Chanyeol’s POV
“Tugas kita kali ini yaitu untuk mencari referensi sebanyak mungkin tentang Musik pada Abad ke 21. Dasawarsa kedua, mundur setengah abad dari sekarang, yaitu tahun 2015.” Tutur Park Seo Joon seonsangnim yang bayangannya tengah berdiri di depan kelas setelah menerangkan sedikit tentang musik K-Pop yang pernah secara viral mewabah dunia. Maksudku benar-benar bayangannya. Karena beliau tengah sakit influenza yang sedikit berat, beliau izin untuk istirahat terlebih dahulu di rumah sehingga saat ini ia sedang berkomunikasi dengan kami melalui sebuah video call. Beliau bisa melihat kami semua melalui sebuah kamera yang tertanam di depan kelas, atas papan tulis dan kami bisa melihat bayangannya melalui sebuah layar LCD yang kini terjuntai menutupi papan tulis.
“Oh kenapa tugas lagi..” kesal Kai lirih yang mulai menarik perhatian Park Seo Joon seonsangnim.
“Aku bisa mendengarmu Kim Jongin-ssi” respon SeoJoon seonsangnim “Beberapa hari silam sekolah telah mengupgrade alat penyadap suara di sini untuk mengawasi perilaku kalian. Jadi bisik-bisik apapun akan terdengar.”
Hening. Tak ada satupun yang mengomel. Hanya saja, tampak di wajah mereka sebuah ketakutan, horor dan wajah lelah.
Tentu saja, tak ada siswa yang ingin menambah poin mereka dan dikeluarkan dari sekolah ini. Karena sekali kau dikeluarkan dari sekolah, tak akan ada sekolah yang mau menerimamu lagi. Menghadiri sekolah sendiri telah menjadi urusan hidup dan mati para siswa disini karena tanpa sekolah, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Persaingan semakin hari semakin ketat dan orang-orang mulai tumbuh menjadi pribadi yang individualis.
Aku sudah terbiasa dengan semua keadaan ini sehingga setidaknya aku bisa mengontrol diriku untuk tidak tertidur saat berada di kelas, mengobrol ketika di kelas atau menggunjing masalah sekolah dan guru. Namun aku tak bodoh. Aku tahu persis blind spot dari semua kamera yang tertanam di kelas ini sehingga ketika melakukan sesuatu yang dirasa melanggar, aku akan melakukannya di daerah blind spot tersebut.
Oh jangan puji aku cerdas, pintar atau apa. Aku hanya sedikit rebel dan memiliki jiwa pemberontak, namun ingin tetap terlihat berada di jalan yang benar.
“Baik, tugas harus sudah dikumpulkan besok. Maksimal pukul 8 pagi tugas sudah harus dikirim ke email saya. Kalian sudah hafal email saya bukan? Saya malas mengulangi hal yang sama. Kalian telah mengetahui email saya sejak kalian menginjak bangku kelas dua di sekolah ini. Minimal 20 halaman A4 font 12 margin 1,1,1,1. Arrasso?”
Aku terus mengetikkan apa yang ingin kuketikkan menggunakan laptop 11 inches dengan ketebalan 1 mm yang ada di depanku.
Kau lihat kan alisnya melengkung lagi ketika berbicara. Aku bertanya-tanya bagaimana caranya dia bisa melakukannya. Apakah dia mungkin terlalu banyak menonton Crayon Shinchan, film kartun Jepang di abad ke 20?
Setelah itu kukirim ke D.O yang duduk setengah meter di samping kananku. Segera setelah aku mengirimnya, dapat kulihat sudut bibir D.O terangkat sedikit but he’s good enough to hide it. Wajahnya kembali datar dan tak lama aku mendapatkan sebuah balasan.
Kurasa dia telah melakukan semacam sulam alis. Kau tahu, alis tebal adalah trend 50 tahun yang lalu dan kini hal itu kembali menjadi tren sekarang ini.
Kami berdua sama sekali tidak terlihat tertawa atau ingin tertawa. Padahal di dalam diriku rasa ingin tertawa sudah membuncah, meledak-ledak tidak keruan.
Memangnya dia pikir dia—
“Park Chanyeol? Apa yang sedang kau lakukan dengan compdeskmu?”
--oh busted!
Semua pandangan tertuju ke arahku, termasuk Kyungsoo. Dia memang pandai berakting.
