"Selamat datang, Tuan muda Jeon." Sapa seorang kepala pelayan yang diikuti dengan rentetan sapaan yang sama oleh bawahannya kepadaku begitu aku keluar dari mobil.
"Di mana istriku?" Tanyaku padanya mencoba mencari tahu keberadaan Sohyun, istriku.
"Nyonya sedang berada di halaman belakang, Tuan. Beliau sedang asyik merawat tanaman-tanamannya." Jawab kepala pelayan itu, Lee Donghae seraya mengantarku ke tempat istriku berada.
Sesampainya di pintu masuk halaman rumah kami, Sohyun memang terlihat sedang asyik mengurus tanaman-tanamannya. Dia membelai setiap kelopak bunga yang tertanam di pot yang sedang dipangkunya saat ini.
Perlahan-lahan aku mendekatinya. "Kau boleh pergi!" Tukasku agar kepala Lee dan bawahannya meninggalkan kami berdua saja.
"Nde, aegisumnida." Sahutnya kemudian pergi dengan membungkuk.
Kim Sohyun-ssi, wanita yang datang dengan tiba-tiba dalam kehidupanku tanpa alasan namun dengan sebab yang penuh dengan luka. Baik di hatiku maupun di hatinya.
Kecelakaan maut yang telah kami lalui satu tahun yang lalu adalah sebuah gerbang pertemuan bagi kami dengan tanpa sengaja tentunya.
Kecelakaan yang telah merenggut nyawa orang yang dicintainya, hingga pernikahan demi menutupi aib keluarganya. Ya, pernikahan yang harus kami jalani saat ini.
"Kim Sohyun-ssi?" Sapaku pada wanita yang berstatus sebagai isteriku, namun aku tak sanggup memanggilnya dengan sebutan layaknya suami-isteri pada umumnya.
Wajahnya yang semula terlihat berbunga-bunga karena memainkan bunga itu rupanya berubah dengan seketika hanya karena mendengar suaraku. Tanpa balasan, ia hanya diam dan langsung menekuk wajahnya.
"Apa kau sudah makan, Sohyun-ssi?" Tanyaku hati-hati. Namun ia tetap diam tak mau menjawab. Ia justru mengambil tongkat bantunya dan berupaya berdiri. Kurasa ia ingin pergi meninggalkanku, pikirku.
"Ahjuma!" Teriaknya memanggil bibi yang sehari-hari memang ditugaskan membantu keperluannya. Tapi beliau lebih istimewa dibanding pelayan lainnya. Karena beliau sudah merawat Sohyun sejak kecil. Jadi mereka sudah seperti keluarga sendiri, bahkan seperti anak dan ibu.
"Nde, Agassi." Sahut Bibi Shin dan bergegas membantu serta menuntun Sohyun pergi meninggalkanku.
Mungkin bagi orang lain, ikatan pernikahan adalah hal yang sakral dan mengandung kebahagiaan karena kedua belah pihak yang saling mendukung serta membangun satu sama lain. Tapi tidak sama halnya dengan kami. Bagiku juga Sohyun, pernikahan bagaikan hidup dalam ruang hampa yang tiap jengkalnya terdapat duri yang siap menusuk kami yang hidup di dalamnya. Sangat menyiksa juga sangat menyesakkan.
Aku mencoba melonggarkan simpul dasi yang terasa mencekik leherku dan membuatku sulit bernafas, mulanya kupikir begitu. Tapi itu tetap tak membantu. Karena aku sendiri pun tahu, kalau bukanlah dasi yang menjadi permasalahannya, melainkan situasi dan keadaanku saat ini.
Mungkin ini hukuman bagiku, tapi kutahu ini adalah sebuah anugerah untuk adikku, Jeon Somi.
Aku lelah...
Kubanting tubuhku di atas ranjang empuk yang tak pernah kutiduri sebelum aku menikahi Sohyun. Kalau dipikir-pikir, nikmat yang kuterima saat ini semuanya berkat wanita itu. Mulai dari rumah mewah, makanan lezat yang kumakan setiap hari, serta fasilitas berupa kendaraan, pelayanan juga pekerjaan dengan jabatan hebat di perusahaan keluarganya, aku mendapat hak mengelola bagian perusahaan yang menjadi milik Sohyun. Semuanya seperti rezeki nomplok untukku. Hidupku berubah 360° dari sebelumnya. Hanya saja...
