Chanyeol POV
“Yeol-ah..” terdengar suara sayup mama memanggilku dari bawah. “Yaa, sebentar,” kataku sambil menaruh kembali gitar akustik kesayanganku pelan-pelan di tempatnya. Tak peduli betapa tergesa-gesanya, aku harus memperlakukan gitar kesayanganku itu dalam kondisi yang aman. Itu gitar yang dipilihkan oleh Ahra beberapa bulan setelah kami kenal, empat tahun lalu.
Turun dari tangga, aku disambut oleh mama yang sudah memegang sebuah mangkuk yang berisi seperti bubur berwarna hijau pucat. Apa mama menyuruhku memakan itu? Aku mengikutinya duduk di bangku kayu kesayangannya di depan jendela kaca besar menghadap ke teras samping rumah kami.
“Ya ma?” tanyaku sambil menatap pohon ginko yang kini tak lagi berdaun di luar. Sambil terus mengaduk sesuatu yang ada di mangkuknya, mamaku yang cantik itu mengalihkan badannya untuk menghadapku dan mengelus pipi kananku.
“Aduh, anak laki-lakiku, wajahnya kering sekali. Musim dingin telah merusak wajah bayinya.”
“Apa sih, mama ini..” kataku tercengir senang. Meskipun aku sudah bukan anak-anak lagi, aku sangat menikmati momen dimana wanita kesayanganku ini tak pernah berubah memperlakukan aku. “Itu apa, ma?”, tanyaku sambil menunjuk mangkuk yang ia pegang.
“Ini campuran alpukat, madu, dan yoghurt,” katanya sambil kembali mengaduk-aduk. “Untuk apa? Dimakan?”
“Haha, bukan adeul. Ini untuk masker wajah, supaya tidak kering di musim dingin. Sini mama pakaikan untukmu. Habis itu kau pakaikan untuk mama ya?” ujarnya dengan senyumannya yang ia turunkan pada kakak perempuanku, Yoora.
Aku hanya menurut saja. Memang, aku ini adalah anak lelaki yang sangat lemah terhadap mama. Tak pernah sekalipun aku menolak permintaannya apalagi membantahnya. Kuseret bangku kayu yang kududuki agar berhadapan dengannya. Rupanya mamaku sudah menyiapkan ikat rambut untuk mengikat poniku agar tidak menutupi wajah.
Sambil memoleskan masker yang lembut dan dingin itu di keningku, tiba-tiba mama bertanya, “Sudah beberapa minggu ini mama tidak melihat Ahra main kemari. Apakah kalian berdua sedang bertengkar?”
“Tidak tahu, ma. Aku juga bingung dengannya,” ucapku hati-hati, takut maskernya berantakan. “Sudah lama mama mau bertanya, memangnya hubungan kalian berdua ini bagaimana sih?”
Bingung. Aku hanya mengangkat kedua pundakku yang menyatakan bahwa aku pun tidak mengerti. Mama mulai memoleskannya ke bagian pipi.
“Pacaran? Atau apa ya, kata anak-anak jaman sekarang, friendzone?”
“Mama kok gaul sekali, sampai tahu kata-kata seperti itu!” kataku sambil tersenyum. “Aku menyukainya ma. Cukup menyukainya sampai aku bisa menahannya untuk terus bersamaku sejak SMA hingga sekarang.”
“Lalu? Kau sudah pernah mengatakan padanya?”
“Pernah. Tapi aku tak pernah memintanya untuk jadi pacarku. Mungkin itulah yang membuat hubungan kami seperti ada jarak. Ahra juga tipe wanita yang jarang menyatakan apa yang ia pikirkan. Jadi aku tak pernah mencoba untuk memulai dari mana.”
Mendengar penjelasanku, aku mendapatkan sebuah toyoran dari mamaku. “Ya jelas saja dia bingung, adeul! Wanita itu butuh penjelasan.”
“Kupikir tadinya hal itu tak perlu. Aku sudah bisa melihat dia di masa depanku. Dia bagaikan sosok yang kunantikan, lalu datang dan membahagiakanku. Sebuah serendipity. Tapi ternyata kejelasan seperti itu penting juga ya ma?”
