Title : Love Story in School
Author : Minami Maretha
Genre : AU, School Life, Soft Romance, Angst
Rated : General
Length : Chapter
Casts :
*Choi So Yeon – OC
*Ryu Nana – OC
*EXO’s Suho
*B.A.P’s Youngjae
*BTS’s Jungkook
Disclaimer : Minami Maretha © 2014. All casts of this fan fiction belong to themselves. But, this story is mine.
HAPPY READING!!!
“Permisi. Permisi.” gadis mungil itu tampak berusaha menerobos gerombolan siswa-siswi yang tengah mengerubungi papan pengumuman berisi nama-nama mereka yang sudah diterima masuk sekolah ini dan akan ditempatkan di asrama mana.
Ya, sang gadis diterima sekolah baru. Asia Pacific International Senior High School. Salah satu sekolah yang cukup terkenal di Korea Selatan dan gadis ini beruntung ia diterima di sekolah ini.
“Ryu Nana. Ryu Nana. Ryu Nana.” Telunjuk gadis bernama Ryu Nana itu mulai menelusuri kertas berisi papan pengumuman penempatan asrama. Selain terkenal karena fasilitas lengkapnya, sekolah ini juga menyediakan asrama yang selama masa pembelajaran para siswa-siswinya akan menempati asrama tersebut.
“Ah! Ini dia!” pekik Nana saat namanya terlihat di sana dan asrama yang ia dapat Cinnamon. Mata hitam gadis ini mulai beranjak ke bawah, membaca keterangan tentang nama-nama asrama.
Keterangan :
“Apa wajahku kelihatan kalem dan suka belajar?” komentara Nana saat namanya dimasukkan ke dalam asrama Cinnamon yang berarti kayu manis.
“Perhatian! Murid-murid kelas 10 yang namanya masuk dalam daftar asrama Cinnamon segera mendekat!” Nana langsung berbalik dan mendekat ke arah suara bersama murid lain kelas 10 dan kelihatannya masuk asrama yang sama dengannya.
“Pertama, saya harus mengucapkan Selamat Datang di Asia Pacific International Senior High School. Kalian semua adalah siswa-siswi terpilih yang berhasil masuk ke sekolah ini.” laki-laki berkulit putih yang berdiri tepat di depan Nana sambil memegang microfone mulai mencairkan suasana dengan kalimat pembukanya.
“Dan ya . . . Selamat Datang di Asrama Cinnamon. Layaknya kayu manis, kalian harus bersikap manis. Aku Do Kyung Soo ketua asrama laki-laki Cinnamon kelas 12.” sang pemuda memperkenalkan dirinya yang ternyata bernama Do Kyung Soo. Dan mata Nana menangkap beberapa murid di belakang Kyung Soo yang sepertinya murid-murid kelas 11 dan 12 yang terlihat tak sabar melihat wajah baru yang akan mengisi asrama Cinnamon.
“Dan ini.” Kyung Soo menunjuk gadis manis di sampingnya yang terus menebar senyum. “Dia Zheng Meizhu, ketua dorm asrama perempuan Cinnamon dan satu tingkat denganku.” Meizhu–nama gadis di samping Kyung Soo–mengangguk saat pemuda itu memperkenalkan ia. Tangan sang gadis mengambil alih microfone yang disodorkan.
“Ya, aku Zheng Meizhu dan sepertinya lelaki ini sudah mengenalkan diriku. Kajja! Siswa laki-laki ikuti Kyung Soo, siswa perempuan ikut aku. Kita akan berkeliling.” Meizhu memberi aba-aba agar segera mengikutinya berkeliling sekolah.
****
Dua kata yang terus menerus terbayang di otak Nana tentang sekolah ini–sangat mewah. Pemandangannya yang benar-benar indah–dikelilingi perbukitan, sungai dan danau–juga suasananya yang begitu asri. Beruntungnya Nana masuk sekolah ini.
Sepertinya aku akan betah di sini, batinnya sambil tersenyum penuh arti. Dan lagi-lagi Nana terpana dengan fasilitas yang disediakan di sekolah. Café tingkat tiga yang menyediakan menu dari berbagai negara di belahan dunia, studio musik, arena olahraga dalam ruangan, bioskop mini sampai fasilitas gym dan spa pun ada. Astaga! Sekolah ini benar-benar dirancang agar para muridnya nyaman dan memakai fasilitas yang digunakan dengan baik.