Ya, semua ini aku dapatkan akibat kecelakaan yang menimpaku tahun lalu. Karena kecelakaan maut itu, Sohyun harus kehilangan kekasihnya ditambah penglihatannya. Ia menjadi buta. Sementara aku selamat dari maut karena terlempar jauh dari mobil sport merah milik Bambam yang meledak sesaat setelah Sohyun dibantu orang-orang sekitarnya keluar dari mobil itu. Naasnya, Bambam yang belum sempat dievakuasi dan masih berada di kursi kemudi menjadi korban ledakan.
Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia dengan nikmat yang kuterima ini. Yang jelas, pernikahan terpaksa yang Tuan Kim - Ayah Sohyun kehendaki atas kami demi menutupi aib keluarga dari malu pun harus terjadi. Dan jelas saja hal itu membuat Sohyun membenci Ayahnya sendiri juga diriku sebagai pelampiasannya.
Padahal dalam hal ini aku pun termasuk yang menjadi korban dalam kecelakaan itu. Tapi satu hal yang tak Sohyun ketahui dan kupikir ia tak perlu mengetahuinya. Bahwa aku pun terlibat dalam kejadian tragis itu. Menikah denganku saja sudah sangat berat baginya, secara aku bukanlah orang yang dicintainya. Apalagi bila ditambah ia mengetahui bahwa kecelakaan itu disebabkan olehku, pasti hatinya akan semakin hancur dan tak menutup kemungkinan kalau ia akan semakin membenciku.
***
Satu minggu pasca kecelakaan...
Seorang pria dengan penuh luka parah di tubuhnya baru saja membuka matanya setelah koma pasca kecelakaan maut yang hampir saja merenggut nyawanya.
Tut... Tut... Tut...
Suara alat pendeteksi jantung terdengar memenuhi bangsal tempatnya dirawat. Perlahan pria itu mencoba membuka matanya dan memfokuskan pandangannya yang hanya mampu menatap langit-langit kamar.
"Di mana ini?" Kalimat pertama mulai keluar dari mulutnya meski dengan suara yang sangat lirih dan berat.
Tak ada seorangpun yang menemaninya di ruangan itu. Ia hanya sendiri dan itu membuatnya sedikit panik meski tak mudah diungkapkannya.
Namun tak berapa lama dua orang perawat datang untuk mengecek kondisinya. Terdaftar sebagai pasien VIP, pria itu beruntung mendapatkan fasilitas serta pelayanan perawatan yang sangat baik dari pihak rumah sakit.
"Apakah pasiennya masih belum sadar?" Tanya salah satu perawat itu.
"Iya, belum. Padahal kondisinya sudah lumayan membaik. Semoga saja dia bisa segera sadar." Jawab perawat lain yang ikut masuk bersama.
"Kasihan sekali, ya. Mereka calon pengantin, kan? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana responnya nanti ketika mengetahui calon pengantin wanitanya kehilangan penglihatannya."
"Benar. Pasti dia sangat syok."
Sambil sibuk menyiapkan peralatan check-up, kedua perawat itu asyik bergosip tanpa tahu kalau ternyata diam-diam ada orang lain yang mendengarkan obrolannya.
Salah satu perawat pun mendatangi si pasien. Dan ia pun terkejut ketika si pasien ternyata sudah tersadar dan menatap dirinya dengan pandangan kosong.
"Oh, Tuhan! Pasien Jeon sudah sadar rupanya. Perawat, cepat hubungi dokter." Kata salah satu perawat bergegas mendekati pasien sambil memeriksa botol infus juga selangnya yang menancap di tangan pasien.
"Nde!" Sahut perawat satunya lagi dan langsung menekan tombol emergency yang berada di atas ranjang pasien dan menelepon dokter Park yang bertanggung jawab atas pasien itu.
Tak lama kemudian sang dokter pun datang dan langsung mengecek kondisi pasien. Mulai dari setiap indera mata, mulut, telinga hingga kulit. Dokter juga memberikan beberapa pertanyaan singkat kepada pasien.
"Halo, pasien Jeon. Saya Dokter Park. Saya akan memeriksa keadaan Anda karena Anda baru saja melewati masa kritis dan koma selama seminggu." Jelas sang Dokter dan memulai pekerjaan. Ia mengeluarkan stetoskop dan memeriksa keadaan jantung juga baru sang pasien.
"Pasien Jeon, saya akan memberikan beberapa pertanyaan yang harus Anda jawab agar saya bisa mengetahui keadaan motorik Anda. Tak perlu berbicara, cukup jawab dengan kedipan mata Anda. Kedipkan mata Anda jika Anda menjawab ya, dan dua kali kedipan jika Anda menjawab tidak. Apakah Anda bisa memahaminya?" Tanya Dokter. Pasien pun mengedipkan matanya sebanyak satu kali.
