home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > A Walk To Remember (Kan Ku Kenang Selalu)

A Walk To Remember (Kan Ku Kenang Selalu)

Share:
Author : Emma_Griselda
Published : 09 Dec 2013, Updated : 10 Dec 2013
Cast : g-dragon, sandara park, CL
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |2243 Views |1 Loves
A Walk To Remember (Kan Ku Kenang Selalu)
CHAPTER 1 : Chapter 1 ^^

Sewaktu usiaku 25 tahun, hidupku berubah untuk selamanya.

            Aku tahu ada orang-orang yang penasaran padaku saat aku mengatakannya. Mereka menatapku heran dan mencoba membayangkan apa kiranya yang terjadi saat itu, meskipun aku jarang berusaha menjelaskan. Karena aku sudah tinggal di sini selama hampir seluruh hidupku, aku tidak merasa perlu menjelaskan kecuali kalau aku mau, dan itu akan menyita waktu yang lebih lama daripada yang disisihkan oleh kebanyakan orang. Kisahku tidak dapat dirangkum dalam dua kalimat atau tiga kalimat saja, tidak dapat dikemas secara ringkas dan sederhana sehingga orang-orang dapat langsung memahaminya. Meskipun lebih dari empat puluh lima tahun, mereka yang masih tinggal di sini dan mengenalku sejak tahun itu menerima keenggananku dalam menjelaskan tanpa mempertanyakannya. Dalam banyak hal, kisahku juga dibilang kisah mereka karena merupakan sesuatu yang pernah mempengaruhi hidup kami semua.

            Meskipun aku paling terlibat di dalamnya saat itu.

            Aku berusia 65 tahun sekarang, namun aku masih bisa mengingat semua yang terjadi pada tahun itu dengan sangat detail. Aku masih sering memikirkan kejadian di tahun itu, membayangkan kembali. Aku menyadari bahwa setiap kali aku melakukannya, aku selalu merasakan kombinasi aneh antara kegembiraan dan kesedihan. Ada saat-saat aku berharap memutar kembali jarum jam dan meniadakan semua kesedihan di sana. Namun perasaanku mengatakan bahwa kalau aku melakukannya, saat yang menyenangkan juga akan ikut hilang. Jadi aku menerima semua kenangan itu apa adanya, menerima semuanya, membiarkannya menutunku setiap kali aku bisa. Hal ini terjadi lebih sering daripada yang kusadari.

            Sekarang tanggal 8 Oktober, setahun sebelum millennium baru, aku memandang sekelilingku saat meninggalkan rumah. Langit sedang bermuram dan nampak berwarna kelabu meskipun ini sudah musim gugur. Aku menaikkan ritsleting  jaketku sedikit. Udara terasa sejuk, meskipun aku tahu dalam waktu sebulan lagi cuaca akan lebih dingin dan itulah musim yang aku suka. Padahal aku menyukai musim gugur-dulunya- tapi semua itu berubah karena seseorang, aku jadi lebih menyukai musim dingin.

            Aku menghela napas, dan merasakannya semua kembali. Mataku terpejam dan tahun-tahun itu mulai bergerak memasukiku, perlahan-lahan mundur ke masa lalu, seperti jarum jam yang berputar ke arah berlawanan. Seakan melalui mata orang lain, aku melihat diriku menjadi semakin lama semakin muda. Aku melihat rambutku berubah dari abu-abu menjadi kecoklatan, aku merasakan kerutan di sekitar mataku mulai menipis, lengan kakiku menjadi liat. Pelajaran-pelajaran yang kuperoleh seiring dengan bertambahnya usia menjadi semakin samar, dan kepolosanku muncul sementara tahun yang menentukan itu semakin mendekat.

            Kemudian, seperti diriku, dunia pun mulai berubah: jalan-jalan menjadi sedikit lebih sempit, daerah pemukiman berganti dengan hamparan tanah pertanian yang pemandangannya sangat bagus, jalan-jalan di pusat kota penuh dengan orang yang berlalu lalang melihat isi toko yang menjual beraneka macam bahan mulai dari pakaian, makanan, dan yang lainnya. Di gedung pengadilan di ujung jalan, lonceng menara berdentang dengan keras..

            Aku membuka mataku dan terenyak. Aku sedang berada di luar bangunan Universitas ternama di Seoul, dan saat aku memandang atap bangunan tersebut, aku tahu persis siapa aku.

            Namaku Kwon Ji Yong, dan usiaku dua puluh lima tahun.

            Inilah kisahku, aku berjanji untuk tidak melewatkan apa pun.

            Pada awalnya kamu akan tersenyum, dan setelah itu kamu akan menangis –jangan bilang aku tidak  mengingatkanmu sebelumnya.

 

            Pada tahun 2012, kota Seoul yang terletak di tengah kota. Tentu saja, kamu pasti juga tahu kalau kota Seoul adalah ibu kota Negara Korea Selatan. Dan saat itu sudah memasuki musim gugur, ini luamayan dingin. Tapi tidak sedingin pada musim dingin.

            Walaupun usiaku sudah dua puluh lima tahun, aku baru saja memasuki tahun kuliah untuk kesekian kalinya. Entah aku tidak mampu menghitungnya kembali sudah berapa kali aku berhenti kuliah, ehmm tidak maksudku adalah cuti kuliah, aku cuti kuliah karena karirku yang bisa di bilang sedang meroketnya, aku seorang penyanyi solo. Dan untuk setiap akhir tahun di kampusku selalu mengadakan event tahunanyang disponsori oleh gereja di pusat kota Seoul, misalnya saja drama untuk bulan natal. Dan tentu saja tahun ini tetap ada drama natal. Kamu tahu? Drama ini di tulis oleh Park Chi Seon. Beliau adalah musisi era tahun 1980-an sekaligus pendeta yang telah mengabdi di gereja pusat kota Seoul itu sejak Nabi Musa membelah Laut Merah. Oke mungkin ia tidak setua itu, namun cukup tua sehingga kita nyaris dapat melihat sampai ke balik kulitnya. Kesannya dingin dan tembus cahaya –anak-anak berani bersumpah bisa melihat darahnya mengalir melalui permbuluh-pembuluh darahnya- dah rambutnya seputih kelinciseperti yang kamu lihat di toko-toko hewan peliharaan sekitar hari Paskah. Dan aku kurang menyukai musisi ada zaman itu. Alasanku kenapa tidak menyukai mereka, terutama pada Park Chi Seon adalah karena mereka terlalu membanggakan karya pada tahun itu dan selalu menganggap ‘buruk’ karya pada tahun 2000-an keatas, maka itulah aku kurang menyukainya.

