October, 1st 2016
“Bzzz~ bzzz~”, Buzzer di hadapanku berbunyi dan berkedip kedip, menandakan bahwa pesananku sudah siap. Aku bergegas bangkit dari kursiku dan berjalan menuju counter café untuk mengambil pesananku. Segelas Frapuccino ukuran medium. “Kamsahamnida”, ujarku pada pegawai café yang sudah bekerja keras menyiapkan bukan hanya pesananku, tapi juga pesanan konsumen lainnya. Kita harus selalu menghargai kerja keras orang lain sekecil apapun itu matchi?. Aku kembali ke spot favoritku di café di mana aku berada saat ini, yaitu tepat di sisi jendela besar yang memperlihatkan suasana di luar café yang kini terlihat berwarna kuning kemerahan, menandakan awal musim gugur akan segera dimulai.
Musim gugur selalu menjadi musim favoritku dibanding semua musim lainnya. Musim paling syahdu di mana aku bisa menikmati waktuku dengan segelas kopi favoritku. Kubuka lembar demi lembar sebuah novel terjemahan yang kini tengah kubaca. Sebuah novel berjudul Everyday, karya penulis David Levithan. Aku bukanlah seseorang yang suka membaca buku. Namun begitu kutemukan buku ini dan kubaca apa synopsis dari buku ini, tanpa ragu aku langsung membelinya. Akan kuceritakan sedikit inti dari buku ini. Buku ini menceritakan tentang seseorang bernama ‘A’. Ia hidup dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Setiap kali ia membuka matanya di pagi hari, ia terbangun dalam wujud orang lain dan menjalani hidup sebagai orang tersebut selama satu hari penuh, sampai rasa kantuk kembali mengambil alih tubuh yang ia diami untuk hari itu. Hingga pada suatu hari, ia jatuh cinta dengan seorang gadis dan ia rela berbuat apapun agar ia bertemu gadis tersebut. Bisa kau bayangkan bagaimana sulitnya menjadi A yang harus terbangun dengan sosok yang berbeda setiap harinya dan bagaimana sulitnya melihat gadis yang dicintainya karena ia harus berpindah pindah tempat tinggal setiap harinya, berdasarkan tempat tinggal seseorang yang ia hinggapi tubuhnya tersebut.
Di tengah aku meresapi cerita demi cerita akan kisah A dalam novel yang kubaca, suara penyanyi John Park, mengalun memenuhi café, menambah suasana awal musim gugur hari ini terasa semakin syahdu bagiku.
Thought of You
When I open my eyes
In the morning I thought of you
I look out the window
I thought of you
Blankly another passes by again
Would you sometimes think about me
I thought of you
Everything around me
Gets colored by you with familiar scent
A flower blooms and
I thought of you
Whenever I pretty things
I thought of you
(John Park, Thought of You)
Sejujurnya aku hampir saja tersedak ketika café memutarkan lagu ini. Apa mereka menyindirku? Pffh..hidup kadang adalah sekumpulan sekumpulan kebetulan yang tak pernah bisa kau duga sebelumnya. Benar…aku sedang memikirkan seseorang. Bukan hanya hari ini, namun setiap waktu. Apa aku jatuh cinta? Molla….yang kutahu, aku hanya ingin selalu melihatnya. Itu saja…
“M-Mworago?”, aku menoleh ke sisi kiriku. Tepat di sisi kiriku tak jauh dari kursi di mana aku duduk saat ini, terlihat sepasang muda mudi, yang terlihat lebih muda dariku, tengah duduk berhadapan. Ucapan “Mworago?”, itu yang kudengar terlontar dari mulut sang namja. Kulirik keduanya, sepertinya mereka tengah terlibat dalam sebuah pembicaraan serius. Sang namja terlihat menatap yeoja di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Ia terlihat begitu terkejut akan sesuatu dan bisa kulihat hal itu cukup mengganggunya.
“K-Kau bilang apa tadi?”, Tanya namja itu.
“A-Aku…menyukaimu”, gumam sang yeoja tertunduk.
“T-Tapi…o-ottae?”, Tanya namja itu tak percaya dengan apa yang baru saja terlontar dari mulut sang yeoja. Keduanya terdiam cukup lama dan bisa kulihat suasana terlihat semakin canggung. Aku menghela nafas pelan. Aku sungguh tak bisa melihat situasi seperti ini tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak boleh ikut campur masalah orang lain. Aku kembali memilih untuk kembali focus pada novel yang kini kubaca.
“T-Tapi….Tapi….”, gumam sang namja gugup tak tahu harus berkata apa.
“Neo Ireumi mwoyeyo?”, Aish! Apa yang kulakukan?!. Rutukku pada diriku sendiri. Rasanya saat ini, aku ingin sekali menampar wajahku sendiri, memberi peringatan agar tidak mencampuri urusan orang lain. Tapi aku sungguh tak bisa mengendalikan diriku sendiri.
