriak seseorang di belakangku. Sepertinya aku mengenal suara ini. Ini seperti suara......... Kak Joon!

 

Aku menoleh ke belakang dan benar saja, dia Kak Joon. Aku kaget, mengapa dia masih hidup? Bukankan dia sudah meninggal 2 hari yang lalu? Apakah dia arwah Kak Joon? Aku sedikit melirik kearah kakinya. Telapak kakinya menyentuh tanah. “Hey, kau kenapa melihatku seperti itu? Menakutkan saja” tanyanya sambil melambaikan tangan kanannya di hadapanku. “Ah, tidak aku hanya bingung saja, tadi kan kau sedang di rumah dan sekarang kau sudah ada disini” jawabku berbohong. Dosakah aku berbohong dalam keadaan seperti ini?

“Hahaha... Kau mau kemana?”

“Membelikan Ayah koran, hari ini peloper koran tidak datang” aku dan Kak Joon melanjutkan perjalanan ke ujung blok, dimana ada penjual majalah dan koran.

“Bagaimana kalau habis ini kita sarapan ramen di warung ramen dekat situ?”

“Kak, Mama sudah membuat sarapan untuk kita di rumah, kita bisa dimarahi jika tidak sarapan di rumah”

“Sudahlah, aku yang tanggung jawab”

“Terima kasih..” ucapku pada tukang majalah setelah aku membeli korannya. Aku berbalik badan dan menemukan seseorang sudah berdiri menungguku. Aku baru ingat, beberapa hari sebelum Kak Joon meninggal, dia menemaniku membelikan koran untuk Papa. Sehabis itu kami pergi ke warung ramen. Aku melihat tanggal pada koran yang baru saja aku beli, “16 Juni..??” gumamku dalam hati. Ini tanggal dimana 4 hari sebelum kak Joon meninggal. Aku sedikit melirik kearah Kak Joon yang sedang menunggu di seberang jalan.

 

Aku berlari menyebrang jalanan. “Hey, mengapa lama sekali?” tanya Kak Joon. “Maaf, tadi aku mencari koran yang biasanya Ayah beli” jawbku sekenanya.

 “Memang ada berapa koran di negara ini? 100?”

“Tidak, banyak sekali..”

“Jadi mengapa tadi kau sangat lama?”

“Lupakan itu”

Kami melanjutkan perjalanan ke rumah. “Jadi tidak makan ramen?” tawarnya. “Iya, ayo!” aku menarik tangan kak Joon dan langsung berlari menuju warung ramen. Tangannya terasa sangat dingin, aku tak tahu apa arti dari semua ini.

Kami sampai di warung ramen dan kak Joon langsung memesan makanan, “Bu, ramen dua dan ocha satu teko”. Aku senang sekali melihat kak Joon tersenyum. Dia selalu memamerkan mata sipit dan bibir tipisnya jika tersenyum. Sangat tampan. Aku tidak mau kehilangan orang seperti dia. “Ya! Kau sedang melihat apa? Malaikat?” katanya sambil melambaikan tangannya di depan  mukaku. “Ah, tidak. Nanti kalau minum ocha jangan lebih dari 3 gelas ya” ucapku. “Memang kenapa? Gelas ocha itu kan sangat kecil” bantahnya. Aku ingat beberapa hari yang lalu saat pergi ke warung ramen ini, ia minum kurang-lebih 4 gelas ocha. Namun, saat gelas ke-4 dia memuntahkan seluruh isi perutnya. Tidak tau karena apa. “Hey, kau melamun lagi? Makanlah..” bayanganku buyar akibatnya. Dia menyodorkan sebuah ramen berukuran besar.

 

Selesai makan, ia meminum ocha. Ini gelas ke-3nya. “Sudah cukup tiga gelas” aku menarik gelas ochanya.  “Apa yang terjadi jika aku meminum ocha sehabis tiga gelas?” tanyanya. Apa yang harus aku jawab? Haruskah aku jujur?, gerutuku dalam hati. “Tidak ada. Ayo, kita pulang sajaaa” aku menarik lengan kak Joon.

 

 

Seoul, 17 Juni 2011

“Jessica, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan ke Lotte Mall? Besok kan libur!” ajak Tiffany dengan wajah sumringahnya. “Maaf, aku tidak bisa. Aku harus membantu ibu di pasar” aku menolak dengan cara sopan. Ya, aku bukanlah anak konglomerat atau direktur sebuah perusahaan besar. Ayahku pekerja kantoran biasa dan ibuku hanya penjual ikan di pasar. Aku dan kak Joon bisa menuntut ilmu di sekolah yang terbilang lumayan bagus ini karena kami memiliki kecerdasan yang lumayan bagus dan mendapatkan beasiswa.