            Pokoknya, ia menulis drama Natal yang berjudul The Christmas Angel . ceritanya sebetulnya tidak jelek dan dan sempat mengejutkan semua orang ketika pertama kali di pentaskan di kampusku, karena drama ini dibuka untuk khalayak umum. Inti ceritanya tentang seorang pria yang ditinggal mati istrinya dalam persalinan beberapa tahun yang lalu . Pria ini bernama Jung Il Seong. Ia membesarkan anak perempuannya seorang diri, tapi ia bukanlah ayah yang hebat. Untuk hadiah Natal, putri kecilnya cuma menginginkan  sebuah kotak music istimewa dengan ukiran malaikat di atasnya, yang gambarnya telah digunting putrinya dari sebuah buku katalog tua. Si ayah menghabiskan banyak waktunya dan berusaha keras untuk mencari kotak musik itu, tapi ia tidak berhasil menemukannya. Sampai malam Natal tiba pun ia masih saja terus mmencari. Saat sedang menjelajahi toko demi toko, ia berpapasan dengan seorang perempuan  yang tidak ia kenal sebelumnya. Perempuan tersebut berjanji akan membantunya mencarikan hadiah itu untuk putrinya. Tapi sebelumnya, mereka membnatu seorang tunawisma, setelah itu mereka mampir dip anti asuhan untuk menengok beberapa anak, dan kemudian mengunjungi seorang perempuan tua yang ingin ditemani pada malam Natal. Saat itulah perempuan misterius tadi menanyakan pada Yoon Il Jung apa yang diinginkannya untuk Hari Natal, dan ia mengatakan bahwa ia ingin istrinya kembali. Perempuan itu membawanya ke air mancur di kota dan mengatakan padanya untuk melihat ke dalam air dan ia akan menemukan apa yang sedang ia cari. Ketika ia melihat ke dalam air, ia melihat wajah putri kecilnya. Hatinya langsung luluh, dan seketika ia menangis di tempat itu. Sementara ia menangis, perempuan misterius itu menghilang, dan Jung Il Seong berusaha mencarinya namun tidak dapat menemukannya. Akhirnya ia pulang, sambil merenungkan kembali apa yang baru dialaminya. Ia memasuki kamar putrinya, dan menyaksikan sosok yang sedang tertidur lelap itu membuatnya sadar bahwa putrinya adalah segala yang masih ia miliki dari istrinya. Ia mulai menangis lagi karena tahu bahwa selama ini ia bukan ayah yang cukup baik untuk bagi anaknya. Keesokan paginya, secara ajaib, kotak musik itu ada di bawah pohon Natal mereka, dan gambar malaikat yang terukir di atasnya ternyata betul-betul mirip perempuan yang ditemuinya pada malam sebelumnya. Tidak terlalu buruk sebetulnya. Kenyataannya, banayak orang yang menangis bercucuran air mata setiap kali mereka menontonnya. Tiketnya selalu habis terjual di setiap pementasan. Karena demikian populernya, Park Chi Seon akhirnya memindahkan pertunjukkannya dari gereja ke kampus kami, yang menyediakan lebih banyak tempat duduk. Pada saat aku kuliah semester 7, pertunjukkannya sudah diselenggarakan tujuh kali dan tetap selalu ramai, yang merupakan suatu prestasi tersendiri, mengingat siapa yang tampil dalam pertujukkan ini.

            Park Chi Seon ingin anak-anak muda yang berperan dalam drama itu –para mahasiswa, bukan anggota grup teater. Kurasa ia menganggap itu sebagai suatu pengalaman belajar yang baik. Ia ingin kita tahu bahwa Tuhan ada di atas sana mengawasi kita, bahkan di saat kita sedang berada jauh dari rumah, dan jika kamu percaya pada Tuhan, semuanya terselesaikan dengan baik. Satu pelajaran yang akhirnya kupelajari juga, meskipun bukan Park Chi Seon yang mengajarkan padaku.

            Park Chi Seon memutuskan untuk mencoba menulis dramanya sendiri. Ia telah menulis khotbahnya selama ini. Harus kuakui bahwa beberapa diantaranya memang menarik, terutama saat ia berbicara tentang “kemurkaan Tuhan yang akan menimpa para pezina” dan berbagai topik bagus lainnya. Aku berani mengatakan bahwa darahnya mendidih saat ia berbicara tentang pezina. Topik itulah yang kami jadikan bahan hiburan tentang dia. Ketika usiaku lebih muda, aku dan teman-temanku bersembunyi di belakang pohon-pohon dan berteriak, “Park Chi Seon tukang zina!”setiap kali melihatnya di jalan, dan kami akan cekikikan seperti orang tolol, seakan kami orang-orang yang paing lucu di muka bumi ini.

            Park Chi Seon tua akan berhenti melangkah dan daun telinganya akan berdiri tegak –aku berani sumpah, telinganya benar-benar bergerak- kemudian wajahnya akan berubah jadi merah padam, seakan ia baru saja meminum bensin, dan urat-urat hijau di lehernya akan mulai bertonjolan. Ia melirik ke sana kemari, matanya menyipit sambil mencari kami, dan setelah itu, secara mendadak wajahnya menjadi pucat lagi, kembali licin seperti kulit ikan, tepat di hadapan kami. Wow, betul-betul sesuatu yang asyik untuk dilihat.

Kami bersembunyi di belakang pohon sementara Park Chi Seon (orang tua mana yang tega menamai anaknya Park Chi Seon?) berdri di sana, menunggu kami me menyerahkan diri, seakan ia mengira bahwa kami akan sebegitu bodohnya. Kami membekap dengan kedua tangan untuk menahan tawa, namun entah bagaimana ia selalu  dapat menemukan kami. Ia akan menoleh ke sana kemari dan setelah itu memusatkan tatapannya yang tajam ke arah kami, menembus batang pohon. “Aku tahu kamu disana, Kwon Ji Yong,” ia berseru, “dan Tuhan juga tahu.” Park Chi Seon membiarkan kata-katanya merasuk sebentar dan akhirnya ia melanjutkan langkahnya. Pada khotbahnya di hari Minggu berikutnya ia akan menatap kami dan mengatakan sesuatu seperti “Tuhan sangat menyayangi anak-anak, tapi anak-anak seharusnya juga layak untuk disayangi.” Dan kami duduk melorot di tempat duduk kami, bukan karena malu, tapi menyembunyikan keinginan kami untuk cekikikan lagi. Sebenarnya aneh bila Park Chi Seon tidak bisa memahami kami, mengingat ia sendiri juga punya anak. Memang sih anaknya seorang anak perempuan. Tapi mengenai ini akan kita bicarakan nanti.