"Baiklah kalau begitu, saya akan memulainya. Pertanyaan pertama, apakah Anda bisa mengendalikan kedua mata Anda? Bisakah Anda melihat ke sekeliling jangkauan pandangan Anda?" Tanya dokter antusias.
Pasien mengedipkan matanya sebanyak satu kali pertanda, ya.
"Pertanyaan kedua, apakah Anda bisa menggerakkan jari-jari tangan dan kaki Anda? Boleh Anda coba." Kata dokter lagi sambil memperhatikan jari tangan juga kaki pasien yang bergerak perlahan.
Pasien menjawab dengan satu kali kedipan.
"Bagus sekali. Pertanyaan terakhir, apakah Anda bisa merasakan sentuhan saya pada tangan Anda juga saat saya menggerakkannya?" Kata dokter sambil mengangkatβ sedikit lengan kiri bawah pasien.
Pasien mengedipkan matanya lagi satu kali.
"Bagus, sangat bagus sekali. Selamat pasien Jeon, Anda sudah dalam kondisi lebih baik saat ini. Anda hanya perlu melakukan perawatan lebih lanjut untuk pemulihan. Kedua perawat ini akan membantu Anda sehari-harinya. Jika ada yang ingin ditanyakan dan butuh sesuatu, Anda cukup menyentuh tombol di atas maka perawat akan segera datang. Untuk hari ini cukup di sini dulu. Saya akan memeriksa kondisi Anda selanjutnya sehari sekali. Apakah dapat dipahami?"
Lagi-lagi pasien mengedipkan matanya satu kali. Jawaban yang sesuai harapan Dokter.
"Perawat, tolong ikut saya ke ruangan! Banyak hal yang perlu disiapkan untuk pemulihan pasien ini." Titah sang dokter sebelum meninggalkan bangsal bersama para perawat.
'Pasien Jeon Jungkook', nama yang tertera dengan jelas di papan yang menggantung di bibir ranjang pasien.
Tatapan kosong berselimut rasa bingung di pikirannnya, tampak jelas terlihat di mata Jeon Jungkook. Hatinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah terjadi padanya? Kenapa dia bisa berada di rumah sakit dan terbaring hingga koma? Kepalanya terasa kosong dan tak bisa mengingat dengan jelas apa yang baru saja dialaminya. Tapi satu hal yang ia yakini. Ia pasti telah mengalami kejadian tak biasa dalam hidupnya.
***
Hari demi hari berganti. Selama dua Minggu, dengan bantuan dokter dan beberapa perawat handal, Jungkook mampu kembali dalam kondisi yang jauh lebih baik. Ia melakukan beberapa gerakan terapi ringan untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Ia pun melakukan CT Scan dua hari sekali. Sebuah pelayanan ekstra yang didapatnya dengan percuma sebagai pasien VIP.
Hari terakhir Jungkook di rumah sakit pun akhirnya tiba. Bukannya senang, ia justru bingung harus berbuat apa. Karena ia masih belum bisa mengingat dengan baik siapa dirinya juga kejadian yang menimpanya.
Namun kegundahannya tak berlangsung lama. Sebab tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan kehadiran seorang pria yang tak dikenal memasuki bangsalnya tanpa canggung atau terlihat salah masuk kamar.
Setelan jas dengan warna yang sama atasan dan bawahannya, berwarna abu-abu. Wajah dengan paras rupawan, juga tatapan tajam dan tegas menggambarkan dirinya memiliki wibawa.
"Salam, Tuan Jeon Jungkook. Selamat atas kepulangan Anda dari rumah sakit." Sapa orang itu seraya membungkuk hormat dan berhasil membuat Jungkook terpaku.
"Siapa Anda?" Tanya Jungkook penasaran.
Orang itu pun membawa Jungkook dan mengantarnya ke dalam sebuah mobil sedan hitam yang sudah siap menunggunya.
Jungkook benar-benar dibuat pusing tujuh keliling dengan sikap pria yang tengah bersamanya itu. Pria itu memberinya pakaian ganti dan menemaninya pergi dengan mobil. Siapa dia dan apa maksudnya? Berkali-kali ia menanyakan itu pada orang itu, namun ia tetap bungkam. Tak ada penjelasan sedikitpun. Tapi Jungkook tetap bersabar menunggu dan mencoba percaya padanya. Karena walau bagaimanapun orang itu sudah mau melunasi biaya administrasi rumah sakit yang diyakininya pasti sangat mahal. Dan yang terpenting adalah kenyataan bahwa orang itu mengenalinya. Jungkook hanya berharap semoga orang yang bersamanya itu adalah orang yang baik terlepas ia masih belum mendapatkan ingatannya.
