Pagi hari di rumah,
“Eomma~ aku berangkat yaa!”
“Eh, mau kemana, pagi betul, nak? Sarapan dulu!”
“Sudah kesiangan, Ma. Aku kembali, um, kira-kira 2 jam lagi kok! Sudah ya!”
-----------------------------------------------------------------------------
Pikirku hari ini akan ada sesuatu yang besar yang akan terjadi, aku tidak tau apa, namun aku begitu kalut membuatku jadi terburu-buru.
Sampai di taman, aku istirahat, dan seseorang menghampiriku sambil berlari kencang, menabrakku, karena aku kelelahan, aku tak mampu untuk mengontrol tubuhku dan akhirnya terjatuh.
Brakk!!
“Awww!!”
Aku menimpa sesuatu dan kulihat ada cipratan warna merah di sekitar punggungku, sikuku sakit sekali!
“Eotteokhajo! Ack! Aaa, mian, noonim, kwenchanah yo??!”
Aku mendengar suara laki-laki bertubuh ramping, tinggi sekali, kulitnya yang putih bersinar di bawah mentari pagi, meminta maaf padaku samar-samar. Lalu setelahnya aku tak sadarkan diri.
-----------------------------------------------------------------------------
Setelah beberapa saat, aku mendengar bunyi alarm, lagu Eldorado dari EXO-K.
Aku terbangun dari mimpiku,
Mimpiku buruk sekali, apa aku mengigau, ini sudah jam berapa ya? Pikirku sambil menahan rasa sakit di belakang leherku, sepertinya aku salah bantal, sampai aku mimpi buruk begitu.
Ah, darah! Oiya, aku hanya mimpi. Aku kaget sekali melihat darah begitu!
Ini hari minggu pagi, hari yang kunantikan, tapi aku kesiangan. Aku lihat handphoneku, banyak sekali pesan yang masuk dari pacarku, Kim Kai.
Dia menungguku di taman, katanya.
-----------------------------------------------------------------------------
“Mi.. miaaan, hosh, hosh, aku terlambat bangun… hosh, hosh,” kataku meminta maaf pada pacarku dengan tergesa-gesa sesampainya aku di taman.
“Tidak apa-apa, aku hanya khawatir karena kamu tak menjawab teleponku sejak pagi,” katanya menenangkanku. Oiya, yang kukira alarm tadi pagi ternyata suara dering telepon khusus dari Oppa. Aku jadi terngiang lagunya lagi.
“Sail, sail, sail, gotta, gotta, go, go, gotta find the Eldorado, Eldorado, O!”
Kembali lagi ke Oppa-ku,
Kim Kai sangat baik padaku, meskipun dia sibuk bekerja dan selalu banyak pekerjaan, dia selalu luangkan waktu untukku di hari minggu.
Aku tak pernah tau, pertemuan tak sengaja kami beberapa bulan lalu membawa kami ke hubungan yang nyaman, santai dan menyenangkan ini, tak pernah ada perselisihan maupun konflik yang berarti.
Meskipun aku masih bersekolah, dan sikap kekanakanku menjengkelkannya, dia tak pernah ambil pusing atau repot-repot mengomeliku, sabaaaaar sekali!
Aku juga menyukainya karena Kai-Oppa selain pembawaannya yang tenang, dan kebapakan sekali, dia juga tampan dengan tulang alisnya yang tinggi dan sekaligus eksotis dengan kulit kecoklatannya, seperti ukiran marmer, memang tak biasa karena kulitnya sedikit gelap, tetap saja bagiku ia memikat sekali!
-----------------------------------------------------------------------------
Sebulan kemudian…
“Aku mau kita jangan bertemu dulu, ya? Bisakah?”
Kim Kai mengajakku bertemu untuk mengatakan ini.
Beberapa pekan terakhir memang kami tidak begitu banyak mengobrol, karena dia sibuk sekali, dan aku sedang ada ujian dan segudang tugas sebelum pekan ujian datang.
“Ada apa? Mengapa mendadak menanyakan ini?”
Aku mulai khawatir dan berfikiran yang tidak-tidak.
“Aku… tak bisa mengatakannya…”
“Um…?”
“Bisakah?” tanyanya ragu-ragu.
Seharusnya hari ini, dia bisa mengajakku makan dulu atau nonton film kesukaanku dulu, atau hal manis lainnya, sebelum menanyakan ini. Entah mengapa, ada sedikit kejanggalan dan keanehan di raut wajahnya. Kepalaku pening sekali.
“Yoona-ya, kenapa diam?”
Wajahnya yang kecoklatan berubah menjadi semakin gelap dari biasanya, dan alisnya turun tanda khawatir. Matanya melihat ke arahku, tapi tak benar-benar menatap mataku.