Appa-ku memang berusaha meredakan berbagai situasi setiap kali ada kesempatan. Ia bisa mencium bayi paling jelek dalam sejarah umat manusia dan masih bisa menemukan sesuatu yang simpatik untuk diucapkan. “Dia anak yang tenang sekali,” akan dikatakannya jika si bayi mempunyai kepala yang besar, atau “Aku yakin dia gadis kecil yang paling manis di dunia ini,” kalau si bayi memiliki tanda lahir yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Pernah seorang wanita muncul dengan seorang bocah di atas kursi roda. Appa-ku menoleh ke arah anak itu dan berkata, “Aku berani taruhan sepuluh lawan satu bahwa kau anak yang paling pintar di kelasmu.” Dan nyatanya memang begitu! Yeah, appa-ku memang hebat sekali dalam hal-hal seperti itu. Ia selalu bisa mengatasi situasinya dengan cara yang terbaik. Dan ia bukanlah orang jahat, terutama kalau kau mempertimbangkan fakta bahwa ia tidak pernah memukulku atau semacamnya.

Jadi appa-ku, Choi Seung Hyun adalah seorang dokter spesialis tumor dan kanker. Appa-ku adalah orang Korea Selatan pertama yang mendapat gelar spesialis tumor dan kanker pada tahun itu. Appa-ku selalu pulang malam sekitar pukul dua belas malam, ya tepat tengah malam. Terkadang sesampainya di rumah,baru saja ia akan merebahkan tubuhnnya, ia sudah mendapat telepon dari pihak Rumah Sakit tempatnya ia bekerja. Dengan secepat kilat appa-ku langsung bergegas meraih kunci mobilnya dan ia kemudikan mobilnya menuju Rumah Sakit. Ia memiliki profesionalitas dan jiwa sosial yang sangat tinggi. Aku bernai bersumpah. Pernah ketika kami sekeluarga sedang berlibur ke tempat pariwisata, ketika aku sedang bermain bersamanya. Tanpa sengaja aku menubruk penjual ice cream hingga gerobaknya terguling dan orang itu terluka, dengan sigap appa-ku menolong dan mengobati lukanya, setelah itu ia mengganti rugi atas kerugian yang diterima penjual ice cream  keliling itu akibat ulahku. Tapi di sisi lain ia tidak menemaniku saat aku tumbuh dewasa. Appa-ku,, ia tidak mencintaiku,, tidak menyayangiku. Aku sangat senang ketika ia berhasil menyembuhkan penyakit pasiennya.tapi yang membuatku sedikit tidak menyukainya adalah ia tidak pernah berusaha meluangkan waktunya untuk bersama keluarga. Waktu aku kecil, pernah aku merengek padanya untuk mengajaknya berlibur, dan kamu tahu apa jawaban yang kuperoleh? "Lain kali saja. Appa sedang sibuk!" jawabnya dengan mengumbar senyumnya itu. Selalu saja ia berkata seperti itu ketika aku merengek padanya untuk berlibur bersamanya. Aku benci ketika ia bilang padaku "Appa sedang sibuk", aku sudah muak dengan semua itu. Harus sampai berapa kali aku mendengar itu? Alasan lainnya adalah ia selalu pulang terlambat, membuat aku dan eomma menunggunya hingga larut malam untuk sekedar makan malam bersamanya. Dan seketika ia menelepon eomma bahwa ia pulang terlambat atau ia ada operasi mendadak, seketika pula mood-ku langsung hilang. Ia selalu membuat eomma khawatir. Dan yang hampir membuatku menangis adalah ketika setiap malam eomma  menunggu kedatangannya dengan setia di ruang keluarga. Bisa di bilang kalau appa-ku menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk pekerjaannya itu, bukan ia habiskan bersama keluarganya. Aku benci namja macam seperti itu.

Jadi, aku dibesarkan oleh eomma-ku. Ia adalah wanita yang baik, manis, dan lembut, jenis ibu yang diimpikan oleh hampir setiap orang. Park Bom, itulah nama eomma-ku, ia bekerja menjadi seorang designer tapi ia jarang ke butik miliknya kecuali ada telepon dari karyawannya. Namun, ia bukan dan tidak aka pernah bisa menjadi panutan pria dalam hidupku. Kenyataan itu, ditambah dengan buyarnya ilusiku mengenai appa-ku disaat aku tumbuh dewasa, membuatku menjadi pemberontak, bahkan di usia yang sangat muda. Sebaiknya aku ingatkan padamu bahwa kenakalanku tidak bersifat jahat. Aku hanya memberontak dan membangkang pada appa-ku saja ketika ia sedang berada di rumah, di luar aku akan memperlihatkan pada semua orang bahwa aku baik-baik saja dan sedang tidak ada masalah. Sampai aku menjadi penyanyi dan musisi, aku tetap saja seperti itu, di depan kamera aku selalu berakting dengan manis bak seorang pemain film dengan honor paling mahal. Aku belum pernah mendapatkan skandal -kala itu sebelum milenium baru di mulai dalam hidupku-

Aku tahu apa yang sekarang ada dan mungkin sedikit mengganggu pikiranmu, kenapa bisa margaku dengan appa-ku berbeda. Benarkan? Aku sudah mampu menebak 'itu' semua, karena aku juga yakin semua orangterdekatku juga penasaran akan hal itu. Baiklah. Aku rasa kalian harus tahu hal ini yang sebenarnya, bahwa aku adalah anak angkat di keluarga ini. Eomma bilang ketika usia pernikahannya dengan appa sudah lima tahun tidak juga dikaruniani buah hati, eomma-ku memiliki sahabat perempuan yang sedang hamil dan suaminya tidak pernah menganggap yang di kandung sahabat eomma itu adalah anak kandungnya. Laki-laki itu –suami dari sahabat eomma- itu pekerjaanya hanay meminum soju, sudah tak dapat di hitung berapa botol soju yang sudah ia tenggak untuk sehari. Hingga sahabat eomma melahirkan, laki-laki tersebut tetap saja tidak sadar. Dan kamu tahu? Sahabat eomma Iku ini ternyata menganggap eomma  seperti saudara sendiri dan akhirnya sebelum persalinan itu, ia memberi “wasiat” pada eomma  “Jika saat persalinan terjadi sesuatu padaku, aku mohon  rawatlah anakku, anggaplah ia anakmu sendiri Park Bom-ah. Jika anakku berjenis kelamin laki-laki, berilah ia nama ‘Kwon Ji Yong’ dan jika ia berjenis kelamin perempuan berilah ia nama ‘Kwon Da Mi’. Aku sudah menganggapmu sebagai saudara kandungku. Maukah kamu melakukannya untukku?” tentu saja saat itu eomma ku menangis karena ia sudah tidak tahu lagi harus menjawab apa dan yang jelas eomma menyetujui permintaan terakhir perempuan itu –eomma kandungku-