“Baiklah! Kita sampai di sini. Jembatan Adonis.” Meizhu yang sedari tadi menjelaskan akhirnya berhenti lalu berbalik dan rombongan murid asrama Cinnamon ikut berhenti. “Jembatan ini yang menghubungkan asrama Cinnamon laki-laki dan perempuan tapi ingat! Tidak ada yang boleh berkeliaran di sekitar asrama perempuan–itu berlaku untuk laki-laki–begitupun sebaliknya,” lanjut Meizhu panjang lebar.
“Seperti yang sudah dijelaskan sebelum-sebelumnya, di jembatan ini juga ada makhluk penunggunya. Siluman kura-kura raksasa yang cangkangnya seperempat danau ini, itulah sebabnya ada jam malam. Karena pada jam 21.00 KST ke ataslah semua makhluk halus yang sudah dijabarkan tadi akan keluar dan memangsa kalian–jika kalian melanggar aturan.” Meizhu mengambil napas terlebih dahulu–memberi jeda pada ucapan panjang lebarnya.
“Baiklah kita akan masuk asrama, simpan barang kalian habis itu tidur. Tidak ada yang boleh keluar lagi, arrachi?” Serentak murid-murid perempuan ini menyuarakan kalimat, ‘Arraseo, Sunbae.’ termasuk Nana yang matanya masih melihat-lihat sekeliling walau hari menjelang malam.
“Silakan masuk dan nikmati fasilitas asrama yang sudah disiapkan. Layaknya kayu manis, jadilah murid-murid yang bersikap manis. Peraturan yang dibuat bukan untuk dilanggar dan jika di antara kalian ada yang melanggar, maka aku tidak akan segan-segan mengeluarkan kalian dari sekolah ini.” Dari nada bicaranya, Meizhu tampak serius. Siapa sangka, gadis manis ini bisa sangat galak apalagi menyangkut peraturan sekolah.
“Selamat malam, Semuanya.”
****
[Next Day]
Dengan dua tangan ke dalam saku celana, Youngjae berjalan mengelilingi sekolah. Suasana begitu asri dan indah. Pepohonan hijau di kanan kiri, bunga berwarna-warni memanjakan setiap mata yang melihatnya dan danau di ujung jalan yang dilalui pemuda itu. Senyum Youngjae terkembang dan akhirnya memutuskan untuk ke sana.
Tapi langkah Youngjae terhenti saat ia mendengar seseorang tengah melantunkan sebuah lagu. Kaki-kakinya sekarang bergerak perlahan, mencari sumber suara yang menurutnya sangat merdu itu.
Saranghae neol ineukkim idaero
Geuryeowassdeon hemaeimui kkeut
Isesang sokeseo banbokdoeneun seulpeum ijen annyoung
Neol saenggakmanhaedo nan ganghaejyeo
Uljianhge nareul dowajwo
Isunganui neukkim hamkke haneun geoya
Dashi mannan uriui
[Sepenggal lirik SNSD – Into the New World]
Youngjae diam. Jujur ia terpesona dengan suara gadis asing berambut coklat panjang itu. Tanpa sadar kedua tangannya terangkat dan bertepuk tangan pelan sesaat setelah sang gadis yang masih memainkan kakinya di danau selesai bernyanyi.
“Si-Siapa kau?” Youngjae tersentak saat gadis tersebut tiba-tiba berbalik dan bertanya demikian. Ia memang bodoh, muncul tiba-tiba di belakang gadis itu kemudian tanpa sengaja mendengarkan nyanyiannya lalu bertepuk tangan seperti hantu saja.
“Mianhae. Aku sedang jalan-jalan di sekitar sini dan tanpa sengaja–atau bisa dibilang sudah lancang–mendengarkan nyanyianmu. ” lelaki tersebut berjalan mendekat ke arah gadis yang masih memandangnya dengan tatapan bingung. “Dan ya . . . Meski sebenarnya aku pelit memuji seseorang tapi kuakui suaramu bagus juga.”
