Jinki melemaskan kesepuluh jarinya. “Buka bab 3.”
Kruukk~
Jinki menoleh kearah Sunyeong. “Kau lapar?”
Karena perut juga perlu diisi, akhirnya Sunyeong memutuskan untuk membuat ramen dengan sosis, telur, dan keju didalamnya. Ia juga mengambil beberapa helai kimchi sebagai teman makan ramen. Jinki menghentikkan aktifitasnya saat Sunyeong menyajikan makan malam mereka diatas meja didepan sofa.
“Silakan, Jinki-nim.” Sunyeong menyodorkan sebuah pisin kecil dan sumpit pada Jinki.
“Gomapseumnida~ Jalmokgoseumnida.”
Slurp~
Mereka sama-sama terlihat sangat lapar. Tidak ada pembicaraan diantara mereka sampai satu panci ramen habis tidak tersisa. Mereka pun melanjutkan kegiatan yang sudah tertunda. Jinki kembali fokus pada laptop dan Sunyeong pada buku.
“Kenapa kau lancar sekali membuat essaynya?” Sunyeong merebahkan kepalanya di sandaran sofa dengan mata tetap fokus pada essaynya yang sebentar lagi selesai.
“Aku juga pernah menjadi mahasiswa sepertimu.”
“Ah! Aku lupa kau adalah seorang Magister.”
“Darimana kau tahu?” Jinki menoleh melihat Sunyeong. Oh, tidak. Sepertinya mereka duduk terlalu dekat. Wangi tubuh Sunyeong dapat dengan jelas ia cium. Ia tidak bisa mendeskripsikan ini wangi apa tapi otaknya bilang ini mirip wangi bayi.
“Soojeong.” Jawab Sunyeong. “Dan dia bilang kau itu pintar jadi aku bisa bertanya apapun padamu.”
Jinki belum merespon. Ia malah menatap wajah Sunyeong seolah-olah ia sedang merekam baik-baik wajah Sunyeong dalam memorinya. Secara umum, Sunyeong mungkin memang terlihat sangat mirip dengan mendiang istrinya, tapi jika diperhatikan mereka memiliki beberapa perbedaan yang cukup mencolok bagi Jinki. Mata Sunyeong yang tidak sipit tapi juga tidak terlalu bulat. Bulu matanya lentik dengan double eyelid. Hidungnya kecil dan mancung. Pipinya yang sedikit tembam membuatnya terlihat lucu. Kemudian matanya berhenti di bibir pink Sunyeong. Bibirnya seksi. Tidak terlalu tipis atau tebal. Ukuran dan bentuknya pas. Pas? Pas untuk apa? Tanya Jinki dalam hati.
Mata mereka bertemu saat Sunyeong mendongak ke arah Jinki. Tidak, Lee Jinki, buang pikiran itu jauh-jauh. Jinki berperang dengan batinnya sendiri.
Sunyeong sadar bahwa Jinki sedang menatapnya sedari tadi. Bukan kali ini saja ia merasa ditatap oleh Jinki, sudah beberapa kali ia memergoki Jinki yang diam-diam sering memperhatikannya dari kejauhan.
“Sejak berumur 20 tahun, Jinki oppa sudah mengenal Minji eonni dengan baik. Mereka dekat, sangat dekat. Tapi mereka tidak berpacaran karena agensi melarang mereka. Saat itu karir oppa sedang dalam tahap perjuangan besar-besaran, karena dulunya oppa adalah aktor dan model cilik yang kemudian vakum karena ingin fokus sekolah demi bisa masuk ke SNU. Itulah kenapa aku bilang Jinki oppa sangat pintar, kau bisa bertanya apapun padanya.” Soojeong mengawali ceritanya. Sunyeong mendengarkannya dengan seksama sambil memeluk guling. Hari ini Sunyeong menginap di rumah Soojeong.
“Saat berumur 25 tahun, Jinki oppa memutuskan untuk menikah dengan Minji eonni. Berita itu sangat heboh, kau sungguh tidak tahu?”
“Empat tahun yang lalu aku bahkan belum menjadi penggemar Lee Taemin. Tapi soal Jinki adalah aktor dan model cilik kurasa aku bisa mengingatnya sedikit. Selama bertahun-tahun model iklan permen susu terkenal itu selalu Jinki kecil.”
Soojeong memutar bola matanya. “Itu iklannya saat berumur 10 tahun!” Soojeong memeluk boneka kesayangannya sambil duduk berhadapan dengan Sunyeong. “Mereka adalah pasangan paling hot saat itu, mereka sangat cocok dan manis. Tapi setahun kemudian Minji eonni… meninggal dunia…”
“MWO???”
Soojeong mengangguk sedih. Ia ingat sebaik apa Minji padanya dulu. “Dia tidak sadar kalau ada kanker di rahimnya. Walaupun dia model terkenal tapi pola hidupnya agak buruk karena selalu sibuk. Dia tidak pernah makan dengan benar apalagi mengecek kesehatan ke dokter. Minji eonni sangat keras kepala, bahkan Jinki oppa kesulitan mengatasinya.”
