5 tahun kemudian
Kuhirup udara musim dingin di Seoul setelah selama beberapa tahun meninggalkan kota kelahiranku ini. Kini umurku sudah cukup dewasa. 21 tahun. Segera ku balik tulisan Close menjadi Open pada papan yang menggantung di pintu kaca Coffee Shop milik kakak ku yang baru buka hari ini.
Beberapa tahun lalu aku memutuskan pindah ke Indonsia dan melanjutkan SMU ku disana. Baru setelahnya ku putuskan untuk keluar negeri melanjutkan study ku dengan bantuan beasiswa. Namun, pendidikanku tidak berlanjut pada semester 4 karena terpaksa beasiswa itu tiba-tiba dicabut dengan alasan yang tidak masuk akal.
Ku benarkan posisi syal yang membalut leherku. “ Uh. Dingin sekali.” keluhku mengusap-usapkan kedua telapak tangan.
Tepat pada saat itu, kulihat seseorang pria di depanku yang mungkin tidak sengaja lewat, tampak memperhatikanku dengan pandangan lekat. Seolah aku ini patung pajangan baginya. Aku balik mamandangnya, namun sepertinya dia tidak menyadarinya. Dia seperti melamun, memikirkan berbagai hal.
Aku segera memalingkan wajahku kebawah menatap salju yang mengenai sepatu boot coklatku.
“Seo Rim-ah. Masuk lah. Diluar benar-benar dingin.” teriak kakakku dari dalam. Aku langsung memutar tubuhku dan berjalan kedalam.
Kulirik ia kembali. Ia masih disana. Aku semakin ingin tahu siapa dia. Menurutku ia tampak tampan dengan rambut hitamnya dan wajah polosnya. Aku merasa pernah melihatnya waktu-waktu yang lalu entah kapan dan dimana. Setelah berpikir keras dan tak kunjung menemukan jawabannya, akhirnya aku menyerah dan tak memperdulikannya lagi.
Aku melepas syal ku dan duduk di depan kakakku yang sibuk mengelap cangkir demi cangkir kopi . “ Ne. Diluar memang sangat dingin.” Aku menyahut pendek.
Kulirik kakak ku yang hanya diam dan mengangguk. Ia masih sibuk dengan pekerjaanya tanpa menoleh kearahku.
Aku kembali menelusuri ruang toko coffee shop ini. Saat itu, ku lihat pria tadi memasuki toko dan kemudian duduk di sebuah kursi sambil terus menatapku nanar dan kadang-kadang menunduk, melamun memandang meja.
Tentu saja pandangannya membuatku tak nyaman. Aku merasa aneh karenanya. “Eonny, apa ada yang salah dengan pakaianku?” tanyaku ingin tahu. Kakakku hanya menatapku heran dan menggeleng pelan.
“Ani. Wae?”
“ Lihat orang itu.” Aku melirik pria tadi begitu pun diikuti dengan kakakku. Wajahku masih penasaran namun berbeda dengan ekspresi yang ditunjukkan kakak ku. Dia malah tampak sumringah dan amat senang melihatnya.
“Aku merasa dia terus menatapku aneh. Aku takut.” Kataku mengadu.
Spontan, tawa kakak ku meledak saat itu juga. Aku hanya cemberut melihat tingkahnya yang mungkin berpikiran bahwa aku sedang bercanda.
“ Orang tampan itu? Kau bercanda? Mana mungkin! Kau saja yang ke ge-er an!!” ejeknya.
Aku langsung memukul lengannya kesal plus sewot.
“ Aku tidak sedang bercanda!”
Kakak ku hanya tertawa lalu menyahut, “ Ne. Ne. Arraseo!” katanya pendek. Dibalikkan tubuhnya membuat kopi andalan coffee shop ini. Tampaknya seseorang kembali memesannya. Tak kusangka, di hari pertama tempat ini sukses menarik perhatian orang-orang yang lewat. Maklum saja, kakak memang pandai mendapatkan tempat yang strategis.
“ Oh, ya. Bagaimana dengan audisimu?” tanyanya tanpa menoleh.
Aku tersenyum lebar dan sumringah. “ Tentu saja sukses! Mungkin minggu depan aku mulai menjadi trainee-nya!” kataku senang. “ Bayangkan! Aku bisa debut dalam waktu kurang dari satu tahun!!”
Kini kakak ku kembali berbalik dengan satu cangkir kopi hitam pekat di nampan. Ia memandangku takjub, “ Oh, jinja? Daebak (Hebat)! Ternyata adik ku yang satu ini sangat berbakat!”
“ Tentu saja! Aku sungguh beruntung bisa lolos audisi yang super ketat itu!”
Sesaat kemudian, kakak ku memandang pria yang beberapa waktu lalu sempat kami bicarakan, sosok laki-laki dengan pandangan misteriusnya yang kurasa terus memperhatikan gerak-gerik ku disini.
