home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Me As You

Me As You

Share:
Author : letsDOwl
Published : 02 Oct 2016, Updated : 11 Oct 2016
Cast : BTS Jin & Jimin, RV Irene & Seulgi, GFRIEND Sowon, GOT7 JB, TWICE Chaeyoung
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |831 Views |0 Loves
Me as You
CHAPTER 6 : Chapter 2: The Crazy Plan

“Kim...Seokjin?”

“Bae...Juhyun?”

Ucap kami bersamaan pada diri kami masing-masing.

 

 

AUTHOR'S POV

Myungjin University

Baik Seokjin maupun Juhyun mematung sejenak hingga..."Aakk Seokjin oppaa!", Juhyun memeluk Seokjin begitu saja. "Diamlah, aku ingin memberi pelajaran pada yeoja menyebalkan itu", gumam Juhyun cepat.

Mata Seokjin lekas bergerak menatap Kyung-ri yang menatap bingung keduanya. Namja itu menghela nafas pelan.

"Ne?!", Juhyun mendongak menatap Seokjin tak percaya.

"Kalian saling kenal?", Seulgi menginterupsi percakapan keduanya. "Eo? Chakkaman! sepertinya kau-".

"Psh jincha....tak kusangka kau secepat ini berpaling dari Jaehwan", ujar Kyung-ri sinis.

"Ya!", sungut Seulgi pada Kyung-ri kesal.

"Jaehwan nuguji?", bisik Juhyun yang masih menempelkan sisi wajahnya di dada Seokjin.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mata Seokjin menangkap sosok seorang namja yang berdiri cukup jauh dari dimana ia berada saat ini. Namja itu menatap ke arahnya. Seokjin menatap Juhyun sejenak lalu mendorong yeoja itu pelan tanpa sedikitpun melepaskan pandangannya pada namja itu.

Seulgi mengikuti arah pandang Seokjin dan melihat sosok namja yang juga dilihat Seokjin. "Kaja onnie!", sungut Seulgi sembari menarik Juhyun. Namun....TAP! Seokjin menahan Juhyun dengan menggenggam pergelangan tangan yeoja itu. "Kita harus bicara", ujar Seokjin serius.

"Andwaeyo! Onnie  harus kuliah sampai malam hari!", cegah Seulgi.

"Kalau begitu aku akan menemuimu pukul 7 setelah jadwalmu selesai", ujar Seokjin.

"Ah geundae-", sungut Seulgi.

"Gwenchanayo", ujar Juhyun mencoba menenangkan sang adik. Ia menoleh menatap Seokjin dan mengangguk pelan. Seokjin melirik ke arah namja yang sebelumnya memperhatikan mereka sejenak. Juhyun mengikuti arah pandang Seokjin dan ia turut melihat namja itu. "Solma! Apa ia....", gumam Juhyun dan namja itu bergantian.

Menyadari bahwa Seokjin balik menatapnya, namja itu terlihat canggung dan bergegas masuk ke dalam gedung. Seokjin pun melepaskan tangan Juhyun setelah kepergian namja itu.

"Kaja onnie!", sungut Seulgi menarik sang kakak tak sabar. Juhyun sesekali terlihat menoleh ke arah Seokjin sebelum sosoknya menghilang masuk ke dalam kampus.

"Kau sungguh kekasih dari Bae Juhyun?", tanya Kyung-ri penasaran.

Seokjin melirik sinis yeoja itu. "Apa itu masalah bagimu?"

"A-Aniyo! Hanya saja....", gumam Kyung-ri genit. "Sayang sekali jika namja tampan sepertimu tertarik pada yeoja seperti Juhyun", sambung Kyung-ri.

"Lalu aku harus tertarik pada yeoja seperti apa? Sepertimu?", balas Seokjin.

"A-Aniyo- tapi jika kau-"

"Aniyo gomapta....wanita sepertimu sudah sering kutemui", balas Seokjin lalu membungkuk sopan dan hendak berpamitan pada Kyung-ri.

Kyung-ri sedikit terkejut dengan ucapan Seokjin. "Mworagoyo? Ya!!", seru Kyung-ri tak terima dengan ucapan Seokjin tadi.

Seokjin berhenti sejenak dan menoleh ke arah Kyung-ri. "Ah! satu lagi! Kuperingatkan kau untuk tidak mengganggu Juhyun. Aku tak segan untuk melakukan hal yang sama padamu jika hal itu terjadi...annyeong", ujar Seokjin lalu bergegas pergi.

Kyung-ri mematung di posisinya. "Ia tak mengenalku tapi kenapa ia bicara seolah ia sudah mengenalku?", gumam kyung-ri bingung.

Seokjin berbalik pergi dengan seulas senyum tipis tergambar di wajahnya.

*** 

Juhyun as Seokjin's POV

Aku melangkah santai menuju mobilku. Kubuka pintu belakang mobil dan bergegas masuk ke dalamnya. "Kaja paman", ujarku santai.

"Kupikir kau kemari karena ingin bertemu tuan muda Park", ujar Paman Choi.

Aku mematung sejenak. Ah matta! Aish!. "Ah...i-itu...", gumamku salah tingkah tak tahu harus berbuat apa.

"Kau seharusnya jujur padaku sejak awal jika kau ingin menemui yeojachingumu...aku tak seharusnya mengikutimu...jweisonghamnida", ujar Paman Choi yang bagiku terdengar seperti sedang meledekku.