Mobil hitam yang berisi 3 orang, yaitu Jungkook, pria berjas juga sang supir akhirnya berhenti di depan pintu gerbang sebuah sekolah menengah atas di daerah tepi kota Gangnam. Yang dinantikan pun datang. Salah satu siswi yang ditunggu pun akhirnya keluar dari gerbang sekolah. Siswi berambut hitam lurus sebahu dengan poni tipis menarik perhatian Jungkook. Sebuah perasaan penuh gairah dan sedih terasa berkecamuk dalam hatinya.
"Kenapa sepertinya aku mengenalnya, ya? Rasanya sesak sekali di dadaku." Gumam Jungkook sambil meremas kuat dadanya.
Rupanya diam-diam pria berjas memperhatikan reaksi Jungkook terhadap gadis itu. Setelah merasa cukup memahami, pria berjas itu langsung meminta sang supir melanjutkan perjalanan.
Entah kenapa Jungkook merasa sangat sedih ketika mobil yang dinaikinya kembali berpacu. Tanpa sadar matanya juga berbinar. Hidungnya pun jadi sedikit tersumbat.
"Waegure? Kenapa denganku?" Batin Jungkook yang tak paham dengan keadaannya sendiri. Ia mengusap matanya yang tanpa sebab itu hendak menitikkan air matanya.
Tiga puluh menit sudah mengendara, mobil sedan hitam itu lantas memasuki salah satu gedung tinggi yang berada di pusat kota Gangnam.
Selesai memarkirkan mobil, pria berjas pun kemudian turun dan membukakan pintu mobil untuk Jungkook.
"Anda sudah boleh turun, Tuan." Tukas pria berjas itu. "Silahkan ikut dengan saya." Tambahnya dengan nada memerintah.
Tanpa banyak bicara, Jungkook menuruti ucapan pria berjas itu tanpa penolakan sedikitpun. Kemudian ia dibawa menaiki lift hingga lantai 20 seperti yang terlihat pada tombol yang pria itu tekan.
Setelah keluar dari lift, pria itu mengantarnya memasuki sebuah ruangan yang sepi namun berisi 4 orang penjaga di depannya. Ada juga juga dua orang wanita yang tengah berdiri tepat di depan pintu masuk. Di mejanya terpampang tulisan 'Sekretaris'.
"Silahkan masuk, Tuan. Presdir sudah menunggu Anda." Lagi-lagi pria itu memberi perintah.
"Presdir?" Tanya Jungkook heran.
"Benar. Silahkan!" Jawab pria berjas itu dengan suara yang lebih tegas. Mungkin karena ia tak ingin Jungkook terlalu banyak bertanya. Sesuai harapan, Jungkook pun memasuki ruangan yang akan mulai merubah kehidupannya selanjutnya.
Saat Jungkook memasuki ruangan itu, tak ada hal menarik yang bisa dilihatnya selain enam kursi yang melingkari meja besar dan beberapa gambar frame penghargaan dan sertifikat dari prestasi yang diraih oleh perusahaan. Matanya terus menelisik ke seluruh ruangan. Dan akhirnya ia menangkap sesosok pria paruh baya yang baru saja selesai berbisik dengan pria berjas tadi. Kini orang itu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Jungkook.
"Bagaimana keadaanmu? Apa sekarang sudah lebih baik?" Sapa ya sekaligus memberikan pertanyaan yang seolah mengerti betul dengan kejadian yang Jungkook alami.
"Siapa Anda?" Tanya Jungkook penasaran.
"Beliau adalah Presdir Kim, pemilik sekaligus pengembang dari perusahaan Habaek. Beliau juga lah yang telah menyelamatkan Anda dan merawat Anda pasca kecelakaan yang baru saja menimpa Anda." Sambar si pria berjas.
"Benarkah? Oh, Tuhan... Terima kasih. Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Sungguh terima kasih, Tuan." Jawab Jungkook yang merasa terharu dan berhutang Budi kepada Presdir Kim karena telah sangat berbuat baik terhadapnya.
"Sudah, sudah, jangan bersikap begini. Aku hanya berusaha bersikap layaknya manusia yang ingin menolong sesama saja. Kudengar kau belum bisa mengingat apa-apa, apa benar?" Kata Tuan Kim sambil tertawa bangga.
