"Junior-ah, kidaryo!” Sebuah seruan dari seorang gadis kecil yang dengan riangnya bermain bersama dengan teman sebayanya di tengah ladang gandum.
“Palliyo, Cherry-ah! Kau lambat sekali.” Sahut anak laki-laki yang usianya berkisar 10 tahunan. Ia asik berlari, sementara temannya mengerjarnya dari belakang.
“Junior, tunggu – aaaahhh…….”
Mendengar seruan Cherry yang berubah menjadi raungan itu memaksa Junior untuk kembali. Ia terlihat sangat panik dan bergegas menghampiri Cherry yang sedang tersungkur di antara dua petak lahan.
“Cherry-ah, gwaenchana?” Tanya Junior dengan nada bicara gelagapan. Sebisa mungkin ia membantu Cherry berdiri. Setelah berhasil, ia melihat luka di kedua kakinya. Karena tersandung lumpur yang mengering lutut Cherry pun tergores dan mengeluarkan darah.
“Appoo…” keluh Cherry sambil meringis kesakitan.
“Mianhaeyo, Cherry. Jeongmal, mianhae…” ucap Junior dengan penuh rasa sesal.
“Gwaenchana, Junior. Nan, gwaenchana.” Jawab Cherry tersenyum miris karena menahan rasa sakit.
Tiba-tiba saja Junior jongkok membelakangi Cherry dan memintanya untuk naik ke punggunggnya. Namun Cherry menolaknya. Ia bersikeras ingin berjalan sendiri. Namun saat dirinya mencoba berjalan, ia tak sengaja mengaduh kesakitan sehingga membuat Junior merasa semakin bersalah.
“Ya, Cherry-ah!” Bentak Junior. “Kalau kau tak mau membiarkanku menolong, mulai hari ini aku tak akan menjadi temanmu lagi. Kau mau pilih yang mana?” Kata Junior dengan nada mengancam.
“Arrasseo…”
Sepanjang perjalan Junior menggendong Cherry di punggungnya. Keduanya pun menepi dan berteduh di bawah sebuah pohon apel. Junior membantu Cherry duduk berselonjor kaki dan bersandar pada batang pohon tersebut.
“Tunggulah di sini! Aku akan kembali.”
“Eodiga?”
“Tunggu saja, aku akan segera kembali. Jangan pergi kemanapun sebelum aku kembali. Arrachi?”
“Umm”
Dengan berlari Junior meninggalkan Cherry seorang diri si bawah pohon apel itu. Meski ia berjanji akan kembali secepatnya, namun sepanjang senja Cherry menunggunya, ia tetap belum kembali. Matahari semakin condong ke bawah, langit perlahan mulai gelap dan Cherry pun mulai gelisah. Ia semakin merasa ketakutan. Ia ingin sekali pergi, tapi ia sudah berjanji untuk menunggu Junior sampai kembali.
“Junior… kau dimana?” Batinnya gundah.
Tiba-tiba saja terdengar derap langkah yang semakin mendekat. Benar saja, akhirnya Junior pun kembali.
“Cherry-ah, syukurlah kau masih di sini. Mian, aku datang terlambat.” Ujar Junior dengan nafas terengah-engah.
“Junior, wajahmu?” Tanya Cherry saat melihat wajah Junior yang tampak lebam dan terluka si banyak tempat di sekitar wajahnya. Cherry pun melayangkan tangannya hendak menyentuh luka-luka itu, namun Junior dengan sigap menghindar.
“Gwaencahana.” Katanya mencoba meyakinkan. Cherry berhasil dibuatnya kebingungan. Ia hanya memandangi wajah Junior, dalam. Apa yang sudah dilakukannya, batinnya.
Tanpa memikirkan keadaannya sendiri, Junior hanya fokus dengan luka di lutut dan di beberapa tempat lainnya pada kaki Cherry. Kotak P3K yang ia bawa hingga menghabiskan waktu selama itu, juga wajahnya yang penuh dengan luka di bagian pipi, dagu, bibir juga pelipis mata sungguh membuah Cherry penasaran. Tapi ia tak berani bertanya karena ia tak ingin mendengar jawabannya yang sekiranya akan membuatnya sebagai penyebabnya.