"Ah aniyo! Yeoja itu bukanlah yeoja chinguku! Aku...aku hanya mempunyai sedikit urusan dengannya...haha", ujarku tertawa canggung.

"Algesseumnida...lalu...kemana kita sekarang?", tanya Paman Choi.

"Kembali saja ke penthouse...aku ingin beristirahat", ujarku pada Paman Choi. Bertemu Seokjin dan tubuh asliku serta membalas Kyung-ri membuatku merasa lebih baik. Aku melamun memperhatikan pemandangan di luar melalui jendela mobil. Sosok namja itu kembali melintas di kepalaku. Lee Jaehwan.....aku seharusnya berterima kasih pada Kim Seokjin yang mau menggantikan posisiku saat ini. Jika aku tak bertukar tempat dengannya, aku tak tahu apakah aku masih mampu melihat Jaehwan atau tidak. Hanya dengan menjadi dirinya, aku bisa melihat Jaehwan tanpa harus merasa malu...aku bahkan bisa memperingatkan Kyung-ri untuk tak mengangguku. Aku...berlindung di balik tubuh Kim Seokjin. Aku tahu....aku memang seorang pengecut. Aku menghela nafas pelan dan tak lama kemudian, mobil yang kunaiki mendadak berhenti. "Wae guraeyo paman?", aku bertanya pada Paman choi. Namja itu menatap lurus ke depan. Entah sudah berapa lama aku melamun, tapi yang kutahu kini aku sudah berada di depan penthouse. Di sana terparkir sebuah mobil mewah dengan dua orang dalam balutan jas terlihat duduk di kursi depan. Aku memicingkan mataku dan sepertinya aku melihat seorang lainnya duduk di kursi penumpang. Namun aku tak bisa begitu jelas melihatnya. "Mereka...siapa?"

"Jweisonghamnida tuan muda....aku tak menyangka bahwa mereka akan menemuimu secepat ini", ujar Paman Choi.

"Mereka....siapa paman?", aku bertanya sekali lagi.

Paman Choi menoleh ke arahku dan menatapku. "Mereka...lah yang tengah mengincar hartamu", ujar Paman Choi.

*** 

Seokjin as Juhyun's POV

Seulgi berjalan cepat sembari menarik tanganku. "Ahhh chakkaman chakkaman!", aku meringis kesakitan karena yeoja itu mencengkram tanganku. Tak kusangka yeoja itu kuat juga. Seulgi melepaskan tanganku dan menatapku kesal. "Wae? Ouch...", gumamku sambil memijat mijat pergelangan tanganku.

"Wae katamu?!", sungut Seulgi. "Aku butuh penjelasan darimu...geu namjaga...nuguya?"

"Ia namja yang kuselamatkan dua hari yang lalu!", ujarku sebal atas ketidak sabaran Seulgi.

Seulgi menatapku curiga. "Lalu bagaimana kau bisa mengenalnya? Kau bahkan tak sempat bicara padanya"

"Ah itu....", aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Seulgi. "Ah...moreugesseo! Mungkin saja ia mengingat wajahku! Lagipula...aku juga tak menyangka akan bertemu dengannya di sini!", sungutku sebal.

Seulgi masih melirik ke arahku curiga. Namun yeoja itu akhirnya menghela nafas pelan. "Kau ingin aku menemanimu menemuinya?", tanya Seulgi melunak.

"Ani...aku bisa menemuinya sendiri", jawabku yakin. Tak ada jawaban lagi dari Seulgi. Kulirik yeoja itu sekali lagi dan ia hanya menatapku tertegun. "Wae?"

"Kau sungguh sungguh telah berubah", gumam Seulgi. "Gurae! Jika kau ingin pergi sendiri...lagipula aku harus bekerja setelahnya nanti...aku sudah membolos karena menemanimu di rumah sakit kemarin!", ujar Seulgi. "Kelasmu ada di ruangan 304, jadwal kuliahmu sudah ada di dalam tasmu", sambungnya.

"Ah...ne...gomawo", ujarku. Aku tak mengerti bagaimana hubungan Juhyun dan Seulgi sebelumnya. Apa mereka jarang berkomunikasi karena sifat Juhyun yang tertutup?. Aish...geu yeojaga jincha.   seandainya saja ia bisa sedikit lebih terbuka, ia seharusnya menyadari bahwa adik perempuannya ini begitu menyayanginya. "Dan jangan sekalipun kau meladeni yeoja bernama Park Kyung-ri itu!", ujar Seulgi mengingatkan. "Dan juga apa yang orang katakan tentangmu".

Aku terdiam sejenak mencoba mencerna ucapan Seulgi. "Kkokjonghajima...Ia bukan masalah besar bagiku", ujarku santai. Aku berpamitan pada Seulgi dan kami berpisah di koridor kampus.

Aku terus melangkah menyusuri koridor kampus mencari cari ruang bernomor 304. Koridor cukup ramai oleh mahasiswa yang berlalu lalang hari itu. "Bae Juhyun", aku mendengar seseorang memanggil nama Juhyun. Aku berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Seorang namja balas menatapku. I namjaga nuguji?. Wajahnya terlihat familiar, hingga kusadari bahwa ia adalah namja yang ditatap Juhyun ketika kami bertemu di gerbang kampus tadi. Solma.....apa ia...."Lee...Jaehwan?", gumamku pelan.  Aku tak boleh terlihat seperti seseorang yang tak tahu apapun  agar tak menarik perhatian.