"Benar, Tuan." Sahut Jungkook cekatan.
"Apa kau juga lupa bahwa kau akan menikah?" Tuan Kim pun mulai membuka inti pembicaraan.
"Nde? Menikah?" Jungkook semakin bingung.
"Benar. Kau akan segera menikah dengan puteriku, Sohyun. Apa kau tak ingat?"
"Maaf, apa benar aku akan menikahi Puteri Anda?"
"Tentu saja! Kenapa kau tak ingat?"
Jungkook mulai menarik benang memorinya yang mungkin sudah ia lupakan. Tapi kenapa ia tak juga mampu mengingat apapun? Justru sekarang kepalanya terasa sakit karena berusaha keras mengingat.
"Apa kau tak apa-apa, Nak?" Tanya Tuan Kim yang melihat Jungkook seperti merasa kesakitan.
"Kepalaku sakit. Aku berusaha mengingat tapi tak juga ingat." Jawab Jungkook sambil meringis kesakitan sembari memegangi kepalanya.
"Oh, maafkan aku. Apakah aku telah menyakitimu?" Tuan Kim mencoba membantu memijat kepala Jungkook. "Sekretaris Hong, tolong kau antar Dia ke apartemennya. Biarkan dia istirahat dulu. Besok baru kita ajakβ dia menemui Sohyun." Titahnya pada pria berjas yang selalu menemani Jungkook.
"Baik, Tuan." Jawabnya sambil menundukkan kepala.
"Untuk hari ini kau istirahat saja dulu. Besok aku akan mengantarmu bertemu dengan puteriku." Tutur Presdir Kim pada Jungkook.
Mata Jungkook mengarah pada pria berjas itu dengan tatapan penuh tanya. Namun Presdir Kim dengan tanggap akhirnya menjelaskan sia pria itu.
"Ha-ha-ha... Apa kau khawatir? Dia ini Hong Taekwang, sekretaris pribadiku. Kau tidak perlu mencemaskannya, karena dia akan membantu keperluanku mulai hari ini sampai acara pernikahanmu dengan puteriku terlaksana. Apa kau mengerti?" Jelas Tuan Kim seraya menepuk punggung Jungkook.
Sementara Jungkook hanya terdiam dan tak sanggup berkata-kata setelah mendengar ucapan Tuan Kim. Ia hanya bisa pasrah karena keadaannya yang membingungkan saat ini.
***
Keesokan hari seperti yang telah dijanjikan Tuan Kim kemarin, Jungkook yang diantar oleh Tuan Hong pergi ke sebuah rumah yang berada di lingkungan yang jauh dari pemukiman warga. Rumah yang dikelilingi pemandangan asri dan udaranya yang menyejukkan membuat Jungkook terkesima. Desain rumahnya pun sangat elegan. Tidak modern namun sedikit bergaya klasik. Sungguh terasa nyaman saat ia baru menginjakkan kakinya di pelataran rumah itu.
Jungkook memperhatikan keseluruhan lingkungan rumah. Tanpa sadar senyuman takjub pun tersungging di sudut bibirnya. Dia benar-benar terpana. Tak hanya arsitektur bangunannya yang sangat indah, rupanya rumah itu pun dihuni oleh beberapa pelayan yang siap melayani kapanpun.
"Jeon Jungkook-ssi? Jeon Jungkook-ssi?..." Jungkook tak menyadari kalau sejak tadi Tuan Hong telah memanggil-manggil namanya berkali-kali.
"Ah, Nde?? Juseonghamnida!" Kata Jungkook akhirnya menyahut.
"Mari kita kearah sini. Kita akan segera bertemu dengan Sohyun Agassi." Ujar Tuan Hong sambil menadahkan tangan kanannya ke lorong yang dimaksud.
"Baik." Sahut Jungkook, meski dalam hatinya Jungkook bertanya-tanya dan terus berpikir tentang jati dirinya juga prihal pernikahan yang masih belum bisa diingatnya. Namun Jungkook tetap mengikuti arus karena menurutnya tidak ada hal yang buruk terjadi selama ia mempercayai Presdir Kim.
Tak berapa lama, Tuan Hong pun menghentikan langkahnya di depan pintu sebuah kamar. Jungkook mengikuti gerakan Tuan Hong dan tetap berdiri di belakangnya.
Tok... Tok... Tok...
Tuan Hong mengetuk pintu yang segera dibuka oleh seorang pelayan yang berada di dalam kamar itu.