 

Aku menyusuri jalan raya Seoul. Untuk sampai di pasar dimana Ibu berjualan, aku harus turun di 2 halte subway dan melanjutkannya dengan berjalan kaki. Sekitar satu kilometer lagi aku akan sampai di pasar. Aku mempercepat langkah kakiku. Dan tak sampai lima belas menit, aku sampai di pasar. “Aku datang, Bu..” kataku sambil memeluk Ibu yang sedang membereskan ikan-ikan sisa. Biasanya ikan-ikan ini Ibu bawa pulang dan menjualnya lagi di depan rumah.

“Anakku...” kata Ibuku sambil memelukku. “Tolong bantu Ibu bereskan semua ini, lalu kita pulang. Lebih cepat membereskannya, lebih cepat kita sampai di rumah” lanjutnya. Aku mulai memasukkan ikan-ikan sisa ke dalam karung. Aku dan ibuku pulang ke rumah menumpang mobil pick up yang mengarah ke rumah kami. Kami tidak mungkin menaiki subway sambil membawa karung-karung ikan. “Bagaimana? Sudah selesai?” tanya Ibu. “Sudah, Bu. Ayo kita pulang” ajakku. Aku sangat senang jika sudah pulang ke rumah, aku bisa bertemu kak Joon, hehe...

 

Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar kak Joon, “Kak,dimana kau? Apakah dirimu sudah pulang?”. Tidak ada jawaban disana. Apakah dia belum pulang? “BAAAA!!!” dia berteriak tepat di hadapanku. “Itu sama sekali tidak lucu..” kataku datar sambil berjalan menuju kasur kak Joon. “Kau kenapa? Stress? Bagaimana kalau kau kuajak ke tempat dimana kau bisa melepas rasa depresimu” tawarnya. Tempat menghilangkan stress? Mall? Kebun binatang? Itu membutuhkan dana yang banyak. “Dimana itu?” tanyaku berjaga-jaga. “Kau akan tahu nanti malam. Bersiap-siaplah nanti malam jam sepuluh. Jangan sampai ketahuan ayah dan ibu” jelas ka Joon sambil berbisik-bisik. Aku hanya menurut apa yang ia katakan.

 

Kini sudah jam sepuluh malam, ternyata ini diluar rencana. Jam sepuluh kami sudah jalan menuju tempat tujuan. Aku tetap tidak tahu dia akan membawaku kemana.

 

Tak sampai sepuluh menit, kami sampai di tempat tujuan. Ternyata ini adalah tempat battle dance. Aku memang sudah sering mendengar ada tempat seperti ini, tetapi aku baru sekali kesini. “Bagaimana? Apakah kira-kira ini bisa membuat stressmu hilang??” tanya kak Joon. “Jika kau sudah tanding, stressku hilang” jawabku enteng. Dia langsung tersenyum dan berlari menuju tempat battle dance. Musik berdentum sangat keras dan kak Joon mulai menggerakkan tubuhnya. Posturnya yang tinggi dan sedikit berisi memudahkan dirinya untuk menggerakkan badannya sesuai tempo musik yang dilantunkan. Aku tergila-gila dengan gerakannya yang snagat lentur. Bagaikan permen karet yang dimainkan oleh anak TK.

“Bagaimana? Stressmu hilang?” tanyanya sesaat setelah ia selesai tampil. Tampak dadanya naik turun akibat mengatur nafas. “Eum, sudah. Ayo kita pulang, ini sudah hampir pukul sebelas” ajakku. Kami langsung pulang ke rumah setelah itu. Saat berjalan, kami melewati tempat dimana kak Joon meninggal. Aku kembali mengingat kejadian itu. Dan suatu ide muncul di otakku. Aku melihat tempat itu dengan tatapan miris. “Kau kenapa? Apakah kau mengingat suatu kejadian yang ada kaitannya dengan tempat itu?” tanyanya heran. “Tidak.. Ayo, cepatlah sedikit kak” aku mengalihkan pembicaraan dan menarik tangan kak Joon.

 

Seoul, 18 Juni 2011

Aku menaruh sebuah kubus kecil gula batu ke dalam gelas espresso milik kak Joon. Lalu aku cepat-cepat meminum espresso milikku yang masih panas. Saat meminumnya, aku kepanasan dan akhirnya bajuku sedikit terkena espresso. Kak Joon langsung memberiku selembar tissu, “ini”. “Terima kasih, kak” aku langsung membersihkan noda espresso di bajuku.