Spontan, ia menyipitkan matanya. “ Chakaman! Bukankah dia LKim!? Artis tampan itu!!” Serunya terpukau sambil terus menatap sang artis itu. “Apa kita harus memotretnya?? Ia sangat tampan!” kagumnya kegirangan.
“Dasar tak tahu malu!!” cibirku.
Ia menoyorku keras.
“ Daripada kau diam saja disini, lebih baik kau antarkan kopi ini padanya!” perintahnya mengulurkan nampan ditangannya. Ku dongakkan kepalaku lalu memandang berkeliling. Pelayan lain tampak sibuk dengan pesanan para pengunjung lainnya.
Mau tak mau aku menurutinya dan langsung melangkah mendekat kearah meja tempat pria itu menunggu pesanannya.
“Silahkan.” ucapku sambil menyuguhkan pesanannya. Kini, ia hanya menatap kopi tersebut. Ia kembali diam tanpa ekspresi. Aku agak heran melihatnya namun, aku hanya tersenyum kemudian kuputuskan untuk kembali ke meja pantry.
Aku meliriknya lagi. Ia langsung berdiri dan berjalan meninggalkan kopinya yang sama sekali tak diminumnya bersama sebuah buku catatan di meja. Dengan segera, diriku kembali berjalan kearah mejanya, menyahut buku yang mungkin ditinggalkannya dengan sengaja. Aku langsung mengejarnya dan menangkap tangannya sesaat sebelum ia keluar dari toko.
Pria itu menoleh pelan.
“ Maaf, anda tak bisa meninggalkannya.” Kataku mengulurkan buku itu.
Ditatapnya nanar buku catatan hitam usang itu. Pelan, ia mendorongnya kembali.
Aku menatapnya heran dengan mata menyipit. Saat itulah ia berkata. Sungguh suara itu tak dapat kulupakan meski sudah bertahun-tahun lamanya. Suara seseorang yang sempat lewat di hidupku dan pergi begitu saja seperti angin musim dingin.
Dirinya yang tak dapat kulupakan, tiba-tiba menghilang dengan sepatah kata yang mempora-porandakan hati.
Saat itulah aku memlebarkan mataku, kini aku menyadari dan mengingat siapa dia. Dia orang yang dulu membuatku melupakan kenangan di kota ini. Dia juga yang membuatku berkali-kali sedih dan menangis seperti orang bodoh.
“ Itu milikmu.” ucapnya getir ada sesuatu yang tertahan. Ia menatapku nanar. Aku ikut diam tak berkata. Kemudian ia membalikan tubuhnya bersiap meninggalkan tokoku. Aku segera menarik bajunya, menahannya pergi. Entah mengapa tanganku bergerak sendiri.
Ia berhenti tapi tetap tak menoleh. “ Kim Myungsoo. Kau Kim Myungsoo?” Tanyaku lirih bercampur gemetar.
Ia mengangguk pelan.
Hening. Kami hanya diam tak berkata. Memoriku berkelana pada 5 tahun yang lalu. ku rangkai satu demi satu puzzle yang berantakan. Ku ingat wajahnya masih seperti dulu tak berubah. Tegas, tajam dan misterius.
Aku menatap punggungnya sekali lagi.
Perlahan kuturunkan tanganku yang menarik bajunya, melepaskannya kembali untuk kedua kalinya.
Sesaatd ia diam lalu kembali berjalan memecah dinginnya salju yang sedang turun.
Aku masih diam tak bergerak. Kakiku terasa terpaku di tanah. Aku masih terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba mengusik hidupku lagi.
Kini kusadari bahwa diriku telah gagal melupakannya.
***
Aku mengeluarkan barang- barangku yang masih terbungkus rapi di kardus lalu menatanya di rumahku yang baru. Meski rumah ini sangat sederhana, aku cukup puas dengan hidup baru ku. Kuputuskan untuk tinggal berdua dengan kakak ku sementara ibuku masih berada di Indonesia. Dia memang ingin menghabiskan masa tuanya di tempat itu. Setidaknya disana lebih tenang tanpa terganggu kesibukan ibukota.
Ku tolehkan kepalaku. Setumpuk kertas yang sudah using kini terlihat di mataku. Aku langsung mengambilnya dan membuka ikatannya dengan hati-hati. Satu-persatu, kubuka catatan-catatan lamaku yang kusimpan dengan sebaik-baiknya. Semua ini sangat berharga bagiku.
Tanganku berhenti tiba-tiba. Kutatap dengan lekat sketsa wajah pada kertas itu. Kim Myung Soo. gumamku dalam hati. Aku terduduk di lantai kayu rumahku sambil menatapnya nanar.
Tok..tok..tok..
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera menoleh ke arahnya.
“ Nugu?” tanyaku.