Senyum di bibir mungil itu terkembang tatkala pemuda asing di hadapannya itu memberi pujian pada talenta bernyanyinya. “Terima kasih tapi kuingatkan kembali suaraku biasa saja.”
“Tidak. Tidak. Suaramu bagus. Sangat.” Youngjae memutuskan duduk di samping sang gadis. “Yoo Youngjae imnida. Kelas 10 Adonis, kau?”
Tangan gadis itu menyambut uluran tangan pemuda yang memperkenalkan dirinya dan Yoo Youngjae namanya. “Choi So Yeon imnida. Kelas 11 Cinnamon.”
Senyum di bibir Youngjae perlahan pudar saat gadis cantik ini ternyata Sunbaenya. “Ah! Ma-maaf. Kupikir kita satu tingkat.”
Lagi-lagi So Yeon tersenyum melihat Youngjae menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Tak apa. Kau orang ke tujuh hari ini yang sudah menebak aku kelas 10. Wajahku ternyata awet muda atau terlalu imut?”
Oke mungkin Youngjae akan setuju dengan statement kedua So Yeon tapi ia enggan mengakui itu. Hello, bagaimana mungkin di hari pertama ia sekolah dan ia sudah melontarkan dua kali pujian pada kakak kelasnya ini? Mau ditaruh di mana wajahnya nanti?
“Aku tidak yakin akan hal itu.” So Yeon mengernyit lalu menoleh menatap Youngjae yang tampak biasa saja setelah mengatakan kalimat tadi dengan entengnya.
“Kau mengejekku?”
“Aniya. Maksudku . . . .” Youngjae seketika salah tingkah dan tak tahu harus menjawab apa. “Sudahlah lupakan.”
Kemudian sunyi. Hanya terdengar kicauan burung yang terbang dari pohon di seberang danau.
“Aku lapar, mau menemani makan di Primrose Café?” tawar So Yeon sambil berdiri diikuti Youngjae.
“Tentu, kebetulan aku juga lapar. Tapi Sunbae yang bayar, ne?” Sebenarnya ini hanya gurauan, dan Youngjae bertaruh kakak kelasnya ini tidak akan menanggapinya dengan serius.
“Baiklah tapi lain kali kau yang mentraktirku.” Telak! Ternyata So Yeon meresponnya berbanding terbalik, haruskah pemuda tampan itu menarik kembali kata-katanya barusan?
“A-Arraseo, Sunbae.”
****
Manik mata Suho bergerak ke kiri ke kanan, membaca setiap kalimat demi kalimat yang tertera di buku tebal itu. Suasana sepi di perpustakaan semakin membuatnya fokus membaca buku berjudul Sejarah Asia Pasific International Senior High School.
Tak lama ia mengambil sesuatu dari balik saku celananya. Sebuah belati. Belati yang ia genggam ini bukan belati sembarangan. Ada yang bilang belati ini bisa mengusir makhluk halus yang sudah lama mendiami Asia Pasific International Senior High School, itu sebabnya ke delapan ketua asrama wajib memiliki masing-masing satu belati untuk berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu yang buruk pada salah satu siswa.
Suho memasukkan kembali belati itu lantas menutup buku yang ia baca. Hari pertama masuk dan tentu para guru belum ada yang masuk jadi ia memutuskan ke perpustakaan untuk menenangkan dirinya sebentar di sini.
Kursi yang di duduki Suho perlahan mundur, dan ia memutuskan untuk kembali ke asramanya bersama buku tebal yang ia akan bawa. Tapi langkah kakinya terhenti saat dua orang gadis yang duduk sambil membaca tapi sepertinya tidak benar-benar membaca. Itu bisa dilihat dari salah satu gadis yang tampak tengah membicarakan dirinya.
Maklum saja sejak ia diangkat menjadi ketua asrama laki-laki Primrose untuk tahun ini, banyak adik kelasnya yang mulai mendekati. Itu bukan kebohongan melainkan fakta.
“Ehem!” Suho berdehem begitu melewati meja yang ditempati dua gadis cantik itu. “Jika ingin membicarakan seseorang, langsung bicarakan saja di depan orangnya. Tidak perlu sampai berbisik-bisik seperti itu.”
