Lima bulan berlalu, dan semuanya berjalan baik-baik saja. Bahkan ini mendekati sempurna menurutku. Proyek waterpark milik Si Won berjalan dengan lancar, dan beberapa menit lalu aku melihat desaign yang dibuat oleh Jay—suami dari saudara kembarku Yeo Reum atau Summer. Keren sekali! Hubunganku dengan ibu mertuaku pun bisa dibilang sangat baik, dia menganggapku layaknya anak sendiri bukan lagi menantu yang ingin dia singkirkan dari sisi anaknya.
Sementara itu... Cheon Sa. Aku geli sendiri jika mengingatnya. Kami bertemu setelah ibu Si Won sadar dari komanya. Kami bertemu empat mata, berbicara dari hati ke hati, berbicara sebagai wantita dewasa. Saat itu dia tidak seperti sedang patah hati atau depresi karena harus memutuskan tali pertunangannya dengan Si Won—sebenarnya aku juga merasa tidak enak diposisiku. Wanita itu malah terlihat cheerful dan tidak ada gelagat ingin memusuhiku.
Sebenarnya aku sedikit curiga mendapati Cheon Sa ‘baik-baik saja’, tapi hari berikutnya aku menceritakan pertemuanku dengan Cheon Sa kepada Si Won. Dengan gelak tawa keras, dia berkata jika Cheon Sa sudah terpikat dengan yang lain.
“Siapa?” tanyaku kala itu.
“Siapa lagi kalau bukan koki muda handalan hotel ini.” Kekehnya.
Aku menutup mulutku tidak percaya. “Dong Hae?”
“Memangnya kita punya koki muda berbakat selain Dong Hae?” tanya Si Won sarkartis. Aku menggeleng. Syukurlah, Cheon Sa menjatuhkan pada pilihan yang tepat. Dong Hae pria yang baik, dia yang menolongku ketika dulu aku didepak oleh ibu Si Won. Dia juga pendukung nomor satu hubunganku dengan Si Won.
Hingga di bulan berikutnya kami—aku dan Si Won—dikejutkn oleh berita pernikahan di halaman depan surat kabar pagi. Si Won bahkan hampir saja menyemburkan kopi buatanku. Dia lalu dengan serampangan mencari telepon miliknya dan menghubungi Dong Hae. Secepat kilat.
“Kalian menikah?” itulah kalimat yang pertama Si Won ucapkan ketika Dong Hae mengnagkat teleponnya. Dia kemudian menekan tombol loudspeaker supaya aku juga bisa ikut mendengar.
“Ah, sudah ada di surat kabar rupanya. Iya, kami akan menikah dua hari lagi. Undangannya sebentar lagi juga sampai rumahmu.”
“Brengsek kau!” umpat Si Won. Aku mendelik kesal karena ada Dae Hyun diantara kami. Dia kemudian tersenyum meminta maaf. “Mendadak sekali.”
“Aku pikir juga begitu. Dan aku pikir masih tahun depan aku menikah, karena Cheon Sa bilang dia mandul.”
“Maksudmu?” Si Won diam sejenak mencoba mencerna. “You jerk! Sejak kapan?”
“Sejak.... aku lupa. Pertama kami melakukannya ketika pertama kali kau menemukan Na Young sepertinya.” Sahut Dong Hae enteng.
“Sudah tidak waras.”
“Dia tidak waras karena mu dan aku berada di posisi yang menguntungkan sepertinya.”
“Lalu?” Si Won memaksa cerita lebih lanjut, pun aku juga penasaran.
“Ya, kami melakukannya. Ku pikir tidak akan menjadi beban karena Cheon Sa mengatakan jika dia mandul. Dia melakukan pemeriksaan kehamilan ketika dulu ditunangkan denganmu. Tapi, ternyata suratnya tertukar dengan orang yang bernama sama tapi berbeda marga—duh, kenapa nama orang Korea banyak yang sama, ya? Dan, dua minggu lalu Cheon Sa menemuiku jika dia sudah mengandung anakku. Aku bisa berbuat apa men, jika tidak segera menikahi ibunya si Jasmine.”
“Jasmine?” tanya Si Won bingung.
“Nama calon keponakanmu yang cantik nanti.” Dong Hae tertawa geli. “Sudah ya, aku sedang mau pergi mengantarkan ibu mertua ke pasar—beliau menodongku untuk mengajarinya membuat masakan italia. Aku menantu idaman bukan?”
Si Won menggeleng heran dan mematikan teleponnya.
Dan di pagi hari sebelum pernikahan Cheon Sa dan Dong Hae digelar, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku diribetkan oleh dua orang pria. Aku sendiri sibuk memakaikan baju Dae Hyun ketika Si Won berteriak mencari kaos kaki hitamnya.