“Ya, um, tapi sampai kapan? Dan, sebenarnya ada apa? Jangan menakutiku seperti ini, Oppa…” Dia hanya menghela nafas panjang sambil meraih jemari tanganku.
“Aku hanya merasa sebaiknya kamu lulus sekolahmu dulu, lalu kita bisa bertemu lagi jika kamu mau.”
Klise, sejak awal hubungan kami, dia meyakinkanku bahwa dia tak keberatan, karena usia kami hanya terpaut 4 tahun saja.
“Kan... Sudah 6 bulan kita bersama… Oppa... Tapi kenapa baru bilang, se, seka…rang??” Aku mulai menitikkan airmata yang sudah kubendung sejak tadi.
“Aku hanya…berfikir, sebaiknya ditunda dulu saja, kebersamaan kita.” Mendengarnya kepalaku berputar cepat, pandanganku kabur, dan kakiku lemas sekali. Tak pernah terbayangkan ia akan meninggalkanku.
“Aku… Oppa, um, aku pulang duluan aja ya…”
Aku tak kuat lagi menahan airmataku. Aku seketika itu juga berlari menyeberang jalan dan tanpa melihat kiri-kanan. Ada sebuah motor yang berkecepatan tinggi menuju ke arahku yang tengah berjalan sempoyongan, lalu terdengar debuman keras setelah ada lengan menarikku menepi. Aku terlempar ke semak-semak bunga hias di pinggir jalan. Wajahku menghadap ke jalan, pipi kiriku menempel di aspal dan aku lihat ada semburat warna merah panjang di dekatku. Apakah ini darah? Darah siapa ini? Darahku? Pikirku.
Segerombolan orang datang dan mengerubungi seseorang tak jauh dariku.
Aku mencoba berdiri sendiri, namun aku terduduk lagi, sikuku terasa aneh dan mati rasa, sepertinya aku mematahkannya saat terlempar tadi.
“Oppa, tanganku tak ada rasanya… Oppa…” kataku memelas sambil mengedarkan pandangan mencari Kai-Oppa.
Seseorang menghampiriku dan menanyakan keadaanku, aku jawab aku tak dapat merasakan siku kiriku, dan dia menyodorkan sebuah kartu tanda pengenal dari sebuah dompet.
“Apa kamu mengenal orang ini?”
“Itu… Itu… Oppa… Kartu dan dompet milik Kai-Oppa… Mengapa ada di tanganmu, siapa kau?”
Aku menengadahkan wajahku, melihat wajah orang itu. Aku heran, ini seperti di mimpiku, pikirku. Lalu aku tak sadarkan diri.
-----------------------------------------------------------------------------
Saat aku sadarkan diri…
“Nak, nak, ini Eomma, nak… Kamu sudah bisa membuka matamu, Yoona-ya?”
Samar aku mendengar suara tangis ibuku,
“I..iya.. Eomma..”
“Kamu tidak apa-apa, nak? Dokter bilang kepalamu hanya terbentur di aspal, tidak parah, hanya lecet sedikit. Katanya kamu akan baik-baik saja, tapi siku kirimu tidak pada tempatnya, jadi mereka membawamu ke ahli tulang dan sendi, lalu memberikan gips untuk lengan kirimu, agar tidak bergeser lagi, jadi kamu tenang ya, nak, jangan banyak menggerakkan lengan kirimu dulu, Eomma akan di sini membantumu,” ibuku menjelaskan dengan panjang dan sangat cepat, dan kepalaku masih terasa pusing, tidak benar-benar menangkap kata-katanya. Lalu aku ingat kartu dan dompet Kai-Oppa.
“Ma, mana Kai-Oppa? Tadi ada laki-laki yang menunjukkan dompet Kai-Oppa kepadaku… Tanganku… Apa yang terjadi pada Yoona, Ma?
Ibu mulai terisak lagi, dan menggenggam tangan kananku sambil menangis.
“Yoona-ya… Eomma…tak bisa mengatakannya sekarang…”
Kenapa Eomma sama seperti Kai-Oppa sih, menunda untuk mengatakan hal yang seharusnya aku tau. Sifat kekanakanku mulai muncul lagi dan aku merasa kesal.
“Eomma… Jebal…. Ada apa sebenarnya? Tadi Kai-Oppa juga mengatakan hal yang sama.”
Ini sangat tidak adil, ujian sudah membuat kepalaku mau pecah, ditambah Kai-Oppa dan Eomma yang juga menyembunyikan sesuatu dariku.
“Aku harus bertemu Kai-Oppa, dia juga harus menjelaskan padaku tentang yang dia katakan kepadaku!”