Bukannya gugup karena ketahuan membicarakan orang yang jelas-jelas sudah ada di depan mereka, dua gadis ini malah mengernyitkan kening. Antara aneh atau tidak percaya. “Kau berpikir bahwa kami membicarakanmu?”
“Tentu saja. Kalau bukan siapa lagi?” Suho masih berucap dengan penuh percaya diri. “Hanya aku dan kalian yang ada di ruangan ini, kalian berdua tak mungkin membicarakan orang lain kecuali kalian bisa melihat hantu.”
Kini dua gadis itu saling menatap. Seolah melempar pandang ‘Dia gila ya?’ . “Kau benar-benar berpikir kami membicarakanmu? Bagaimana kalau kami membicarakan ini?” Salah satu gadis bername tag Choi Hyu Ri menunjukkan buku musik yang ia bawa pada Suho. Seketika mata Suho melebar. Oke rasa percaya dirinya mulai tidak wajar.
“Waeyo? Kenapa diam? Bukankah sudah jelas kami tidak membicarakanmu?” gadis lain yang tengah membaca novel Harry Potter and The Half Blood Prince tampak santai berucap sambil membuka halaman selanjutnya. Senyum penuh kemenangan terukir di bibir pink tipis itu.
“Lihat! Walaupun tidak ada orang lain di sini, bukan berarti kami sedang membicarakanmu.” sang gadis masih terus membaca tanpa mengalihkan pandangannya dari novel. “Jadi, tolong jaga rasa percaya dirimu agar tidak membuatmu malu.”
Oke pernyataan gadis berambut coklat gelombang ini benar-benar menusuk. Gadis yang Suho belum tahu namanya itu pasti masih kelas 10. Ini keterlaluan. Di hari pertamanya dan ia sudah dipermalukan dua gadis kelas 10? Setidaknya menurut Suho begitu.
Jujur Suho ingin sekali menoyor keras-keras dua kepala gadis ini tapi ia tahan untuk menjaga image sebagai ketua asrama laki-laki Primrose yang baru. Jadi, sang lelaki hanya mengucapkan, “Baiklah, aku salah. Tapi suatu saat nanti kalian pasti akan membicarakaku. Dan ya, kuingatkan sekali lagi. Bicaralah saat ada orang yang kalian bicarakan di depannya jangan bicara di belakang oke? Aku pergi dulu.”
Setelah kepergian Suho, dua gadis kelas 10 itu kembali saling pandang. Sepertinya mata batin mereka sepakat untuk tidak berdekatan dengan salah satu Sunbae kelas 12 itu.
****
Bolpoint hitam yang dipegangnya menari lincah di atas buku tulis, sesekali kepalanya mendongak namun kembali menunduk. Mencatat tugas yang diberikan salah satu guru yang masuk di hari pertamanya. Ya, Nana masuk kelas seni dan gurunya sudah masuk. Guru pria berperawakan tinggi itu masih sibuk menulis di papan tulis.
“Baiklah.” guru pria itu berbalik setelah selesai menuliskan beberapa kalimat di papan tulis. “Namaku Bang Yong Guk dan kali ini saya yang mengajar pelajaran kesenian khusus untuk kelas 10.”
Yong Guk–nama guru pria yang mengajar hari ini–menaruh spidolnya di meja lalu berjalan memutar meja guru. “Dan saya bukanlah guru yang akan membiarkan para muridku bersantai di hari pertama, tapi saya juga bukan guru yang seketika memberikan tugas berat di hari pertama.”
“Tugas kalian cukup mudah, hanya membuat poster berukuran A4 bertemakan ‘Lingkungan Hidup’ . Warnai dengan apa saja pensil warna, spidol, crayon atau cat air. Gunakan imajinasi kalian sesuka hati.” Yong Guk tampak menebar senyum ke semua muridnya.
“Kalian bisa mengerjakannya mulai dari sekarang dan kumpulkan di meja saya begitu selesai. Paling lambat tugas dikumpulkan minggu depan.” Tangan Yong Guk terlihat tengah membereskan beberapa buku yang dibawanya. “Jika kalian sudah selesai mencatat kalian boleh keluar dan kerjakan tugasnya. Kelas hari ini selesai.”