Setelah mengirim tombol send, aku menekan sebuah tombol yang membuat semua historyku dengan D.O terhapus. D.O juga sepertinya sedang menghapus historynya dengan ku. Akan tetapi D.O tidak akan tertangkap. Ia memiliki keahlian mengetik tanpa melihat ke keyboard dan layar yang tertempel pada meja.
Ya. Meja belajar kami adalah sebuah layar yang bisa diatur kapan saja menyalanya. Meja ini sangat multifungsi. Dengan adanya meja ini, kami sebagai murid tak perlu lagi menggunakan buku yang butuh menebang banyak pohon di hutan yang hampir punah, juga tak perlu membeli pena berisi tinta seperti setengah abad yang lalu. Iya, dengan itu kami tak perlu membawa buku tulis atau apapun itu karena semuanya akan tersimpan pada meja ini. Seperti komputer, gadget note, dalam wujud meja. Meja ini disebut compdesk.
Meja ini tersambung dengan transmitter yang berada di leher kami. Semua orang memilikinya, transmitter berbentuk bulan sabit yang meingkar di leher. Alat ini berfungsi sangat banyak, terutamanya untuk akses digital ke berbagai alat. Selain itu, alat ini adalah pengganti ponsel di setengah abad yang lalu. Dengan alat ini, segala kepraktisan terpenuhi. Ketika kita ingin menyalakan sebuah alat elektronik, kita hanya harus memikirkannya. “Menyalalah!” dan alat itu pun akan menyala. Namun kita benar-benar harus mengucapkan kata itu di dalam kepala, sebagai sebuah passcode.
Jika kita ingin mentransfer uang, maka nyalakanlah alat ini dan sebuah layar virtual akan muncul di depan wajah kita. Pilih menu transfer uang dan jumlahnya lalu tekan ke layar virtual, kirim. Selesai. Jika yang menekan tombol di leher itu adalah kita, maka hanya kita yang bisa melihatnya. Akan tetapi jika orang lain yang menekannya, maka orang lain itu dan kita yang bisa melihatnya.
Sebenarnya kita bisa saja mencatat pelajaran kita menggunakan layar virtual yang dihasilkan alat di leher ini, jika kau mau seharian lehermu tegang karena penggunaan berlebihan alat ini. Di balik kemudahannya, alat ini memiliki beberapa efek samping. Dan leher tegang adalah salah satu efek sampingnya.
“Mengetik apa yang Seonsangnim katakan tentu saja.” jawabku santai.
Alis Park Seo Joon seonsangnim terlihat melengkung lagi dan seperti akan bertaut. Wajah skeptis guru sejarah itu tampakkan padaku, menatapku lurus dan judgeful. Aku tetap berusaha terlihat tenang dan menunjukkan wajah ‘aku mengatakan yang sejujurnya’. Meskipun jelas-jelas wajah Park Seonsang terlihat meragukan ucapanku.
“Apakah aku berkata sepanjang itu? Kau seperti mengetik 3 kalimat atau lebih..” Wajah Park Seonsang terlihat lebih mengadili dari sebelumnya.
”Saya memiliki kebiasaan untuk menulis sesuatu dengan panjang Park Seonsangnim.” Aku mengangkat kedua bahuku lalu menurunkannya lagi. “Anda meragukan saya Park Seonsang? Kalau begitu Anda boleh melihat ke alat perekam vital sign yang ada di pergelangan tangan saya.” Jawabku.
Alat yang berada di pergelangan tangan itu semacam gelang kecil, yang sekolah berikan untuk kami. Untuk mengetahui kesehatan kami dan juga sebagai lie detector. Kalian tahu kan, 50 tahun yang lalu alat ini juga sudah ada. Alat untuk mengetahui kita berbohong atau tidak dengan melihat gelombang yang ada pada layar yang terproyeksi pada tab yang dimiliki oleh setiap guru serta perawat di sini.Jika gelombang naik maka itu tandanya kita berbohong dan jika gelombang terlihat stabil maka kita sedang tidak berbohong. Gelombang ini meliputi tekanan darah, laju jantung, laju pernafasan dan aktivitas lainnya yang membedakan kita ketika berbohong atau tidak. Namun sesungguhnya, beberapa orang di dunia ini bisa memanipulasinya. Maksudku, berbohong tanpa menimbulkan kenaikan gelombang pada alat ini.
“Ah baiklah kau tidak berbohong. Tapi firasatku berkata lain Chanyeol-ssi.” Park Seonsang masih menatapku begitu dalam, aku masih memasang wajah tak berdosaku seraya menunggu kalimat lain yang akan terucap dari beliau. “Lain kali, kau perlu mengingatnya saja Chanyeol-ssi. Tak perlu mengetiknya.”
