Hari sudah semakin siang, Ji Yeon masih tinggal di tepi pantai. Ia butuh waktu sendirian dan menenangkan dirinya sendiri.
Ji Yeon tidak menyadari kini dia sudah di bibir pantai. Ternyata sejak tadi kakinya terus berjalan ke depan dengan tatapannya yang kosong.
Aksi Ji Yeon membulatkan sempurna sepasang mata milik seorang lelaki yang baru saja tiba di tepi pantai dengan sebuah kamera mengalung sempurna di lehernya.
“Noona!!…” lelaki itu berlari ke arah Ji Yeon yang ia pikir akan bunuh diri.
Lelaki itu semakin berlari kencang melihat Ji Yeon yang sudah menenggelamkan dirinya ke dalam air laut sebatas lutut.
“Noona!!..” lelaki itu terus memanggil Ji Yeon dengan sebutan ‘Noona’.
Ia terus berlari dan memeluk Ji Yeon dari belakang, mencegah Ji Yeon untuk berjalan lebih jauh lagi dari tepi pantai.
“Noona.. Kau jangan gila!!!” bentak lelaki yang kini tengah memeluk Ji Yeon dari belakang. Lelaki itu lantas melepaskan pelukannya dan menarik tangan Ji Yeon untuk kembali naik ke tepi pantai. “Noona..” lelaki itu memelan suaranya lantas memegang ke dua sisi bahu Ji Yeon.
“Aku hanya mengikuti hembusan angin membawaku.” Sahut Ji Yeon sangat pelan. “Aku ingin mati saja. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku mau mati saja.” Timpalnya. Ji Yeon terlihat linglung.
“Jadi soal cinta? Kau putus dengan pacarmu, Noona? Kau mau mati? Kau jangan gila Noona. Mati tidak menyelesaikan masalahmu dan mati tidak akan membuat pacarmu kembali padamu.” Bentak lelaki itu. Ia tampak emosi dengan keinginan Ji Yeon untuk mati.
“Oh Tuhan…” Ji Yeon sepertinya mulai sadar dengan apa yang nyaris ia lakukan. “Aku.. aku tidak tahu kenapa bisa melakukan itu dan berkata seperti itu. “Ma’afkan aku Tuhan.”
Ji Yeon menatap lelaki yang sudah menyelamatkannya. Lelaki itu tengah tersenyum seperti malaikat di mata Ji Yeon. “Terimakasih sudah menyadarkanku.” Ucap Ji Yeon pada lelaki itu.
“Kim Joon Myeon imnida. Aku terbiasa dipanggil Suho. Siapa namamu?” lelaki itu mengenalkan dirinya pada Ji Yeon.
“Ji Yeon. Park Ji Yeon imnida.” Jawab Ji Yeon membalas senyuman malaikat Suho. “Senyumanmu seperti malaikat Suho-ssi.”
“Hah? Seperti malaikat? Aku ini manusia, Ji Yeon-ssi.”
“Tapi, senyummu memang seperti malaikat.”
“Terserahmu saja.” Suho tertawa pelan. “Ji Yeon-ssi, coba kau pandang langit di atas.” Pinta Suho seraya mendongakan kepalanya ke arah langit yang cerah siang itu.
Ji Yeon mengikuti apa yang dilakukan Suho.
“Lihatlah langit itu.” ucap Suho. “Tuhan telah berbaik hati menciptakan langit indah untuk kita nikmati. Tuhan menciptakan manusia dan makhluk lainnya ke dunia untuk menikmati semua keindahan yang Tuhan ciptakan di dunia ini. Kau mau menyia-nyiakan semua keindahan-Nya begitu saja. Tuhan itu benci manusia yang mati tanpa kehendak-Nya. Siapapun lelaki yang telah melepaskanmu itu, anggap saja itu sebuah bagian dari dirimu yang tidak berarti. Jalani hidup mu dengan baik. Tuhan akan mencintai makhluknya yang sangat mensyukuri nikmat-Nya.” Suho tersenyum pada Ji Yeon yang kini tengah tersenyum ke arah langit. Kemudian, ia menyalakan kameranya dan memotret Ji Yeon tanpa persetujuan si objek foto.
“Yak!! Apa yang kau lakukan?” teriak Ji Yeon sangat lucu pada Suho yang terus memotret wajah Ji Yeon dalam jarak yang tidak jauh dari satu meter.
“Memotretmu. Ji Yeon-ssi, kau ini perempuan tercantik yang pernah aku temui. Aku akan menjadikan fotomu sebagai salah satu karyaku di pameran fotografi ku.” ujar Suho yang terus memotret wajah Ji Yeon.
“Yak!! Hentikan!! Aku baru mengenalmu. Kau itu orang asing!! Kau ini pencuriii tahuuuu….” Ji Yeon terus berteriak dan terdengar lucu di telinga Suho hingga membuat lelaki itu terkekeh. Apalagi melihat eksrepresi kesal Ji Yeon yang menurutnya sangat lucu dan menggemaskan. Ji Yeon begitu fotogenik di kameranya.
***
Minho kini tengah perjalanan entah kemana selepas menghabiskan waktunya di kantor. Ia ingin menemui Ji Yeon, tapi dia tahu kemana dia harus menemui Ji Yeon. Ia tidak tahu alamat tempat tinggal baru Ji Yeon sekarang. Ia ingin meminta ma’af pada Ji Yeon dan mencoba dekat dengan gadisnya itu.