****
“Tidak. Tidak. Salah. Ini salah.” Sekali lagi ia robek kertas gambar itu lalu membuatnya menjadi gumpalan kertas kusut kemudian membuangnya ke tanah. Entah itu kertas ke berapa yang sudah ia sobek, karena di sekeliling kakinya sudah banyak gumpalan kertas yang sama di tanah berumput.
“Boleh aku duduk di sini?” So Yeon tersentak saat suara berat bertanya, ia menoleh kemudian menghela napas lega saat tahu pemilik suara tersebut.
“Kau rupanya. Silakan. Silakan.” sang gadis menggeser sedikit posisi duduknya–mempersilahkan sang lelaki yang ternyata Youngjae–untuk duduk di bangku di area Cinnamon Park.
“Kau sedang apa?” tanya Youngjae sedikit melirik sesuatu yang tengah dikerjakan So Yeon, tangannya mengambil kertas-kertas di kaki gadis tersebut kemudian membuka satu kertas. Sebuah sketsa, sebenarnya bagus hanya saja menurut sang gadis tidak sesuai dengan keinginannya.
“Ini bagus kenapa dibuang?” lanjut Youngjae bertanya lagi–memperlihatkan salah satu sketsa buatan So Yeon.
“Itu kurang bagus. Lihat! Garisnya miring.” So Yeon menunjuk bagian yang menurutnya kurang padahal itu hanya jika melihat dengan seksama. Dari jauh atau melihatnya sekilas pasti tidak akan menyadari.
“Baiklah. Baiklah.” Youngjae meletakkan kertas tersebut di sampingnya. “Lalu kau sedang apa di sini? Mengerjakan tugas dari Songsaenim?”
“Begitulah. Tapi sepertinya aku salah memilih kelas.” So Yeon meletakkan buku gambarnya kasar di kursi taman–tepat di tengah-tengah mereka berdua.
“Salah memilih?”
“Ne.” So Yeon mengangguk. “Tadinya kupikir kelas seni menyenangkan dan hanya menggambar biasa. Tapi melukis di kanvas ukuran yang sesungguhnya, membuatku berpikir ulang sebaiknya aku masuk kelas IPS.”
Youngjae mengulum senyum di bibirnya saat So Yeon berceloteh tapi terdengar seperti keluhan. “Nasi sudah menjadi bubur, tak mungkinkan kau kembali ke masa lalu kecuali ada kau pinjam mesin waktu milik Doraemon.”
“Justru aku berharap Doraemon bisa meminjamkan sebentar mesin waktunya.” So Yeon terkikik geli sambil menyandarkan punggungnya. Youngjae yang mendengar itu hanya menggelengkan kepala.
“Kau ini ada-ada saja, So Yeon-ah.”
So Yeon mengernyit. “Hei, kau memanggilku apa tadi?”
“Aku memanggil namamu, So Yeon, wae?”
“Dimana letak sopan santunmu huh? Aku kakak kelasmu.”
“Aku malas memanggil kakak kelas dengan panggilan Sunbae meski sebenarnya itu harus.” Youngjae turut menyandarkan punggungnya. “Tidak masalah ‘kan?”
So Yeon menatap lelaki di sampingnya cukup lama kemudian ia tersenyum. “Tidak masalah, tapi hanya kau yang kuperbolehkan memanggilku tanpa embel-embel Sunbae. Itu tandanya kau mengakui aku imut.”
Pemuda bermarga Yoo itu mengedikkan kepalanya bingung. “Ya! Tidak bisa begitu.”
“Bisa saja. Sudah banyak yang mengakui aku imut dan kau sendiri sudah mengakuinya ‘kan?”
“Aku? Kapan?”
“Tak sampai lima jam yang lalu kau mengakui itu. Kau orang yang ketujuh––”
“Yang sudah menganggapmu kelas 10.” Youngjae memotong ucapan So Yeon sambil memutar bola matanya malas.
So Yeon menjentikkan jarinya. “Aku benar ‘kan? Eh! Kau benar-benar jenius, Youngjae-ya.”