“Yoona-ya…” Sebelum Eomma selesai menjawab, seorang perawat datang dan mengganti infusku. Lalu aku bertanya padanya mengenai lukaku.
“Tidak apa-apa, agasshi, kamu akan segera pulih dalam beberapa minggu. Saya turut berduka ya.”
Setelah mengatakan itu, perawat itu lalu menghampiri pasien yang lainnya, belum sempat aku bertanya lagi. Duka? Siapa yang berduka? Aku akan sembuh beberapa minggu lagi, apa yang harus aku sedihkan? Aku sama sekali tak paham.
-----------------------------------------------------------------------------
2 minggu kemudian…
“Yoona-ya… Buka pintunya, nak. Jangan menyendiri terus… Sudah seharian kamu mengunci diri, ada yang mau Eomma sampaikan padamu, nak…”
Sudah 2 minggu aku tak dapat kabar mengenai Kai-Oppa, karena seusai ujian sekolah, kami libur panjang, aku mendapatkan waktu yang cukup untuk istirahat di rumah, tapi Oppa tak juga datang menjenguk. Meskipun Eomma dan keluargaku selalu menemaniku, mereka selalu menghindari perbincangan tentang Kai-Oppa. Kini tanganku sudah kembali seperti semula. Lumayan cepat juga, segera aku membuka-buka semua kontak Kai-Oppa yang aku punya di handphone, namun tetap sepi notifikasi. Walau kadang telingaku terasa sakit dan berdengung akibat benturan di kepalaku, seakan aku mendengar handphoneku berdering khas dering dari nomor Kai-Oppa. Hanya halusinasiku saja, menambah kekesalanku karena menyadarkanku bahwa aku belum dapat balasan apa-apa dari Oppa.
Awalnya aku terima-terima saja perlakuan mereka ini, demi kesehatanku, namun hari ini aku benar-benar kehabisan kesabaran. Aku mengancam akan mengunci diri di kamar sampai salah satu dari keluargaku mau cerita tentang keadaan yang sesungguhnya. Mengapa mereka bersikeras ingin menjauhkanku dari Oppa?
Apa Oppa yang sengaja meminta mereka agar membantunya untuk mengurungku di rumah?
Aaack, mweola! Aku harus keluar dan mencarinya di rumahnya! Rencanaku ini bisa berjalan mudah jika saja kamarku bukan di lantai 2.
-----------------------------------------------------------------------------
Akhirnya Eomma menyerah, dan mengatakan akan menceritakan kejadian sesungguhnya kepadaku. Melihat kondisiku yang sudah stabil dan lebih baik sejak kecelakaan itu. Akupun membiarkan Eomma masuk.
“Nak, Eomma sudah tau sejak kurang lebih sebulan yang lalu…”
“Tentang apa?”
“Kim Kai meminta maaf pada Eomma hari itu, ketika kamu masih di sekolah…”
Kai-Oppa memang banyak mengobrol dengan ibuku kalau ke rumah dan aku tak menyangka dia punya waktu mendatangi ibuku. Terlebih lagi itu kan jam kerja di, saat aku tak ada di rumah juga. Apa ibuku berbohong?
“Oppa minta maaf kenapa, Ma? Tentang dia tak mau menemuiku?
“Um, iya, begitulah, nak…” jawabnya ragu-ragu.
“Lalu?”
“Eomma harap kamu bisa segera melupakannya, lagi pula sudah lama juga kan kalian tidak bertemu. Kamu sudah terbiasa tanpanya, kan?”
“Maksud Eomma?”
“Begini… Lupakanlah dia, karena dia sudah berencana untuk, um, bagaimana Eomma mengatakannya ya… Dia akan menikahi gadis lain…”
Lalu ibuku menangis haru dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Aku tidak mengerti.
“Tunggu, maksud Eomma, Kai-Oppa tidak mencintaiku lagi? Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini, Ma…”
“Maafkan Eomma, nak. Kamu harus bisa menerima ini dan menjalani hidupmu, sebagaimana biasanya, ya. Eomma mohon, kamu jangan sedih…”
“Aku bukan sedih, aku tidak mengerti sama sekali, Eomma!”
Kesal dan ketidakpahamanku ini benar-benar menyiksaku, ada apa sebenarnya, mengapa Oppa meninggalkanku dengan tiba-tiba begini?
“Pasti ada hal lain kan, Ma? Ada yang Eomma sembunyikan dariku, benar kan?”
“Tidak, nak. Eomma hanya bisa menyampaikan itu saja, lupakanlah Kim Kai. Jalani hidupmu sebagaimana biasanya. Mengerti?!”
Eomma keluar dari kamarku dengan kesal, membawa serta handphone-ku dan mengunci kamarku dari luar. Klik!