"Apakah Sohyun Agassi sudah siap?" Tanya Tuan Hong pada pelayan itu.
"Sudah Tuan. Silahkan..." Sang pelayan pun mengantar kami kepada Nona Sohyun.
"Di mana dia?" Tanya Tuan Hong lagi.
"Beliau ada di beranda, Tuan sedang menikmati udara dan mendengar kicauan burung katanya." Jawab si pelayan.
"Baiklah, terimakasih. Kau boleh pergi sekarang!" Tandas Tuan Hong.
"Baik, Tuan." Si pelayan pun mengundurkan diri dan pergi meninggalkan kamar.
"Tuan Jeon, itulah Nona Kim yang kita bicarakan kemarin." Tuan Hong mengantar pandangan Jungkook ke balik jendela kamar yang tinggi lebarnya serupa dengan dinding. Di balik jendela itu memang tampak seorang gadis berambut panjang tengah duduk menghadap keluar membelakangi Jungkook dan Tuan Hong.
"Itukah gadis itu? Yang katanya calon pengantinku?" Jungkook bertanya-tanya dalam benaknya. Meski ia sudah melihat calon pengantinnya, tapi kenapa di dalam hatinya tidak merasakan getaran apapun?
"Benar, Tuan. Mari, saya akan mengantar Anda menemui Nona." Tukas Tuan Hong.
Sekretaris Hong dan Jungkook mendatangi Sohyun yang ada di beranda kamarnya.
"Agassi..." Sapa Tuan Hong, ramah.
Mendengar suara Tuan Hong, Sohyun langsung terkesiap. "Itukah kau, Sekretaris Hong?" Sahut Sohyun, gelagapan.
"Benar, Nona. Ini saya. Saya datang dengan seseorang, Nona."
"Seseorang? Siapa?"
"Dia adalah calon pengantin Anda."
Sohyun bangkit dari tempat duduknya dengan tergesa-gesa. Tak sengaja cangkir teh yang ada di sampingnya pun tersenggol dan jatuh pecah. Tuan Hong pun bergegas membantu Sohyun. Ia khawatir. Karena menurutnya Sohyun masih belum beradaptasi dengan kondisinya saat ini yang tak bisa melihat, ia pasti sangat kesulitan.
"Apa katamu barusan?" Tanya Sohyun tak percaya dan tak sabar ingin memastikannya sendiri. "Bawa aku padanya."
Tuan Hong membantu Sohyun, memapahnya mendekati posisi Jungkook berdiri.
Jungkook terpaku melihat reaksi seorang gadis yang sesegera mungkin ingin menemuinya itu. Dengan tanpa bisa melihat di sekitarnya, juga jalannya yang tergopoh-gopoh, Jungkook merasa iba melihatnya.
"Benarkah itu kau? Rupanya kau selamat. Syukurlah, syukurlah..." Sohyun langsung memeluk Jungkook dan bersandar di dada bidangnya. Tangisannya membuncah bersamaan dengan emosi dan rasa rindu kepada kekasihnya.
"Baiklah, saya permisi. Anda boleh berbincang berdua. Geurom!" Tuan Hong pergi dari kamar itu.
Sohyun yang terlampau senang karena merasa telah bertemu kembali dengan kekasihnya tak mau melepaskan pelukannya. Terlihat jelas perasaan rindu yang teramat sangat itu. Ia pun mencurahkan seluruh perasaannya dengan kata-kata.
"Aku sangat merindukanmu... Aku bersyukur sekali kau masih hidup. Lihatlah aku, aku kehilangan penglihatanku karena kecelakaan itu. Oh Tuhan, terimakasih... Aku tak tahu harus bagaimana jika aku kehilanganmu. Aku sangat mencintaimu, Bambam-ah..."
"Bambam?" Jungkook menggumam. Tiba-tiba saja wajahnya berubah masam. Ia syok saat Sohyun memanggilnya dengan sebutan Bambam.
"Siapa Bambam?" Tanya Jungkook pada Sohyun juga pada hatinya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
BERSAMBUNG
--------------------------------------------------------------------------------------------------
OKE, CUKUP SEKIAN DAN TERIMAKASIH YA ππππ
Sampe disini dulu ya Chapter satunya. Gak tau bisa diterima apa nggak. Tapi yang jelas lanjutannya masih ada lho...π
Jangan lupa tulis komentarnya ya. Kalau masih mau lanjut... Kalau nggak, Author mogok nih πππππ
See you next Chapter π