"Kau...mau ke kelas?", tanya namja itu. Ia tak terlihat bingung atau terkejut ketika aku menyebut nama itu. Maka bisa kupastikan, bahwa ia adalah Lee Jaehwan.

"Ne", jawabku mengangguk pelan. Kulihat beberapa mahasiswa terlihat berbisik bisik ketika melihatku bicara dengan Jaehwan. Ada apa ini? Ada apa antara Juhyun dengan Jaehwan?.

"A-Arasseo.....pergilah...nanti kau terlambat", ujar Jaehwan terlihat canggung ketika bicara denganku. Namja itu berpamitan lalu bergegas pergi. Aku sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Aku kembali meneruskan perjalananku hingga akhirnya kutemukan kelas yang sejak tadi kucari. Beruntung, dosen belum tiba. Aku segera mengambil posisi duduk di bangku paling belakang.

"Kasihan sekali ya dia..."

"Jika aku jadi dia...aku sungguh akan menghilang selamanya dari hadapan Jaehwan", tak sengaja kudengar dua mahasiswi di depanku menyebut nama Jaehwan. Aku melihat mereka tengah menonton sesuatu dari layar handphone. Diam diam, aku melihat apa yang mereka lihat di sana. Di layar tersebut terputar sebuah video. Di sana, aku melihat Juhyun dan Jaehwan yang tengah terlihat bicara serius....hingga di detik berikutnya.....aku sedikit terkejut dengan apa yang terjadi. Kedua yeoja itu menoleh dan menyadari kehadiranku di belakang mereka. "Kkamjakgiya!", seru mereka. Mereka lekas mematikan ponsel tersebut dan "ya! Joohee-ah! temani aku ke toilet!", seru salah satu dari mereka terburu buru. Aku tahu bahwa saat itu, mereka mencoba menghindariku. Kini aku tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara Juhyun dan Jaehwan. Dan kini...hal itu menjadi tanggung jawabku...yaitu, mengembalikan nama baik Juhyun di depan teman temannya.

*** 

06.30 PM

Penthouse

Juhyun as Seokjin's POV

Aku duduk di salah satu sofa di ruang tamu penthouse milik Kim Seokjin. Pandanganku berpendar ke sekitar ruangan itu. Dua penjaga berjas hitam putih berdiri di sana, dekat dengan Paman Choi. Pandanku bertemu dengan mata Paman Choi. Ia mengangguk pelan padaku. Aku balas mengangguk padanya dan kini, kuarahkan tatapanku tepat ke depan. Kini, di hadapanku, duduk seorang wanita setengah baya yang berpenampilan glamor. Ia tengah menikmati secangkir teh hangat. Ia masih terlihat cantik, namun entah mengapa aku tak menyukainya. Ia terlihat angkuh. Tiba tiba, yeoja itu balas menatapku. Terkejut, refleks kualihkan tatapanku ke arah lain.

"Psh...kenapa kau terlihat begitu tegang?", ujar yeoja itu santai. Suaranya terdengar lembut namun begitu mengintimidasi.

"A-Aniyo...", gumamku pelan. "A-Aku hanya terkejut atas kunjungan yang begitu tiba tiba seperti ini", jawabku sedikit tertunduk. Jantungku berdebar cepat. Kupikir...hidup sebagai orang kaya begitu mudah. Tapi ternyata aku salah besar. Begitu banyak polemik tersembunyi dibalik kehidupan glamor yang begitu didambakan orang biasa seperti diriku. Seperti apa yang kuhadapi saat ini. Paman Choi tak memberitahuku siapa wanita ini sebelumnya. Ia ingin aku mengetahui sendiri semuanya. Ia hanya memberitahuku bahwa aku harus bersikap tenang dan berpura pura seolah tak terjadi apapun padaku. Karena jika yeoja ini mengetahui bahwa aku tak ingat apapun, maka ini akan menjadi celah baginya untuk mengambil alih harta Kim Seokjin. Paman Choi hanya memberitahuku agar sebaiknya aku hanya merespon apa yang diucapkan saat ini. Jika aku salah bicara, maka wanita ini akan menekan Kim Seokjin nantinya.

"Jincha?", gumam yeoja itu tertawa pelan. "Kenapa kau harus terkejut? Apa salah jika seorang ibu ingin menjenguk putra kesayangannya?"

M-Mworago? Ibu katanya?. Ottohkae? Apa yang harus kukatakan?!. Aku berpikir keras. Lalu aku teringat perihal percakapanku dengan Paman Choi sebelumnya.

"Mereka sudah tiada…..

mereka…mereka tewas dalam sebuah kecelakaan”

"Kau bukanlah ibuku", ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku ketika aku mengingat ucapan Paman Choi.

Wanita itu sedikit terkejut mendengar ucapanku. Tapi ia kembali tertawa pelan setelahnya. "Yeokshi....Kim Seokjin...tak mudah memang bagimu untuk menerimaku sebagai ibumu", ujar yeoja itu. "Tapi apa yang bisa kau lakukan? Aku tetaplah istri dari ayahmu", sambungnya tersenyum tipis.

Menikah dengan ayah dari Kim Seokjin?. Apa ia ibu tiri Kim Seokjin?. Aku balas menatapnya. Entah mengapa aku sungguh tak menyukai caranya tersenyum padaku. "Lalu apa yang kau mau?"