“Kajja!” Titah Junior dengan sikap jongkok dan siap menggendong Cherry seperti sebelumnya.
“Gwaenchana… aku bisa berjalan sendiri.”
Saat Cherry berjalan tergopoh dengan lukanya , buru-buru Junior menarik tangan Cherry sesaat ia hendak melewati dirinya. Cherry pun shok dan tak bisa memberontak karena Junior langsung jalan begitu ia mendarat di atas punggung kecilnya.
“Gwaenchana… aku berjanji akan selalu melindungimu, Cherry-ah. Untuk terakhir kalinya aku membuatmu terluka. Mulai besok dan seterusnya aku akan selalu berusaha membuatmu tersenyum saat kau bersamaku.” Tutur Junior yang berjalan perlahan sambil menggendong Cherry. Meski Cherry tak memberikan tanggapan ataupun membalas perkataannya, tapi ia mendengarkan dengan baik setiap kata yang Junior ucapkan padanya itu. Ia hanya mengulum senyum bahagia sekaligus merasakan kenyamanan saat ia tengah bersama dengan Junior.
Keesokan harinya Junior pun mendapatkan hadiah kecil dari Cheryy karena sudah membantunya pulang dengan menggendongnya sepanjang perjalan pulang.
“Ini, untukmu!” Kata Cherry sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam sebuah peluit dari baja.
“Untukku?” Penuh tanya dalam pikirannya, namun Junior pasrah saja meneri peluit yang langsung di genggamkan di tangannya itu.
“Bukankah semalam kau berjanji akan siap membantuku saat aku membutuhkanmu?”
“Ee… itu… memang benar sih. Tapi kan…”
“Tapi aku ingin melakukan hal yang sama untukmu. Aku ingin membalas kebaikanmu. Aku pun ingin membantumu meskipun hanya sekali saja dalam hidupku. Tiuplah peluit itu jika kau membutuhkanku.”
Mendengar ucapan Cherry justru membuat Junior terkekeh geli. “Ya, Cherry-ah! Kau tidak perlu sampai seperti ini. Sungguh, aku ikhlas melakukannya. Jika aku akan meminta bantuanmu, aku pasti akam mengatakannya langsung padamu, eoh?”
“Wae?”
“Mwoga?”
“Kenapa kau selalu ikhlas menolongku?”
“Igo… eumm… keunyang!”
“Hajiman! Aku tak pernah ingin berhutang padamu.”
“Yaa! Kenapa kau berkata seperti itu? Baiklah, jika memang kau tak ingin dibilang berhutang, bagaimana kalau kau langsung membalasnya?”
“Dengan apa?”
“Dengan senyum! Tersenyumlah setiap kali aku selesai membantumu. Arrachi?”
“Wae?”
“Karena kau cantik jika tersenyum, Cherry…”
Mendengar jawaban Junior tentulah membuat Cherry jadi tersipu malu. Wajahnya pun mendadak merona. Ia pun langsung menghindari Junior agar wajahnya tak terlihat. Selangkah demi selangkah ia berjalan ke arah ruang tamu dan meninggalkan Junior sendirian di kamarnya.
“Ya, Cherry-ah! Kau masih belum menjawab permintaanku. Kau mau ke mana? Aku belum selesai bicara. Baiklah kalau begitu, kuanggap kalau kau setuju, oke?”
Meski Cherry berusaha menyembunyikan malunya, tapi naluri laki-laki yang dimiliki Junior sepertinya menyadarinya. Bahkan ia juga jadi kesemsem sendirian.
*****
SMA Nuri…
“Ya, Kim Sohyun! Tak bisa kah kau makan perlahan?” Tukas Yoojung mengkritik cara makan Sohyun yang tampak tergesa-gesa saat makan dan lahap.
“Iya, Hyunie-ah. Perlambatlah sedikit! Aku takut kau tersedak kalau cara makanmu seperti itu.” Tambah Saeron yang menatap miris sahabatnya yang satu itu.
“Uhuk..uhuk..uhuk..”
Benar saja, Sohyun langsung tersedak. Ia memukul-mukul dadanya untuk membantu makanannya yang tersangkut di tenggorokan.
