Aku melihat mereka berdua di atas altar, saling melempar senyum disertai tepuk tangan para tamu undangan setelah mereka benar-benar sah menjadi sepasang suami istri.
Park Jimin dan gadis pilihannya itu sekarang sudah menikah. Jimin tidak pernah tahu jika aku menyukainya sejak dulu, Jimin hanya menganggapku sebagai sahabatnya dan tidak akan pernah lebih dari itu. Gadis itu memindah posisiku selama ini, gadis itu dengan mudah merebut hati Jimin, gadis itu mudah sekali membuat Jimin melupakanku.
Kenapa harus dia?
Kenapa harus gadis itu?
Aku yang mengenal Jimin terlebih dahulu sebelum gadis itu, aku yang menghabiskan waktu lebih lama dengan Jimin dibandingkan dengan dia. Aku yang merawat Jimin ketika dia sakit sebelum dia, aku yang mengembalikan tawa dan semangat Jimin ketika dia sedang dilanda masalah sebelum dia dan aku yang membuat Jimin mampu bangkit dari titik terendah dalam hidupnya sebelum dia.
Kenapa Jimin semudah itu jatuh hati pada gadis asing ini?
Semua berdiri dan bertepuk tangan, memberi salam dan selamat pada mereka terkecuali aku. Aku memang ikut berdiri, tapi aku merasa bahwa di sekitarku sunyi, aku hanya mendengar detak jantungku yang berdegup kencang memandang dua pasangan berbahagia itu. Aku hanya mendengar suara tarikan nafasku yang semakin berat karena aku harus menahan tangisku yang sebenarnya ingin pecah.
Namjoon yang duduk di sampingku melirikku, tanpa kusadari. Dia memperhatikanku dan menyadari ada yang salah denganku. Dia terus memandangku sampai aku sadar bahwa ada yang mengamatiku. Aku mendongak untuk bisa menatapnya dan dia menaikkan kedua alisnya seolah bertanya ‘Ada apa?’. Aku menggeleng dan menepuk punggungnya, memastikan bahwa aku baik-baik saja, padahal nyatanya perasaanku hancur berkeping-keping.
“Selamat, Hyung!” Jungkook memeluk Jimin ketika kami ada di rumah baru Jimin dan istrinya yang baru untuk merayakan pesta pernikahan mereka pada sore hari ini. Sebenarnya aku tidak ingin datang namun Jin ternyata sudah menjemputku tanpa memberitahuku.
Sore ini, semua member BTS dan sanak keluarga kedua mempelai datang kemari. Mereka tidak henti-hentinya memberi ucapan selamat pada Jimin atas pernikahannya. Aku, duduk di pinggir kolam seorang diri, merasa panas dan tidak tahan ketika mereka memberi selamat kepada mempelai wanita itu. Seharusnya aku yang mendapatkan sambutan itu, bukan dia.
Aku hanya bersyukur jika aku masih bisa menahan air mata meskipun dalam hati aku selalu bertanya-tanya kenapa Jimin tega melakukan ini semua. Well, sebenarnya bukan salah Jimin karena dia tidak pernah mencintaiku. Tapi aku bingung dengan perasaanku, antara cinta dan membencinya.
Aku melayangkan pandangan ke arah kerumunan orang itu. Jimin terlihat benar-benar bahagia sekarang, senyum dan tawa itu tidak pernah hilang dari wajahnya. Dia bahkan lupa dengan keberadaanku. Semua kemeriahan itu tidak artinya bagiku. Aku merasa tersiksa dan sakit jika berlama-lama di sana.
Tiba-tiba sebuah tangan yang memegang segelas es soda muncul di sampingku. Aku mendongak untuk melihat siapa dan ternyata Jin. “Mau minum?” dia menawarkan.
Aku mengangguk lemah dan menerima gelasnya. “Terima kasih.”
Jin pun duduk di depanku sambil menatapku. Aku menatapnya lalu membuang muka, menatap ke arah kolam renang yang ada di samping. Aku sedang tidak peduli dengan siapapun sekarang.
“Katakan sekarang,” Jin berbicara.
Aku hanya diam. “Tidak mau.”
“Nani.”
“Aku bilang tidak mau.”
“Kau sudah janji tadi,” dia menyahut cepat.
“Aku janji hanya untuk membuatmu diam,” aku menyahut tidak kalah cepat.
Jin langsung terdiam. Apakah dia sakit hati? Sebenarnya aku juga langsung merasa bersalah dengan jawabanku, aku sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya namun aku juga sedang tidak ingin dipaksa.
Jin mengembuskan nafas dan berdiri, berjalan meninggalkanku.
“Babo,” aku mendesis, mengutuk diriku sendiri.
Beberapa menit setelah berpikir dan menyesal bahwa sudah melukai Jin, aku berdiri dan berjalan ke arah kerumunan. Orang pertama yang kucari dan ternyata kulihat adalah Jin. Aku pun berjalan mendekatinya.
Aku merangkul lengannya. “Seokjin Oppa.”
Dia menoleh dan menunduk ke arahku.
“Mianhae,” ucapku tidak berani menatapnya.
Jin menghela nafas dan mengangguk. “Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf sudah memaksamu.”
Aku hanya mengangguk dan mengencangkan rangkulanku.
“Nani, kamu tidak mau makan?” Taehyung tiba-tiba muncul.
Untuk sekarang aku sama sekali tidak ingin melakukan apapun. Aku tersenyum lemaah sambil menggeleng ke arahnya yang sibuk mengambil makanan bersama Jungkook. Aku menoleh ke samping dan menyandarkan kepala pada lengan Jin.
“Hyung?” Taehyung bertanya pada Jin. “Dia kenapa?”
“Dia tidak enak badan, wajahnya sedikit pucat,” Jin beralibi.
“Yah~ kau harus pulang,” Jungkook, yang sudah muncul di belakang Taehyung, berujar.
Aku masih menyembunyikan wajahku namun tetap mengangguk.
“Kau ingin pulang?” Jin bertanya.
“Aku tidak tahu,” jawabku.
“Aku antar kau pulang, oke? Atau kau mau jalan-jalan?” Jin menyentuh pipiku.
“Terserah Oppa saja, aku…” aku memintanya untuk mendekatkan telinganya padaku dan aku berbisik. “Aku tidak ingin berlama-lama di sini.”
“Oh, oke,” Jin berujar. “Yeorobeun, Nani sakit, aku harus mengantarnya pulang.”
“Arraseo! Cepat sembuh, ya!” Taehyung berujar.
Jin tersenyum ke arah mereka dan membawaku keluar dari tempat ini. Jin membukakan pintu mobil ketika kami sampai di samping mobilnya. “Kau mau pulang?” Jin bertanya ketika sudah masuk ke dalam mobil.
“Bawa aku ke manapun aku tidak akan protes,” jawabku lemas.
Jin terdiam lalu menyentuh leherku. “Aku yang atur tujuan kita, ya?”
Aku mengangguk dan Jin mulai menyalakan mesin.
Mobil melaju dan aku sama sekali tidak memiliki tujuan, aku biarkan Jin yang membawaku dan mengatur ke mana mobil ini akan pergi. Pikiranku melayang ke mana-mana dan perasaanku benar-benar campur aduk. Pernikahan mereka masih tertanam jelas di kepalaku. Aku mengeluh dan merasa sakit pada sekitar mata dan hidungku karena aku masih menahan air mata, aku tidak akan membiarkan Jin melihatku menangis.
Tidak ada obrolan antara aku dan Jin. Dan kurasa Jin paham dengan kondisiku jadi dia tidak menanyakan apapun.
Aku perlahan merasa mengantuk. Aku terdiam dan akhirnya tertidur.
“Nani?”
“Nani?”
Suara Jin menggema di telingaku dan berhasil membangunkanku. Aku terkejut dan bingung tentang keberadaanku. Akhirnya aku sadar jika aku masih ada di dalam mobil Jin. Aku menatapnya dan bertanya, “Kita di mana?”
“Di depan rumahmu,” jawabnya.
“Jam berapa ini?”
“Jam delapan malam.”
“Berapa lama kita pergi?”
“Dua jam.”
“Ke mana saja?”
“Kita mengitari Seoul.”
Aku melebarkan kedua mataku. “Hah?”
“Dan selama perjalanan kamu tertidur.”
“Ya ampun,” aku mengeluh sambil menyandarkan badan, sama sekali tidak berpikir bahwa aku benar-benar tidur. “Maaf, maaf aku tidur dan tidak mengajakmu mengobrol selama perjalanan.”
Jin tersenyum. “Tidak apa-apa, kondisimu sedang buruk sekarang. Aku mengerti.”
Aku tersenyum lemah dan mengambil tas. “Kau mau mampir?”
Jin menggeleng. “Tidak usah, aku harus pulang.”
“Kau yakin?” aku bertanya lagi.
Jin mengangguk. Dia menepuk kepalaku. “Sekarang masuk dan makan malam. Jangan lupa makan sebelum kau tidur,” dia menasihatiku.
Aku mengangguk. “Ne, eomma.”
“Jika aku eomma, kau nanti apa? Appa? (ayah?)” dia tertawa.
Aku menggeleng. “Naega ttal (Aku anak perempuan),” jawabku dan kami tertawa. “Terima kasih untuk perjalanannya,” lanjtuku.
“Sama-sama.”
Aku pun keluar dari mobil dan berjalan menuju depan rumahku. Aku melambaikan tangan ke arah Jin dan dia membalas dengan lambaian yang sama sebelum akhirnya dia melaju lagi dengan mobilnya.