BAB SATU
SIWON mengantarku ke rumah, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Seoul 210C, langit sore cerah, jingga seperti biasanya. Aku mengenakan celana panjang flannel berlipit berwarna kelabu, blus rajut berwarna gading rancangan bibi Marley; aku mengenakan blus favoritku- blus rajut, berenda pink. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong dadu coklat dari kayu.
Jauh dari pusat kota Seoul, sebuah pulau kecil bernama Nami, pulau dengan banyak tempat indah yang tersembunyi ini, merupakan wilayah yang non-administratif. Yang pastinya tempat itu tidak bisa disebut kota besar seperti Seoul. Ketika ada kiriman paketpun tidak dihantar ke rumah, tapi harus diambil sendiri ke kantornya. Wilayah ini mungkin hanya seluas 5-6 lampu lalu lintas. 15 menit dari Seoul dengan menyebrangi kapal, akan lebih cepat jika kau mempunyai kapal sendiri. Di kota terpencil ini hujan turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Seoul. Ketika musim panas dan musim dingin tiba, wilayah inilah yang paling ekstrim cuacanya.
Dari kota inilah, aku mengasingkan diri dari padatnya ibu kota. Hal ini yang membuat raut wajah Siwon selalu di kelilingi aura khawatir yang berlebihan, baginya; mengantarku pulang sama halnya dengan memasukkanku ke penjara bawah tanah yang dipenuhi oleh nara pidana dengan tato disekujur tubuhnya. Tepat 6 bulan yang lalu aku akhirnya mengambil keputusan tegas ini; dan sebagai gantinya, selama Siwon menginginkan, setiap 2 minggu selama 2 hari aku akan menginap bersamanya di Seoul.
Ke pulau Nami-lah kami sekarang. Siwon mengendari mobil dengan laju cepat. Melambat ketika memasuki dermaga dengan lambang “S” berwarna merah ditengahnya. Dermaga ini milik Siwon. Yang sudah jelas ketentuannya, hanya bisa di akses oleh orang-orang tertentu. Siwon memarkirkan mobil dengan lihai. Membuka pintu kemudi lalu berjalan cepat untuk membuka pintu disampingku. Sudah kubilang, Siwon selalu bereaksi berlebihan dalam hal apapun.
“Nara,” Siwon berkata- dari ribuan kali ia mengatakannya- sebelum kami menaiki kapal pesiarnya Siwon untuk menyebrang. “Kau tidak perlu melakukan ini.”
Aku merasa bersalah saat menatap mata kekanak-kanakannya yang lebar. Bagaimana aku bisa meninggalkan Siwon yang penuh kasih, labil, dan konyol ini sendirian lagi? Sebenarnya ia tidak sendirian sekarang, ada Leeteuk yang selalu bersamanya, mereka tidak akan lupa untuk membayar tagihan-tagihan, akan selalu ada makanan di kulkas, mobilnya takkan terlalu kotor dan kehabisan bahan bakar, Leeteuk terlalu jeli untuk disepelekan dalam hal kehidupan sehari-hari. Tapi tetap saja....
“Aku pulang ke rumah yang aman oppa...” aku menarik nafas perlahan.
“Baiklah, ayo...” Siwon menyerah. Pikirku.
Siwon membawakan tas kecil yang menurutku itu sama sekali tidak berat. Berjalan pelan berusaha mensejajari langkahku. Merangkul pundakku agar tetap dalam jangkauan aman baginya. Aku tersenyum, menanggapi tingkahnya. Kapal cepat dengan kapasitas yang seharusnya diisi 10 orang ini, tampak lengang dengan hanya ada 4 orang didalamnya. Aku, Siwon serta pengemudi dan penjaga tampan yang selalu ada setiap waktu di kapal ini.