“Bagaimana kau tau semuanya yang bahkan belum terjadi? Apakah kau mempunyai indra ke-6? Dan akhir-akhir ini kau terlihat sedikit aneh jika sedang berjalan denganku. Kau melihat semua tempat dengan tatapan miris ataupun sedih seperti kau mempunyai kenangan di tempat itu dengan orang lain”

“Tidak. Aku juga tidak tau mengapa akhir-akhir ini aku seperti ini. Mungkin akan ada sesuatu yang akan terjadi kepada diriku atau bahkan dirimu. Aku tidak tahu”

Aku berusaha menutupi apa yang sedang aku pikirkan. Jika kak Joon tau apa yang aku pikirkan dan aku jalankan sekarang, dia pasti merasa aneh dan akan membenciku. Apalagi, kalau aku memberitahunya bahwa sebentar lagi ia akan meninggal.

Setelah ke cafe, aku berjalan menuju sebuah toko aksesoris. Namun aku ingat, saat aku berjalan pada saat ini beberapa saat lagi akan turun hujan. Aku sudah mengantisipasi dengan membawa payung. Aku mengeluarkan payung itu. “Mengapa kau megeluarkan payung? Lihat, matahari sedang bersinar dengan terangnya. Tidak akan mungkin turun hujan” kata kak Joon. Aku melirik jam tanganku, “tunggu saja sebentar lagi”. Aku membuka payungnya yang menutupi aku dan kak Joon. Tiga detik kemudian turun hujan yang lumayan lebat. Kak Joon tersenyum sambil melirikku.

Sesaat kami sampai di toko aksesoris, aku melihat sebuah kalung dengan bandul jam kuno. Sangat unik. Aku ingin membelinya, tetapi harganya juga sangat unik sekali. Aku tidak mempunyai uang dengan angka seunik itu. “Kenapa? Kau suka kalung itu?” tanya kak Joon yang ternyata daritadi berada di belakangku. Aku hanya mengangguk dan berkata, “tapi harganya sangat mahal.. aku tidak mempunyai uang sebanyak itu”. Dia hanya tersenyum lalu kami meninggalkan toko itu.

 

 

Seoul, 19 Juni 2011

 

Hari ini aku akan menemani kak Joon berlatih tari untuk penampilan besok. Ia mempunyai grup tari sendiri dan besok akan menggelar panggung kecil-kecilan. Tempo musik dengan gerakkan tubuhnya sangatlah cocok. “Kak Joon, aku ingin ke kamar mandi dulu ya” kataku sambil pergi meninggalkannya. Saat aku kembali ke dalam ruangan, aku melihat ia menaruh sesuatu ke dalam jaketku sambil tersenyum. Aku sama sekali tidak tau  apa yang ia masukkan.

 

Seoul, 20 Juni 2011

 

Hari ini adalah hari dimana kak Joon meninggal dan beberapa saat sebelumnya ia baru saja menghibur warga Seoul dengan tariannya. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan aku lakukan nanti malam. Aku akan mencoba menggantikan posisi kak Joon. Sekarang sudah pukul lima sore, sebentar lagi pertunjukkan ini akan selesai dan kak Joon akan pulang melalui jalur itu. Aku segera bersiap-siap dengan keluar studio sebelum pertunjukkan berakhir.

Sudah pukul 7.45 yang artinya sebentar lagi semuanya akan selesai. Aku tidak akan bisa lagi bertemu kak Joon. Kami akan berbeda dimensi. Aku bisa melihatnya, tetapi dia tidak dapat melihatku. Pasti kalian sudah membayangkan apa yang akan aku lakukan.

Saat kak Joon menyebrang di zebra cross, aku di belakangnya. Sebentar lagi mobil itu lewat dan menabrakku. Ayolah cepat, aku sudah tidak ingin menahan ini semua. Tiba-tiba mataku silau karena sorotan lampu mobil. Sebentar lagi, gumamku. Mobil itu sudah dekat, aku mendorong kak Joon dan akhirnya aku tertabrak mobil itu. Kak Joon menoleh kearahku dan menghampiriku yang sudah tidak berdaya namun masih bernyawa. Aku teringat sesuatu, kak Joon pernah memasukkan suatu benda kedalam jaket ini. Aku memasukkan tanganku ke dalam kantong jaket dan terdapat sebuah kalung yang saat itu menjadi favoritku. Beberapa saat setelah aku melihat benda itu, pandanganku langsung menjadi gelap. Hanya warna hitam yang ada di pandanganku dan hanya suara teriakan kak Joon yang aku dengar.

Selamat tinggal Ayah, Ibu, Kak Joon, dan teman-teman. Aku bahagia disini :)

Salam hangat, Jessica

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK