Awan mulai bergerak menutupi matahari. Aroma tanah mulai menguar ditambah dengan angin kencang yang menerbangkan tirai jendelaku. Berpuluh-puluh pasang kaki itu tampak berlarian. Berusaha untuk menghindari rintik-rintik air yang jatuh menusuk bumi.
Aku memegang tirai hijau berbahan linen yang mulai basah. Suara geraman dari langit membuatku cepat-cepat menarik gagang jendela. Enggan mempersilakannya masuk ke dalam kamar. Dari sini bisa kulihat embun yang mulai menempelkan diri pada kaca jendela. Seakan mereka murka karena tak kusambut dengan baik.
Aku tahu, sebagian dari dirimu pasti bosan saat mendengarkan penuturan 'hujan mengingatkanku pada...' seakan selalu ada sebuah cerita yang tersimpan di kala hujan. Aku tidak akan menyalahkan hal itu, karena bagaimana pun juga setiap orang memiliki cerita tersendiri terhadap hujan. Semua kisahku berawal dari rintik hujan yang tak kunjung reda. Mungkin kau akan suka bagian cerita yang menyangkut hal itu, atau malah membuka lembaran baru untuk melewatkannya.
***
Semuanya terlihat berlarian ketika gerbang besi setinggi tiga meter itudibuka. Matahari sudah tak tampak karena disembunyikan oleh awan. Kemungkinan hujan turun amat besar. Membuat mereka mau tak mau harus berlarian agar tak tertimpa setetes air hujan pun. Dia berdiri di sana. Seperti biasa, jas sekolahnya bertengger di bahu kanannya yang tegap. Berusaha membuat penampilannya lebih keren walau aku yakin dia sama saja seperti yanglain.
Kim Mingyu namanya. Sosoknya tinggi dengan tubuhnya yang lumayan berisi. Garis rahangnya yang tegas membuatnya terlihat lebih maskulin. Kulitnya yang sedikit cokelat juga membawa kesan tampan sekaligus seksi. Tak heran jika para gadis mengagumi ketampanannya.
Seakarang aku di sini. Bersamanya dan juga murid-murid lain yang setia menunggu kedatangan bus. Halte yang tidak seberapa ini dipenuhi oleh remaja-remaja berseragam. Membuat dadaku sesak karena kesulitan bernapas.
Hari semakin gelap meski kulihat masih menunjukkan pukul dua. Rintik-rintik hujan yang mulai turun harus membuatku rela berhimpitan agar tak membasahi tubuh. Kulirik dia yang berada tak jauh dariku. Kali ini jasnya sudah tak bertengger, melainkan membungkus badannya yang menurutku terlalu besar--atau memang jasnya yang kecil. Tangannya sibuk mengetik sesuatu dari beda persegi panjang yang menyala itu. Aku masih menatapnya ketika tak sengaja dia menatapku balik. Kutarik napasku dalam-dalam dan segera membuang muka. Beruntung, bus datang setelah itu. Kakiku melangkah naik ke ke dalam dan menempelkan kartu t-money pada mesin scan, kemudian mencari tempat duduk yang strategis.
Bus berhenti cukuplama karena tidak hanya satu atau dua orang yang naik. Sebagian dari mereka sampai rela berdiri karena tempat duduk sudah penuh. Mataku memandang ke halte. Hujan semakin deras ketika bus mulai berjalan. Namun, aku masih melihatnya berdiri di sana dengan beberapa murid lain.
Di sebelahku, seorang gadis duduk berdampingan dengan temannya terdengar menceritakan sesuatu. Bukan. Aku bukanlah seseorang yang suka menguping. Sebuah nama yang mereka ucapkan membuatku tertarik untuk ikut mendengarkan cerita mereka.
"Mingyu punya kenangan buruk terhadap hujan,"
Aku semakin memasang telingaku baik-baik. Sebenarnya aku heran dengan mereka yang malah mengurusi urusan orang lain. Bahkan aku tidak menyangka mereka tahu seluk beluk kehidupan Kim Mingyu.