Aku. Si berandal. Hanya karena makan kacang rebus di taman pemakaman. Coba bayangkan.  Singkat cerita, appa-ku dan Park Chi Seon tidak cocok satu sama lain, tapi bukan hanya karena pandangan politik mereka yang berbeda. Tidak, appaku dan Hegbert sudah saling mengenal sejak lama. Usia Park Chi Seon sekitar dua puluh tahun lebih tua daripada appaku, dan sebelum ia menjadi pendeta, ia pernah bekerja untuk kakekku. Kakekku—meskipun ia menghabiskan banyak waktu bersama appaku—adalah seorang bajingan. Omong-omong, dialah yang menjadikan keluarga kami kaya-raya, tapi aku tidak ingin kau membayangkan dirinya sebagai orang yang banting tulang mati-matian dalam bekerja, dan memupuk kekayaannya perlahan-lahan. Kakekku jauh lebih lihai daripada itu. Caranya mengumpulkan uang amat sederhana—ia memulai usahanya sebagai penyelundup minuman keras, yang menimbun kekayaannya selama masa berlakunya Undang-undang Larangan Perdagangan Minuman Keras dengan memasok rum dari Kuba. Selanjutnya ia mulai membeli tanah dan menyewa buruh tani bagi hasil untuk mengolahnya. Ia memungut sembilan puluh persen dari uang yang dihasilkan oleh para petani untuk panen tembakau mereka, dan meminjamkan uang di saat mereka membutuhkan dengan bunga yang amat tinggi. Tentu saja, ia tidak pernah berniat menagih uangnya—hanya ia akan menyita tanah atau peralatan apa pun yang kebetulan mereka miliki. Setelah itu, mengikuti apa yang ia sebut sebagai “saat penuh inspirasinya”, ia membuka bank dengan nama Choi Banking and Loan. Satu-satunya bank lain dalam radius dua mil secara misterius terbakar habis, dan tidak pernah dibuka kembali karena dampak depresi. Meskipun semua orang tahu apa yang sesungguhnya terjadi, tak pernah ada orang yang berkomentar karena takut akan akibatnya. Ketakutan yang ternyata memang bukan tidak beralasan. Bank itu bukan satu-satunya bangunan yang terbakar secara misterius. Ia mengenakan bunga pinjaman yang luar biasa besar. Perlahan-lahan ia mulai menguasai lebih banyak tanah dan properti lain saat semakin banyak orang tidak bisa membayar utang. Saat depresi mencapai puncaknya, ia menyita puluhan kegiatan usaha di seluruh pelosok daerah dengan tetap mempertahankan si pemilik usaha untuk melanjutkan usahanya dengan gaji ala kadarnya, karena para pengusaha itu juga sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Ia menjanjikan pada mereka bahwa begitu situasi ekonomi membaik, ia akan menjual bisnis mereka kembali pada mereka, dan orang-orang biasanya selalu mempercayai ucapannya. Namun, tak pernah sekali pun ia memegang janjinya. Pada akhirnya ia menguasai kegiatan perekonomian di wilayah itu, dan menyalahgunakan kekuasaannya dengan segala cara.  Sebetulnya aku ingin mengatakan bahwa pada akhirnya ia menemui ajalnya dengan cara yang mengenaskan, namun kenyataannya tidak demikian. Ia meninggal di usia tua selagi tidur bersama wanita simpanannya di atas kapal pesiarnya di perairan Pualu Nami. Ia hidup lebih lama daripada kedua istri dan putra tunggalnya. Suatu akhir yang luar biasa bagi orang seperti dia, bukan? Berdasarkan pengalaman aku tahu hidup ini memang tidak pernah adil. Pelajaran di sekolah berbeda dengan pelajaran dalam kehidupan nyata.

Tapi kembali ke cerita kita… Begitu Park Chi Seon menyadari bahwa kakekku seorang bajingan, ia berhenti bekerja dan masuk sekolah teologi. Setelah itu ia kembali ke Seoul dan mulai menjadi pendeta di gereja yang selalu kami datangi. Ia melewatkan tahun-tahun pertamanya dengan menyempurnakan khotbah bulanannya yang berapi-api mengenai dampak keserakahan, yang menyita hampir seluruh waktunya untuk hal-hal yang lain. Park Chi Seon berusia lima puluh lima tahun ketika putrinya, Park Sandara, lahir.  Istrinya  mengalami delapan kali keguguran sebelum Sandara lahir dan akhirnya ia meninggal dalam persalinan, membuat Park Chi Seon terpaksa membesarkan putrinya seorang diri.

Begitulah latar belakang di balik kisah drama itu.

Park Sandara, ah tidak aku lebih nyaman memanggilnya Sandara Park. Kata teman-temanku dia lebih pantas dipanggil Sandara park daripada Park Sandara. Waeyo? Karena agar ia tidak terlihat seperti anak dari Park Chi Seon, tidak pantas. Kita kembali pada cerita awal mengenai Sandara Park. Dia memang gadis yang baik, benar-benar baik. Seoul memang tergolong besar, tapi ketika aku masih duduk di bangku sekolah hanya ada satu sekolah yang memiliki kualitas bagus, dan dia juga sekolah di sana termasuk juga aku. Aku berbohong jika aku mengatakan tidak pernah berbicara dengannya. Sekali, di kelas empat Sekolah Dasar ia duduk disampingku selama setahun penuh, dan kami kadang-kadang mengobrol, meskipun itu tidak berarti bahwa aku menghabiskan banyak waktu bersamanya dalam waktu senggangku. Dengan siapa aku bergaul di sekolah merupakan satu hal; dengan siapa aku bergaul setelah sekolah benar-benar berbeda, dan nama Sandara tidak pernah tercantum di dalam agenda pergaulanku. Yang membuatku bingung akan dia adalah bagaimana bisa ia satu jenjang sekolah denganku di saat Sekolah Dasar, SMP, SMA, maupun kuliah? Padahal usianya lebih muda dua tahun dariku. Bukankah itu sangat aneh?