Aku berguling malas di atas sofa memanjang berwarna merah di dek 2 kapal. Mengeluarkan telpon genggam. Menekan salah satu tombolnya. Tidak ada apa-apa. Ku lirik jam tangan pemberian Siwon. Masih terlalu sore pikirku. Kulihat Siwon menarik kursi berlengan dengan ukiran bunga mawar disisi atasnya, mendekatiku. Duduk terdiam mengamatiku. Ku abaikan tatapan sedih bercampur khawatir yang kerap kali ditunjukkan olehnya. Kulihat kembali telpon genggamku dan mengetik beberapa kata disana, Khyun? sedang apa?Siwon sedang menatapku dengan tatapan yang yeah.. kau tahu sendiri seperti apa.. aku di kapal. Tanpa menuggu lama aku menekan tombol ok.
Maka, dalam hitungan kurang dari lima detik.
Melesat. Berputar.
Seketika saat aku menekan tombol ok, jika kita bisa melihatnya, seperti komet atau anak panah yang melesat berkecepatan tinggi, kata-kata itu berubah menjadi data. Melesat lagi di atas sana, dibagi dalam pembagian yang rumit, bergabung dengan jutaan pengirim pesan lainnya. Sehingga kurang dari lima detik pesan tersebut sudah sampai ke nomor tujuan.
Tak perduli di manapun itu berada. Tak perduli sedang apa pemiliknya. Pesan itu segera terkirim.
Kulihat Siwon beranjak dari kursinya, mengangkat pelan kepalaku, menaruhnya ke pangkuan sambil mengerlingkan sebelah matanya. Aku tidak mengganggumu kan? Itulah yang ku artikan dari matanya. Ku balas dengan anggukan, tanda aku tidak keberatan dengan apa yang ia lakukan. Lalu Siwon mengambil gagang telpon yang menghubungkan dengan dek bagian kemudi.
“Emmm... mr. Kim, bisakah kita bermain sedikit lebih lama?” pinta Siwon lembut dengan senyum mengembang diwajahnya.
“Terimakasih mr. Kim..” Siwon mengakhiri permintaan dengan kalimat sederhana.
“ Oppa?” aku menengadah ke atas berusaha melihat ekspresinya.
“Hmmm? Kenapa?” jawabnya lembut.
“Oppa bisa menginap denganku bila perlu. Aku tidak keberatan.” Jelasku. Berusaha meringankan kekhawatirannya yang tidak beralasan.
Siwon tertawa, memperlihatkan sederet gigi putihnya. “ Tidak apa, aku hanya ingin sedikit lebih lama seperti ini. tidurlah jika kau mengantuk Na ra.” Siwon berbohong. Aku tahu itu.
“ Oppa? Ada apa? Tidak seperti biasanya, sudah kubilang. Aku pulang ke tempat yang aman. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Sungguh..” aku berusaha keras kali ini untuk meyakinkannya. Lebih.
Melihat Siwon tetap dengan reaksi yang sama. Aku mencoba untuk duduk. Namun di tahan olehnya.
“Diamlah.. tetap seperti ini Na ra..” terdiam beberapa detik sebelum Siwon melanjutkan. “Aku malam ini akan pergi ke Washington, untuk beberapa minggu, atau bulan mungkin. Pekerjaan disana banyak sekali masalah. Mungkin kita belum bisa bertemu sampai pekerjaan oppa selesai.” Siwon mengerutkan alisnya menjadi satu. “Kau harus berjanji akan baik-baik saja sampai aku pulang.” Siwon menatapku serius. Menunggu jawaban dariku.
Aku merasa sebagian diriku meleleh di bawah tatapan lembut Siwon. “Aku berjanji,” mengeluarkan senyuman terbaikku.
“Aku akan baik-baik saja oppa, jangan khawatir.” Pintaku.
“Hmmhh.....” Siwon mendesah panjang. “Aku mungkin akan lebih merindukanmu dan mengkhawatirkanmu tujuh kali lipat Na ra.” Siwon berkeras.