“Aiw…aiw!” Karena mulutnya yang penuh dengan makanan, ucapannya pun tak dapat dimengerti kedua sahabatnya. Tapi untunglah ada seseorang yang sepertinya sudah mengantisipasinya. Sebuah lengan muncul dari belakang Sohyun dengan segelas air mineral di tangannya. Tanpa ragu Sohyun langsung menenggaknya.
“Ah… gomawo!” Ucap Sohyun sambil memutar kepalanya. Rupanya minuman itu pemberian Taemin.
“Aigoo… uri manura! Berhati-hatilah saat makan, eoh?” Balasnya lalu mengacak-acak rambut Sohyun, gemas.
“Yaa!” Teriak Sohyun.
“Oppa!” Seru suara yang tak kalah kencangnya. Ternyata itu adalah suara Naeun. Ia berjalan mendekati Sohyun dan teman-temannya dari tempat duduknya.
“Ya, Kim Sohyun! Beraninya kau bersikap seperti itu pada Taemin Oppa? Bukannya berterima kasih malah marah-marah. Oppa juga! Bukannya tadi aku sudah bilang tidak usah membantunya segala! Lihatlah betapa arogannya dia.” Cerocos Naeun.
“Sudahlah, Naeun-ah. Ayo kita kembali ke bangku kita!” Ajak Taemin seraya menarik tangan Naeun dan menjauhi Trio Kim itu.
“Aigoo… ckckckck” gumam Yojung mengiringi kepergian Taemin dan Naeun ditambah gelengan kepala penuh heran.
“Anak itu, merusak selera makanku saja. Aku sudah kenyang!” Ucap Sohyun bersila tangan.
“Dia itu. Aku sampai kehabisan kata-kata dengan gadis itu.” Imbuh Saeron tak mau ketinggalan berkomentar. Mereka pun tertawa terbahak-bahak bersama setelah mencibir Naeun.
Bel pelajaran pertama pun berbunyi. Seluruh siswa pergi ke kelasnya masing-masing. Ada sesuatu yang membuat Sohyun merasa tidak nyaman pagi hari ini. Bukan hanya cloudy, tapi juga badai besar yang harus dihadapinya. Ia teringat dengan kejadia kemarin senja. Dan kejadian itu seperti sedang disaksikan ulang olehnya begitu kaki memasuki kelas. Bahkan kakinya langsung ditariknya kembali dan malah bersembunyi di sisi luar kelas.
“Ah… andueh! Jebal ~” Sohyun mendadak bertingkah aneh dan berhasil memancing tanda tanya besar kedua sahabatnya itu.
“Apa yang kau lakukan Kim Sohyun? Kenapa kau bersembunyi di balik pintu seperti ini?” Tanya Yoojung penasaran.
“Eoh? Eee…. anni!” Jawab Sohyun cengar-cengir tak jelas yang justru semakin meyakinkan Yoojung dan Saeron bahwa ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Ada apa Hyunie-ah? Kita harus masuk ke dalam sekarang.” Ujar Saeron saling melempar tanya dengan Yoojung.
“Aku tidak bisa masuk kedalam. Andueh, jinja!” Jawab Sohyun sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.
“Dasar aneh! Sudah, biarkan saja dia. Kajja, Saeron!” Ajak Yoojung pada Saeron.
“Umm.” Angguk Saeron mengikuti Yoojung.
“Ya adeull-ah… jebal, kidaryo!” Rengek Sohyun yang tak mendapatkan tanggapan apapun dari Yoojung maupun Saeron. Akhirnya ia pun memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam kelas meski harus menundukkan wajahnya.
“Selamat pagi, Sohyun?” Sapa Sungjae dan sukses tak mendapatkan balasan.
“Waegure?” Keluh Sungjae kecewa.
Tepat di samping Sungjae, Jinyoung sudah sejak tadi duduk sambil membaca buku pelajaran yang akan diajarkan. Diam-diam ia terkekeh geli dengan kedatangan Sohyun. Terlebih sikapnya yang malu-malu itu saat melihat dirinya.
“Kau kenapa, Jinyoung-ah?” Tanya Sungjae yang tak sengaja melihat ekspresi anehnya.