Itu tidak berarti bahwa Sandara tidak menarik—jangan salah sangka. Ia sama sekali tidak jelek atau semacamnya. Untungnya ia mewarisi penampilan ibunya, yang lumayan cantik berdasarkan foto-foto yang pernah aku lihat, terutama mengingat siapa yang dinikahinya. Namun Sandara juga tidak bisa kuanggap menarik. Selain kenyataan bahwa ia bertubuh kurus, dengan rambut dan mata coklat madu yang lembut, sering kali ia kelihatan… sederhana, itu pun kalau kau secara kebetulan memperhatikannya. Sandara tidak begitu peduli mengenai penampilan luar, karena ia selalu mencari hal-hal seperti “kecantikan yang terpancar dari dalam”, dan kurasa karena itulah ia tampak apa adanya. Selama aku mengenalnya—dan ingat, aku mengenalnya sudah sejak lama sekali—rambutnya selalu di kepang didekat pelipis jika tidak ia menguncir setengah dari rambutnya, dan hanya ada sedikit makeup di wajahnya. Tapi jika kamu melihatnyadengan seksama, ia terlihat seperti tidak melukis wajahnya dengan makeup. Ditambah dengan cardigan merah dengan V-neck dress, ia selalu tampak seakan sedang melamar pekerjaan sebagai pustakawan. Kami dulu menganggap itu hanya suatu fase, dan pada akhirnya Sandara akan melewatinya, namun kenyataannya tidak begitu. Bahakn selama tiga tahun pertama kami di SMU, ia tidak berubah sama sekali. Satu-satunya yang berubah hanyalah ukuran pakaiannya.

 Bukan hanya penampilan Sandara yang membuatnya berbeda; tapi juga caranya bersikap. Jamie tidak pernah melewatkan waktunya dengan nongkrong di salah satu Club  atau pergi berpesta menginap bersama gadis-gadis lain, dan setahuku ia tidak pernah punya pacar seumur hidupnya. Si tua Park Chi Seon mungkin akan mendapat serangan jantung kalau Sandara sampai punya pacar. Namun jika entah ada angin apa yang menyebabkan Hegbert mengizinkan putrinya punya pacar, hal itu tetap tidak ada bedanya. Sandara selalu membawa Alkitab ke mana pun ia pergi, dan jika bukan penampilannya atau Park Chi Seon  yang membuat anak laki-laki menjauh, penyebabnya pastilah Alkitab itu. Oke, aku menyukai Alkitab seperti kebanyakan anak lelaki remaja pada umumnya, namun Sandara sepertinya menikmatinya dengan cara yang sama sekali asing bagiku. Ia tidak hanya mengikuti pendalaman Alkitab selama masa liburan bulan Agustus, tapi juga membaca Alkitab selama istirahat makan siang di sekolah. Menurut pendapatku ini tidak normal, bahkan untuk putri seorang pendeta sekalipun. Di lihat dari sudut mana pun, membaca Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus tidak mungkin lebih menyenangkan daripada merayu cewek, kalau kau mengerti maksudku.

Namun keanehan Sandara tidak sampai di situ saja. Berkat kebiasaannya membaca Alkitab, atau mungkin karena pengaruh Park Chi Seon, Sandara meyakini pentingnya menolong orang lain, dan itulah yang dilakukannya. Aku tahu ia menjadi relawan di panti asuhan, tapi untuk Sandara itu saja tidak cukup. Ia selalu ikut serta dalam kegiatan pengumpulan dana, membantu semua orang mulai dari kegiatan Pramuka sampai pemilihan Putri Seoul. Aku juga tahu ketika Sandara melewatkan sebagian liburan musim panasnya dengan mengecat bagian luar rumah seorang tetangga yang sudah tua.

 Sandara adalah gadis yang akan mencabuti ilalang di kebun seseorang tanpa diminta atau membantu anak-anak menyeberangi jalan. Ia akan menabung uang sakunya untuk membeli sebuah bola basket baru untuk anak-anak yatim piatu, atau memasukkan uangnya ke dalam keranjang kolekte gereja pada hari Minggu.  Dengan kata lain, ia adalah tipe gadis yang akan membuat kami semua tampak buruk. Setiap kali ia melirik ke arahku, mau tidak mau aku akan merasa bersalah, bahkan di saat aku tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Sandara juga tidak hanya membatasi perbuatan baiknya kepada manusia. Seandainya ia berpapasan dengan seekor binatang yang terluka, ia juga akan berusaha menolong. Cerpelai, tupai, anjing, kucing, katak… baginya tidak ada bedanya. Dr. Lee, si dokter hewan, akan langsung mengenalinya dan menggeleng-gelengkan kepalanya begitu melihat Sandara  berjalan menuju ruang prakteknya sambil membawa sebuah kardus yang berisi seekor binatang. Ia akan melepaskan kaca matanya dan membersihkannya dengan sapu tangan, sementara Sandara menjelaskan bagaimana cara ia menemukan makhluk malang itu dan apa yang telah menimpanya. “Ia ditabrak mobil, Dr. Lee. Kurasa sudah merupakan rencana Tuhan agar aku menemukannya dan berusaha untuk menyelamatkannya. Anda mau membantuku, kan?” Dengan Sandara, segalanya merupakan rencana Tuhan. Itu merupakan suatu hal lagi. Ia selalu menyebut rencana Tuhan setiap kali kau berbicara dengannya, tidak peduli apa pun topiknya. Pertandingan baseball batal karena turun hujan? Tentunya sudah rencana Tuhan untuk mencegah terjadinya sesuatu yang lebih buruk lagi. Kemudian, tentu saja, masih ada kendala lain berupa Park Chi Seon, yang tidak membantunya sama sekali. Posisinya sebagai putri seorang pendeta bukan hal yang mudah, namun ia membuatnya menjadi sesuatu yang sangat wajar dalam hidup ini, dan ia merasa amat beruntung diberkati dengan cara itu. Jamie biasa berkata, “Aku begitu beruntung memiliki appa seperti appa-ku.” Setiap kali ia mengatakan itu, kami semua hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati kami bertanya dari planet manakah ia sebetulnya berasal.

 Namun, di samping semua ini, hal yang paling membuatku kesal mengenai dirinya adalah kenyataan bahwa ia selalu tampak begitu ceria, tidak peduli apa pun yang terjadi di sekitarnya. Aku berani bersumpah, gadis itu tidak pernah mengucapkan sesuatu yang buruk mengenai apa pun atau siapa pun, bahkan kepada kami yang tidak selalu begitu baik padanya. Ia akan bersenandung sendiri saat berjalan, melambai ke arah orang-orang yang tidak dikenalnya yang kebetulan lewat dengan mobil mereka. Kadang-kadang ibu-ibu akan lari ke luar rumah untuk menawarkan roti buah padanya setelah mereka memanggangnya seharian atau limun di saat matahari bersinar terik. Sepertinya semua orang dewasa di kota ini menyayanginya. “Ia gadis yang begitu manis,” puji mereka setiap kali nama Sandara muncul dalam percakapan. “Dunia ini akan jadi tempat yang lebih baik kalau ada lebih banyak orang seperti dia.” Namun aku dan teman-temanku tidak melihatnya seperti itu. Dalam pandangan kami, seorang Sandara Park sudah cukup banyak.