“Baiklah Park Seonsangnim. Maafkan saya, saya mengetiknya karena saya merasa ingatan saya tak sebaik teman-teman saya.” Aku masih saja berbohong, karena percaya bahwa lie detector tak akan menunjukkan bahwa diriku sedang berbohong.
“Terang saja. Apa yang bisa kau harapkan dari seorang Level D*.”
*Ada lima strata sosial saat ini.
Level A: Golongan pejabat, pengusaha kaya yang setidaknya bisa menghidupi dirinya selama 7 keturunan, dan bangsawan.
Level B: Golongan orang kaya yang cukup untuk menghidupi lebih dari setidaknya 10 orang selama hidupnya dan para Tuan Tanah.
Level C: Golongan orang pintar dan terpelajar. Orang-orang seperti ini akan selalu mendapatkan penghargaan dari setiap orang.
Level D: Golongan orang yang bekerja sebagai pegawai negara atau lahir dari orang tua yang merupakan pegawai negara.
Level E: Golongan orang miskin yang biasanya tidak akan bisa memasuki sekolah karena level mereka, meskipun sebenarnya mereka memiliki kemampuan layaknya Level A-D, kecuali jika seorang Level E bisa mendapatkan skor penuh di ujian masuk.
Aku bisa mendengarnya. Itu bukan jawaban dari Park Seonsang tentu saja. Seorang guru bisa menjaga sikapnya dengan baik. Kalimat itu diucapkan oleh salah seorang yang berada di kelas ini. Dengan nada mengejek. Ia pun mengucapkannya dengan cukup keras. Akan tetapi Park Seonsang tak menghiraukannya dan berlalu begitu saja seakan itu adalah bukan sebuah masalah yang krusial.
Sementara ketika Kai mengeluh sedikit saja ia bisa mendengarnya dan menegurnya.
Dunia ini memang tidak adil. Bagaimana mereka bisa dibutakan oleh kasta bodoh ini. Bukankah semua manusia sama saja? Mereka bernafas, makan, buang air besar dan kecil, dan memiliki perasaan. Bagian terakhir sedikit diragukan. Apakah setengah abad yang lalu umat manusia hidup seperti ini? Kurasa tidak.
“Baiklah. Kalian bisa memilih partner kelompok kalian sesuai yang kalian inginkan.Cukup dua orang satu kelompok.”
Park seonsang kemudian menghilang dari layar dan kelas mulai ribut untuk memilih anggota kelompok. aku memandang ke arah D.O. Tentu saja aku akan berada dalam satu kelompok dengan D.O. Dia adalah teman terdekatku selama bertahun-tahun dan akan tetap seperti itu selamanya. D.O menunjukkan smirknya padaku seakan mengerti bahwa aku akan berada satu kelompok dengannya.
“Bruh, aku akan menjadi partner kelompokmu lagi?” D.O memasang wajah bosan, diikuti dengan sebuah helaan nafas. Aku terkekeh mendengarnya namun tak lama, wajahnya berubah menjadi terkejut dan pandangannya beralih ke sesuatu di sebelahku. “...atau mungkin tidak?” D.O memiringkan wajahnya.
Kelas tiba-tiba menjadi tenang, hening. Hanya beberapa bisikan saja yang terdengar dan aku mendengar beberapa bisikan itu.
“Eh? lihatlah, Han Hyojung berusaha mendekat ke arah bocah Level D.” Oh ayolah, sepertinya mereka tak akan bisa berhenti memanggilku ‘bocah level D’.
Bisa dikatakn akulah satu-satunya siswa Level D yang berada di kelas ini sehingga tak heran bahwa aku besar rasa bahwa yang mereka sebut adalah diriku ketika mereka mengatakan ‘Bocah Level D’.
Tapi, ada apa dengan kalimat ‘Han Hyojung berusaha mendekatiku?’
Beberapa detik aku akhirnya bisa membaca suasana, menengok ke samping dan melihat paras cantik itu mencoba berbicara denganku.
“Hei. Kudengar kau selalu mendapatkan nilai tertinggi di mata pelajaran Sejarah?”
Itu adalah kalimat pertama yang kudengar darinya.