Sekeja tawanya pun menghilang dan sebisa mungkin ia menyembunyikan senyumnya dari Sungjae.
“Wae?” Tanyanya yang langsung mengalihkan pandangan menuju buku pelajarannya lagi.
Tak ingin ambil pusing, Sungjae pun mengabaikannya dan mengerjakan soal-soal PR yang belum selesai dikerjakannya di rumah.
*****
SMA MOORIM, Seoul…
Terlihat keempat member Colorbar sedang berjalan di lorong sekolah. Mereka baru saja menyelesaikan pelajaran terakhirnya untuk hari itu dan juga minggu itu.
“Nanti kita jadi kan ke Busan, Oppa?” Tanya Jia seraya menggelayuti lengan Jin.
“Eoh.” Jawab Jin singkat. Ia sibuk menggeledah isi tasnya. Entah apa yang sedang dicarinya sampai sebegitu seriusnya. “Di mana aku meletakkannya?” Gumamnya.
“Ada apa Hyung? Sepertinya kau sibuk sekali. Kau butuh bantuan?” Tanya Sungyeol menawarkan bantuan.
“Aish… Ya, adeull-ah! Kalian tunggulah di mobilku. Ada sesuatu yang ketinggalan di Basecame. Aku akan menyusul nanti. Ka!” Jin berlari meninggalkan teman-temannya. Mereka pun melanjutkan perjalanan tanpanya.
“Ada apa dengannya?” Tanya Jia.
“Nado molla, eoh!” Sahut Sungyeol. Sedangkan Minhyuk masih dengan imagenya yang tenang dan adem ayem atau kelewat cuek itu. Dengan wajah datarnya itu ia cukup memberikan pernyataan ‘Jangan tanya aku’ tiap kali ada yang melihatnya. Tatapan Deathglare yang dimilikinya itu entah kenapa justru selalu menjadi daya tariknya. Terlebih bagi para Yeoja.
*****
Sohyun POV…
Bel pelajaran terakhir pun berbunyi. Tapi aku masih tak ingin pergi dari tempat dudukku sebelum kupastikan bahwa tak ada seorang pun yang tersisa. Aku memang sangan menyayangi kedua sahatku itu. Tapi tolonglah, untuk kali ini saja.
“Ya! Kau mau pulang atau tidak?” Tanya Yoojung ketus.
“Joh-ah!” Balasku lemas.
“Kau sebenarnya kenapa? Sudah bosan hidup atau bagaimana, eoh?” Tanyanya lagi kali ini pertanyaannya sangat terdengar lebih kejam. Andai dia tahu apa yang coba kulakukan kemarin.
“Ya! Kaudengar aku atau tidak?” Tanyanya lagi dan semakin memojokkanku.
“Iya, iya…” dengan setengah hati aku bangkit dari tempat dudukku. Lesu, lemas, pikiranku masih terbayang pada Jinyoung sejak kemarin. Meskipun aku terlihat baik-baik saja di depan teman-temanku, nyatanya aku tengah sakit. Terlebih pikiranku. Andai saja aku bisa mengalami amnesia, pasti sangat melegakan bagiku.
Begitu sampai di gerbang sekolah, kami melihat Jinyoung sedang bersama dengan beberapa orang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tampak 3 orang bamja dan seorang lagi yeoja. Orang-orang itu tampak fashionable jika dilihat dari berpakaian mereka.
“Siapa mereka?” Bisik Saeron padaku. Karena jarak kami yang lumayan jauh, wajah mereka hanya terlihat samar-samar. Mereka bahkan menggunakan kacamata hitam semuanya. Tak berapa lama mereka saling memeluk satu sama lain. Begitu pula dengan yeoja itu yang tanpa sungkan memeluk Jinyoung. Mungkinkah itu yeojachingunya? Mereka terlihat sangat akrab. Kemudian Jinyoung bersama orang-orang itu masuk ke dalam mobil bersama-sama. Sepertinya itu memang teman-temannya. Karena Jinyoung tak menolaknya sama sekali.
“Molla-ah~ aku ada jadwal beladiri hari ini. Kalian pulanglah duluan. Karge…” salamku sembari melambaikan tangan lalu aku pergi meninggalkan Yoojung dan Saeron.