“Saat itu mereka sedang program anak pertama. Minji eonni bahkan berhenti menjadi model tak lama setelah mereka menikah.” Lanjutnya. “Karena selalu keguguran, mereka pergi ke dokter dan ternyata Minji eonni mengidap kanker rahim yang sudah parah. Dokter mengatakan Minji tidak akan bisa mengandung. Itu membuat Minji eonni stress berat karena semuanya terasa tiba-tiba. Dihadapan Minji eonni, oppa tidak pernah menunjukan kesedihan dalam bentuk apapun agar Minji eonni tidak merasa terbebani dan menyalahkan dirinya terus menerus karena tidak dapat mengandung.”
“Kemudian apa yang terjadi?” Sunyeong menunggu cerita lanjutannya sambil menggigit kuku jempol tangannya sendiri.
“Aku tidak terlalu tahu persisnya, tapi aku dengar keadaan Minji eonni sangat lemah saat itu, ia mimisan sepanjang hari dan mengeluh sakit di bagian rahimnya, entah apa yang sedang eonni lakukan aku dengar eonni terpeleset dan kepalanya terbentur keras tepat di bibir kolam renang kemudian ia tercebur ke kolam dan tenggelam.”
“Apa dia meninggal karena itu?”
“Tidak. Setelah itu Minji eonni koma. Kankernyalah yang memperparah keadaan eonni hingga… akhirnya eonni….” Bibir Soojeong bergetar hebat. Ia tidak sanggup meneruskan cerita akhirnya.
Mata Sunyeong ikut berkaca-kaca kemudian ia memeluk Soojeong. “Aku harap Minji-ssi sudah tenang dan bahagia di surga…”
“Aku masih ingat bagaimana terlukanya Jinki oppa saat itu. Dia membatalkan semua projectnya, dan memutuskan untuk wajib militer, tepat 100 hari setelah kepergian Minji eonni. Aku dan oppa yang lain merasa bahwa Jinki oppa sedikit banyak berubah. Tidak seceria dulu, bahkan matanya hampir tak pernah berbinar lagi. Kau tahu? Jinki oppa adalah tipikal orang yang sangat lucu dan menyenangkan. Jinki oppa jadi lebih sering menyendiri dan banyak diam dikamar jika sedang dirumah. Itu yang dikatakan paman Lee –ayahnya Jinki.”
“Aku dan oppa yang lain sangat sering membujuknya untuk pergi keluar untuk membangkitkan kembali semangat hidupnya yang nyaris padam selama dua tahun. Setelah ia selesai wajib militer, entah apa yang membuatnya ingin kembali ke dunia entertain. Dia seperti memulai hidup baru, dengan karakter yang berbeda.” Lanjut Soojeong.
“Jadi Lee Jinki di layar kaca sekarang hanyalah bagian dari peran?”
“Sekarang, ya. Aktor Jinki hanyalah sebuah peran karena dia yang sebenarnya sudah banyak berubah.”
Sunyeong mengalihkan tatapannya kembali ke laptop. Ia tahu Jinki sedang menatap Minji di wajahnya. “Apa sudah mau selesai?”
Seperti baru tersadar Jinki langsung menatap laptop di pangkuannya kemudian mengetik beberapa kata. “Kurasa sebentar lagi selesai.”
Setelah itu mereka saling diam. Hanya ada suara keyboard laptop dan suara jarum jam di ruangan itu. Hening untuk beberapa belas menit sampai Jinki merasakan pundak sebelah kirinya berat sebelah. Sunyeong tertidur di pundak Jinki dengan sebuah buku yang terbuka di pangkuan gadis itu.
Setelah mengetikkan beberapa kalimat akhirnya essay Sunyeong selesai juga. Ia mematikan laptop dan menaruhnya di meja bersama dengan buku yang tadi ada di pangkuan gadis itu. Waktu menunjukan pukul 10 malam, tidak mungkin ia membangunkan Sunyeong dan menyuruhnya pulang karena jarak apartemen mereka cukup jauh.
Jinki pun memutuskan untuk menggendong Sunyeong ke kamar tamu. Ia tidak tega melihat Sunyeong yang sedang tertidur pulas. Jinki bisa mendengar dengkuran halus Sunyeong, pertanda gadis itu sudah berkelana jauh ke dunia mimpi.
Kemudian Jinki duduk di pinggir ranjang. Entah apa yang ada dipikiran Jinki sekarang, perlahan ia mendekati wajah Sunyeong sampai hidung mereka bertemu. Bahkan ia bisa merasakan hembusan napas lembut Sunyeong di wajahnya. Jinki memiringkan sedikit kepalanya ke kanan dan mencium bibir Sunyeong untuk beberapa detik.
Setelah melepas ciumannya, Jinki kembali memandangi Sunyeong dengan tatapan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti. Tiba-tiba bayangan Minji dan Sunyeong silih berganti muncul dalam pandangannya. Ini yang ia takutkan.
Perasaan tidak menentu ini sudah dapat ia prediksi sejak pertama kali ia bertemu Sunyeong. Ia tidak tahu apa nama perasaan ini. Hanya saja hatinya menjadi tidak tenang.
–Kkeut!-