Tanpa ada jawaban, perlahan pintu itu dibuka. Tampak Sin Ah yang berdiri disana. Dirinya kini tampak berubah dengan rambut hitam panjangnya yang dibiarkan terurai. Aku segera menjemputnya dan memeluknya.
“ Aigoo, apa kau sangat merindukanku?” katanya mengacak rambutku sambil tertawa. “ Kau semakin dewasa, Seo Rim!”
Aku menjitaknya keras. Ia sempat mengaduh kesakitan.
“ Ya! kau yang semakin dewasa. Kau dulu seperti anak-anak!” candaku. Ia cemberut dan sekali lagi mengacak-acak rambutku. Kami tertawa bersama. Tak kusangka, meski waktu berlalu, temanku yang satu ini tak melupakanku sebagai sahabatnya. Saat Di Indonesia dulu, dia sering sekali menghubungiku lewat email dan telepon. Untuk itulah hubungan kami tidak serta-merta terputus sejak kepindahanku.
Aku kembali sibuk dengan kardus-kardus di depanku. Semua masih berantakan.
“ Kau kerja dimana? Aku ingin menemuimu sesekali.”
Ia menoleh kearahku “ Di Rumah Sakit. Tapi, sayangnya aku selalu sibuk dengan pasienku.” keluhnya berat.
Aku hanya tersenyum memandangnya.
“ Daebak! Sejak kapan kau ingin jadi dokter. Apa karena ini bersama Woohyun lagi?” tanyaku menggodanya.
Spontan, dia melempariku dengan gumpalan kertas. “ Aish!”
Aku tertawa lebar. “ Ya! Kenapa marah? Apa aku salah?”
“ Ani. Kau benar. Kau memang sangattt benar! Kau puas, heh?” katanya kesal.
Sekali lagi aku tertawa membuat wajahnya semakin masam. Ia hanya diam dan cemberut melihatku tampak bahagia menggodanya. Sesekali ia menggerutu, tapi aku tahu, ia tak akan benar-benar marah ataupun benci terhadapku.
“ Ya! Pasienmu akan lari kalau tahu dokternya suka cemberut seperti ini!” candaku.
Dia mencubit pipiku keras, membuatku mengaduh kesakitan.
“ Gure! Aku tak akan cemberut lagi!” katanya sambil tertawa terus mencubit pipi ku.
Ku lepaskan tangannya dari wajahku. Kini kedua pipiku sempurna memerah.
“ Kenapa hubungan kalian tidak ada perkembangan?” tanyaku pada akhirnya.
Ia hanya mengangkat kedua bahunya.
“ Entahlah. Dia masih enggan menyatakkan perasaannya padaku.” katanya lemah. Dibalikkan tubuhnya menghadapku dan menatap ku lekat dengan wajah putus asa. “ Seo Rim-ah! Bagaimana ini? Aku ingin dia tahu perasaanku!”
“ Kalau begitu, kau yang harus mengatakkannya lebih dulu.” jawabku. “ Jangan jadi pengecut.”
Seketika aku tercekat dengan ucapanku sendiri.
Pengecut?
Aku tersenyum miris. Huh! Sesungguhnya aku juga masih seorang pengecut!
***
Udara dingin masih menyelimuti kota ini. Bekas salju yang turun pagi tadi masih ada di sepanjang jalan yang kulalui. Dinginnya menusuk membekukan tulang, membuatku menggigil kedinginan.
Kini, kaki ku melangkah menyusuri setapak demi setapak jalan di sungai Han. Aku sedikit merasa jengkel ketika musim dingin tiba. Udara yang dingin sama sekali tak bersahabat dengan kondisi tubuhku.
Mataku memandang kesekeliling. Rasa yang timbul dalam diriku tak akan pernah berubah menatapnya meski tempat ini banyak sekali mengalami perubahan. Dimusim dingin pun diriku masih mengagumi tempat ini. Tempat dimana semua kenangan manis memenuhi ingatanku tentang keluarga kecil yang bahagia.
Kebahagiaan Ayah, senyum Ibu dan tawa kami, tak akan pernah kembali.
Aku duduk disalah satu bangku kosong. Tanganku merogoh tas yang sedari tadi kujinjing.
Kedua mataku lekat memandang sebuah buku hitam ditanganku. Sesaat terdapat dorongan yang membuatku ingin membukanya, namun sedetik kemudian segera kugelengkan kepalaku kuat-kuat menghindari keinginanku itu. Aku langsung memasukkannya kembali tanpa melihatnya lagi. Meski dia sempat mengatakkan bahwa ini untuk ku, tapi apakah diriku berhak melihat isinya?
Kuhembuskan nafas ku berat. Pandangan ku kini tertuju pada sungai Han yang terhampar luas. Setidaknya itu membuat suasana hatiku tenang.
“ Sung Seo Rim?”