“Omo! Anak mama ini sudah dewasa ya? Sudah bisa pikirkan masa depan? Dan cuma Ahra yang bisa melakukannya. Sejak pertama kali kau membawanya kerumah, mama sudah sangat menyukainya. Apalagi itu pertama kalinya anak mama yang playboy ini membawa teman wanitanya kerumah. Selesai, gantian pakaikan untuk mama ya,” mama menyerahkan sisa mangkuknya padaku.
“Iya aku tahu. Kelihatan dari cara mama dan papa yang menginterogasi Ahra sampai soal keluarganya. Sudah seperti menginterogasi calon menantu saja,” sambil pelan-pelan mengoleskan masker racikannya sendiri.
Nyonya Lee Young Mi tersenyum. “Lalu bagaimana rencana anak mama selanjutnya? Cepatlah jelaskan status kalian sebelum anak manis itu diambil orang lain.”
“Aku tadinya berencana mengajaknya kencan di hari Valentine ini. Tetapi sepertinya ia tak mau. Bagaimana menurut mama? Kapan ya waktu yang tepat?”
“Secepatnya. Mama lupa, ulang tahun dia tanggal berapa ya? Biar mama tanya ke tante Min Hee,” katanya sambil meratakan kembali adonan masker di wajahnya.
“Wah-wah, mama sepertinya ingin sekali Ahra jadi menantunya ya, sampai harus ke peramal langganan mama itu,” kataku dengan tertawa, diikuti oleh tertawaan mama.
***
Ahra POV
“Filmnya bagus kan? Sesuai seleramu tidak?” tanya Sehun sambil menggandeng tanganku untuk keluar dari studio tempat kami menonton. Deg! Belum apa-apa dia sudah berinisiatif untuk berpegangan tangan!
“Suka, terutama karena ada Brad Pittnya” kataku. Padahal setelah pernyataan cinta darinya, aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa dan hanya berdebar tak karuan.
“Nah, sekarang kan Brad Pitt sudah tak disini. Kau sudah tak lagi merasa tak enak padanya kan? Hehe,” tanya Sehun menyinggung soal pernyataan cintanya tadi.
Aku memberhentikan langkah sambil menarik tangannya yang menggenggamku, mengisyaratkan untuk berhenti berjalan dan minggir.
“Hm, harus sekarang ya?” tanyaku sambil memandangi tangan kami yang bergandengan. Karena tak langsung mendengar jawabannya, aku pun mendengak untuk melihat wajahnya. Maklum, dibanding sosoknya yang tinggi, aku ini bertubuh mungil.
Rupanya Sehun hanya mengangguk. “Benar-benar sekarang?” tanyaku lagi.
“Ahra, aku tak mau menyiakan satu hari pun jika kau mau jadi pacarku. Jadi aku ingin mendengar jawabanmu. Aku sih pede.”
“Haha.. kau ini, pede sekali..”
“Lalu bagaimana?”
“Baiklah.”
“Baiklah apa?”
“Aku juga suka dengan pria baik sepertimu. Aku mau memulai jadi pacarmu..” perkataanku langsung disambut senyum sumringah darinya.
“Tapi..” mendengar kata itu, senyumannya langsung hilang.
“A-apakah ini tidak terlalu cepat?”
“Tidak sama sekali bagiku. Aku berpikir pertemuan denganmu adalah sebuah serendipity.”
“Serendipity?”
“Iya, kau adalah sosok menyenangkan yang datang secara tiba-tiba tanpa aku harus berusaha mencarinya. Apakah aku terkesan memaksamu?”
“Tidak, tidak sama sekali. Aku hanya takut hubungan kita nanti tak seperti yang kau bayangkan.”
Sehun melepaskan genggaman tangannya dan mengarahkan kedua tangannya untuk menghangatkan kedua pipiku yang memerah karena dinginnya musim dingin malam hari.
“Kalau kau yakin dengan hubungan ini, maka aku tak khawatir sama sekali. Jadi, kau mau jadi pacarku? Aku mau jadi pacarmu..”
“Iya..” sambil mengangguk yang dibalas dnegan senyuman manis dari pria manis yang menemaniku beberapa minggu ini. Ya, kalau aku yakin akan hubungan ini, maka taka da yang perlu dikhawatirkan lagi. Mungkin sama seperti Sehun, kehadirannya di hidupku yang menyedihkan kemarin, dia adalah sebuah serendipity.