"Ayah dan ibunya meninggal saat hujan. Dia berusaha untuk diam meskipun wajahnya menyiratkan kesedihan saat hujan."
Hatiku mencelos. Orang tuanya meninggal saat hujan? Demi Tuhan, ini sangat berbeda dengan pribadiku yang sangat suka denganhujan. Aroma yang dibawanya selalu membuat jiwaku tenang. Orang-orang biasanya menyebutnya Petrichor.
Kutekan tombol merah yang ada di sebelahku, membuat bus berhenti di halte yang berdekatan dengan rumahku. Aku segera melangkahkan kaki untuk keluar dan berlindung di bawah atap halte. Bus kembali melaju. Meninggalkanku sendirian di halte yang sepi ini. Tempat duduk yang terbuat dari alumunium itu terasa dingin saat ku duduki. Menandakan hujan sudah menyebarkan anginnya untuk mendinginkan semua tempat.
Aku menyayangkan bagian dimana Ibu menyuruhku untuk membawa payung. Ibu sudah seperti peramal cuaca. Setiap hari pasti selalu mengingatkanku untuk membawa ini itu untuk berjaga-jaga. Namun, tak pernah satu pun perintahnya kulakukan. Tetesan air hujan sedikit membasahi tubuhku saat angin berhembus. Aku memang suka hujan, tapi aku tidak suka jika mereka menyentuhku barang sedikit pun.
Hari semakn senja dan hujan tak ingin membiarkanku melewati mereka. Sebenarnya bisa saja aku menghubungi ibu yang ada di rumah untuk menjemputku di sini. Namun, aku terlalu takut untuk memegang ponsel. Suara gemuruh dan petir yang menyambar-nyambar itu membuat bulu kudukku merinding saat membayangkannya menyetrum tubuhku.
Kaus kakiku sudah semakin basah. Ingin rasanya menembus hujan tanpa terkena timpahan mereka. Haruskah aku meminjam alat Doraemon? Ah, mungkin dia sedang menjelajadi luar angkasa bersama Nobita dan kawan-kawan.
Brak!
Suara tabrakan benda keras itu terdengar cukup kuat. Meski agak kabur, aku bisa melihat seorang pengendara motor yang melaju dan meninggalkan seorang anak yang terduduk di aspal. Payungnya terjatuh hingga air hujan membasahi seluruh tubuhnya. Kakiku dengan spontan berlari ke arahnya. Melupakan hujan yang masih mengguyur bumi dengan deras. Aku meringis saat melihat kakinya yang mengeluarkan darah dan mulai bercampur dengan air hujan. Ku gendong tubuhnya dengan perlahan sambil membawa payungnya yang telah rusak. Tubuhku sudah terlanjur basah. Jadi, aku menggendongnya menuju rumahku. Ibu adalah seorang dokter yang sedang cuti melahirkan. Pasti ibu bisa mengobatinya.
***
"Untung hanya luka luar. Mungkin akan hilang dalam seminggu."
Aku menghela napas lega. Gadis kecil itu menatapku lekat-lekat. Mungkin dia baru melihat gadis cantik bak malaikat sepertiku ini.
"Hai,"
Aku menyapanya dengan lembut ketika Ibu ke luar. Dia terlihat ketakutan. Pandanganku beralih pada baju tidur biru muda bergambar Pororo milikku saat sekolah menengah pertama. Sangat pas di tubuhnya. Aku bahkan tak menyangka jika ibu masih menyimpan baju kesayanganku itu.
"Siapa namamu?"
Matanya yang tajam mengingatkanku padanya. Kulitnya pucat, kontas dengan bibirnya yang merah. Dia pasti tumbuh menjadi gadis cantik saat besar.
"Kim... Min... Seo..."
Suaranya bergetar. Kutarik selimut hingga menutupi lehernya. Surainya yang lembut membuatku betah untuk mengelusnya berlama-lama. Mulutnya terus menggumamkan kata 'ibu'. Membuatku iba, tapi aku tak mungkin membiarkannya pulang saat kakinya terluka.
