Aku mulai muak dengan bau rumah sakit. Tak ada yang dapat ku perbuat selain terbaring sepanjang hari dan berharap hari segera senja dan malam berlangsung lebih lama dari siang.
Pintu bergeser perlahan, membuatku menoleh kearah pintu menampakkan seorang lelaki yang selalu kutunggu kehadirannya.
"Kau sudah pulang?" ucapku sumringah. Aku sangat bahagia ketika mendapati Taeyong pulang lebih cepat dan kami mendapatkan waktu lebih lama bersama.
Ia berjalan menghampiri tempat dimana aku berbaring. Melihat wajahnya membuatku tak kuasa menahan senyumanku. Namun, ada yang aneh tentangnya hari ini. Dia hanya terdiam melihatku tersenyum, tak ada senyuman yang ia berikan untukku.
"Oppa" ucapku kecewa. Tak ada sapaan hangat yang biasa ia lakukan untukku.
"Apa yang sebenernya kau pikirkan?" ucapnya datar tanpa menghiraukan wajah cemberutku.
Aku terdiam mencoba mengerti topik apa yang Taeyong maksud.
"Jadi kau berpura-pura tidak tau apa-apa!" suaranya mulai terdengar seperti bentakan. Tatapan tajamnya mengarah tepat kearahku, tangannya mengepal erat seakan mencoba menahan amarahnya.
Aku mencoba memahami keadaan dan mengontrol emosiku.
"Maksudmu apa? Aku sungguh tak mengerti" ucapku singkat.
"Aku bahkan sudah sering membahas ini denganmu tapi kau masih belum mengerti kesalahanmu?" Taeyong melihatku sinis. Wajahnya memerah seakan emosinya benar-benar memuncak.
"Yaaak" teriakku kesal. Aku mencoba mendudukan diriku diatas ranjang, ku lihat tangan Taeyong bergerak gusar seakan ingin menolongku namun ia menahannya karna ego dalam dirinya. "Berbicaralah dengan benar apa maumu? jangan bertingkah bodoh dengan berharap aku tau segalanya apa yang kau pikirkan" emosiku sudah benar-benar tak kendali saat ini.
"Kurasa hanya aku disini yang berusaha memahami, tapi tak ada yang berusaha memahamiku. Apa kau pikir waktu yang selama ini kita lewati adalah sebuah kesia-siaan?" kalimat darinya seakan menjadi boomerang untukku.
Pertanyaan demi pertanyaan seketika berputar diatas kepalaku. Apa maksud dari perkataannya itu? Apa saat ini dia sudah lelah menjalani hidup denganku? Aku tau dia yang selalu memahami segala kondisiku tapi apakah ini akhir bagiku? Apa yang sebenarnya ia pikirkan?
Ada rasa sakit yang mendalam bagiku mendengar kalimat yang baru saja Taeyong ucapkan. Aku merasa sangat tak berguna untuknya, tentang diriku yang terlalu lemah atau pun penyakit bodohku ini.
"Maafkan aku" tak kusangka air mataku mulai mengalir. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku berusaha menghentikan tangisanku.
"Nana-ahh" ucap Taeyong panik. Kurasakan dadanya berada tepat dikepalaku, tangannya merangkul tubuhku cukup erat. "Kenapa kau menangis? jangan menangis nana-ah" ucapnya tergesa-gesa.
Tangisku makin tak dapatku hentikan dan semakin menjadi-jadi.
"Maafkan aku, berhenti menangis nana-ahh. Aku tak akan marah lagi, nana-ahh maafkan aku" Taeyong mengucapkannya dengan lembut, serta kurasakan pelukkannya makin erat dan rambutku sedikit basah. Dia menangis, aku bisa merasakan air matanya membanjiri wajahnya.
Namun, seketika kepalaku mulai pening. Tubuhku tak bisa ku kontrol dan paru-paruku kehilangan fungsinya membuatku tak bisa bernafas sesaat. Sakit. Pandanganku memudar dan semakin kabur. Aku ingin mati. Ini benar-benar menyiksaku sampai kedalam sumsum tulangku.
Samar-samar ku dengar suara Taeyong berteriak agar dokter segera datang. Tak lama 2 orang suster menahan kedua tanganku, serta memberikan suntikan membuat rasa sakitku semakin mereda.
