“Astagaaa…” aku mengeluh ketika aku membuka pekerjaanku di laptop malam ini. “Oh, Tuhan! Oh, Tuhan! Andwae! Andwae! Andwae!”
Ketika aku membuka laptop dan aku langsung terkejut melihat artikelku. Ada yang salah dengan artikelku, benar-benar salah. “Kenapa… kenapa isinya tentang…” Aku kebingungan setengah mati ketika membaca ketikanku, aku baru sadar jika aku menuliskan-mendiskripsikan tentang Seokjin.
Ketika mengetik di kafe, aku memang sering menatapnya, tapi bagaimana bisa pikiranku langsung tertuju padanya sampai-sampai hasil tulisanku adalah deksripsi tentang dia dan curahan hatiku tentang dia? Aku berbaring di atas ranjang dengan laptop di sampingku, aku memutar badan dan membaca Karangan Dadakan-ku sambil berbaring.
“Ah, tidak, tidak, tidak,” aku menggelengkan kepala, berhenti membacanya. “Aku harus fokus.”
Aku pun memencet icon ‘New Document’ di pojok kiri atas dan berinisiatif merevisi semua isi artikelku. Aku duduk dan mengucir rambut cokelat panjangku lalu langsung mengetik ulang artikelku. Untung saja tidak ada gangguan dari pacarku sehingga aku bisa menuliskan semua dengan baik dan lancar.
Dua jam sudah berlalu dan artikelku benar-benar selesai. Aku pun men-save-nya dan membuat copy-annya, berjaga jaga kalau terhapus. Aku meregangkan ototku dan memijat pundakku. “Astaga, aku tidak pernah selelah ini,” aku bergumam.
Aku memindah laptopku ke meja kerjaku dan keluar dari kamar menuju dapur untuk membuat secangkir susu cokelat panas. Aku berjalan menuju ruang TV dan duduk di sofa. Suasana begitu sunyi dan nyaman kalau aku boleh mengatakan. Dan biasanya, suasana seperti ini yang memberiku banyak inspirasi menulis.
Aku tersenyum geli begitu mendapat ide dalam kepalaku. Aku meletakkan cangkir susu di atas meja dan bergegas menuju kamar lalu kembali ke ruang TV dengan laptop putihku. Aku duduk di atas sofa dengan laptop di pangkuanku.
“Oke,” aku bergumam, merasa ada semangat yang muncul. Aku lalu mulai mengetik:
Kim Seokjin…
Aku tersenyum bahkan hanya menulis namanya. Kemudian jemariku kembali bergerak, menuliskan, menorehkan semua apa yang terlintas di pikiranku tentang sosok Kim Seokjin. Aku tidak pernah menulis secepat dan se-semangat ini sebelumnya. Semua mengalir, semua tertulis dan tercetak di layar begitu saja. Setiap kata, setiap deskripsi mewakilkan apa yang kurasakan tentangnya.
Laki-laki berbahu indah ini sudah mencuri perhatianku ketika kami ada melakukan tour dua tahun lalu. Entah apa yang kupikirkan namun aku lebih mencintai dia daripada pacarku yang sekarang. Seokjin itu sosok yang dewasa, sosok yang halus, sosok yang membuat tiap gadis yang ada di dekatnya tidak ingin pergi darinya. Dia sanggup memanjakan gadis, dia sanggup membuat gadis merasa nyaman berada di dekatnya.
Bahunya selalu menjadi fantasi tersendiri untukku, aku selalu berandai-andai bisa menyandarkan kepala di bahunya, merasakan nyamannya bersandar pada bahunya. Kedua lengannya selalu menjadi favoritku ketika dia merangkulku, memberiku perlindungan tanpa kuminta, menghangatkanku ketika aku kedinginan di kala hujan atau musim salju.
Entah apa yang kupikirkan, aku tidak peduli dengan hubungan yang kujalani dengan dia. Ingin sekali aku mengakhirinya tapi... bagaimana? Hanya Jin yang ada di pikiranku, bukan dia.
***
Di tempat lain, Jin sedang berkumpul bersama kelima saudaranya di belakang rumah mereka.
“Apa yang kalian lakukan tadi di kafe?” Namjoon bertanya.
Jin, yang sedang duduk di pinggir kolam ikan, menoleh ke arahnya. “Hanya menemani dia menulis artikel.”
“Apa dia membicarakan tentang pacarnya yang menyebalkan itu?” Taehyung bertanya.
Jin menggelengkan kepala.
“Sudah berapa lama mereka bersama?” Hoseok bertanya.
“Kalau tidak salah, satu tahun,” Jin menjawab sambil memberi makan ikan di kolam.
“Sepertinya Hyun Ra lebih bahagia jika bersama kita daripada dengan pacarnya,” Jimin berkata. “Terutama dengan Jin Hyung.”
Diam-diam Jin tersenyum senang mendengarnya.
“Kalian tahu?” Yoongi, yang tiba-tiba sudah muncul di pintu belakang, berkata. “Aku mulai merasa khawatir dengan perkembangan hubungan Hyun Ra dengan laki-laki sialan itu.”
“Aku heran dengan Hyun Ra, kenapa dia tidak minta putus saja?” Jungkook berujar.
“Dia perempuan dan kau tahu, kan perempuan sulit dimengerti,” Hoseok menyahut.
“Yah~ tidak semua perempuan sulit dimengerti,” Jin mengoreksi.
“Hmmmm~” Taehyung nyengir tolol. “Jin Hyung tidak terima mendengarnya.”
Jin mengerutkan dahi, sedikit tidak setuju dengan ungkapan Taehyung. “Hei, bukan, maksudku… Ah… lupakan,” dia menyerah, dia pun merasa bingung harus berkomentar seperti apa. “Maksudku mungkin saja Hyun Ra punya maksud lain dengan tidak ingin putus dengannya.”
“Biasanya kalau seperti itu, bisa saja Hyun Ra sangat mencintai pacarnya,” Yoongi menimpali sambil melepas pakaiannya, merasa sangat gerah malam ini.
Semua menoleh ke arahnya, terutama Jin yang langsung memincingkan matanya. “Apa?”
Yoongi mendengus dan mengangguk. “Kalau Hyun Ra tidak mencintai dia, untuk apa dia bertahan sampai sejauh ini?” Yoongi menjelaskan. “Hyun Ra selalu saja punya alasan yang tidak kita kira untuk mempertahankan hubungannya tiap kali kita memintanya. Dan alasan-alasan itu sebenarnya masuk akal.”
Semua terdiam, langsung sependapat dengan ucapan Yoongi. Semua terdiam termasuk Jin. “Hyun Ra benar-benar mencintainya, ya?” dia berbisik, memikirkan ucapan Yoongi.
“Yah!” Jimin tiba-tiba berseru. “Apa kalian melihat sesuatu yang aneh di lengan Hyun Ra?”
Kini giliran Jimin yang jadi pusat informasi setelah Yoongi.
“Maksudmu?” Jin bertanya.
“Kemarin di acara ulang tahun Jin Hyung, aku melihat Hyun Ra sering mengusap dan menahan sakit saat memegang lengan kirinya. Aku hanya takut kalau…” Jimin terhenti selama beberapa saat, berharap semoga apa yang dia pikirkan tidak benar-benar terjadi. “…kalau Hyun Ra disakiti oleh pacarnya.”
“Hyung!” Jungkook memanggil Jin. “Kurasa kau harus bertindak sesuatu.”
Jin terdiam namun di dalam kepalanya sudah banyak rencana yang dia atur.