Ibu kembali dengan sebuah nampan yang di atasnya ada tiga cangkir cokelat panas. Meletakkannnya di atas nakas, kemudian memberikan satu pada gadis kecil bernama Minseo itu.
"Bu, Ryuuta tidur ya?"
Aku meringis tatkala cubitan Ibu mendarat di lenganku.
"Namanya Jae Hee." ingat ibu.
"Tapi lebih cantik Ryuuta, bu."
Ibu menatapku tajam, "Yang melahirkan Jae Hee siapa? Kau atau ibu?"
Aku terdiam. Tak berani untuk melawan ibu. Sudah jelas aku yang kalah jika ibu sudah menmbakkan bola meriam ke arahku.
"Kau sudah menelepon keluarganya?" tanya Ibu lagi.
Benar juga. Aku seenaknya membawa seorang gadis kecil yang bahkan aku tak tahu siapa keluarganya. Bibirku membentuk senyuman, dan menanyakan hal itu pada Minseo.
"Minseo-ya, apa kau meningat nomor telepon ayah atau ibumu?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, gadis kecil itu malah menundukkan kepalanya. Menatap cangkir cokelat panasnya lekat-lekat. Aku bisa melihat genggaman tangannya di gagang cangkir itu semakin erat.
"Ayah dan Ibu... sudah tidak ada,"
Mulutku terkunci rapat. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan sehari-harinnya. Dia pasti sangat sedih, dan aku malah membuatnya mengingat ayah dan ibunya.
"Tapi, aku punya seorang kakak, mungkin dia sudah pulang." sambungnya.
Aku mengambil ponselku yang berasa di atas meja belajar, kemudian memberikannya pada Minseo agar dia mengetik nomor kakaknya itu. Setelah selesai, dia mengembalikan benda itu. Tanpa pikir panjang, aku menekan tombol hijau dan menempelkannya pada telinga kananku.
"Yeoboseyo,"
"Maaf, apa ini kakaknya Minseo?"
"Ya, ada apa?"
Tubuhku membeku saat mendengar suaranya yang berat. Malah mengingatkanku padanya.
"Begini, tadi aku bertemu gadis kecil yang ditabrak oleh pengendara motor yang ternyata adalah adikmu,"
"Minseo?! Minseo ditabrak?! Di mana dia?"
Kakaknya berteriak panik. Membuatku sedikit menjauhkan ponsel dari telingaku.
"Sekarang dia ada di rumahku. Mohon untuk menjenguknya. Aku akan mengirimkan alamat rumahku lewat pesan."
"Tolong kirimkan secepatnya."
"Aku mengerti. Selamat sore."
"Ya."
Sambungan diputus sepihak olehnya. Aku langsung mengetikkan alamat rumahku dan mengirimkannya pada nomor tadi. Kuambil secangkir cokelat panas yang ibu buat, kemudian menyesapnya perlahan.
"Kakakmu akan menjemput sebentar lagi."
***
Jam menunjukkan pukul 5.25 saat bel rumahku berbunyi. Mungkin itu kakak Minseo. Aku menatap Minseo yang sedang terlelap, kemudian beranjak untnuk melihat siapa yang datang. Kutarik gagang pintu rumahku dan mendapati seorang pria jangkung berdiri dihadapanku.
"Maaf, apa benar ini rumah Yoon Hee Jung?" tanyanya.
Aku masih dalam tahap menetralkan detak jantungku dan mencoba bernapas secara normal ketika dia menyebut nama ibuku. Pandanganku beralih pada seragamnya yang terdapat bordiran simbol sekolahku.
"Kau... Kakaknya Minseo?"
Dia membungkuk padaku sebentar, "Aku kakaknya Minseo, Kim Mingyu."
***
Malam ini, bulan tampak tersenyum kepada bintang-bintang seakan berterima kasih atas kehadiran mereka. Membuatku ikut menarik kedua sudut bibirku. Membentuk sebuah lengkungan persis seperti yang bulan lakukan.
Pikiranku masih teringat dengan Minseo. Gadis itu... Ah, pantas saja aku merasa wajahnya mirip dengan seseorang. Aku bahkan tidak berpikir jika kakaknya itu Kim Mingyu. Banyak orang yang mempunyai marga Kim. Jadi, aku tidak bisa berpikir sampai sejauh itu.
Hari ini, aku sedikit tahu tentang sosok Kim Mingyu. Dia sangat menyayangi adiknya. Tentang orang tuanya yang sudah berpulang, aku turut iba mendengarnya. Karena yang ku tahu dirinya hanya tinggal bersama Minseo, keluarga satu-satunya yang tinggal di Seoul. Oleh karena itu, dia pasti sangat khawatir jika terjadi sesuatu pada adiknya.
Meski terkesan acuh dan cuek di sekolah, Mingyu sangat perhatian dan lembut saat menghadapi gadis kecil seperti Minseo. Sebelum dia datang, Minseo sempat bercerita padaku tentang kakaknya yang sangat menyukai anak-anak. Minseo juga bercerita jika kakaknya selalu memasak makanan kesukaannya dan menceritakan dongeng pengantar tidur setiap malam. Ah, aku saja sudah terpesona hanya dengan mendengar cerita dari seorang gadis kecil.
Mulai hari itu, aku menjadi dekat dengan Mingyu. Meski tak secara spesifik, karena dia masih mempertahankan image-nya. Kami hanya dekat di luar jam sekolah. Bersepeda dan es krim adalah hal-hal yang kami sukai. Setidaknya untuk saat ini, karena ku dengar dia akan kembali ke kampung halamannya di Anyang. Minseo akan masuk sekolah di sana dan dia akan melanjutkan kuliah di universitas terdekat.
Keesokan harinya, aku tidak menemukan Mingyu di sekolah. Aku ingin bertanya pada teman-teman sekelasnya. Namun, aku terlalu takut untuk bertanya karena mereka tidak ada yang tahu kalau aku dekat dengan Mingyu. Sepulang sekolah, aku pergi ke apartemennya yang tak begitu jauh dari rumahku, tapi tetap saja akan terasa melelahkan jika berjalan kaki. Kardus-kardus berserakan di depan apartemennya. Terlihat dua orang paman yang mengangkut kardus-kardus itu ke dalam mobil pick up. Aku punya firasat buruk.
"Mingyu,"
Dia menatapku dengan santai. seolah-olah aku bahagia karena kepergiannya. Kakinya mendekat hingga jarak kami hanya sekitar sepuluh meter. Senyum lebar merekah di bibirnya. Menampilkan gigi-giginya yang tak rapi dan taringnya yang menawan.
"Kau pergi sebelum lulus?"
Langkahnya semakin dekat. tangannya terulur memegang kedua bahuku. membuatku mendongak mengingat perbedaan tinggi kami yang lumayan jauh.
"Ya, tapi aku masih bersekolah di sana hingga lulus." balasnya.
Aku menarik napas dalam. Ujian akhir tinggal menghitung hari. Mungkinkah dia akan pergi setelah ujian selesai?
"T-tapi..."
"Setidaknya dalam seminggu ini kita masih bisa bertemu, atau makan es krim dengan Minseo? Yang jelas kita tidak bisa bersepeda lagi karena sepedaku akan dibawa ke Anyang." Mingyu terkekeh.
Entah kenapa aku jadi tersenyum melihatnya seperti itu. Akhir-akhir ini aku merasa senyumannya bagai candu bagiku. Ingin rasanya selalu melihat senyuman itu terpatri di bibirnya. Membuatnya melupakan jika dia hanya mempunyai minseo saat ini.
"Kau akan tetap menganggapku sahabatmu, kan?"
Aku melepaskan cengkeraman tangan mingyu di bahuku, kemudian tersenyum, "Tentu saja kau masih menjadi sahabatku, Kim Mingyu!"
Kami berdua sama-sama tertawa. Namun, keheningan melanda ketika aku memutuskan untuk diam, begitu juga dia. Ku tundukkan kepalaku dalam-dalam. Kalau boleh jujur, jelas aku ingin mencegahnya untuk pergi. Bagaimana pun juga, mingyu itu sahabatku satu-satunya. Aku tidak ingin dia pergi meski aku tahu itu hanyalah sifat egoisnya saja.
***
Satu tahun berlalu.
Kini aku bukanlah seorang gadis yang terikat oleh peraturan sekolah. Aku bebas dalam artian tidak perlu menggunakan seragam sekolah yang sangat mudah dikenali dan membuatku kurang nyaman ketika berjalan-jalan sepulang sekolah.
Akhirnya aku masuk Universitas Nasional Seoul setelah berdebat dengan orang tuaku soal universitas yang akan menjadi tujuanku menimba ilmu ke tahap selanjutnya. Kecintaanku terhadap dunia bahasa menjadikan jurusan sastra dan bahasa sebagai pilihan utama. Awalnya aku sempat ingin memilih jurusan kedokteran seperti ibu, tapi jauh sebelum itu aku sudah membayangkan betapa jijiknya melihat darah yang mengalir di sana-sini, apalagi membelah perut orang. Kurasa aku sudah pingsan sebelum melakukan operasi.
Menurut perkiraan cuaca, hari ini seoul dan sekitarnya akan dilanda hujan. Aku sudah mempersiapkan sebuah payung dari rumah. Ini pertama kalinya aku melaksanakan perintah ibu. Benar saja, baru selangkah aku berjalan, rintik-rintik hujan mulai turun. Membuat para mahasiswa berlarian menghindari hujan, begitu juga aku yang spontan berlari ke halte tanpa memikirkan soal payung.
De javu.
Aku tersenyum. Hujan mengingatkanku pada sosoknya. Selama mereka pergi, aku merasa kehilangan. Terutama Mingyu. Jujur, aku merasa ada bagian dari hatiku yang kurang. Entah kenapa jantungku berdebar saat menyebut namanya.
Selagi menunggu bus, para mahasiswa tampak memainkan ponselnya. Mereka seperti tidak peduli dengan suara gemuruh dari langit. Aku memandangi mereka dengan senyum. Biasanya aku menunggu di halte dengan orang-orang yang memakai seragam yang sama denganku. di antara mereka semua, ada seseorang yang memikat mataku. Dia sibuk bermain ponsel sambil menunduk dan kepalanya tertutup hoodie yang cukup besar. Aku terkejut ketika dia mengangkat kepalanya dan tersenyum ke arahku.
Kim Mingyu!
***
"Sayang?"
Aku menutup laptopku dengan spontan saat suara itu menginterupsi. Buru-buru aku bangun dari posisiku dan memandang seseorang yang berdiri di sampingku. Dia menggendong seorang anak perempuan yang sedang memakan lolipop. Aku tersenyum melihatnya.
"Kau menulis cerita itu lagi?" tanyanya.
Aku mengusap tengkukku, "Hanya iseng."
Aku mengambil alih anak itu dari gendongannya. Dia sungguh manis seperti lolipop yang dimakannya.
"Kau belum makan, kan?"
"Aku akan makan setelah ini, Kim Mingyu Yang Terhormat." ucapku padanya.
Dia mendengus kesal, kemudian beranjak ke luar kamar dan kembali dengan semangkuk bibimbap. Aku yakin pasti dia yang memasak itu. Tanganku hendak mengambil mangkuk itu, tapi dia mencegahku.
"Aku yang akan menyuapimu. Kau bisa sakit jika telat makan."
Aku tersenyum dan membuka mulut begitu dia menyuapkan sesendok makanan itu.
Dia romantis sekali.
Ini salah satu contoh kebiasaan yang selalu Mingyu lakukan padaku.
Husband material sekali bukan?