Aku kembali dengan kesadaran hampir 100% tapi tubuhku masih sangat lemah. Aku melihat kedua suster tadi pergi meninggalkan ruangan, mataku melirik Taeyong yang duduk disamping ranjangku sambil menundukkan kepalanya. Kedua tangan hangat Taeyong menggenggam tangan kananku.
"Maafkan aku, tak seharusnya aku membentakmu nana" ucapnya lirih. "Tapi kau yang membuatku seperti ini, perasaanku terlalu gelisah dengan tingkahmu belakangan ini" dapatku dengar ia membuang nafas dengan kencang dari mulutnya.
Aku sangat tau bahwa ia masih kesal terhadapku, tapi apa daya tubuhku masih lemah tak sanggup menanggapi kalimatnya.
"Kau terus menolak memakan makananmu bahkan suster mengatakan kau menolak meminum obatmu pagi ini, aku harus terus mencari uang tapi jika kau seperti ini bagaimana aku bisa fokus pada pekerjaanku" ucapnya lirih, sekilas kudengar suara isakkan tangisnya.
Aku berusaha melihat wajahnya namun tak dapat kulihat karna ia menunduk cukup dalam.
"Sekali saja tolong pahamilah aku nana-ah" Taeyong menaikan wajahnya yang menunduk dan pandangan kami bertemu.
Aku melihat wajahnya dipenuhi air mata, rasa bersalah kini hinggap dihatiku. Tak seharusnya aku membuat orang yang berarti bagiku menangis.
"Aku hanya ingin kau berjuang untuk dirimu dan untukku. Lakukan apapun yang dapat membuatmu bertahan trus bersamaku. Makan sebanyak yang kau mampu dan minum semua obat tepat waktu. Jangan biarkan kanker diotakmu lebih kuat darimu, kau harus berjuang untuk lebih kuat nana-ahh. Kumohon belajarlah untuk terus menjadi lebih kuat" Taeyong mengelus rambut ku lembut, membuatku kembali meneteskan air mata.
Aku tak dapat mendeskripsikan air mataku, aku terlalu bahagia mempunyai seorang yang mengharapkan keberadaanku dan aku menyesal membuatnya menderita karnaku.
"Tolong pahami aku sekali saja nana-ah. Pahami bahwa aku hanya ingin kau terus bersamaku" ucapnya lembut.
Aku memalingkan tatapan kearah langit-langit, aku malu. Aku benar-benar malu kepada diriku sendiri. Disaat ada orang lain yang terus berjuang membiayai biaya rumah sakitku, berjuang memberikan kebahagiaan untukku dan berjuang menghadapi kehidupan bersama wanita lemah sepertiku tapi aku malah hampir putus asa dan ingin segera mengakhiri segalanya.
Seorang yang menjadi oppaku sejak kami dipanti asuhan bersama sampai kini dia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Saat ini, seandainya dia tak bersama wanita seperti ku mungkin dia dapat membeli mobil mewah bahkan rumah serta dikelilingi wanita cantik.
Aku hanya wanita lemah yang trus menjadi parasit dalam hidupnya dan kini aku tanpa berterima kasih dengan mudahnya ingin mengakhiri hidupku.
"Aku tak perlu apapun darimu nana-ah, aku hanya perlu kau trus berada disampingku sama seperti kau yang disampingku serta menemaniku selama 18 tahun" ucap Taeyong lembut.
"Maafkan aku" dengan usaha yang sangat kuat akhirnya aku dapat mengeluarkan suaraku.
Kulihat Taeyong berdiri dan mendekat kearah kepalaku, aku melihat ia tersenyum hangat dan terus mengelus rambutku lembut.
"Syukurlah kau sudah sadar sepenuhnya nana-ah" ucapnya lembut dan tak lupa ia terus tersenyum.
Aku tau dia masih khawatir terhadapku namun ia menutupinya lewat senyumannya.
Melihat senyumannya membuatku tersadar bahwa aku ingin terus berada disampingnya. Aku tak butuh apapun dan aku tak peduli apapun yang menghalangiku untuk bersamanya karna aku akan mampu melewatinya. Aku harus berjuang bukan untukku tapi untuk Taeyong, aku tak ingin dia kecewa.
Aku akan berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus hidup dan aku harus bisa trus bersama Taeyong.