“Kaos kaki hitam hadiah ulang tahun ayah kau letakkan dimana?” tanya Si Won.
“Di laci lemari nomor dua.” Aku kembali memakaikan baju Dae Hyun yang selalu menolak ketika akan aku pakaikan. Tampan kecilku ini berlari dengan kaki kecilnya dengan tawa lepas, menghindar.
“Benahi dasiku ini!” pinta Si Won.
Aku menghembuskan napas pelan dan membantunya membenahi dasi kupu-kupunya yang miring.
“Sudah mandi, kan?” tanyanya lagi.
“Sudah. Hanya mengurusi dua orang yang super ribet ini.” Aku kemudian mengejar Dae Hyun yang sudah naik diatas sofa, dengan sedikit paksaan aku berhasil memakaikannya baju. “Kau urusi Dae Hyun, ya? Aku ganti baju dan bersiap.” Pintaku.
***
Pesta pernikahan Dong Hae dan Cheon Sa berlangsung begitu meriah di ballroom hotel milik Si Won. Dalam hati aku sebenarnya iri dengan pernikahan mereka. Wanita di dunia ini pasti mengimpikan sebuah pernikahan layaknya di negeri dongeng bukan? Menjadi ratu dalam sehari. Duh, wanita bodoh mana yang tidak mengimpikan itu?
“Aku tidak terlihat gendut, kan?” tanya Cheon Sa ketika kami hanya berdua saja. Wanita itu sudah ratusan kali menghawatirkan berat badanya dan terlihat tidak menarik dengan gaun pengantinnya.
“Kau terlihat cantik, Cheon Sa. Percaya padaku.” Jawabku sembari terkikik geli.
Wajahnya kemudian terlihat sedih. “Harusnya Dong Hae menunggu aku hingga melahirkan saja. Porsi makanku menggila ketika hamil. Aku tidak mau terlihat jelek di hari pernikahanku.” Katanya sedih.
“But, you look gorgeous. Really! Dong Hae must be the lucky man who have you. You’re pretty, queen.” Kataku membesarkan hatinya yang kelewat sensitif ketika hamil.
Cheon Sa kemudian menghambur ke dalam pelukanku. “Oh, thank you. Hanya kau yang megerti aku, Na Young.” ucapnya tulus.
“I know,” candaku. Dia kemudian melepaskan pelukannya dan meminta ijin untuk mencari Dong Hae yang juga sudah berbaur dengan tamu lain. Dari arah lain aku melihat Si Won berjalan ke arahku.
Disisipkan tangannya pada pinggangku dan menarikku agar lebih mendekat.
“Dimana Dae Hyun?” tanyaku.
“Bersama ayah dan ibu.” Jawabnya. “Kau tidak sedih?” tanya Si Won terdengar khawatir.
“Kenapa sedih?” tanyaku bingung.
“Aku dulu tidak bisa memberikan pesta pernikahan yang meriah seperti ini. Hanya pemberkatan di kapel kecil. Hanya ada aku dan kau. Tidak kah kau merasa sedih?”
Aku tersenyum. “Actually, yes. Aku iri dengan pernikahan Cheon Sa. Tapi, aku bahagia.” Aku kemudian memeluknya meyakinkan jika aku benar-benar bahagia dengan pernikahan sederhanaku dulu. Apa yang aku dapat hari ini nyatanya mampu mengalahkan rasa iri itu.
“This!” Si Won mendesah pelan ikut memelukku. “This how I love you so much, my queen. Let’s make another love story this night.”
Aku mendongakkan kepalaku dan melihatnya mengerling nakal.
“You mean?”
“Make another child who has eyes like you, has smile like you, has a kind heart like you, sounds great right?”
“Jangan merayuku!” aku tersipu malu dan menyusup kedalam pelukannya menyembunyikan wajahku. “I want a child like you, actually. Like Dae Hyun.”
“Kenapa?”
“Because I love you, sincerenly. Beberapa orang mengatakan jika anak kita mirip salah satu diantara kita sangat mirip dengan kita,” aku mendongakkan kepalaku menatapnya. “jika laki-laki seperti Dae Hyun yang ternyata lebih mirip denganku dan mewarisi sedikit darimu, itu berarti aku sangat mencintaimu. Nantinya aku ingin anak kita kelak perempuan sangat mirip denganmu, karena aku sangat mencintaimu.”
Si Won tersenyum dan kemudian mencium bibirku. “So... permintaanku benar, kan? A beatiful daughter like you, soon.” Gumamnya lagi dan kembali menciumku. Dia menghentikan ciumannya ketika Dong Hae dengan riuhnya menyoaki kami dari atas altar karena Cheon Sa sudah bersiap melemparkan bunga.
***