"Psh...musun soriya? Aku kemari hanya ingin mengunjungimu...kenapa kau selalu mencurigaiku? Apa kau begitu takut bahwa aku akan merebut hartamu?", ujar wanita itu .

Joha! Aku tahu kemana ia akan menggiring pembicaraan ini. Kulihat jam tanganku dan kini waktu menunjukkan pukul 6.45 pm. Aku harus segera menemui Seokjin pukul 7 nanti. Aku hanya harus mengakhiri pembicaraan ini. "Kenapa kau harus menyebut soal harta? Aku bahkan tak membahas hal itu sedikitpun", ujarku tegas. Wanita terlihat kesal dengan ucapanku. Namun bisa kulihat bahwa ia mencoba untuk menekan emosinya agar tetap terlihat tenang. Aku bangkit dari kursiku. "Jika kau kemari hanya ingin mengunjungiku, maka kau bisa lihat sendiri bahwa aku baik baik saja...dan tak ada yang perlu kau khawatirkan", ujarku santai. "Jweisonghamnida, tapu aku harus segera pergi karena ada urusan yang harus kuurus...jika kau masih ingin di sini, maka Paman Choi akan melayanimu...matchyo Paman?", ujarku pada Paman Choi. Namja setengah baya itu sedikit membungkuk pelan. "Na kalkkeyo", ujarku berpamitan. Aku berjalan hendak keluar ruangan, dan sekilas kulirik Paman Choi yang tersenyum tipis padaku seolah puas dengan apa yang kulakukan. Aku merasa lebih baik.

*** 

07.00 PM

Author's POV

"Kuakhiri kelas sampai hari ini...terima kasih semuanya", ujar Professor mengakhiri kelas hari itu.

"Neee", ujar para Mahasiswa bergegas membereskan peralatan mereka. Kuliah terakhir hari itu selesai.

"Ah himdeuro", gumam Jimin meregangkan punggungnya yang terasa pegal. Jadwalnya cukup padat hari itu. Ia bergegas bangkit dan hendak keluar dari dalam kelas. "Sunbae! Jimin sunbae!!". Jimin menghentikan langkahnya dan menoleh mencari cari sumber suara. Seorang yeojs bertubuh mungil berambut pendek sebahu menghampirinya. "Eo Chaeyoung-ah?"

"Kau sudah mau pulang?", tanya Chaeyoung pada Jimin.

"Eo...jadwalku cukup padat hari ini...aku ingin segera beristirahat", jawab Jimin.

"Ah...geuraeyo?", gumam Chaeyoung.

"Waeyo Chaeyoung-ah?"

"A-Aniyo...aku hanya bertanya tanya saja kenapa hari ini aku melihatmu di kelas Professor Lee", ujar Chaeyoung.

"Ah....kemarin aku tak sempat mengikuti kelas beliau...jadi aku mengganti absen yang kemarin dengan mengikuti kelas beliau hari ini", ujar Jimin.

"Ah geuraeyo? Jadi begitu rupanya...", ujar Chaeyoung.

"Eum...Chaeyoung-ah mian...aku harus pergi...saudaraku sedang kurang enak badan dan aku meninggalkannya di runah sendiri...", pamit Jimin.

"Ah! Tentu saja! silahkan saja...mianhae", ujar Chaeyoung.

"Mianhae...na kalkke!", pamit Jimin terburu buru. Ia bergegas pergi menuju halte kampus. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat dua orang yeoja berada di sana lebih dulu. Yeoja pertama dengan rambut diikat ala ponytail dan yeoja kedua dengan rambut panjang tergerai. Matanya hanya tertuju pada salah satu dari yeoja tersebut. Ia dengan hati hati melangkah mendekat dan berdiri dekat dengan kedua yeoja tersebut, sembari menunggu bis yang datang. Ia bisa mendengar percakapan keduanya.

"Kau yakin akan menunggunya sendiri di sini?", tanya yeoja kedua.

"Berhentilah mengkhawatirkanku! Sudah kukatakan bahwa kondisiku sudah membaik!", ujar yeoja pertama terdengar kesal.

"Lalu bagaimana jika kau tak ingat jalan pulang?", balas yeoja kedua tak kalah gemas.

"Kkokjong hajima! Aku akan sampai di rumah!", sungut wanita pertama.

"Aish! Kau tak perlu bicara keras keras seperti itu!", sungut wanita kedua sambil sesekali melirik ke arah Jimin. "Jweisonghamnida", sambungnya sembari sedikit membungkuk karena tak enak hati pada Jimin.

Jimin balas sedikit membungkuk seolah memberi tahu bahwa ia tak masalah dengan hal tersebut. Wanita pertama menoleh ke arah Jimin dan ia sedikit terkejut ketika melihat Jimin.

"Ah Seulgi-ah, aku harus pergi sekarang!", ujar wanita pertama terburu buru sambil sesekali melirik Jimin.

Jimin sesekali membungkuk sembari menatap yeoja pertama tak mengerti. "Jweisonghamnida", suara yeoja kedua yang ternyata adalah Seulgi mengintrupsi kebingungannya. "Pasti...onnie ku berisik sekali", ujar Seulgi tak enak hati.

"Ah gwenchanayo...ini halte bis...bukan perpustakaan", ujar Jimin sopan.