Sang yeoja menatapku bingung sekaligus terkejut. “N-Ne? Naneun…Chaeyoung….S-Son Chaeyoungiyeyo”, gumam yeoja itu.
“Gurae…eum…Chaeyoung-ssi, jika aku bisa memberi saran, sebaiknya kau pulang saja”, ujarku percaya diri. Chaeyoung dan namja yang disukainya menatapku terkejut. “Namja ini tak akan bisa mengatakan apapun saat ini…jadi pasti akan sulit baginya memberikan jawaban yang kau tunggu. Semakin lama kau duduk berhadapan dengannya, maka akan terasa semakin sulit bagimu”, ujarku demi kebaikan yeoja bernama Chaeyoung tersebut.
“T-Tapi…aku hanya ingin mengutarakan perasaanku padanya…”, gumam Chaeyoung tertunduk.
“Ara….tapi pasti jauh dalam lubuk hatimu, kau ingin namja ini mengatakan sesuatu padamu matchi? Kau ingin tahu apakah kau harus melanjutkan atau berhenti sampai di sini…matchi?”, aku bertanya pada Chaeyoung.
Yeoja itu mengangkat wajahnya dan menatapku. Melemparkan tatapan penuh pertanyaan seolah aku baru saja membaca pikirannya. Namun sesaat kemudian, ia kembali tertunduk lesu dan mengangguk pelan. “Ne…majayo”, gumamnya.
“Namja ini membutuhkan waktu untuk berpikir. Pulanglah dan persiapkan dirimu, pikiranmu, dan hatimu demi mendengar jawaban namja ini nantinya”, saranku demi kebaikan keduanya. Kulihat Chaeyoung mengangguk pelan dan menyetujui saranku untuk pulang. Ia melirik sekali lagi namja di hadapannya yang bahkan kini tak mampu menatapnya balik. Ia bangkit dari kursinya dan hendak pergi sampai aku memanggilnya kembali. “Ah Chaeyoung-ssi!”, tegurku sekali lagi.
“Ne?”, respon Chaeyoung.
“Apapun jawaban yang akan diberikan namja ini nantinya….sekalipun itu tak sesuai dengan apa yang kau harapkan, percayalah apapun itu….itu adalah pilihan yang terbaik untukmu”, ujarku tersenyum mencoba menyemangati sekaligus mengagumi keberanian yeoja muda tersebut.
“N-Ne….kamsahamnida”, ujar Chaeyoung padaku. Kulihat sekali lagi ia melirik namja yang disukainya tersebut sebelum akhirnya ia benar benar pergi dari tempat itu. Kali ini kuarahkan pandanganku pada namja yang disukai Chaeyoung. “Jigeum mwo?”, tanyaku pada namja tersebut.
“Nan….mollayo….aaahh ottohkae?!”, keluh namja yang merupakan sepupu kandungku tersebut. Ya, aku berada di café ini karena dirinya. Ia memintaku untuk menemaninya. Yeoja bernama Chaeyoung adalah salah satu yeoja yang cukup dekat dengannya dan ia merasa sejak beberapa hari belakangan ini Chaeyoung bersikap aneh padanya dan hal itu cukup membuat pertemanan mereka menjadi canggung selama beberapa hari terakhir ini. Hingga tiba suatu hari di mana Chaeyoung menghubunginya dan memintanya untuk menemui yeoja itu, hari ini…di café ini…mengatakan semua isi hati yang sudah dipendamnya selama beberapa bulan terakhir ini pada sepupuku. Sejujurnya, sepupuku sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi padanya dan ia sungguh tak tahu harus berbuat apa jika hal itu benar benar terjadi. Maka dari itu ia memintaku untuk menemaninya hari ini. Dari hal ini, aku bisa melihat dan mengerti mengapa namja selalu diidentikkan dengan menyatakan perasaan lebih dulu pada wanita dibandingkan sebaliknya. Namja terlalu bodoh untuk bisa merespon hal hal seperti ini. Ketika seorang yeoja dengan jelas menyatakan isi hatinya, para namja justru tak tahu harus berbuat apa.
“Duduklah di sini”, ujarku pada sepupuku untuk duduk di hadapanku. Ia dengan lesu bangkit dari kursinya dan berpindah tempat di hadapanku. Wajahnya terlihat lesu setelah mendengar pernyataan cinta dari Chaeyoung tersebut. “Kau juga memiliki perasaan yang sama dengannya?”, pancingku. Namja itu terlihat menggeleng pelan.
“Moreugesseoyo….Ia adalah gadis yang menyenangkan…tapi….”, gumam namja itu menghela nafas pelan.
“Kau tak mempunyai perasaan yang sama dengannya?”, tanyaku hati hati dan namja itu mengangguk pelan.
“Aku sudah menyukai orang lain hyung…”, gumamnya lesu.
“Kalau begitu katakan apa yang kau rasakan sejelas jelasnya pada Chaeyoung”, ujarku.