“Baiklah, begini, aku akan mengirimimu pesan tiga kali sehari. Tidak, lima bahkan tujuh kali sehari. Dan jika memang perlu aku akan menghubungi dimalam harinya.” Membuat kesepakatan konyol untuknya.
“ Kita sudah melakukan itu bahkan saat aku di Seoul.” Well, yeah benar.
“ Lalu?” aku balik bertanya.
“Aku mungkin akan sangat sibuk disana,” hening. Kemudian Siwon tersenyum melanjutkan, “Berjanji tetap mengirimiku pesan meski aku tidak membalasnya?” ia memohon.
“Well... Jika itu membantu meringankan kekhawatiranmu oppa.” Aku menggodanya. Tertawa geli melihat reaksinya yang tidak terima dengan perkataanku tadi.
“Oke oke.. aku serius. Hehe..” aku terkekeh geli.
Siwon bersandar dikursinya dengan mata tertutup dan kepalanya disandarkan disandaran kursi, tapi dia setengah membuka matanya sekarang dan melirik ke arahku. Lagi.
Siwon membuka percakapan lebih dulu, antusias nya membicarakan soal pekerjaan membuatku merubah posisi badan beberapa kali, karena tidak nyaman melihatnya bercerita dari pangkuan, aku memutuskan untuk duduk.
Kami masih bicara tentang kerjaan Siwon yang segudang, dan itulah sebagian besar topik percakapan kami. Selebihnya kami diam sebentar.
Siwon mengajakku keluar. Duduk di dek paling atas.
Pemandangan yang indah; aku tidak bisa menyangkalnya. Setiap kali melihat ini aku mengatakan hal yang selalu serupa. Semua jingga bercampur kuning: pepohonan dengan batang-batang mulai tertutupi lumut, menyajikan siluet yang menawan. Udara sore yang sejuk. Meski begitu, rintik-rintik hujan tetap turun meski bulir airnya lebih mirip dengan embun.
Terlalu indah- sebuah pulau yang asing.
Akhirnya kami tiba di pangkalan dengan huruf S yang sama dengan pangkalan sebelumnya. Mobilku sudah menunggu di bawah. Siwon mengantarku ke mobil.
“Sampai ketemu lagi,” Siwon berkeras. “Kau bisa menghubungiku kapanpun kau mau- jangan ragu untuk menghubungiku lebih dulu jika terjadi sesuatu,- aku akan segera datang begitu kau membutuhkan oppa.”
Bisa kulihat ke khawatiran yang besar dibalik janji itu.
“Jangan khawatirkan aku,” pintaku. Lagi. “Semua akan baik-baik saja. oppa selesaikan pekerjaan dengan tenang, aku tidak akan membuatmu khawatir. Aku sayang padamu, oppa.”
Siwon memelukku erat-erat beberapa menit, tersenyum, mengacak-acak rambutku, kemudian aku naik ke mobil yang sudah disiapkan oleh mr. Lee, dan kulihat ia pun pergi.
Ku kendarai mobil sedan putih melewati beberapa blok lampu lalu lintas. Bulir hujan semakin besar dan sering, dalam hitungan jari hujan deras menghiasi wilayah Nami. Tidak bisa dibilang lebat, namun jika kau berjalan tetap akan basah.
Kulewati beberapa keamanan rumah ketat. Di pintu gerbang yang baru saja kulewati, kau harus menunjukkan kartu yang hanya memiliki akses jika aku mengizinkan. Terkecuali keadaan darurat, ada tombol merah kecil tersembunyi di bagian paling bawah tembok itu. Kau bisa menekannya dengan syarat benar-benar dalam keadaan darurat. Siwon menggunakannya untuk keamanan tahap pertama memasuki rumahku.