Ah~ setelah aku tak ingin bertemu dengan Park Jinyoung, kini aku pun masih harus menghindari Lee Jinki! Sungguh melelahkan sekali hidupku saat ini~
Oh~ apa yang kulakukan sekarang? Kenapa juga aku harus mengintip ruang sekretariat taekwondo seperti ini. Seharusnya aku tidak perlu melakukannya kan? Dari sini terdengar sangat ramai sekali di dalam. Apakah Jinki sunbae juga ada di dalam? Seharusnya kan memang ada, ya?! Dia kan selalu datang lebih awal. Eomma… eottoke…
Aku berusaha mengintip ke dalam ruangan dari sela gagang pemutar pintu. Sangat sulit bagiku memastikan apakah orang itu benar-benar ada di dalam atau tidak. Karena celahnya sangat kecil, jadi jarak pandangku juga terbatas. Rupanya ada yang diam-diam memperhatikan perbuatanku itu. Orang itu menepuk pundakku dari belakang. Dan aku sangat kaget dibuatnya.
“Aigamjagia!”
“Kim Sohyun? Mwoyaguyo?” Tanya orang yang mengejutkanku itu. Ternyata orang itu adalah Jinki Sunbae.
“Sun..bae..nim? Nae, naega… annigodeun. Keunyang.. hehe…” jawabku salah tingkah di depannya.
“Apa ada sesuatu?” Tanyanya seribu persen heran dengan tingkahku yang seperti semakin memancing penasarannya.
“Ah… anniyo, sunbaenim. Aku hanya mencoba membuka pintu itu, hanya saja tadi sedikit macet saat kuputar gagangnya. Jadi aku penasaran dan melihatnya, begitu. Hehe..”
“Geurae?”
“Eoh!”
Dia pun mendekati pintu untuk memastikan ceritaku barusan dan mulai memutar gagang pintunya yang baik-baik saja itu.
“Tapi pintunya baik-baik saja, nih!” Katanya seperti sedang menunggu penjelasanku.
“Ah… geuraega? Aigoo… sepertinya pintu ini sudah terlalu tua, harus secepatnya diganti. Karena sewaktu-waktu bisa macet dengan sendirinya. Ckckck…” selorohku masuk melewatinya begitu saja karena tak ingin menampakkan wajahku yang memalukan seperti saat ini. Tapi aku sempat melihatnya tersenyum ke arahku sebeluk kutundukkan pandanganku darinya.
Kamipun memasuki ruangan. Sudah banyak dari anggota yang terlihat mengenakan pakaian seragam latihan, dan beberapa yang masih terlihat santai sambil mengobrol dengan yang lainnya.
“Ya, adeul-ah!” Panggil Jinki sunbae meminta perhatian. “Hari ini kita akan latihan sparing 1 on 1. Jadi lakukanlah pemanasan dengan baik. Lima terbaik akan aku daftarkan langsung ke pertandingan tingkat provinsi tanpa perlu mengikuti penyaringan tingkat daerah lagi.” Tuturnya dengan suara yang lantang dan penuh semangat.
“Jeongmalyo, seonbae?” Tanya salah satu anggota dengan antusias.
“Kurom. Kuronika, fighting!” Jawabnya diakhiri dengan senyum.
“Apa kau akan berpartisipasi juga, Sohyun?” Tanyanya padaku.
“Aku masih belum tahu, seonbae. Tapi aku akan tetap melakukan sparing hari ini.” Ya, aku ingin menghibur diriku yang sejak kemarin merasa downgrade dengan sendirinya ini. Memang hanya dengan takwondo aku bisa mendapatkan hiburan. Aku tak berharap banyak pada pertandingan kali ini. Tapi aku juga tidak akan membiarkan nama baikku rusak hanya dengan masalah pribadi yang tidak jelas juntrungannya seperti ini. Ya! Aku harus memotivasi diriku sendiri. Aku akan mempertahankan reputasiki. Umm! Fighting!
“Anniyo, seonbae! Aku akan ikut berpartisipasi!” Ucapku lagi.
“Whoa? Cepat sekali kau berubah pikiran? Tapi tak apa, aku lebih suka jawabanmu yang terakhir. Itu terdengar seperti dirimu, Kim Sohyun!” Senyum kecil di wajah seonbaeku yang satu ini memang selalu terlihat manis. Tapi entah kenapa hari ini aku sangat menyukainya. Tak hanya senyumnya yang menyemangatiku, bahkan kebiasaannya mengusap ubun-ubun kepalaku itu terasa sangat menangkanku hari ini. Aku senang dia kembali seperti biasanya. Aku harap dia hanya akan bersikap seperti ini padaku. Jujur aku sangat keberatan dengan sikapnya tempo hari. Dengan senang hati, aku pun membalas senyumnya.
Dua jam berlalu, namun penyisihan masih berlangsung. Masih ada dua pasang lagi yang harus melakukan sparing. Dan kini adalah giliranku. Aku harus melawan Song Hyerim dari kelas 2-4. Sejak dulu dia memang selalu menjadi lawan tangguhku tiap kali kami melakukan sparing. Dan tak akan ada yang dinyatakan sebagi pemenangnya. Karena menurut pelatih dan para senior, kami berada di level yang sama, seimbang. Akan sulit menentukan yang terbaik di antara kami. Tapi anehnya kami juga tidak pernah dipertemukan meski hanya sekali di pertandingan yang sesungguhnya. Baik aku maupun dirinya sama-sama mengalahkan ataupun dikalahkan oleh peserta dari sekolah lain.
“Kita bertemu lagi, Kim Sohyun!” Sapanya yang sudah siap memasang kuda-kudanya.
“Iya. Mungkin kita memang jodoh ya, Song Hyerim?” Balasku tak lupa melemparkan senyum sengit padanya seperti yang dilakukannya padaku. Kami pun memulai pertandingan setelah mendengar aba-aba dari Jinki seonbae.
Pertarungan kami mrmang selalu memecahkan rekor terlama dibanding yang lain. Karena sulitnya mencuri poin dari masing-masing, akhirnya Jinki seonbae meniup peluit tanda pertansingan berakhir setelah 15 menit berlangsung.
“Kalian, cukup sampai di sini saja. Seperti biasanya kalian masih bertahan kemampuan kalian masing-masing. Bagus, pertahankanlah! Kalian berdua juga kutetapkan sebagi perwakilan SMA Nuri sekaligus mewakili provinsi Yeongnam dan lanjut ke tingkat berikutnya untuk mewakili Korea Selatan di ajang ASIAN GAMES jika kalian berhasil lolos melwan perwakilan dari masing-masing provinsi lainnya tentunya. Kalian akan bergabung dengan 3 orang lainnya. Dan bersiap-siaplah, kita akan melakukan latihan ketat mulai besok selama dua bulan penuh dan berdurasi satu jam tiap tiga kali seminggu. Arraseo?”
“Ne…” sahutku beserta empat orang lainnya yang berdiri di sampingku, serempak.
“Bagus! Kita sudahi dulu latihan hari ini. Kalian semua boleh pulang.” Ucap Jinki seonbae menutup pertemuan hari ini.
Memang benar aku senang karena lagi-lagi terpilih. Tapi aku juga bingung karenanya. Lagi-lagi aku harus mengorbankan kerja paruh waktuku. Betapa sulitnya perjuanganku untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan itu kemarin. Ah… Bagaimana ini?
“Apa yang kau lakukan di sini, Kim Sohyun-ah? Kenapa kau masih belum pulang?” Tanya Jinki seonbae yang melihatku duduk di bangku tampak termenung dengan masalahku setelah ia mengganti pakaiannya.
“Ah, seonbanim? Kau juga belum pulang, kan? Jadi jangan bertanya padaku dengan pertanyaanmu itu.” Sahutku jahil.
“Noe, berhentilah memanggilku seonbae. Aku kan sudah menyuruhmu memanggilku Oppa saat kita hanya berdua.” Timpalnya sambil mempoutkan bibirnya kecewa.
“Shiro! Wee…” balasku lagi kali ini dengan menjulurkan lidahku mengejeknya.
“Aish! Jinja!” Dumelnya. Kami pun berjalan menyusuri GOR sekolah bersama sambil mengobrol. Suasananya mulai anak canggung kurasakan.
“Apa kau mau pulang denganku?” Tanyanya tampak serius.
“Tak usah, Oppa. Aku akan naik bisa saja. Gwaenchana.” Jawabku menolak penawarannya. Sebenarnya aku tak ingin dia salah paham nantinya. Karena itu, aku lebih baik menolaknya kali ini.
“Wae? Aku bawa motor, lho! Kau mau kerja paruh waktu, kan?” Sepertinya dia masih berusaha membujukku agar mau ikut dengannya.
“Anniyo, Opoa! Aku sudah ada janji dengan Taemin. Kami akan pulang bersama hari ini. Kuronika, mianhaeyo, Oppa “. Alasan apa lagi yang harus kubuat kali ini?
“Geurae. Tapi di mana dia? Aku tidak melihatnya di manapun.” Katanya sambil mengarahkan penglihatannya ke sekitar area parkir.
Skakmatt! Mati aku! Aku memang tidak membuat janji dengan Taemin sebelumnya. Eottokaji?
“Eee… memang… tapi aku aku akan menelponnya. Chamkanmanyo.” Akhirnya aku benar-benar menelpon Taemin. Ayolah, Lee Taemin, angkat telponmu…
Setelah beberapa kali aku menelpon dengan jawaban dari operator, akhirnya dia pun mengangkat telponnya juga.
“Yeobeoseyo?” Sapa Taemin dari seberang sana.
“Ini aku, Taemin-ah. Odiga?” Tanyaku panik.
“Naega? Di kamar mandi.”
“Anniyo… maksudku apa kau sudah pulang?” Tanyaku lagi yang semakin melirihkan suaraku dari jangkauan Jinki Oppa.
“Belum. Aku masih di sekolah. Lebih tepatnya kamar mandi GOR sekolah.”
“Jinjayo?”
“Eoh. Waeyo?”
“Syukurlah! Kau bisa ke parkiran sekolah sekarang? Aku sedang di sini bersama Jinki seonbae.”
“Eoh. Kidaryo!”
Ttuutt!
Leganya dadaku setelah tahu bahwa Taemin masih ada di sekolah. Syukurlah. Dengan begitu aku bisa membuat alasan.
“Sudah?” Tanya Jinki Oppa padaku.
“Umm. Taemin akan segera datang, Oppa.”
“Geure. Aku akan pulang setelah melihatnya datang.”
Dan tak lama kemudian Taemin pun datang yang masih tampak lengkap dengan pakaian basketnya. Ia berjalan semakin dekat ke arah kami.
“Eoh, seonbaenim!” Sapanya sambil membungkukkan badannya di depan Jinki Oppa. Jinki Oppa pun membalasnya kembali.
“Kenapa kau memanggilku kesini?” Tanya Taemin bingung.
“Hah? Ah… kau ini bagaimana sih. Kan kita janji pulang bersama hari ini. Apa kau lupa?”
“Benarkah? Aku tak ingat.” Jawabnya yang membuatku jengkel sekali padanya. Aku pun memberikan aba-aba dengan mataku padanya. Berharap semoga ia bisa mengerti maksudku.
“Ah… ah, benar. Aku ingat sekarang. Kita memang janjian pulang bersama kan hari ini ya, Sohyun-ah? Benar, benar, aku sampai lupa.”
“Karena kau sudah datang, aku bisa pulang sekarang. Tolong antarkan dia ke rumah dengan selamat ya, Lee Taemin-ssi!” Pinta Jinki Oppa pada Taemin. Ia pun kemudian pulang dengan motor Ninjanya.
“Hah… akhirnya berakhir juga penderitaanku hari ini..” keluhku yang langsung duduk di area parkir yang beraspal itu.
“Kenapa kau menolaknya mengantarku, Hyuni-ah?” Tanya Taemin heran.
“Tak apa-apa. Sudahlah, aku mau kerja dulu. Sekali lagi terima kasih bantuannya, eoh? Karge…!”
Aku pun meninggalkan Taemin dan melanjutkan perjalananku menuju halte kemudian menuju ke toko buku tempatku bekerja.
*****TBC*****