"Kamsahamnida", ujar Seulgi tersenyum tipis. Keduanya pun duduk terdiam sembari menunggu bis datang. Seulgi sesekali melihat jam tangannya dan yeoja itu terlihat resah.

Jimin mengepalkan tangannya, mencoba mengatur kata demi kata yang ingin diucapkannya pada yeoja yang sejak tadi menarik perhatiannya. "Eung...jogi-"

DIN DINNN!! Suara klakson mengintrupsi niatnya. Sebuah motor berhenti tepat di depan halte bus tersebut. Pengendara motor tersebut melepas helmnya dan nampak seorang namja di sana. "Oyy Bae Seulgi!".

"Eo? Im Jaebum? mwohae?", tanya Seulgi sedikit terkejut.

Namja bernama Im Jaebum tersebut turun dari motornya dan melangkah menghampiri Seulgi. Seulas senyum tergambar di wajahnya kala melihat Seulgi. "Tentu saja aku mau pulang...kau belum pulang?", tanya Jaebum.

Jimin  pun kembali ke posisinya dan berpura pura tak mendengar dan melihat apapun. Namun tetap saja, ia tak bisa sungguh sungguh berpura pura mendengar pembicaraan keduanya.

"Aku harus bekerja...geurae...geunyang ka...", ujar Seulgi mempersilakan Jaebum pergi.

"Musun soriya?", ujar Jaebum tertawa pelan.  “Bagaimana jika kita pulang bersama? Aku bisa mengantarmu ke tempatmu bekerja”, ujar Jaebum pada Seulgi.

“Ah ani gwenchana…aku tak mau merepotkanmu”, ujar Seulgi.

“Ani…mengendarai motor sendirian kadang bisa terasa membosankan…ottae?”, ujar Jaebum sembari menunggu jawaban Seulgi yang terlihat berpikir.

“Arasseo”, ujar Seulgi menyetujui ajakan Jaebum.

Jimin mencoba mengalihkan wajahnya mencoba untuk tak melihat keduanya namun…”Eo? Chakkaman”, ia mendengar suara Jaebum. Langkah kaki namja itu terdengar mendekat. “Park Jimin?”

“N-Ne? Ah Jaebum hyung!”, balas Jimin.

“Mwohae? Kau belum pulang?”, Tanya Jaebum.

“Ah…ne….aku sedang menunggu bis”, ujar Jimin sembari sesekali melirik kea rah Seulgi. “Ah…kau duluan saja hyung….kau sudah ditunggu”, ujar Jimin sembari menunjuk Seulgi.

“Ah matta! Sampai jumpa besok”, ujar Jaebum menepuk pelan pundak Jimin dan bergegas pergi bersama Seulgi.  

Jimin terdiam memperhatikan kepergian keduanya. “Aku benci diriku sendiri”, rutuknya pada dirinya sendiri. 

*** 

07.05 PM                           

Kim Seokjin as Juhyun’s POV

Aku berlari sejauh mungkin dari halte bus. Kulihat sekali lagi ke belakang dan Jimin masih berada di sana. Nan michigetda! Aku sungguh lupa jika Jimin juga kuliah di Myungjin. Semoga ia tak menyadari tingkah anehku. DIN DIIIINNNNN!! “Ah kkamjakgiya!”, aku terkejut ketika suara klakson membuyarkan lamunanku. Sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Kaca depan mobil tersebut pun turun perlahan dan sosok namja tampan, yaitu diriku sendiri, muncul di sana. “Eo! Kau datang di saat yang tepat!”, aku berseru senang ketika melihat diriku sendiri. Segera aku masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan penumpang. “Kau bisa menyetir?”, ujarku pada Juhyun yang kini duduk di bangku supir.

“Tentu saja…jangan bilang kau berpikir yeoja tak seharusnya menyetir”, sungut Juhyun.

“Ya….neo namja ya namja”, balasku.

“Tapi aku tetap yeoja di dalam!”, balas Juhyun.

“Ah arasseo arasseo!”, aku menggerutu dan terlalu malas meladeni yeoja itu. Kuliah hari ini cukup melelahkan bagiku.

“Kita pergi sekarang?”, Tanya Juhyun.

“Chakkaman…”, gumamku sambil menatap lurus kea rah halte. Juhyun mengikuti arah pandangku. “Eo? Bukankah itu Jimin?”, seru Juhyun.

Aku menoleh padanya. “Kau sudah bertemu dengannya?”

“Ah geureomyo! Ia menemaniku bahkan sejak aku membuka mataku dan menyadari bahwa kini aku hidup sebagai seorang namja”, ujar Juhyun sembari memperhatikan sosok Jimin yang kini terlihat masuk ke dalam bus. “Ia pria yang sangat baik”.

“Awas saja kalau kau sampai jatuh hati padanya…aku tak akan membiarkannya”, ujarku. Bagiku, Jimin sudah seperti adik kandungku sendiri. Kami tumbuh bersama sejak kecil karena kedua orangtuanya merawatku setelah kepergian kedua orangtuaku. “Karena aku tak bisa menjaganya saat ini…kuharap kau bisa melakukannya untukku….”, ujarku menerawang.

“Siapa yang ingin menyakiti pria seperti Jimin”, gumam Juhyun. Aku menoleh ke arahnya sejenak dan sedikit merasa lega ketika keduanya bisa menjalin hubungan yang baik dan yang terpenting Jimin sama sekali tak mencurigai perubahan pada diriku yang kini di diami oleh Juhyun. “Gomapta”, ujarku. “Kau ingin pergi ke suatu tempat?”