Semua orang tahu Han Hyojung adalah spesies langka yang ada di Korea Selatan. Parasnya yang sangat cantik, wajahnya tidak cantik biasa atau plain pretty, cantiknya sangat berbeda. Matanya agak bulat,namun tetap terlihat sedikit sipit. wajahnya memancarkan kesan cantik, glamour namun juga keras. Fierce pretty face. Ia jarang berbicara. Ia hanya berbicara seperlunya. Banyak yang telah mengajaknya untuk berbicara namun tidak diacuhkan begitu saja. Tubuhnya berlekuk sesuai kodrat wanita pada umumnya.
Itu baru penilaian secara fisiknya saja.
Prestasinya di sekolah sangat luar biasa. Nilainya selalu bisa membuat semua rahang orang menganga lebar. Meskipun ia berada di peringkat kedua setelah Byun Baekhyun, orang-orang menganggapnya sebagai teladan di sekolah ini. Anehnya, ia tak suka mengikuti banyak ekskul yang seharusnya berguna baginya. Ia malah mengikuti sebuah ekskul yang menurut beberapa orang aneh, yaitu ekskul tinju dan permainan bela diri kuno, taekwondo.
Oh jangan bayangkan ia memiliki otot kekar atau semacamnya. Sama sekali tidak tampak pada dirinya otot yang membesar atau apapun itu. Tubuhnya terlihat kurus dan kulitnya tampak begitu pucat.
Dan lagi, yang membuatnya menjadi pujaan setiap orang disini adalah ia seorang anak dari seorang pejabat Kementerian di Korea Selatan, yang dengan sukses membuatnya berstatus ‘Level A’.
“Dan kau ingin memanfaatkanku yang memiliki nilai Sejarah bagus? Tch.” jawabku pada yeoja yang sedang berusaha berbicara padaku itu—setelah mengusir rasa kagetku tentu saja karena ini benar-benar kali pertamanya aku mendengar suaranya.
Bisikan semakin mengeras dan orang-orang mulai mengejekku.
“Bocah Level D itu sok sekali. Bukannya dia seharusnya bersyukur Aphrodite telah mengajaknya berbicara...”
Oh, aku lupa akan satu fakta lagi. Mereka selalu memanggil Hyojung dengan nama panggilan yang mereka buat sendiri; Aphrodite. Diadaptasi dari nama dewi Yunani, dewi yang melambangkan kecantikan.
“Bocah tak tahu diri...Apa dia memiliki cermin di rumah..”
“Bwoyaa kasar sekali...Apa dia lupa bahwa Aphrodite berada di level A.”
“Mengesalkan. Aku ingin segera memukul wajahnya jika saja tidak ada banyak kamera tertanam di kelas ini.”
Semua orang memandangku dengan tatapan mereka yang kurang..ah—tidak mengenakkan. Memandangku jijik seolah menjadi Level D adalah sebuah dosa terbesar di dunia ini.
Anehnya, yeoja itu terkekeh kecil, membuat seisi kelas hening dan sedikit membungkamku. Ini juga kali pertamanya aku mendengarnya terkekeh.
“Apakah aku terlihat seperti itu? Well, aku tidak masalah jika kau menganggapku seperti itu.” lanjut yeoja itu,mengejutkanku. Dia berbicara seperti ketika D.O berbicara padaku, seolah tak ada hal seperti kasta bodoh itu. Dia bisa bercanda, yang tentu saja mengherankanku. “Jadi?”
“Aku telah berkelompok dengan D.—O”
“Aku tahu apa yang kau lakukan.” Ia memberiku wajah itu. “Kau sepertinya lupa, bahwa aku duduk tepat di belakangmu Park Chanyeol-ssi.”
Sekilas kulirik ke arah D.O. Wajahnya tampak pucat, seakan mengatakan ‘ia benar-benar mengetahuinya’. Kulihat ia berdiri dan menarik salah satu teman sekelas kami. “Aku akan berkelompok dengan Kai.” ujarnya—dengan intonasi mantap yang terlihat dipaksakan.
“Umm..yeah..terserahmu..” jawab Kai seadanya.
Kai selalu tersisa sebagai pilihan terakhir di kelas ini—karena dirinya terkenal sebagai seseorang yang cukup pemalas ketika mengerjakan tugas. Meskipun sebenarnya ia adalah seorang Level A. Mungkin hanya status itu yang membuatnya bisa bertahan di sekolah ini. Tanpa sebuah drop out karena nilainya yang terus menurun.
Kukepalkan tanganku, memandang ke bawah lalu tanpa memandang balik ke arahnya aku menjawab “Baiklah jika itu maumu. Selamat, kau berada dalam satu kelompok dengan seorang Level D.”