Youngjae sedikit memundurkan tubuhnya saat gadis mungil ini sedikit berteriak seakan ingat sesuatu. “Jika aku bisa menyamarkan identitasku dan mengulang menjadi kelas 10 yang baru masuk sekolah ini. Lalu memilih kelas IPS dan tidak akan bertemu tugas melukis ini.”
“Tapi itu hanya di alam mimpi, Nona Choi. Tidak mungkin terjadi.” Pemuda tersebut memainkan jari-jemarinya. “Memang tugasnya seberat apa? Jika tidak keberatan mungkin aku bisa membantu,” lanjut Youngjae sedikit menawarkan seraya kembali menegakkan tubuhnya.
“Tidak. Tidak. Ini tugasku, tak boleh ada campur tangan orang lain.” So Yeon menghela napasnya. “Meski sebetulnya tugas ini berkelompok.”
“Berkelompok?”
“Ye, sebenarnya hanya dua orang. Kelas 11 dan kelas 12 digabung jadi rekan kerja. Tapi entahlah aku bingung pilih siapa yang jadi partnerku dalam tugas ini.” Helaan napas gadis ini kembali terdengar.
Seandainya aku masuk ke sekolah ini sebelum kau, pasti aku....
Youngjae terhenyak. Darimana datangnya pikiran tadi?
“Aish! Pabo.” Tangan kekar itu mengacak rambutnya frustasi, otomatis So Yeon mengerutkan keningnya bingung.
“Kau tak apa, Youngjae-ya?”
“Apa?” lelaki tersebut sedikit tersentak saat gadis bermarga Choi itu melempar pertanyaan demikian. “A-Aku baik.”
“Baguslah. Kupikir kau berkutu jadi mengacak-ngacak rambutmu seperti tadi.” Youngjae membulatkan matanya. Gadis ini tadi berkata apa?
“Ya! Aku bersih, astaga! Kau dapat pikiran jelek tadi darimana?” Gerutuan Youngjae tidak diindahkan So Yeon yang tertawa lepas. Anehnya kekesalan lelaki ini berangsur menguap saat tanpa sengaja dirinya terjebak dalam tawa sang gadis. Tawa yang begitu indah dan entah mengapa ia senang melihat So Yeon tertawa.
“Kau ini.” Tawa So Yeon seketika terhenti saat Youngjae mengacak pelan rambut coklatnya. Bibir mungil gadis itu mengerucut pertanda ia tidak suka.
“Jangan mengacak rambutku. Ini sudah rapi.”
“Aku tidak peduli.”
****
Suho menempelkan selebaran di papan pengumuman yang isinya tentang ‘Aconite Day’ . Hari dimana semua siswa berkumpul di satu tempat, dengan tujuan mendekatkan diri antara siswa lama dan siswa baru. Ketua asrama laki-laki Primrose itu memundurkan beberapa langkahnya sambil tersenyum penuh arti.
Tak sampai lima belas detik selebaran itu ditempel, para siswa mulai mengerubungi papan pengumuman itu. Bagaimana tidak? Acara Aconite Day tahun ini berlangsung dua hari dan di hari terakhir semua diwajibkan memakai dress untuk siswa perempuan dan tuxedo untuk siswa laki-laki. Pasti acara akan berlangsung meriah karena katanya akan mengundang bintang tamu kenamaan Korea.
“Aconite Day? Drees dan tuxedo? Kenapa harus dress?” tanya Nana di antara kerumunan para siswa-siswi di sekelilingnya. Jelas gadis tersebut tidak suka karena ia sangat tidak menyukai sesuatu hal yang berhubungan dengan dress, high heels dan sejenisnya.
“Apa aku bawa dress sebelum kemari? Lalu nanti rambutku harus ditata seperti apa? Ugh!” Nana memutuskan keluar dari kerumunan sambil menggerutu tidak jelas. Sang gadis mulai menjauhi papan pengumuman dan berjalan menuju asramanya.
Tapi seketika langkahnya terhenti saat ia terpikir sesuatu. Sudut bibirnya terangkat naik.
“Sudah kuputuskan.”
To Be Continued