“Bagaimana jika aku mengantarmu pulang…kita bisa bicara di dalam mobil saja matchi? Aku khawatir Paman Choi akan mencariku dan mengetahui bahwa aku pergi kemari”, ujar Juhyun. Ia bergegas menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobil tersebut.

“Psh….Paman Choi masih saja begitu protektif”, ujarku tersenyum. Aku cukup merindukan pria itu.

“Apa ia selalu seperti itu?”, Tanya Juhyun.

“Ani….kau harus bisa sedikit lebih tegas padanya”, ujarku memberi saran. “Jika kau tak ingin ia mengikutimu, maka katakan itu padanya dengan jelas…Jimin dan Paman Choi mudah sekali khawatir”.

“Ah geuraeyo? Arasseo…”, ujar Juhyun. “Lalu bagaimana denganku? Seulgi pasti menyusahkanmu”, ujar yeoja itu.

“Ani….aku justru sangat terbantu berkat anak itu”, ujarku.

“Jincharo?!”, Juhyun sedikit terkejut dengan ucapanku.

“Eung…ia banyak membantuku semenjak aku keluar dari rumah sakit...aku tak akan bisa menyelesaikan kuliahmu hari ini jika bukan karena dirinya yang selalu mengingatkanku akan banyak hal…memberi tahu di mana kelasku dan apa jadwalku hari ini…ah cham…kenapa kau harus mengambil perkuliahan sesulit ini sih?”, sungutku yang sama sekali tak mengerti tentang dunia perkomputeran dan teman temannya.

“Karena aku tak mahir dalam bersosialisasi dengan banyak orang”, gumam Juhyun muram. “Kau mungkin bisa melihatnya sendiri dari bagaimana caraku berinteraksi dengan Seulgi”, sambungnya.

Aku terdiam sejenak. “Ara….kini aku mengerti mengapa belakangan ini Seulgi selalu terkejut setiap kali bicara denganku…ia selalu mengatakan bahwa kau kini banyak berubah”, ujarku. Tak terasa, mobil kami berhenti di ujung jalan yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Juhyun. Yeoja itu terlihat menerawang memperhatikan salah satu rumah. “Baru beberapa hari berlalu…aku sudah merindukan tempat tinggalku”, ujarnya tersenyum getir.

“Geundae….kita harus focus dulu untuk saat ini….kita harus bekerja sama untuk mencari cara agar kita bisa kembali bertukar tempat”, ujarku.

“Ah matta! Ah tapi….aku mencoba menghubungi ponselku kenapa tak tersambung?”, Tanya Juhyun.

Ah matta! Aku baru menyadari bahwa sejak aku bertukar tempat dengan aku sama sekali tak memegang handphone. “Ah…itu…aku bahkan tak tahu dimana handphonemu…solma…apa mungkin handphonemu hilang ketika kau lompat ke dalam danau?!”.

Juhyun terlihat berpikir keras mencoba mengingat kejadian malam itu. “Ah…matta….aaahhhh ottohkae?!!”, seru yeoja itu tiba tiba panic. Agak sedikit aneh bagiku melihat diriku sendiri terlihat panic ala yeoja  seperti ini.

“Aish geuman geuman!”, sungutku mencoba menghentikan Juhyun. “Aish apa kau tak bisa terlihat sedikit lebih jantan?”, protesku.

“Ya! Nan yeoja ya! Kau pikir mudah bersikap seperti seorang namja?!”, balas Juhyun kesal.

“Lalu kau pikir mudah bagiku hidup sebagai seorang yeoja?!”, balasku. “Untuk memakai baju dan mengikat rambutmu ini saja aku butuh waktu lama untuk melakukannya!”, sungutku mengeluarkan segala isi hatiku.

Juhyun menatapku tak percaya. “K-Kalau begitu…kau…memakai…eung…u-underwearku?”.

“Geureomyo! Kau pikir ini terasa nyaman bagiku? Aish jincha…”, sungutku kesal. “Dan jangan berpakaian seperti tadi lagi!”, protesku akan tampilan fashion Kim Seokjin ketika kami bertemu pagi tadi.

“Tch….kau tahu? Kau mempunyai selera fashion yang membosankan”, gerutu Juhyun.

“Lalu kau pikir kau berbeda denganku? Dengan lemari baju yang hanya diisi oleh jaket hoodie dan sweater? Kau sungguh taka da bedanya denganku”, balasku. Aku sedikit tak percaya ketika Seulgi mengatakan bahwa Juhyun adalah seorang yang tertutup dan pendiam. Terlebih lagi setelah bicara dengannya hari ini. “Kau seharusnya bisa berpenampilan lebih baik lagi jika kau ingin membuat Lee Jaehwan menyukaimu”, ujarku.

Juhyun menatapku tak percaya. “Kau….k-kau sudah bertemu dengan Jaehwan?”

Aku balas menatapnya. “Eo…aku bahkan tahu mengapa satu kampus membicarakanmu dan Jaehwan”, ujarku. Yeoja itu terlihat menunduk. Ia mengambil ponsel yang merupakan ponselku dari saku jas nya dan mengutak atiknya sejenak. Ia lalu menyerahkan ponsel itu padaku dan kini sebuah video terpampang di layar ponsel tersebut.