Aku menoleh kearah suara yang memanggilku.
Seketika aku tergugu, diam tak berkata begitu melihat sosok yang sudah berdiri di sampingku. Dengan wajah datar ia menatapku yang sedikit terkejut dengan kehadirannya. Kim Myungsoo. Pria itu langsung duduk di sampingku sambil memandang ke depan, tepat kearah sungai Han.
“ Apa kau terkejut?” tanyanya mengawali percakapan.
Aku menunduk lantas mengangguk. “ Ne.”
“ Sejak kapan kau kembali?”
“ Satu minggu yang lalu.”
“ Kau senang kembali kesini?”
“ Tentu saja.”
“ Apa kau sendiri?”
Aku tinggal bersama kakak ku.”
“ Dimana kau tinggal?”
Spontan aku menoleh menatapnya tak mengerti. “ YA! Itu bukan urusan mu, kan!”
“ Apa kau baik-baik saja?”
“ Ne. Tentu saja aku baik-baik saja jadi jangan bertanya lagi!” jawabku semakin tak sabar.
“ Apa kau punya pacar?”
“ YA! Keumanhae! Kau ingin kuhajar, hah!?” Seruku menatapnya semakin kesal.
Namun, Ia hanya tertawa kecil membuatku semakin bingung dengan tingkahnya yang menjengkelkan seperti ini. Huh! Entah sejak kapan sifatku menjadi pemarah dan kekanakan seperti ini. Merasa kesal dengan sesuatu yang tidak penting.
“ Jangan tertawa!” Perintahku garang.
“ Hahaha—, kau sama sekali tak berubah.” ucapnya terus tertawa. “ Kau selalu kasar! Apa kau ini benar-benar seorang wanita?”
“ M-mworago?” Aku mengepalkan tanganku, siap memukulnya.
Seenaknya saja mentertawaiku!
Namun saat tanganku sudah melayang diudara, tepat saat hampir mengenai lengannya, secepat kilat ia menahan tanganku. Membuatku seketika terdiam dan kehilangan kata-kata dalam sekejap saat mata kami bertemu.
“ Ahh—, Apakah ada yang mau jadi pacarmu?” tanyanya kembali menggodaku.
Dengan keras langsung kulepaskan genggaman tangannya dan secepat mungkin kualihkan wajahku kearah lain. Menghindar dari tatapan matanya yang mungkin bisa membuat jantung ku berdegup tak beraturan. Huh! Semoga saja dia tak sempat melihat wajahku yang memerah.
Pria itu menyandarkan punggungnya sambil menghela nafasnya berat. “ Yahh—, aku sangat kecewa kau tak ingin tahu apapun tentang diriku.” sahutnya. “ Sebenarnya aku juga tidak punya pacar. Kau tahu hidup Idol seperti apa, kan? Tapi bukan itu alasannya.”
“ Diamlah! Aku tak peduli!”
“ Apa kau sama sekali tak ingin tahu mengapa?”
“ Kubilang aku tak peduli, kan!”
Tak lagi kudengar kata-kata dari bibirnya. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba saja telingaku dipenuhi dengan alunan lagu yang tak hanya indah namun juga memiliki arti yang dalam. Sejenak aku terpana dengan musik yang memenuhi kepalaku. Suara yang mengalun dari headphone miliknya seketika membuatku terdiam untuk beberapa saat.
Neo gateun saram eopsdeora
Neo hanabakke eopsdeora
Sigani jinago da jinagan daedo
Ajik neol ijeul suneun eopseul geot gata
Neo gateun saram eopsdeora
Neo hanabakke eopsdora
Nan wae geuraesseulkka nan wae mollaseulkka
Ije wa pabocheoreom honjasmareulhae
Ireon nae mami apasseo neoman saenggakhae
Nae sarangi geuriwo neoman chaneunde
Geuttae naege haessdeon mal
Saranghandaneun mal
Geujeo geuriwo geurae
Dareun sarange haengbokhaeneun neol bomyeon
Nae maeumi jakku apa
Neo gateun sarameun ( Neo gateun sarameun~)
Neo gateun sarameun tto eopsdora...
Kulepaskan headset yang kupakai. Perlahan, kutolehkan kepalaku menatap Myungsoo yang sedari tadi tampak terus memperhatikanku.
“ Seo Rim-ah, Inilah alasanku.”
Kepalaku terdongak, menatapnya lama dengan mata terbuka lebar. Mulutku terbuka, hendak mengatakan sesuatu. Namun entah mengapa semua kata-kata itu terasa berhenti di tenggorokan. Kegugupan itu membuatku terdiam. Sesungguhnya tak ada sepatah katapun yang dapat kukatakan.
***To Be Continue***
*Lagu dari W Project (Joo Chan & So Yoon) yang berjudul 너 같은 사람 없더라 ( No One Like You )