“Tapi aku tak mau menyakitinya”, gumam sepupuku terlihat semakin lesu.
“Itu adalah resiko yang kurasa pasti Chaeyoung sudah pikirkan sebelumnya…dan juga resiko yang harus kau ambil, yaitu kehilangan seseorang yang mengagumimu. Karena mulai hari ini, hubungan kalian tak akan lagi sama. Bahkan jika kau menyatakan perasaanmu pada seseorang yang kau sukai tersebut, dan semua tak berjalan sesuai apa yang kau harapkan, kau harus siap menerimanya seperti bagaimana yang akan terjadi pada Chaeyoung”, ujarku pada sepupuku tersebut sembari tersenyum getir ketika memikirkan apa yang terjadi pada Chaeyoung. Bahkan bisa kurasakan betapa sakitnya perasaan Chaeyoung ketika mendengar jawaban sepupuku nanti.
Sepupuku menghela nafas berat. Aku mengerti betapa sulit posisinya. Aku mengenalnya sejak kecil. Kini, ia tumbuh menjadi seorang namja tampan dengan postur tubuh ideal yang tentunya akan mudah membuat yeoja lainnya dengan mudah tertarik padanya. Namun, tak banyak yang tahu bahwa ia adalah seorang pria pemalu yang sulit mengekspresikan perasaannya pada orang lain. “Hidup adalah pilihan pilihan yang harus kau ambil…tentu Chaeyoung akan merasakan sakit hati nantinya….tapi cepat atau lambat ia akan menyadari bahwa kau memang bukanlah untuknya. Tapi selama kau mengutarakan apa yang kau rasakan dengan jelas, tentu itu akan lebih baik dibandingkan jika kau terus membiarkannya mengharapkanmu”, ujarku sembari menyeruput frapuccino pesanku yang sudah mulai dingin. Sesuatu terlintas dalam pikiranku. “Katakanlah apa yang ingin kau katakan selagi kau masih punya kesempatan untuk mengatakannya….karena jika kesempatan itu hilang, semua akan menjadi runyam dan kau bahkan tak tahu apakah kau masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya lagi atau tidak”, ujarku tersenyum getir. Entah mengapa batinku terasa sesak ketika aku mengatakan hal tersebut. Tak sengaja, mataku tertuju pada sebuah kutipan dari novel dan halaman yang tengah kubaca saat ini:
It’s hard to answer a question
You haven’t been asked.
It’s hard to show you tried
Unless you end up succeeding.
-Every day, David Levithan-
TRANS;
Sulit sekali
untuk menjawab pertanyaan yang tak pernah ditanyakan padamu sebelumnya.
Sulit Sekali
Untuk menunjukkan seberapa keras kau sudah mencoba
Kecuali jika semua berakhir seperti apa yang kau harapkan
Aku tersenyum getir ketika membaca sepotong kutipan tersebut. Kuberikan buku itu pada sepupuku sekaligus menunjukkan kutipan itu padanya. “Bacalah kutipan ini baik baik dan pikirkan semuanya….cobalah untuk mengutarakan apa yang kau rasakan meskipun semua berakhir tak sesuai dengan apa yang kau harapkan”, ujarku bangkit dari kursiku. Aku menghela nafas pelan. Aku menoleh dan menatap sepupuku tersebut. “Jangan sampai hidup memaksamu merasakan apa yang orang lain rasakan. Atau mungkin, kau memang membutuhkannya…sehingga kau mampu mengerti segalanya dari sudut pandang yang berbeda….”, gumamku menghela nafas pelan. “Tapi percayalah padaku, itu bukanlah hal yang mudah….”, sambungku.
“Apa maksudmu….hyung?”, Tanya sepupuku menatapku bingung.
“Tak mudah hidup menjadi orang lain…melakukan apa yang dilakukannya…merasakan apa yang dirasakannya….bacalah buku itu, maka kau akan mengerti apa yang kuucapkan”, ujarku tersenyum. Kutepuk pelan pundak namja itu. “Semoga semua berjalan sesuai apa yang kau harapkan”, lalu bergegas berjalan keluar dari café, mencoba memberi ruang bagi namja itu untuk memikirkan semuanya.
Aku kemari hanya untuk menemaninya. Aku tak berhak untuk mencampuri urusannya lebih jauh lagi. Ia adalah pria yang kini beranjak dewasa dan ku yakin ia pasti sudah bisa menentukan apa yang terbaik baginya.
Aku menyayanginya seperti adikku sendiri. Aku tak ingin ia mengalami apa yang kualami. Terlalu lama memelihara kepengecutan, hingga akhirnya hidup memaksaku untuk melihat efek dari kepengecutanku bagi orang orang di sekitarku melalui sudut pandang orang lain. Hidup menghukumku untuk merasakan apa yang dirasakan mereka….para pecinta yang tidak bisa mendapatkan hatinya kembali.
***