*FLASHBACK*

TWO DAYS AGO (BEFORE THE INCIDENT)

Myungjin university

12 PM

Juhyun duduk di salah satu bangku kantin sembari menatap layar ponselnya. Sebuah foto terpampang di layar ponselnya. Foto seorang namja dan yeoja. Mendadak, hatinya terasa sesak ketika melihat foto tersebut. “Bae Juhyun!”, lamunan Juhyun pun buyar ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Juhyun menoleh dan ia melihat sosok Jaehwan berjalan mendekat ke arahnya. Ia bergegas menutup foto tersebut dan balas melambaikan tangan pada Jaehwan. Namja itu pun sampai di dekatnya dan duduk di sampingnya. “Annyeong….kau sudah kembali dari Gyeonggi-do?”, Tanya Jaehwan ramah.

“Ne…”, jawab Juhyun tersenyum tipis.

“Bagaimana keadaan Bibi mu?”, Tanya Jaehwan lagi.

“Baik…ia sudah lebih baik”, ujar Juhyun tanpa menatap Jaehwan sedikitpun.

Memperhatikan sikap Juhyun yang terlihat sedikit aneh, Jaehwan pun terlihat bingung. “Kau baik baik saja? Apa kau sakit?”,Tanya Jaehwan khawatir. Namja itu mengulurkan tangannya mencoba menyentuh kening Juhyun, namun yeoja itu menepisnya. “Juhyun-ah….wae gurae?”

“Hajima…”, gumam Juhyun pelan.

“Wae?”, Tanya Jaehwan tak mengerti.

“Aku ingin bertanya sesuatu…”, gumam Juhyun. Jaehwan terdiam menunggu pertanyaan dari Juhyun. “Naneun……bagimu…..apa arti diriku bagimu?”, Juhyun mengumpulkan segenap keberaniannya untuk bertanya hal itu pada Jaehwan. Keduanya sudah lama berteman sejak satu tahun terakhir. Jaehwan satu satunya namja yang begitu baik padanya. Mereka bahkan sering menghabiskan waktu bersama layaknya sepasang kekasih namun Jaehwan tak pernah sedikitpun mengatakan tentang perasaannya pada Juhyun. Yeoja itu pada akhirnya berniat mencari tahu setelah apa yang terjadi dua hari sebelumnya, sebelum Juhyun dan keluarganya bertolak ke Gyeonggi-do untuk mengunjungi kerabat mereka. Juhyun mendapati Jaehwan memposting foto dirinya bersama seorang yeoja cantik yang tak begitu dikenalnya. Yang ia tahu, bahwa yeoja itu adalah teman semasa sekolah Jaehwan. Ia juga sering mendapati keduanya berinteraksi melalui SNS sehingga hal itu membuatnya tak tenang. Maka dari itu, hari ini ia berniat untuk mengakhiri segala keresahan tersebut dengan mencari tahu bagaimana sebenarnya perasaan Jaehwan padanya.

Jaehwan sedikit terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Juhyun padanya. “A-Apa maksudmu?”

“Kumohon jawab pertanyaanku”, ujar Juhyun tegas.

Jaehwan terdiam sejenak lalu ia menghela nafas pelan. “Kau….apa kau menyukaiku?”, Tanya Jaehwan hati hati.

Juhyun terdiam sejenak dan mengalihkan pandangannya dari tatapan Jaehwan. Tak lama kemudian, yeoja itu mengangguk pelan. “Ne…..mianhae…..aku sudah berusaha untuk menekan perasaanku ini….tapi semakin kutekan, justru itu semakin menyakitiku…jeongmal mianhae”, gumam Juhyun tertunduk.

Jaehwan menghela nafas berat dan sesekali ia memijat mijat dahi nya. “Nado mianhae….aku sungguh merasa nyaman denganmu…dan bagiku, kau adalah teman terbaikku tapi….jeongmal mianhae…aku tak punya perasaan yang sama dengan-“

“Ara!”, seru Juhyun memotong ucapan Jaehwan. “Na arasseo…kau tak perlu menjelaskannya lebih jauh lagi”, sambungnya. “Bagiku itu sudah cukup”.

“Juhyun-ah…”, gumam Jaehwan. Yeoja itu bangkit dari kursinya dan bergegas pergi meninggalkan Jaehwan begitu saja.

*END OF FLASHBACK* 

Aku menghela nafas setelah melihat video tersebut. Ku lihat Juhyun yang duduk tertunduk di sampingku. “Lalu bagaimana sampai seisi kampus mengetahui hal ini?”.

“Kyung-ri merekamnya diam-diam dan menguploadnya ke SNS”, gumam Juhyun sedih.

“Mworago?! Whoah…yeoja itu…jincha…”, gumamku kesal.  “Kau sungguh sama sekali tak menyadarinya jika ia merekammu?”

“Ne…pikiranku sungguh terbebani kala itu….”, gumam Juhyun muram.

“Whoah….jincha…”, aku sungguh tak percaya dengan apa yang terjadi. Entah aku harus kesal atau tidak pada Juhyun. “Dan kau hanya diam saja?”