Ketika aku turun di depan rumah, hujan masih terus berjatuhan membasahi beberapa bagian rambut dan bajuku. Tiada hari tanpa hujan. Inilah ketika sudah mulai memasuki musim dingin. Kemudian aku berjalan lima langkah menuju pintu masuk rumah. Pintu dengan kode akses dua cara. Satu, dengan menggunakan sidik jariku sendiri. Dua, dengan menekan kata sandi. Ada cara ketiga yang paling umum digunakan. Dengan menekan bel. Aku terkekeh setiap kali membuka pintu rumah ini. Siwon membuat rumahku seperti sekotak brankas yang penuh dengan harta karun.
Dengan mendeteksi suhu tubuh, lampu menyala secara keseluruhan disemua ruangan. Aku benci gelap. Bukan benci, namun lebih tepatnya benar-benar tidak bisa. Gelap akan mengambil kesadaranku. Membuatku kehilangan akses untuk menghirup oksigen sebelum perlahan-lahan pandanganku mulai gelap.
Aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah keliling seharian bersama seorang kakak segaligus orang tua bagiku saat ini.
Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan berantakan. Rambut yang sedikit bergelombang dengan warna hitam kecoklatan. Aku menyisirnya perlahan. Sedikit berteriak ketika sisirnya menyangkut dan menarik rambutku yang belum teruarai sepenuhnya.
Sambil terus menyisir, aku memandang pantulan wajah bulat bercampur oval di cermin, bukan secara fisik saja aku sangat mirip dengan ayah dan ibu, namun sifatku juga sangat mendominasi keduanya. Sampai aku tidak bisa membedakan; sebenarnya aku meniru ayah, atau ibu.
Kupandang sekali lagi pantulan wajahku disana. terkadang, aku dapat melihat sosok ayah yang sedang tersenyum hangat kearahku, kemudian berganti dengan wajah ibu yang teduh nan cantik, sebelum aku menyadari bahwa semua itu hanya pantulan wajahku saja.
Mereka meninggalkanku seorang diri diumur 10 tahun. Masih terlalu kecil untuk ditinggalkan keduanya, namun sudah cukup dewasa untuk menyaksikan semuanya.
Siwon merawatku layaknya ia benar-benar kakak kandungku sendiri, hilangnya kedua orang tuaku bersamaan dengan kedua orang tua Siwon. Di hari yang sama. Di waktu yang sama. Sebuah rahasia besar yang sampai sekarang Siwon pun tidak tahu penyebabnya.
Dulu, aku sangat dekat dengan ibu dan ayah, bahkan mereka menjadi orang terdekatku di dunia ini. kami tidak kaya raya, rumah sederhana, pekerjaan ayah yang hanya sebagai pegawai negeri tidak membuat ibu menuntut banyak hal terhadapnya. Ibu selalu pintar membagi keuangan, terlalu pintar untuk ayahku bahkan. Terlalu lembut, dan terlalu cantik menurutku.
Keluarga kecilku tidak terlalu jauh dengan keluarga Siwon. Kami hanya satu-satunya putra dan putri yang dimiliki oleh orang tua kami masing-masing. Bedanya Siwon denganku, Siwon beserta ayah dan ibunya memutuskan untuk menetap di Switzerland dari Siwon berumur 10 tahun. 1 tahun sekali mereka mengunjungi keluarga kecilku di pulau Jeju. Sekalian berlibur. Itu sebabnya aku dengan Siwon memang sudah sangat akrab dari kecil.
Siapa sangka kami akan mengalami kejadian mengerikan dan serupa dalam waktu yang bersamaan pula.
Kubasuh wajahku dengan air beberapa kali. Menatap cermin untuk terakhir kalinya.
***
*NEXT
~synopsis bab 2.^^
Akulah yang pegang kendali- bahwa akulah yang membuat rasa takut itu menang.
Kau mencariku?.
Kim Nara.
Di balik kertas tersebut terdapat sebuah peta yang menunjukkan seseorang ingin bertemu denganku, di-rumah makan ala eropa yang lokasinya tidak jauh dari gedung perpustakaan ini. Tepat beberapa blok dari sini. Seseorang sedang menungguku.
******