“Handphone-ku….”
Sudahlah aku istirahat saja, percuma mendebat ibuku sekarang.
-----------------------------------------------------------------------------
Berhari-hari aku tanpa handphone dan gadget lainnya. Aku hanya dibiarkan berkeliaran di rumah saja sepanjang musim liburan sekolah. Tanpa Kai-Oppa, dan hatiku terasa benar-benar hampa.
Antara mati rasa saking hancurnya hatiku dan bingung dengan semua kejadian belakangan ini, berlangsung begitu cepat dan tak wajar.
Teman-teman sekolah sesekali datang menemani dan menghiburku. Namun, aku masih saja belum bisa menerima bahwa Kai-Oppa menyukai gadis lain. Lalu apa arti 6 bulan hubungan kita? Alasan dia tentang diriku yang masih sekolah dan meninggalkanku demi gadis lain sangat tidak wajar. Mengingat hubungan kami harmonis dan baik-baik saja.
-----------------------------------------------------------------------------
Beberapa bulan kemudian…
Aku masih diliputi banyak pertanyaan dan ketika aku sesekali menengok ke rumahnya, sepi. Mereka sudah pindah, maksudku, keluarga Kai-Oppa pindah, entah kemana.
Bukankah Oppa menyukaiku?
Bukankah Oppa menyayangiku dengan apa adanya?
Mengapa seperti ini, aku tak suka! Sama sekali tidak nyaman!
Aku diam, termenung di kamarku, menatap kosong keluar jendela telah menjadi kebiasaanku setiap hari, terutama setelah pulang kuliah. Kini aku sudah masuk semester pertama kuliah, mimpi konyolku tentang memamerkan Oppaku yang tampan ke seantero kampus batal sudah. Di luar musim hujan, dan udara lembab sekali. Tahun lalu aku dan Oppa main hujan-hujanan dengan sengaja di musim hujan, waktu itu usia hubungan kami baru satu bulan. Aku rindu sekali masa-masa kebersamaan kami. Ingatanku tentangnya bukannya memudar tanpa kehadirannya, justru semakin tegas dan nyata, seperti baru kemarin.
Aku menunggu dan menunggu. Mungkin besok atau lusa Oppa akan datang dan meminta maaf, mungkin dia hanya sesaat saja pergi dariku.
Sesekali aku menatap potonya bersamaku.
Sesekali aku merasa hatiku sakit, tapi aku tak bisa menangis lagi.
Oppa, dimana dirimu? Benarkah kau meninggalkanku dan menikahi gadis lain?
-----------------------------------------------------------------------------
Akhirnya aku datangi lokasi kecelakaanku waktu itu-lagi, di sana sudah tak ada lagi bekas kejadiannya. Aku ingat-ingat lagi, dan berusaha menemukan jawabannya. Namun sia-sia saja, yang ada kepalaku jadi sakit dan tubuhku lemas saking putus asanya. Aku duduk di sebuah kursi taman tak jauh dari sana. Tak berapa lama, seseorang berhenti di depanku, sambil menunjukku dengan jari telunjuknya, tak sopan sekali.
“Ya! Sepertinya aku mengenalmu!”
Aku terkejut dan menunjukkan ekspresi tidak mengenalnya.
“Benar, kamu kan yang beberapa bulan lalu kecelakaan di sini!?” Tanya pria itu antusias.
“Iya, kok kamu tau?”
Pria jangkung itu memang sedikit familiar dan kulitnya yang putih, aku sedikit ingat tangannya. Tapi…
“Aku Chanyeol, Park Chanyeol. Mungkin aku tak mengenalkan namaku kepadamu ya saat kejadian itu, hehe,” tawanya menyadari kekonyolan kata-katanya sendiri.
Orang itu sok bersahabat dan seakan aku ini teman lamanya. Padahal aku sama sekali bukan kenalannya. Aku bahkan baru tau namanya detik ini.
“Oiya, bagaimana lengan kirimu? Um, aku turut sedih, kudengar si pemilik dompet itu telah tiada ya? Dia kakakmu atau siapamu? Yang kau panggil Oppa itu,” tanyanya hati-hati.
Seketika aku seperti di sambar petir di tengah hari yang cerah.
“Tunggu, tunggu, ini, ini.. apa maksudmu…?” tanyaku dengan wajah pucat pasi, kuingatkan diriku untuk bernafas perlahan dan tetap menjaga suaraku agar tidak bergetar.
“Iya, pria itu, dia tewas di tempat setelah menyelamatkanmu, memang kamu tidak mengetahuinya, bukankah dia kenalanmu? Apa keluargamu tidak menyampaikannya padamu?”
-----------------------------------------------------------------------------
TAMAT