“Aku bukanlah mahasiswa berpengaruh seperti dirinya…aku tak punya teman…aku hanya bicara pada Seulgi dan Jaehwan setiap harinya….dan kini aku benar benar sendiri karena aku tak akan pernah bisa bicara lagi dengan Jaehwan”, ujar yeoja itu sedih. “Itu sebabnya….malam di mana kau dan aku bertukar tempat, aku sempat mengatakan bahwa aku benci hidupku..dan mungkin inilah hukuman yang harus kuterima saat ini…mianhae….kau jadi ikut terlibat”, ujar Juhyun tersenyum pahit.

Aku terdiam mendengarnya. Ucapan yeoja ini seperti menamparku. Andai saja ia tahu bahwa apa yang terjadi pada kami saat ini, bukanlah sepenuhnya kesalahannya. Malam itu….malam di mana ketika aku hampir mati tenggelam, aku mengucapkan satu permintaan dalam hatiku. Sebuah permintaan di mana aku mengharapkan sebuah kesempatan kedua. Sebuah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang kulakukan pada seseorang di masa laluku. “Semua sudah terjadi….kau tak perlu menyalahkan dirimu sendiri…lagipula…aku yang akan menghadapi mereka…bukan dirimu…jadi kau tak perlu khawatir”, ujarku sambil menatap lurus ke depan. “Yang harus kau khawatirkan saat ini adalah dirimu yang kini berada di dalam tubuhku…nanti kau akan-“

“Na ara”, potong Juhyun.

“Apa maksudmu?”

“Ibu tirimu”, ujar Juhyun lagi.

“Kau….kau sudah bertemu dengannya?! Apa yang ia katakan?!”, Tanya ku panic. Juhyun menceritakan segalanya apa yang terjadi padanya selama ia menjadi diriku. Aku sedikit bernafas lega ketika mendengar bahwa Jimin dan Paman Choi sudah memperingatkannya sebelumnya dan juga lega ketika mendengar bahwa ia mampu menangani ibu tiriku dengan baik.

“Apa aku berbuat salah?”, Tanya Juhyun tak yakin.

“Aniya…kau melakukanya dengan baik…pembacaan surat wasiat tentang perihal siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan perusahaan ayahku akan dibacakan satu bulan lagi. Bibiku, yang, merupakan ibu dari Jimin, merancang surat warisan itu bersama ayahku sebelum ayahku meninggal. Mereka memilihku untuk menjadi pewaris kepemimpinan perusahaan ayahku setelahnya. Dan aku akan mewariskan perusahaan tersebut pada Jimin, jika sesuatu terjadi padaku. Sayangnya….Ibu tiriku tak menyetujui hal itu. Ia merasa bahwa ia lah yang berhak untuk mewarisi perusahaan tersebut. Aku yakin bahwa ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dariku. Maka kau harus berhati hati padanya, paling tidak selama sebulan terakhir sebelum surat wasiat itu dibacakan…”, aku menjelaskan masalahku pada Juhyun.

“Aish….tak kusangka permasalahanmu lebih pelik dariku”, keluh Juhyun.

“Maka dari itu kita harus bekerja sama mencari cara agar kita bisa kembali ke tubuh masing masing”, ujarku memberi semangat pada Juhyun. “Aku akan mengambil ponselku”, ujarku pada Juhyun.

“Lalu bagaimana denganku?!”, protes Juhyun.

“Aku boleh menggunakan uangku untuk membeli ponsel baru. Aku akan memberimu akses untuk menggunakan kartuku…hanya saja, kau tak boleh menggunakannya sembarangan dan hal hal yang tidak berguna!”, ujarku tegas memperingatkan Juhyun. Aku mengeluarkan secarik kertas dan menuliskan nomor ponselku di sana, lalu menyerahkannya pada Juhyun. “Ini nomorku…dan kau harus menghubungiku secepatnya begitu kau sudah mendapatkan ponselmu yang baru”, ujarku tegas.

“Ne…gomapta”, gumam Juhyun menerima kertas tersebut.

“Kau harus melaporkan apapun padaku, terutama mengenai wanita ular (Ibu tiri Seokjin) itu…aku juga akan melakukan hal yang sama padamu”, ujarku. “Aku berjanji aku akan mengembalikan nama baikmu…”, sambungku.

Juhyun menoleh menatapku. “Jeongmalyo?”

“Eo…asal kau juga mau membantuku…untuk saat ini…kita hanya bisa bergantung pada sama lain”, ujarku.

Juhyun mengangguk menyetujui ucapanku. “Tapi…bagaimana  jika orang orang di sekitar kita seperti Seulgi dan Jimin misalnya….bagaimana jika mereka mencurigai kita?”

Aku berpikir sejenak mencari solusi untuk permasalahan tersebut. Juhyun benar…kami tak boleh memperlihatkan perubahan kami secara mencolok pada orang orang di sekitar kami. Tak lama kemudian….sebuah ide terlintas di otak ku. “Aku punya ide!”.

“Mwonde?”, Tanya Juhyun.

“Bisa dipastikan bahwa kau dan aku akan sering sekali bertemu mulai hari ini dan seterusnya sampai kita kembali ke tubuh masing-masing. Dan kurasa….hanya dengan cara ini kita bisa leluasa mengakses hidup kita masing masing tanpa harus membuat orang orang di sekitar kita mencurigai kau dan aku”, ujarku bersemangat.

“Lalu…apa idemu?”, Tanya Juhyun.

“Kau dan aku…akan berpura-pura menjadi sepasang kekasih”, ujarku yakin. 

- TO BE CONTINUED -

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK