Menikah? Oh Tuhan... Itu semua menjadi keinginan setiap wanita di dunia, kurasa.
Mengenakan gaun putih yang cantik dan riasan, ditambah berdiri di hadapan semua orang lalu diucapkan janji setia oleh orang yang kita cintai, bukankah itu hal yang luar biasa?
Hanya membayangkannya saja sudah membuat jantung berdebar, apalagi saat hari itu tiba, coba!
Tapi tak semua keinginan itu bisa terwujud dengan mudah dan mulus tanpa hambatan. Tak pernah sebelumnya aku membayangkan peristiwa buruk terjadi padaku terutama di hari yang menjadi moment bahagiaku, sekali seumur hidup.
Aku gagal menikah...
Hari itu adalah H-7 pernikahan kami, saat peristiwa buruk menimpa kami. Aku dan kekasihku, Bambam memutuskan untuk pergi jalan-jalan sebentar mengililingi kota Seol. Hanya iseng, awalnya. Karena menurut kami, kami ingin menikmati detik-detik terakhir masa lajang kami bersama sebelum akhirnya kami menikah.
Sebelum pergi Eomma meminta kami untuk membatalkan niat kami itu. Karena menurutnya, calon pengantin tidak diperkenankan untuk keluyuran keluar rumah. Takut terjadi hal yang tidak -tidak nantinya.
Hanya saja kami tidak sependapat dengannya. Karena menurut kami cara berpikir Eomma terlalu kolot dan keprimbonan. Sudah bukan zamannya lagi percaya dengan tahayul atau mitos. Kami pun tak mengindahkan perkataannya.
"Kogjongmaseo, Eomonim.” Kata Bambam santai, sambil bersiap memasangkan sabuk pengamannya.
"Aku akan menjaga baik-baik putrimu. Jadi Anda tidak perlu terlalu khawatir." Bambam berusaha meyakinkan Eomma bahwa dirinya bisa diandalkan.
"Nde, Eomma. Kami akan baik-baik saja. Eomma masakkan aku makanan yang enak, ya. Jebal... Aku dan Bambam akan memakannya sepulang nanti." Kataku ikut merayu Eomma dengan sedikit manja.
"Aish, kalian ini benar-benar. Terserah lah. Tolong kau jaga baik-baik putri semata wayangku ini, Bambam! Arraseo?" Pesan Eomma mewanti-wanti si calon menantu sebelum kami meninggalkan rumah.
"Nde, Eommonim. Aigesumnida..." Jawab Bambam lugas dan bergestur menghormat.
Kami pun pergi meninggalkan Eomma dengan riangnya tanpa lupa melambaikan tangan.
Selama perjalanan, kami begitu menikmati suasana. Bambam membuka atap mobilnya agar aku bisa leluasa menikmati angin dan udara katanya. Dia juga memutar tune MP3 mobilnya. Sebuah lagu dari GOT7, Never Ever.
Bambam menggodaku dengan menyanyikan salah satu part dari lagu itu dengan suara yang lantang. Bahkan teriakannya memancing perhatian pengendara lainnya yang kami lalui.
"Never Ever! Never gonna let You go!.."
Ada saja tingkah lucunya. Bambam selalu bisa membuatku tersenyum dan tertawa ketika kami sedang bersama.
"Ya... Kau membuatku malu. Orang-orang memperhatikan kita, tuh!" Kritikku manja.
"Gwaenchana, chagiya... Akan aku buat mereka iri lebih dari ini." Jawabnya sembari tersenyum sumringah.
Bisa kulihat suasana senang di hatinya. Wajahnya tampak berseri-seri. Belum pernah aku melihatnya tertawa lepas seperti itu. Aku pun berusaha menyatu dengannya dan menikmati cuaca cerah hari itu.
Bambam memperhatikanku sejak tadi, aku tahu itu. Tapi aku akan berpura-pura tak tahu agar dia terus memperhatikanku. Hihihi...
Aku menyandarkan kepalaku di bibir pintu mobil. Kututup mataku dan merasakan tiupan angin kencang yang berhembus menerpa rambut panjangku. Beberapa helai menyapu wajahku dan menutupi sebagian wajahku.
Tiba-tiba saja kurasakan belaian lembut tangan Bambam yang berusaha menyingkirkan rambut di wajahku. Aku terkejut dan terkesiap karena sikapnya.
Entah kenapa aku merasa hari itu Bambam terasa berbeda sekali dengan hari-hari lainnya. Hari itu dia begitu romantis dan sukses membuatku meleleh.
Dari mulai gaya pakaiannya, rambutnya, wajahnya, hingga perlakuannya padaku. Dia benar-benar membuatku seperti melayang di udara. Dia mengerti betul bagaimana caranya menyenangkanku. Seakan-akan ingin membuktikan bahwa aku tidak salah memilih pasangan untuk aku nikahi.
"Sohyun-ah," panggilnya dengan nada super lembut. Tangannya menggenggam jemariku dan mengaitkannya satu persatu.
"...Aku mencintaimu." Lanjutnya dengan tatapan kuat.
Bambam lalu mencium tanganku. Dia tersenyum dan sekali lagi menatapku lekat dan kali ini cukup lama memandangiku.
Tapi sepertinya dia lupa kalau dia sedang mengemudi. Hingga dia tidak fokus dengan apa-apa yang melintas di jalur depan mobil yang kami naiki.
Tiba-tiba saja aku melihat sebuah motor besar tipe Ninja 250cc melintas di hadapan kami. Namun Bambam terlambat menyadarinya hingga membuatnya terkejut dan berusaha menghindar dengan membanting setir secepatnya.
Sayangnya kecelakaan justru menimpa kami. Bambam membanting setir ke pinggir jalan dan mobil kami menabrak tiang lampu lalu lintas hingga tiang tersebut jatuh.
Aku pun mulai tak sadarkan diri. Pandanganku gelap. Seluruh tubuhku terasa sakit. Perlahan-lahan pandanganku kabur dan menjadi gelap. Oh Tuhan, tolong selamatkan kami...
Bambam-ah...
***
"Ya, eoddiseo Jungkook-ah?" Tanya Jimin penasaran mengejarku karena aku tiba-tiba keluar dari basecame tempat kami biasa berkumpul.
"Aku bosan. Aku akan berkeliling sebentar." Sahutku sambil bersiap memasukkan kunci lalu menghidupkan motorku.
Tak perlu banyak kata lagi, aku langsung meninggalkannya seorang diri. Ku-gas sekencang mungkin agar telingaku pengang dan supaya bisa membuatku melepaskan bebanku meski hanya sesaat.
Aku tidak peduli dengan cara pikir teman-temanku tentang diriku sekarang. Saat ini aku sedang pusing memikirkan biaya sekolah adikku sementara aku tidak bekerja. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin membiarkannya putus sekolah begitu saja.
Kepalaku terus saja berpikir dan berpikir mencari solusi. Dengan kecepatan 120 km/jam dan mengenakan helem fullface, aku berkendara lurus ke depan.
Jika saja aku tidak memikirkan adikku, aku mungkin sudah bunuh diri sekarang juga.
Tapi aku tak sanggup membayangkan Adikku yang akan menangis karena harus kehilanganku sementara ia tak memiliki siapapun di dunia ini selain aku, kakaknya.
Hanya saja takdir hidup yang telah kulalui begitu berat. Menjadi kakak sekaligus orang tua untuk adikku sudah kulakoni.
Banyak yang mengatakan kalau jalan keluar selalu datang saat kita sudah benar-benar terpojok di satu sudut. Dan saat ini aku rasa aku sudah benar-benar terpojok. Di mana jalan keluar itu? Aku ingin tahu.
Sebuah mobil sport berwarna merah melintas dengan santainya tepat di hadapanku ketika aku tengah memacu motorku dengan kencang. Padahal jalurnya sedang lampu merah, kenapa dia tidak berhenti?
Apa dia tidak melihatnya?
Kubunyikan klakson motorku sekuatnya dan sebanyak-banyaknya. Akhirnya dia sadar kalau ada aku yang akan datang dari jalur kanan.
Terlambat!
Aku tidak bisa mengerem!
Jarak kami semakin dekat.
Bagaimana ini?
Apa yang harus kulakukan?
Terpaksa aku harus membanting motorku.
Mobil itu pun tampaknya melakukan hal yang sama. Dia membanting setir ke kiri.
Tapi sayang, semuanya sudah terlambat!
Tubuhku terpelanting lalu berguling-guling di atas aspal jalanan hingga helemku terlepas dari kepalaku.
Masih bisa kulihat mobil sport merah itu, rupanya menabrak tiang lampu merah di jalur seberang.
"Aaaarrgghh....."
Sakit sekali...
Tubuhku terasa hancur. Aku tidak bisa menggerakkan tangan dan kakiku.
Tolong...
Tolong...
Berbicara pun sulit.
Apakah aku akan benar-benar berakhir di sini?
Oh, Somi-ah... Mianata....
***