Bisik-bisik di kelas pun mengeras. Namun lagi-lagi mereka bungkam tatkala yeoja yang masih saja berdiri di sampingku ini berkata “Perpustakaan?”
Jika bukan karena D.O yang tiba-tiba berkhianat padaku..Atau mungkin jika bukan karena statusnya yang Level A yang bisa saja membuat sebuah masalah jika aku menolak ajakan seorang Level A..Aku benar-benar tidak mau melakukan sebuah kerja kelompok dengan yeoja ini.
Aku membenci semua orang Level A. Aku membenci semua orang yang berada di level atas. Bertingkah seolah mereka manusia terbaik tanpa berusaha sedikitpun. Semena-mena dan menganggap rendah setiap orang yang berada di level bawah mereka. Hanya karena status kasta, mereka tak menganggap manusia seorang manusia.
Yeoja itu tampak menggerakkan jarinya di depan wajahnya. Aku yakin dia sedang menggunakan fasilitas layar virtualnya. Ia bahkan tidak menggunakan peralatan perpustakaan. Sama dengan fasilitas di kelas, di perpustakaan meja juga tersedia banyak sekali compdesk. Dengan kecanggihan di atas compdesk di kelas.
Sebenarnya ada dua pilihan jika kita pergi ke sebuah perpustakaan. Perpustakaan digital atau perpustakaan konvensional.
Sejak beberapa tahun yang lalu, pemerintah memutuskan untuk menyalin semua buku ke dalam bentuk digital karena khawatir akan ketahanan buku itu sendiri. Serta keberadaan buku saat ini mulai menipis, orang cenderung menerbitkan buku mereka secara online. Hutan di dunia telah menipis dan dunia melindungi hutan itu agar kayunya tidak dijadikan menjadi kertas. Perpustakaan digital menyediakan hampir semua informasi yang ada. Begitu lengkap. Dan mudah. Tapi entah mengapa aku lebih menyukai pilihan kedua yaitu perpustakaan konvensional. Aku lebih suka menikmati perpustakaan dengan cara biasa seperti yang manusia lakukan sebelumnya. Ketika membuka lembaran kertas di buku itu, aku menemukan seni tersendiri ketika melakukannya. Tidak mengandalkan sesuatu yang instan dan juga aku menyukai suara gesekan lembar kertasnya ketika dibuka secara perlahan.
Kulangkahkan kakiku ke sudut ruangan dan kuketikkan beberapa kata kunci. ‘K-Pop’. Dalam hitungan milidetik, rak kaca itu menyala, dan membunyikan suara ‘beep’ nyaring. Sebuah anak panah terlihat dan membawaku ke letak buku yang kucari. Kuikuti alur anak panah itu dan kudapati langkahku berakhir pada deretan rak besar ‘Sejarah’ di rak tingkat kedua dari bawah. Aku menunduk, menekan tombol virtual di kaca rak dan seketika rak kaca itu membuka agar tanganku dapat meraih bukunya. Nyala lampu pada rak kemudian hilang tatkala aku mengambil beberapa buku dan menutupnya lagi seperti semula.
Aku mulai berdiri dan melangkah pergi, sebelum sebuah suara menyapa telingaku dari belakang.
“Bukankah terlalu lama untuk mencari referensi secara konvensional? Hell, Chanyeol-ssi. Kita tidak lagi hidup di jaman kuno itu.”
Bukankah mereka memang terdengar angkuh. Yeoja itu terlihat berkacak pinggang dengan headphone kecil terpasang di telinganya.
“Kita harus segera menyeleasikan tugas ini, sebelum jam Sejarah habis.”
Kuhela nafasku panjang, dengan tetap memeluk beberapa buku itu di dekapanku.
“Kita bisa menyelesaikannya sepulang sekolah.”
“Kita tidak ada waktu untuk itu.”
“Ada.”
Ia terlihat menjungkitkan alisnya sebelah “Chanyeol-ssi. Kita berbeda. Bagimu mungkin ada, bagiku tidak.”
“Pasti ada waktu untuk itu, hanya saja kau tak mau menyempatkannya untuk itu bukan?”
Telinga yeoja itu terlihat memerah. Wajahnya terlihat kurang baik. Kesan fiercenya kini benar-benar tampak.
“Aku ada kelas Taekwondo dan aku tidak bisa—“
“Baiklah kalau begitu aku akan menyelesaikannya sendiri.” Aku mulai berjalan meninggalkannya dan menuju ke deretan meja yang tersusun melingkar di tengah perpustakaan.
Yeoja itu menghembuskan nafasnya sebentar, lalu terlihat menyusul langkahku.
“Memangnya aku percaya padamu?”
Ia mengucapkannya dengan tajam. Tidak dengan cara berteriak, ataupun dengan nada tinggi. Ia mengucapkannya dengan sangat dingin.
Langkahku terhenti. Kudekati yeoja itu yang terlihat menyilangkan kedua tangannya. Aku mendekatinya terus menerus, ia mulai memasang wajah bingung, apalagi tatkalawajah kita hanya berjarak beberapa cm dan aku menyudutkannya di blind spot yang kutahu diperpustakaan ini. Kepala yeoja itu menyentuh kaca rak buku dan aku memandangnya dalam.
“Kalau begitu, kenapa dari awal kau memilihku, sebagai partner kelompokmu. Jika kau memilihku maka kau harus mengikuti caraku, dan aku lebih suka mencari referensi dengan cara ini.”
Matanya melebar. Ia lalu menyempatkan diri untuk berkedip, lalu mendorongku. Dengan cukup keras.
Tak heran, ia mengikuti kelas bela diri.
“Well, karena menurutku kau berbeda.” Ia mengambil jeda dan dapat kulihat wajahnya yang lebih lembut dari biasanya. Seakan ia sedang menjadi seseorang yang berbeda. Sebelum ia melanjutkan diri menjadi seseorang yang biasanya. “Aku memilihmu karena kau berbeda..Aku bosan satu kelompok dengan beberapa orang yang sama setiap saat kau tahu itu.Ha. Berbesar kepala lah” Ia terlihat merapihkan bajunya dan menata rambutnya.
“Aku tidak tahu dan tidak mau tahu sejujurnya..” ujarku lagi. Membuat alisnya kembali terjungkit.
“Oh itu terdengar kasar. Kau sepertinya memiliki pribadi yang cukup menarik.” Ia menyengir dan bisa mengembalikan wajahnya kembali ke wajah biasanya. Wajah datar.
“aku menganggapnya sebagai sebuah pujian.”
Aku pun melangkah pergi lalu berbalik ke arahnya.
“Kita telah menghabiskan banyak waktu untuk berdebat. Bagaimana jika sekarang kita duduk tenang, menghabiskan sisa waktu yang ada untuk mengerjakan tugas Park Seonsangnim?”
Yeoja itu tampak diam—lalu dikenakannya headphone yang mengalung di lehernya dan ia mendahului langkahku, pergi ke kursi banyak yang melingkar di tengah perpustakaan.
Kau bisa mengataiku gila, tapi baru saja aku berpikir bahwa dirinya...cukup...menarik?
Satu jam telah berlalu. Aku masih tampak asik sendiri dengan buku yang kubaca sementara Hyojung masih tetap terlihat begitu serius memainkan jarinya di atas keyboard datar. Sesekali, ia berhenti mengetik dan membaca beberapa referensi online pada layar datar yang berada di meja itu.
Yang menjadi pertanyaanku adalah, mengapa aku harus menyempatkan diri untuk mengetahui situasinya?
Kugelengkan kepalaku lalu kembali kubaca beberapa buku di samping tanganku ini.
Setelah menjelajahi setiap sudut buku beberapa menit, kurogoh benda kecil dari sakuku, dan kutekan tombolnya. Keluarlah dua buah cabang yang membuat headset ini kini memiliki dua kabel panjang.
Setelah mengambil headset, kucolokkan headset itu ke meja dan kuketikkan beberapa kata untuk mencari musik yang kumaksud.
Tak lama, kubuka playlist itu dan kuputar sehingga lagu itu mengalir ke telingaku.
Irama musik itu terasa indah dan menyenangkan. Sangat earcatchy. Durasinya pun cukup banyak. Tidak seperti musik sekarang yang hanya berdurasi maksimal 3 menit saja. Sebuah keputusan baru pemerintah yang sangat konyol. Mereka mengatakan membuat keputusan baru ini agar kita lebih menghargai waktu dan tidak menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal tak berguna seperti musik.
Fanatisme berlebihan terhadap artis musik saat ini pun dilarang, tidak seperti apa yang telah kubaca pada buku sejarah tentang musik setengah abad yang lalu. Saat itu, musik seakan menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Bahkan mereka rela menghabiskan banyak waktu, tenaga dan uang demi hal itu. Demi musik yang mereka sukai dan artis yang mereka idolakan. Menyukai sesuatu saat itu sepertinya sangat manusiawi. Sedangkan sekarang, menyukai sesuatu terdengar seperti sebuah hal yang kurang wajar. Semua orang akan mengatakan bahwa hobi dan kesukaan akan menghabiskan waktumu secara sia-sia.
“Membaca buku sambil mendengarkan musik?” suara Hyojung kembali menyapa gendang telingaku. “ Terdengar begitu klasik.” lanjutnya.
“Aku telah menyelesaikannya. Kau bisa memeriksanya.” Ia menekan tombol di alat di lehernya lalu perangkat bulan sabit di leherku ini berbunyi. Lampu indikatornya menyala.
Setelah itu ia melesat pergi meninggalkanku dan kembali menyibukkan dirinya untuk membaca beberapa buku digital di compdesk perpustakaan.
Aku seharusnya memeriksa pekerjaan rapi miliknya, namun yang kulakukan setelah itu adalah memeriksa wajahnya. Paras cantiknya itu berhasil menyedot semua perhatianku kepadanya.
Entah sejak kapan, aku jadi gemar memperhatikan wajahnya. Mungkin benar jika banyak orang yang menyebutnya aphrodite.
Dan tak pernah kusangka, untuk saat-saat setelahnya, hidupku seperti ditakdirkan dengannya.
Seorang Level A.
“Aku mendapatkan alamat emailnya.” ujarku pada Kyungsoo yang sedang berada di lab mini di dalam rumahnya. Aku mendekat ke arahnya yang sepertinya sedang sibuk dengan compdesk di kamarnya dan layar virtual dari perangkat bulan sabit di lehernya itu sekaligus. “Kau membuat aplikasi baru lagi?”
Kyungsoo berhenti sejenak, memandang ke arahku. “Aku baru saja menelusuri log aktivitas dari server NASA. Ada yang aneh, satu tahun yang lalu mereka membuat sebuah postingan ke blog mereka akan tetapi mereka lalu menghapusnya lagi...Sekarang aku sedang mencoba untuk meretas dan—“
“YA. Geumanhae Kyungsoo-ya..Bukankah itu berbahaya?”
“Sedikit. Ah baiklah kau telah mengingatkanku. Baik baik. Tentu saja aku masih ingat tentang hukuman penjara 10 tahun jika aku tertangkap sedang meretas ke server seseorang—ah dan mereka itu NASA. Kemungkinan tertangkapku akan sangat besar.” Kyungsoo menjelaskan panjang lebar. Bunyi nyaring yang panjang terdengar, ia lalu mengambil cangkir kopinya itu dari bawah alat pembuat kopi. Setelah menyeruput barang beberapa mililiter, ia menanyakan maksud kedatanganku. “Jadi..Email siapa yang kau dapatkan kali ini?”
Aku memasang sebuah smirk sebelum mengungkapkannya pada Kyungsoo. “Kau akan terkejut.”
“Yaa berhenti bermain-main denganku, Chanyeol-a.”
“Kurasa jika aku mengatakannya pun kau akan mengatakan kalau aku sedang bermain-main.”
“Aku berjanji ti—“
Chanyeol menyalakan alat bulan sabitnya dan selang beberapa milidetik perangkat bulan sabit milik Kyungsoo berbunyi.
“—dak.” lanjut Kyungsoo lalu membuka kiriman dari Chanyeol.
Mata Kyungsoo yang memang sudah lebar kini terlihat menjadi semakin lebar.
Ia mengucek-ucek matanya—tak percaya.
“Ya. Kau pasti sedang...bermain-main...denganku..” Kyungsoo terlihat gelagapan.
Kuhela nafasku, sedikit panjang.
“Sudah kubilang tidak.”
Kyungsoo terlihat seperti orang gila, membuka setiap aplikasi yang ia gunakan untuk meretas dan dalam waktu beberapa detik, matanya menyalak. Cahaya aneh itu terlihat dari sepasang mata bulatnya. Kyungsoo memang selalu tertarik akan hal ini. “Dia benar-benar aphrodite. Bwoyaa....Ah aku lupa. Kau hari ini satu kelompok dengannya.”
“Tunjukkan apa yang kau bisa.” Aku menepuk bahunya.
“Malam ini kita akan segera tahu aktivitas seorang Level A..dan itu adalah Han Hyojung.”
--------------------{@
Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku tatkala mataku terbuka penuh. Saat itu juga aku menyadari bahwa diriku berada di tempat yang jauh berbeda dari sebelumnya yang mana City Hall. Sebuah ruangan sempit dapat terlihat ketika aku membuka mataku.
“Kamu sudah bangun?” tanya DO padaku. Aku mengangguk pelan dan menyadari bahwa baru saja aku bermimpi. Lebih tepatnya, mimpi yang mengingatkanku kembali akan yeoja itu....
“Kamu harus tahu, kita sedang berada di dalam pesawat luar angkasa, Chan!” jerit D.O, antusias.
Aku melihat keadaan sekeliling dan menyadari bahwa suasana di dalam sini terlihat seperti...bunker? Semuanya tampak terbuat dari baja. Aku melihat sekeliling, memastikan bahwa tempat ini benar seperti apa yang D.O katakan.
“Mereka membuat gravitasi buatan di dalam pesawat ini. Sehingga kita tak perlu melayang-layang seperti dalam sejarah kuno seabad yang lalu.” tambah D.O, seakan mengetahui diriku yang terheran mengapa tubuhku masih bisa merebahkan diri di kasur ini.
Kukedipkan mataku lagi. Tubuhku terasa begitu lelah. Terakhir kali yang kuingat adalah ketika aku memasuki pesawat berbentuk timun runcing itu. Berpisah dengan Gaeun dan D.O. Lalu seseorang petugas menyuntikkan sesuatu ke leherku. Setelah itu aku tidak ingat apapun. Dan kini aku berada di sebuah ruangan sempit bersama D.O.
“Dimana Gaeun?” tanyaku pada D.O, segera terduduk. Gaeun adalah satu-satunya sauadaraku di perantauan ini.
“Dia berada di ruangan lain. Ruangan ini dibagi berdasarkan gender, Chanyeol-a.” jawab D.O padaku.
Tak lama, sebuah speaker berbunyi. Disertai sebuah sirine.
“Perhatian. Perhatian. Kami tak akan mengulanginya. Kami tak akan mengulanginya.”
“Ia mengulanginya.” celetukku malas. D.O lalu mengajukan telunjuknya ke bibirku, agar aku diam.
“Dimohon untuk semuanya berkumpul di ruang tengah segera. Ada beberapa penjelasan akan tempat tinggal baru kita. Sekali lagi, kami tidak akan mengulangi briefing ini lagi.Dismissed.”
Aku dan D.O saling memandang satu sama lain. D.O mengeluarkan alat perekamnya.
Oh, alat canggih di leher kami? Kurasa mereka telah melepasnya.
Karena jaringan ini tidak bekerja di luar angkasa tentu saja.
“Mengapa mereka tidak menampilkannya ke masing-masing kamar saja.”
“Mereka menghemat daya Chan. Mungkin kau tidak menyadarinya, meskipun terasa cepat, kita sudah berjalan sangat jauh dan ini masih separuh perjalanan. Waktu di luar angkasa memang memiliki harga lebih lama daripada di bumi jadi satu detik di sini seperti satu tahun di bumi. Itulah mengapa setiap astronot yang kembali, mereka biasanya terlihat sama. Pihak pemerintah takut jika mereka kehabisan daya untuk memenuhi fasilitas kita.”
D.O menjelaskan panjang lebar, aku hanya bisa memasang wajah malas dan mengangguk-angguk. “Yeah yeah. Jadi kita harus segera berkumpul, Tuan Genius”
Aku pun segera berdiri dari bed, menyejajarkan diriku dengan D.O yang kini berada di sampingku.
“Han Hyojung.” ucap D.O secara tiba-tiba.
Aku menengok ke arahnya seraya menaikkan alis kananku.
“Kau menyebutkan namanya ketika sedang tidur tadi.”
“Benarkah?”
“Chan. Mungkin kau akan terkejut tapi kumohon kau akan tetap bisa menikmati perjalanan ini.”
“Bwo?”
“Aphrodite..Ah maksudku Han Hyojung. Ia tidak ikut ekspedisi ini.”
Aku berhenti melangkah.
Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa diriku terkejut.
Kyungsoo pun tahu akan hal itu. Ia menepuk pundakku dan berjalan mendahuluiku.
End of Chanyeol’s POV
Haai maafkan ceritanya yang aneh yaa... Emang agak fantasy science fiction gituu. Mungkin terlalu futuristik juga.. Tapi siapa tahu sih besok kita ada alat-alat kayak di cerita ye kan. huhu
Sebenernya gue nulis ini karena terinspirasi oleh ini dan ini.
Semoga suka~