Deg!! Minho melihat sosok Ji Yeon yang tengah berdiri seorang diri di halte bus. Kali ini ia tidak mau menyia-nyiakan waktu. Minho menghentikan mobilnya tepat di depan Ji Yeon berdiri. Ia membuka jendela mobil sisi kanan posisi Ji Yeon.
“Minho?” Ji Yeon terkejut dengan kehadiran Minho.
“Masuklah.” Pinta Minho. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Lanjutnya.
Ji Yeon menganggukkan kepalanya dan naik ke dalam mobil Minho.
Kini ia terduduk kaku di samping Minho yang kembali melajukan mobilnya.
“Mianhae.” Ucap Minho dan Ji Yeon bersamaan.
“Ji Yeon, kenapa kau minta ma’af padaku? Aku yang bersalah padamu. Aku tidak sungguh-sungguh mengatakan benci padamu. Sungguh… perkataanku kemarin bukan dari hatiku.” Ucap Minho lebih dulu.
“Begitukah? Ku kira.. kau marah padaku.. gara-gara… aku lancang mengecup bibirmu dua tahun yang lalu. Mianhae Minho..”
“Tidak, aku sama sekali tidak marah soal itu.”
“Benarkah. Syukurlah.” Ji Yeon bisa menghela nafas lega. Terlukis senyuman di wajah cantiknya.
“Ji Yeon, kau masih ingat kenangan kita dulu? Kau masih ingat semua kenangan yang pernah kita lewatkan bersama? Aku mau kau terus mengigat moment-moment itu.”
“Ne. Aku akan terus mengingatnya.”
Suasana di mobil itu tampak canggung dan kikuk satu sama lain.
Ji Yeon yang biasanya bisa bersikap ramah dan biasa saja di hadapan Minho sebelumnya. Mendadak tidak tahu harus bersikap apa yang seharusnya ia tunjukan pada Minho. Ji Yeon terlihat segan mengobrol bersama Minho.
“Ji Yeon, boleh aku minta nomor ponselmu?” tanya Minho yang sebenarnya sedang menyembunyikan rasa gugupnya di dekat Ji Yeon.
“Ahh.. ne. tentu saja boleh.” Ji Yeon mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selendangnya.
“Minho, berapa nomor ponselmu? Aku akan lebih dulu menyimpannya dan setelah itu aku akan misscall ke nomormu itu.” Ji Yeon sudah bersiap-siap mengetik nomor ponsel yang akan disebutkan Minho.
“Foto itu?” Minho memandang wallpaper ponsel Ji Yeon. “Kau menyimpan foto itu dan menjadikan foto itu sebagai wallpaper ponselmu?” terselip rasa senang di benak Minho. Ji Yeon menjadikan foto ukiran nama mereka di atas pasir karya Ji Yeon di layar ponselnya.
“Aku tidak punya fotomu. Aku selalu memandang foto ukiran namamu ini kalau aku merindukanmu.” Ji Yeon menundukan kepalanya, menyembunyikan senyum malunya.
“Aku.. aku juga tidak pernah melupakan saat kau mengecup bibirku waktu itu.”
Deg!! Ji Yeon menegakan kepalanya seketika, menatap Minho yang kini fokus menyetir.
“Aku suka ketika kau mengecup bibirku.” ulang Minho.
***
Pantai. Sore ini Minho mengajak Ji Yeon kembali ke pantai. Mereka berdua berdiri berdampingan di tepi pantai di bawah langit senja.
“Ini adalah ke dua kalinya aku kemari untuk hari ini.” ucap Ji Yeon tertawa pelan.
“Jeongmal? Jadi Kris berkata benar? Tadi pagi kau bertemu Kris disini?”
“Iya. Tadi pagi kami menyaksikan matahari terbit bersama disini. Kris masih menyenangkan sama seperti dulu.”
“Bagaimana denganku?”
“Kau? Aku agak bingung denganmu. Aku sempat terkejut ketika kemarin kau membentakku. Kau menakutkan tahuuu…” Ji Yeon sudah mulai terbiasa berbicara dengan Minho.
“Ahh jeongmal?”
“Jeongmal.”
“Kris bilang kau dan Luhan putus?”
“Iya. Kami sudah putus. Kemarin malam. Semuanya salahku, seharusnya sejak awal memang kami tidak bersama. Luhan, dugaanku sejak awal memang benar. Luhan tidak pernah jatuh cinta padaku. Kau ingat malam itu? Ketika kita bertemu untuk pertama kalinya lagi di club?”
“Ne.”
“Kau lihat aku menari di pelukan siapa malam itu?”
“Lelaki itu bukan Luhan.”
“Luhan tidak pernah cemburu ketika aku berdekatan dengan lelaki selain dia. Dia malah bermain-main dengan perempuan lain. Selama ini aku yang salah. Kalau aku tidak mencintainya, aku tidak mungkin patah hati seperti saat ini.”
Tiba-tiba Minho meraih ke dua tangan Ji Yeon dan menggenggamnya hangat. “Kau tidak pantas untuk dipersalahkan karena perasaan cintamu itu padanya.”
“Minho-ah.. Aku heran padamu dan Kris. Selama ini aku tidak pernah melihat kalian berdua berkencan dengan perempuan. Tapi, ucapan kalian.. Bagaimana mungkin kalian memahami sesuatu yang belum pernah kalian miliki?”
Minho tidak menyahut. Ia malah mengangkat ke dua tangan Ji Yeon yang digenggamnya dan ia letakkan di depan dadanya. “Ji Yeon, biarkan aku mencintaimu…”
Deg!!!