* * *

Ketika kuliah semester 4 aku pernah dekat dengan seorang gadis bernama Lee Chaerin. Aku mencintainya, tapi? Ia mencampakkanku demi cowok bernama Seungri yang bekerja sebagai CEO perusahaan ayahnya.. Menurut pendapatku, keunggulan Seungri  adalah ia memiliki mobil banyak yang betul-betul keren. Ia selalu memakai jas dan ia akan bersandar di kap mobil Ferrarri-nya, sambil melirik ke sana kemari, dan melontarkan ucapan semacam “Halo, Cantik” setiap kali seorang gadis lewat. Ia memang seorang penakluk, kalau kau mengerti maksudku.

 Singkat cerita, pesta dansa homecoming hampir tiba, dan aku belum punya kencan gara-gara situasiku dengan Lee Chaerin. Semua mahasiswa harus hadir jika ia ingin lulus dan mendapatkan gelar ‘sarjana’—itu suatu keharusan. Aku harus membantu menghias ruang olahraga dan membersihkannya pada hari berikutnya—lagi pula, biasanya acara seperti itu amat menyenangkan. Aku menelepon beberapa gadis yang kukenal, tapi mereka sudah punya kencan, jadi aku menelepon beberapa gadis lagi. Menjelang minggu terakhir pilihan menjadi semakin sedikit. Sisanya tinggal gadis yang berkaca mata tebal atau yang bicaranya gagap.

Seoul memang tidak pernah jadi sarang gadis-gadis cantik, tapi aku harus pergi dengan seseorang. Aku tidak ingin pergi ke pesta itu tanpa teman kencan—apa kata orang nanti? Aku akan jadi satu-satunya mahasiswa sekaligus artis yang pernah hadir dalam pesta dansa homecoming sendirian. Akhirnya aku akan jadi cowok yang menyendoki minuman punch atau membersihkan muntahan di kamar mandi sepanjang malam. Itu yang biasanya dilakukan oleh mereka yang tidak punya kencan.

 Aku semakin panik, dan mengeluarkan buku tahunan universitas tahun sebelumnya lalu mulai membalik halaman-halamannya satu per satu, mencari entah siapa yang mungkin masih belum punya kencan. Mula-mula aku memeriksa halaman yang memuat nama-nama mahasiswa seangkatanku. Meskipun kebanyakan sudah semester 8, sebagian masih tinggal di kota. Meskipun aku merasa peluangku tidak terlalu besar, aku tetal menelepon mereka. Benar saja, apa yang kukhawatirkan jadi kenyataan. Aku tidak dapat menemukan seorang pun, setidaknya seseorang yang mau pergi denganku. Aku mulai jadi ahli dalam mengatasi penolakan, meskipun itu bukan sesuatu yang membanggakan untuk diceritakan kepada cucu-cucuku kelak. Ibuku tahu apa yang sedang kualami, dan akhirnya ia datang ke kamarku dan duduk di sampingku di atas tempat tidur.

 “Eottae? Kalau kau tidak punya kencan, aku bersedia menemanimu,” usulnya.

 “Gomawo, Eomma,” ujarku sedih.

 Ketika eomma-ku meninggalkan kamarku, aku merasa lebih tidak keruan daripada sebelumnya. Bahkan eomma-ku merasa aku tidak bisa mengajak seorang pun. Jika aku datang dengan eomma-ku? Wah, lebih baik aku bunuh diri saja.

 Sebenarnya masih ada orang lain yang juga senasib denganku,Kang Dae Sung. Daesung termasuk cowok yang membuat tak seorang pun ingin menghabiskan waktu dengannya. Tubuhnya sama sekali tidak proporsional. Seakan pertumbuhannya terhenti di tengah jalan saat melewati masa pubernya. Ia memiliki perut yang lumayan  besar, serta tangan dan kaki yang kurus, kau mengerti maksudku, kan? Ia juga berbicara dalam nada tinggi dan ia tidak pernah berhenti memberondong orang dengan pertanyaan-pertanyaannya. “Kau pergi ke mana akhir pekan kemarin? Menyenangkan, ya? Kau sempat berkenalan dengan cewek?” Ia bahkan tidak akan memberikan kesempatan padamu untuk menjawab, sementara ia akan terus bergerak sehingga kau terpaksa mengikutinya. Aku berani sumpah bahwa ia mungkin orang paling menyebalkan yang pernah kukenal. Kalau aku tidak punya kencan, ia akan berdiri di dekatku sepanjang malam, memberondongku dengan berbagai pertanyaan seperti jaksa penuntut menanyai terdakwa.

 Jadi aku terus membalik-balik halaman yang membuat mahasiswa seangkatanku, sampai aku melihat foto Sandara Park. Aku berhenti sebentar, kemudian membalik halaman itu, sambil mengutuk diriku sendiri karena berani mempertimbangkannya. Aku melewatkan satu jam berikutnya dengan mencari seseorang yang bertampang lumayan, namun perlahan-lahan aku menyadari bahwa tidak ada siapa-siapa lagi di situ. Akhirnya aku membalik halaman itu dan kembali mengamati foto Sandara sekali lagi. Ia tidak jelek, kataku dalam hati, bahkan termasuk manis. Mungkin ia akan mengatakan ya, pikirku….

 Aku menutup buku tahunan itu. Sandara Park? Putri Park Chi Seon? Tidak bisa. Tidak mungkin. Teman-temanku akan memanggangku hidup-hidup.

 Tapi dibandingkan dengan mengencani ibumu sendiri atau membersihkan muntahan atau bahkan, amit-amit…  Kang Dae Sung?

 Aku menghabiskan siswa malam itu dengan memperdebatkan pro dan kontra dilema yang kuhadapi. Percayalah, aku sudah mempertimbangkannya bolak-balik, dan pada akhirnya pilihanku jelas. Aku harus mengajak Sandara ke pesta dansa itu, dan aku mulai mondar-mandir di kamarku, memikirkan cara terbaik untuk mengajaknya.

 Pada saat itulah terlintas sesuatu yang amat mencemaskan, sesuatu yang betul-betul menakutkan. Tiba-tiba aku sadar, Daesung mungkin sedang melakukan apa yang sedang kulakukan sekarang. Mungkin ia juga sedang melihat-lihat isi buku tahunan! Daesung memang aneh, tapi ia juga bukan orang yang suka membersihkan muntahan. Kalau kau pernah melihat ibunya, kau akan mengerti bahwa pilihannya bahkan lebih mengenaskan daripada pilihanku. Bagaimana kalau ia mengajak Sandara duluan? Sandara tidak akan menolaknya, dan secara realistis gadis itu merupakan satu-satunya peluang yang masih ia miliki. Tak seorang pun selain Sandara yang rela terperangkap bersamanya. Sandara selalu mau membantu semua manusia—ia memang semacam dewi yang memperlakukan semua orang sederajat. Ia mungkin mau mendengarkan suara melengking Carey, melihat kebaikan yang terpancar dari dalam hati cowok itu dan menerima semua kekurangannya.

 Jadi aku duduk di dalam kamarku, cemas membayangkan kemungkinan bahwa Jamie bisa saja tidak bisa pergi bersamaku ke pesta dansa itu. Aku hampir tidak tidur semalaman, yang harus kuakui merupakan hal teraneh yang pernah kualami. Kurasa tak seorang pun pernah merasa begitu cemas karena ingin mengajak Jamie pergi sebelumnya.

 Aku memutuskan untuk mengajaknya pada kesempatan pertama yang kumiliki pagi itu, mumpung aku masih punya keberanian, namun Snadara ternyata tidak ada di sekolah. Kurasa ia sedang bersama para anak yatim piatu di panti asuhan, sebagaimana yang biasa dilakukannya tiap bulan. Beberapa di antara kami pernah mencoba membolos dengan menggunakan alasan itu, namun Sandara satu-satunya yang mendapat izin untuk itu. Rektor tahu bahwa Sandara akan membacakan cerita untuk anak-anak itu, melakukan pekerjaan tangan, atau sekadar bermain dengan mereka. Ia tidak akan menyelinap ke pantai atau nongkrong di Club atau entah apalah. Membayangkannya saja sudah tidak masuk di akal.

 “Kau sudah punya kencan?” tanya Taeyang padaku sewaktu pergantian mata pelajaran. Padahal ia tahu aku belum punya kencan. Meskipun Taeyang sahabat terbaikku, kadang-kadang ia masih suka mengejekku.

 “Belum,” sahutku, “tapi aku sedang berusaha. Taeyang-ssi kamu pergi dengan siapa?”

“Minzy.” Sahutnya dengan senyum yang lebar seakan mengejekku.

 Di ujung lorong, Daesung sedang mengambil sesuatu dari dalam locker-nya. Aku berani sumpah ia melirik tajam ke arahku di saat ia mengira aku tidak melihat.

 Begitulah situasinya hari itu.

 Menit demi menit berlalu dengan lambat selama mata pelajaran terakhir. Aku punya rencana—kalau Daesung dan aku keluar pada waktu yang sama, aku akan bisa sampai di rumah Jamie duluan, mengingat kaki-kaki Daesung yang kurus. Aku mulai membesarkan hatiku, dan begitu bel berbunyi, aku segera berlari secepat-cepatnya meninggalkan sekolah. Aku mulai lelah setelah berlari sekitar seratus meter, dan rasanya ada bagian tubuhku yang kejang. Tak lama kemudian aku hanya bisa berjalan, namun kejang itu semakin terasa, sehingga aku terpaksa membungkuk dan memegangi pinggangku sambil terus berjalan. Aku tampak seperti si Bongkok dari Busan yang menyusuri jalan di Seoul dengan terengah-engah.

 Aku bahkan merasa mendengar lengkingan tinggi suara tawa Daesung di belakangku. Aku menoleh sambil mencengkeram ulu hatiku untuk menahan sakit, namun aku tidak dapat melihatnya. Mungkin ia memotong jalan lewat kebun belakang seseorang! Daesung memang bajingan licik. Kau tidak bisa mempercayainya bahkan untuk sesaat.

 Dengan terhuyung-huyung aku mempercepat langkahku, dan tak lama kemudian aku tiba di jalan tempat tinggal Sandara. Pada saat itu aku sudah bermandi keringat—kemejaku basah kuyup—dan aku masih terengah-engah kehabisan napas. Aku sampai di depan pintu rumah Sandara, berhenti sebentar untuk mengatur napas, dan akhirnya mengetuk pintu. Meskipun aku sudah bergegas ke rumahnya, sisi pesimis dari diriku membuatku berasumsi bahwa Carey-lah yang akan membukakan pintu itu. Aku mulai membayangkan Carey tersenyum padaku dengan wajah penuh kemenangan, yang seakan berkata, “Mianhae Jiyong-ssi, kau terlambat.”

 Tapi ternyata bukan Daesung yang membuka pintu, melainkan Sandara, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihat gadis itu tampak seperti orang biasa. Sandara mengenakan celana jins dan blus berwarna merah. Meskipun rambutnya masih di kepang di dekat pelipis, tampangnya lebih santai daripada biasanya. Aku sadar bahwa sebetulnya Sandara  bisa tampak lebih manis kalau ia mau.

 “Jiyong-ssi,” sapanya sambil membiarkan pintu dalam keadaan terbuka, “ini kejutan!” Sandara memang selalu senang melihat siapa pun, termasuk aku, meskipun aku merasa bahwa kehadiranku membuatnya tercengang. “Sepertinya kau baru selesai berolahraga,” katanya.

 “Tidak juga,” ujarku berbohong sambil menghapus keringat di alisku. Untung kejangnya sudah mulai berkurang.

 “Kemejamu basah kuyup.”

 “Oh, ini?” Aku memperhatikan kemejaku. “Gwaenchana Kadang-kadang keringatku berlebihan.”

 “Mungkin kau harus memeriksakan diri ke dokter.”

 “Gwaenchana, nan yaksok. (Aku baik-baik saja. Aku berjanji)”

 “Aku tetap akan mendoakanmu,” ujarnya sambil tersenyum. Sandara selalu berdoa untuk seseorang. Tidak ada salahnya kalau aku menjadi salah satu di antaranya.

 “Gomawo,” sahutku.

 Ia melihat ke bawah dan menggerakkan kakinya sebentar. “Sebenarnya aku ingin mengajakmu masuk, tapi ­appa-ku sedang tidak ada di rumah, dan ia tidak mengizinkan namja masuk ke rumah kalau ia tidak ada.”

 “Oh,” sahutku dengan suara sedih, “gwaencaha. Kita bisa berbicara di sini.” Kalau bisa memilih, aku lebih suka melakukannya di dalam.

 “Kau mau minum limun sementara kita duduk-duduk?” tanyanya. “Aku baru saja membuatnya.”

 “Aku suka limun,” ujarku.

 “Aku akan segera kembali.” Ia masuk ke dalam rumah, tapi tetap membiarkan pintunya terbuka, dan aku melihat isi rumahnya sekilas. Rumahnya kecil tapi rapi, dengan piano di satu sisi dan sofa di sisi lainnya. Sebuah kipas angin kecil diletakkan di pojok. Di atas meja terdapat beberapa buku dengan judul-judul seperti Listening to Jesus dan Faith is the Answer. Alkitab-nya juga ada di situ, dan terbuka pada bagian Lukas.

 Beberapa saat kemudian Sandara muncul dengan membawa limun, dan kami lalu duduk di dua buah kursi yang terletak di pojok teras. Aku tahu Sandara dan ayahnya sering duduk-duduk di teras ini pada malam hari karena kadang-kadang aku melewati rumah mereka. Begitu kami duduk, aku melihat Mrs. Jung, tetangga Sandara yang tinggal di seberang jalan, melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Sandara membalas lambaiannya sementara aku menggeser kursiku sedemikian rupa agar Mrs. Jung tidak dapat melihat wajahku. Meskipun aku akan mengajak Sandara pergi ke pesta dansa homecoming itu, aku tidak mau seorang pun—bahkan Mrs. Jung—melihatku di situ apalagi kalau Sandara sudah menerima ajakan Daesung. Pergi ke pesta dengan Sandara tidak sama dengan ditolak oleh Sandara karena ia sudah menerima ajakan cowok seperti Daesung.

 “Apa yang sedang kaulakukan?” tanya Sandara. “Kau memindahkan kursimu ke bagian yang kena sinar matahari.”

 “Aku suka matahari,” sahutku. Tapi apa yang dikatakan Sandara memang benar. Seketika aku bisa merasakan sengatan sinar matahari menembus kemejaku dan membuatku berkeringat lagi.

 “Kalau itu yang kauinginkan,” ujarnya sambil tersenyum. “Oke, apa yang ingin kaubicarakan denganku?”

 Sandara mengangkat tangannya dan mulai membenahi rambutnya. Menurutku, tidak ada perubahan pada rambutnya. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba memantapkan diri, namun tidak berhasil memaksa diriku untuk segera memulainya.

 Aku mulai berkata, “Ehm, kau pergi ke panti asuhan hari ini?”

 Sandara menatapku dengan heran. “Ani. Aku dan ayahku tadi ke dokter.”

 “Ayahmu sehat?”

 Sandara tersenyum. “Sehat.”

 Aku mengangguk dan melayangkan pandanganku ke seberang jalan. Mrs. Jung sudah masuk ke rumah, dan aku tidak melihat seorang pun di sekitar tempat itu. Situasi akhirnya aman, namun aku masih belum merasa siap.

 “Joeun nalssi imnida. Geureuji amseumnikka (Cuaca bagus, bukan?) ?,” kataku, mengulur waktu.

“Ne, Matta. (Ya benar)”

 “Dan hangat.”

 “Itu karena kau duduk di tempat yang panas.”

 Aku melihat sekelilingku, merasa semakin tertekan. “Aku berani taruhan tidak ada segumpal awan pun di langit.”

 Kali ini Sandara tidak menjawab, dan kami duduk dalam keheningan selama beberapa saat.

 “Jiyong-ssi,” kata Sandara akhirnya, “kau tidak datang kemari untuk bicara tentang cuaca, kan?”

 “Sebetulnya tidak.”

 “Lalu kenapa kau kemari?”

 Saat untuk bicara jujur akhirnya tiba, lalu aku berdeham, “Begini… aku ingin tahu apakah kau akan pergi ke pesta dansa homecoming nanti.”

 “Oh,” jawab Sandara. Nadanya meninggalkan kesan seakan ia tidak menyadari bahwa hal-hal seperti itu mungkin bisa terjadi. Aku mengubah posisi dudukku dan menantikan jawabannya.

 “Sebenarnya aku tidak berencana untuk pergi,” kata Sandara akhirnya.

 “Tapi kalau ada yang mengajakmu pergi, kau mau?”

 Sandara terdiam beberapa saat sebelum menjawab.

 “Aku belum tahu,” sahutnya, setelah berpikir beberapa saat. “Kurasa aku mungkin akan pergi, kalau kesempatan itu ada. Aku belum pernah pergi ke pesta dansa homecoming.”

 “Acaranya menyenangkan,” ujarku cepat. “Tidak terlalu menyenangkan, tapi menyenangkan.” Terutama dibandingkan dengan pilihanku yang lain, tambahku dalam hati.  Ia tersenyum mendengar jawabanku.

“Aku tentu harus membicarakannya dengan appa-ku lebih dulu. Kalau ia mengizinkan, kurasa aku bisa pergi.”

 Seekor burung yang bertengger di pohon dekat teras itu mulai berkicau ramai, seakan ia tahu tidak seharusnya aku berada di situ. Aku memusatkan seluruh perhatianku pada suara burung itu, sambil mencoba menenangkan kegelisahanku. Dua hari yang lalu sama sekali tidak akan terbayang olehku untuk mengajak Sandara, bahkan mempertimbangkannya sekalipun. Tapi tiba-tiba aku sudah di sini, mendengar suaraku sendiri sementara aku mengucapkan kata-kata ajaib itu.

 “Ehm, maukah kau pergi ke pesta dansa itu bersamaku?”

 Aku bisa melihat Sandara terkejut. Kurasa Sandara mengira basa-basiku sebelum ini mungkin ada hubungannya dengan orang lain yang ingin mengajak dirinya. Kadang-kadang seorang anak remaja mengirim temannya untuk “menjajaki situasi”, begitulah istilahnya, untuk menghindari kemungkinan terjadinya penolakan. Meskipun Sandara tidak seperti kebanyakan anak-anak remaja lain, aku yakin Sandara memahami konsep itu, setidaknya secara teori.

 Namun bukannya langsung memberikan jawaban, Sandara malah berpaling ke arah lain selama beberapa saat. Hatiku terasa menciut karena aku merasa ia akan mengatakan tidak. Bayangan ibuku, membersihkan muntahan, dan Daesung melintas di benakku, dan tiba-tiba aku menyesali caraku memperlakukan Sandara selama ini. Aku teringat saat-saat aku mengejeknya atau mengatai appanya seorang pezina atau sekadar menertawakannya di belakang punggungnya. Pada saat aku mulai merasa amat bersalah mengenai semua itu dan membayangkan bagaimana cara aku bisa menghindari Daesung selama lima jam, Sandara menoleh dan menatapku kembali.

“...” kata Sandara akhirnya

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK