home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > One Day At The Museum

One Day At The Museum

Share:
Author : imaginne
Published : 22 Feb 2015, Updated : 22 Feb 2015
Cast : Lee Jonghyun, Choi Jun-hee/Juniel, Jung Yonghwa
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |946 Views |0 Loves
One Day At The Museum
CHAPTER 1 : Chapter 1 - Still In Love

Author             : Imaginne (Twitter: ima_soonja)

Length             : Twoshot

Genre              : Romance, comedy(?)

Rating             : PG-15

Main Cast        :

  1. Juniel/Choi Jun-hee
  2. Lee Jonghyun (CN Blue)

Other Cast(s)   :

  1. Jung Yonghwa (CN Blue)
  2. Maïa, Keisha and Thomas (OC)

Credit Poster   : ima9inne.wordpress.com

Disclaimer       : Tulisan ini murni ide gila dari otakku. FF ini merupakan hasil remake dari FF saya yang berjudul Pray yang baru setengah jadi. Akhirnya saya putuskan untuk menggubah dan membuat ulang FF tersebut. Jangan sekali-kali menjiplak FF ini. Don’t copy or share my FF without permission!!

Note                : Ada beberapa kata dan kalimat dalam bahasa Prancis. Temukan artinya dibagian akhir cerita ini. Thanks, happy reading. Maaf kalau FF ini masih kurang dalam segala hal dan mungkin part 1 ini agak membingungkan J Oleh karena itu, kritik, saran dan komentarnya saya tunggu. #bow. FF ini juga di posting di http://ffcnblueindo.wordpress.com/.

“Cerita ini hanya fiktif belaka”

Author POV

Dengan langkah santai, seorang namja berjalan melintasi koridor lantai dua sebuah gedung universitas. Tangan kanannya menenteng sebuah buku tebal yang sampulnya agak lusuh. Ransel berwarna coklat tua tampak menghiasi punggungnya yang kekar. Sesekali ia berpapasan dengan orang-orang berhidung mancung dengan rambut blonde bertengger manis di kepala mereka.

Salut [1], Thomas!!” sapa Jonghyun dengan suara sengau kepada seorang namja berperawakan bongsor yang dari ujung koridor sudah nyengir kuda.

Salut!” balas Thomas, namja berambut keriting itu. “Ça va? [2]

Jonghyun menepuk pundak namja berkebangsaan Perancis yang begitu menawan dengan berewok menghiasi dagu dan pipinya.

Oui, ça va. Et toi? [3]” ujarnya, memamerkan senyum terbaiknya.

Ça va, merci! Salut!! [4]. Aku ada kuliah. Besok aku ke apartemenmu jam 7 pagi..” Thomas tersenyum lalu melenggang pergi.

Jonghyun mengangkat bahu lalu kembali menyusuri koridor. Tak lupa ia melambai pada yeoja-yeoja berparas cantik yang sedang duduk di depan ruang kuliah.

Mereka terkikik dan mengedipkan sebelah mata ke arah namja yang memiliki senyum termanis di Université de Strasbourg (menurut salah seorang temannya yang bernama Maïa). Ia masih ingat betul saat ia baru saja tiba di Perancis. Yeoja-yeoja Perancis itu mengira kalau dia seorang K-Pop Idol. Kata mereka wajahnya mirip dengan  gitaris band rock korea yang tersohor.

Boro-boro gitaris, umpatnya dalam hati pada saat itu. Bermain gitar saja tidak bisa. Lee Jonghyun, nama namja itu. Memang tidak suka dengan satu hal yaitu musik. Ia lebih suka melukis. Buktinya karena lukisannya yang spektakuler, ia berhasil mendapatkan beasiswa ke Université de Strasbourg yang begitu dielu-elukan oleh gurunya. Meninggalkan korea memang begitu sulit, tetapi Jonghyun tidak mau melewatkan kesempatan yang mungkin tidak akan datang dua kali dalam hidupnya. Tepat dua tahun lalu, ia terbang ke Perancis untuk melanjutkan studinya.

Il est beau.. [5]” celetuk Maïa, yeoja dengan hidung mancung dan mata bulat, terdengar gemas.

Il est coréenne. [6] tambah Keisha, terkesima. “Benar-benar tampan..”

Jonghyun tersenyum puas mendengar penilaian nonik-nonik Perancis itu. Namja tampan itu terlalu asyik bermain mata dengan yeoja-yeoja itu hingga..

BRUUKK

Jonghyun jatuh terpelanting, begitu juga dengan—orang yang ditabraknya.

Pardon, monsieur!! [7]” lengking orang yang menabraknya, seorang yeoja dengan rambut hitam. Yeoja berpipi tembam itu memungut tasnya yang jatuh tak jauh darinya lalu bangkit berdiri.

“Ah! Pardon..” cerocos Jonghyun, ikut bangkit. Yeoja berbadan mungil itu menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya. “Seharusnya aku yang..”

Ia terkejut melihat orang yang ditabraknya, seorang yeoja dengan mata sipit‒dan pipi menggemaskan.

“Ahh.. Juniel!!” panggil Maïa antusias. “Kau dari mana saja? Aku sudah menunggumu dari tadi.”

Hati Jonghyun mencelos, sesaat setelah mendengar nama ‘Juniel’ disebut. Ia menatap yeoja yang dipanggil Juniel itu tanpa berkedip.

“Ahh, Salut Maïa. Dèsolèe, je suis en retard. C’est la grève des bus. [8]” ucap Juniel, meminta maaf. Senyum manis tersungging di bibirnya yang mungil.

Yeoja bernama Juniel itu menyadari namja di sampingnya tengah menatapnya. Ia menoleh ke arah namja yang baru saja menubruknya itu. Sesaat, mata mereka berdua bertemu.

“Jun-hee?” gumam Jonghyun dengan senyum mengembang. Membuat derajat ketampanannya meningkat drastis.

Jun-hee membeku. Matanya yang sipit sontak melebar. Kini, ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Ia tidak memedulikan pandangan heran dari Maïa dan teman-temannya. Mau tak mau yeoja itu kembali mengingat kenangan yang seakan baru kemarin terjadi.

“Kau—di sini? Di Perancis? Di Université de Strasbourg?” cerca Jonghyun, tak henti bertanya. Senyum masih menghiasi wajah tampannya.

Jun-hee mengalihkan pandangannya. Ia berdehem. Mengusir pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Mau tak mau ia kembali menatap mata Jonghyun yang selalu memikat hatinya.

“Eoh, wae?” tuturnya, dingin. “Memangnya tidak boleh?”

Jonghyun masih menatap mata Jun-hee dengan tatapan laser. Bibirnya masih membentuk senyum yang bisa membuat Maïa dan teman-temannya pingsan seketika. Jun-hee membenci hal itu dan berusaha mati-matian menghindari tatapan namja itu.

“Kenapa—kau tidak menghubungiku?” tuntut Jonghyun, berjalan mendekati Jun-hee. “Aku kan bisa menjemputmu. Kita juga bisa jalan-jalan..” Ia tersenyum tulus.

Jun-hee mendongak menatap namja jangkung yang sudah berada tepat di depannya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Jonghyun untuk menelusuri wajah dan mata yeoja itu. Sudah hampir dua tahun ia tidak bertemu dengannya.

Naega wae?” ucap Jun-hee, dengan ekspresi datar. Bahkan senyum tulus Jonghyun tak mampu meruntuhkan keangkuhan yeoja itu.

Jonghyun menatap Jun-hee dengan pandangan tidak percaya. Senyum tulusnya lenyap seketika. Ia mengendus ada hal yang tidak beres sedang terjadi.

“Jun-hee? Kwaehn-chanha?? Apa kau sedang sakit, eoh?” seloroh namja itu, memegang kening Jun-hee yang tertutup poni. Mengecek suhu badannya.

Mwoya?!” tukas Jun-hee sambil menepis tangan Jonghyun. “Apa yang kau bicarakan? Sakit? Mian, aku baik-baik saja!” Ia melangkah mundur.

Jonghyun tersentak kaget. Ada apa dengan Jun-hee, tanyanya dalam hati. Kenapa ia bersikap ganjil? Seingatku Jun-hee bukan tipikal yeoja angkuh seperti yeoja di depannya? Perasaan dua tahun lalu, kami berpisah baik-baik.

“Jun-hee!!” panggil seorang namja bersuara lantang. Ia menghampiri Jun-hee dan Jonghyun. Karena melihat sosok Maïa dan teman-temannya yang cantik jelita, ia tidak menyadari kehadiran Jonghyun.

“Ah, oppa,” ucap Jun-hee, tersenyum. Perasaan lega tergambar jelas di wajahnya yang menggemaskan.

Jonghyun terheran-heran. Jun-hee tidak tersenyum padaku dan dia malah tersenyum ke arah namja itu, batinnya agak sakit hati. Hubungan Sunbae-hobae-ku dengan Jun-hee kenapa lenyap begini? Lagipula, siapa namja ini? Apa diakekasihnya? Jonghyun menggeleng keras. Tidak mungkin. Akal warasnya menyangkal keras gagasan itu.

“Dari tadi aku mencarimu. Kau sudah bertemu dengan Maïa?” ujar namja tampan itu menggedikkan kepalanya ke arah Maïa.

“Yonghwa??” panggil seseorang dengan suara sengau. Maïa. Yonghwa melambai ceria pada Maïa dan berjalan ke arah yeoja itu. Mereka berbincang-bincang dengan bahasa Perancis. Logat korea-nya tidak bisa hilang, ucap Jonghyun dalam hati. Dia belum lama di Perancis. Setelah puas bereloteh dengan Maïa, ia menoleh ke arah Jun-hee. Matanya terbelalak melihat sosok Jonghyun yang berdiri tak jauh dari Jun-hee. Maïa berbisik di telinga Yonghwa, membuat pipi namja itu semburat merah.

“Ah, kau bisa saja..”  elak Yonghwa, memukul pelan pundak Maïa

Ia menghampri Jun-hee yang masih berdiri membeku di samping Jonghyun.

Tu es coréenne?[9]tanyanya pada Jonghyun, sambil mengulurkan tangan.

Ne..” jawab Jonghyun sambil tersenyum sungkan. Terpaksa menjabat tangan namja itu. Begitulah Jonghyun, tidak bisa beramah-tamah dengan orang yang baru dikenalnya.

“Wah, kau berasal dari mana? Perkenalkan namaku Yonghwa. Jung Yonghwa, dari Gangnam.” ucap Yonghwa sok akrab. Ia tersenyum lebar memamerkan gigi gingsulnya.

Jonghyun berusaha tersenyum dan bibirnya hanya berhasil membentuk seringai—yang agak menyeramkan.

“Lee Jonghyun, Busan.”

“Ah.. Busan boy?” sahut Yonghwa menatap penuh arti pada Jun-hee yang sedari tadi hanya mematung. Jonghyun menaikkan sebelah alisnya.

Jun-hee melirik tajam ke arah Yonghwa. Namja itu malah tersenyum simpul membuat Jun-hee semakin sebal. Apa oppa tidak tahu kalau suasana hatiku sedang tidak bagus, sungutnya dalam hati. Malah menggodaku segala, jinjja!!

“Sudahlah.. Maïa eonni sudah menunggu, Oppa.” ujarnya setengah kesal. Terbukti dengan kakinya yang menghentak-hentak ringan di permukaan lantai.

Jonghyun tersenyum. Ia tidak banyak berubah. Masih menggemaskan seperti dua tahun lalu.

“Ah, keurae. Kajja.” Yonghwa membungkuk singkat pada Jonghyun dan merangkul Jun-hee.

Mereka pergi begitu saja ke arah Maïa. Jun-hee sama sekali tidak membungkuk atau sekedar melambai singkat. Atau setidaknya tersenyum. Seperti orang asing saja, umpat Jonghyun dalam hati. Hatinya benar-benar dongkol. Jonghyun hanya menatap punggung mereka yang menjauh dengan ekspresi getir.

“Ah.. Maïa.” sapa Yonghwa pada yeoja Perancis itu, begitu keras. Tak lupa ia menyalami yeoja itu dengan ramah. Padahal saat perbincangan pertama, mereka sudah bersalaman. Maïa yang diajak berjabat tangan menerimanya dengan senang hati. Seperti biasa, yeoja itu memuji gigi gingsul Yonghwa.

Ah, oppa, geumanhe.” seru Jun-hee saat Yonghwa mulai menyalami setiap yeoja Perancis yang duduk di samping Maïa. Namja itu menoleh ke arahnya dan mengedipkan sebelah matanya. Jun-hee mencibir pelan tiada henti.

“Oh, jinjja!!” umpat Jun-hee, yang akhirnya tidak tahan. Ia melipat ke dua tangannya di depan dada. Bayangkan saja, ada sekitar 12 yeoja yang duduk di samping Maïa. Dan namja bernama Jung Yonghwa yang sok keren dengan senyum gigi gingsulnya itu menjabat tangan mereka satu-persatu. Empat menit untuk setiap yeoja. Diselingi dengan obrolan basa-basi dan suara cekikikan yeoja-yeoja Perancis yang kegirangan karena digoda namja ter-playboy dan terkeren di seantero Université de Strasbourg dinobatkan oleh Maïa). Menyebalkannya, yeoja-yeoja Perancis itu begitu terpesona dengan sosok Yonghwa yang menurut Jun-hee sama sekali tidak keren. Mereka dengan senang hati rela mengantri demi berjabat tangan dengan namja itu. Kembali, Jun-hee menghentak-hentakkan kakinya. Bibirnya yang mungil mengerucut sempurna.

Melihat adegan itu, Jonghyun mendesah. Ia berjalan gontai ke arah lift yang berada di ujung koridor. Buku yang dipegangnya terayun tanpa tenaga. Jun-hee menoleh. Menatap punggung namja itu dengan tatapan rindu.

***

Jun-hee menatap sup yang sudah mendidih di atas kompor dengan tatapan kosong. Buihnya hampir meluap kalau Yonghwa tidak mematikan kompor itu. Setelah Yonghwa menyikut punggungnya, Jun-hee tersadar dari lamunannya.

Mwo haneun geoya?” tanya Yonghwa menatap Jun-hee dalam-dalam. Mencoba mencari akar permasalahan.

Jun-hee mengangkat bahu.

“Ah, Oppa. Mianhe...” ucapnya menghindari tatapan Yonghwa. Ia berjalan dari dapur dan beranjak ke meja makan bundar yang selalu dibangga-banggakan Yonghwa. Sepupunya yang terkadang terlalu percaya diri dengan kemampuannya itu berkata bahwa ialah yang memahat meja makan itu untuk tugas akhir semester. Ya, Jun-hee akui kalau sepupunya memang berbakat dalam segala hal. Melukis, memahat dan membuat tembikar. Akan tetapi, Jun-hee merasa bahwa sikap percaya diri Jung Yonghwa terkadang kelewatan. Jun-hee hanya mengangguk takzim pertanda bahwa ia tidak mau berdebat dengan sepupunya itu. Nama Jung Yonghwa sudah tersohor dengan omong besarnya, jadi Jun-hee tidak mau merepotkan diri untuk berargumentasi dengannya.

“Ya sudah ayo kita makan.” Yonghwa menghela napas. Yang bisa ia lakukan hanya mengalah. Tidak biasanya ia diam dan mudah mengalah seperti itu.

Mereka makan dalam diam. Yonghwa menatap Jun-hee yang masih melamun. Sedari tadi yeoja itu menatap mangkuknya sambil mengunyah makanannya. Kemudian ia mengaduk-adukkan sumpit yang ia pegang pada mangkuk nasinya.

“Yak!” seru Yonghwa. Ia menatap jengkel pada Jun-hee.

Jun-hee tersedak. Cepat-cepat ia mengambil gelas berisi air putih yang berada di samping mangkuknya. Menyeruputnya dengan tergesa-gesa. Alhasil ia terbatuk-batuk. Yonghwa mendengus melihat tingkah sepupunya yang selalu seperti itu saat tertangkap basah melamunkan sesuatu hal yang mencurigakan.

“Aish, jinjja! Kau ini..” celanya sambil bangkit dari tempat duduknya. Ia menepuk-nepuk ringan punggung Jun-hee.

Gomawo, Oppa..” kata Jun-hee, nyengir kuda. Yonghwa mengacak-acak rambut sepupunya itu yang ia akui begitu menggemaskan.

“Er..” mulai Yonghwa. Ia bertopang dagu kemudian menatap Jun-hee lekat-lekat. Matanya mengedip beberapa kali. Jun-hee muak melihat aegyo sepupunya yang satu ini.

Mwoya?” tantang yeoja itu  lalu menegak air putih.

“Apakah busan boy itu namja yang tadi kita temui?” tanya Yonghwa tanpa basa-basi.

Jun-hee tersentak mendengar pertanyaan Yonghwa. Ia menghela napas.

“Memang kenapa?” ujarnya sekarang berpura-pura menyibukkan diri dengan melahap makanannya.

“Yak,” sungut Yonghwa. “Tatap mataku!” Ia paling sebal kalau seseorang yang ia ajak bicara tidak menatap matanya.

Jun-hee membanting sumpitnya. Berbutir-butir nasi terbang tak beraturan dan mendarat kasar di atas meja. Yonghwa melotot melihat nasi berceceran di atas meja makan kesayangannya.

Wae, wae, wae???” seloroh Jun-hee, balas melotot.

Jinjja!! Kau ini!!” bentaknya menunjuk nasi yang menghiasi hampir separo permukaan meja makannya. “Aku tanya, apakah namja tadi itu si busan boy? Jawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak!”

“Begitulah..” desis Jun-hee pelan, memandang Yonghwa dengan tatapan geram. Menurutnya, sepupunya yang satu ini memang tidak peka.

Jung yonghwa ingin sekali menjewer telinga yeoja di depannya. Akan tetapi ia mengurungkan niatnya. Bisa payah kalau Jun-hee mengamuk. Bisa-bisa masterpiece-nya yang tersebar di dorm-nya hancur tanpa sisa.

“Kau tidak mendengarkanku?” ucap namja itu. “Kan sudah kubilang, jawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’.”

Jun-hee mendengus kesal.

Oui! [10] Ne!!” serunya. “Puas?”

Jung Yonghwa terkekeh geli. Jun-hee hanya menatapnya dengan tatapan heran.

Oppa, jebal!!” umpatnya. “Jangan membuatku khawatir, eoh. Kenapa kau tertawa-tawa sendiri?”

Yonghwa menjitak kepala Jun-hee.

“Justru kaulah yang terlihat mengkhawatirkan..” tukasnya. “Kalau memang namja tadi adalah busan boy. Kenapa kau tidak menanyakan hal itu kepadanya? Kalau kau diam masalahnya tidak akan selesai.”

Jun-hee memandang sepupunya, tidak percaya.

Mwo?” semburnya. “Naega wae? Memang aku siapanya si Lee Jonghyun sialan itu, eoh? Pacar? Bukan! Jadi buat apa aku repot-repot mempertaruhkan harga diriku untuk menanyakan hal itu?”

Yonghwa rasanya ingin sekali menjitak lagi sepupunya yang keras kepala itu.

“Kau memang bukan pacarnya. Tapi aku tahu kalau kau menyukainya! SANGAT MENYUKAINYA. Jadi menurutku, lebih baik kau menanyakan hal itu.” Jelas Yonghwa menggebu-gebu.

Jun-hee menatap Yonghwa dengan ekspesi nanar. Matanya sudah merah dan siap menjadi danau air mata. Payah kalau sampai danau itu membludak.

“Kalau menurutmu aku harus menanyakan hal itu, lalu aku harus bertanya bagaimana, eoh?” serunya, mukanya berkerut menahan tangis. Jelek sekali. “Apakah seperti ini, ‘Yak, Lee Jonghyun, bernahkah kau menghamili Hyewon Eonni?’ atau ‘Apa benar kau sudah menikah dengan Hyewon Eonni?’. Begitukah? Kau pikir aku tidak punya harga diri?”

Yonghwa menatap Jun-hee yang tangisnya sudah siap meledak. Ia merasa tidak enak pada yeoja itu. Akan tetapi, di sisi lain juga tidak setuju dengan aksi ‘bungkam’ sepupunya.

“Jun-hee-yah..” ucap Yonghwa menghampiri tempat duduknya. “Mianhe, bukan maksudku..”

Jun-hee mengangkat tangan kanannya. Menyuruh Yonghwa diam.

Geumanhe, Oppa,” gumamnya, menyeka air mata yang meluncur menuruni pipinya. “Aku mohon kau tidak usah menyinggung hal itu lagi. Aku sudah cukup bersabar dengan sikap diamku ini. Jangan sampai benteng pertahanan yang selama dua tahun aku bangun ini runtuh tak berarti, oppa.”

Jung Yonghwa masih tidak sepaham dengan sikap sepupunya itu.

“Walaupun begitu, sikapmu ini tidak benar. Kemarin kau bersikap sedingin itu kepada busan boy itu. Kasihan, tahu!”

Jun-hee mendesah.

“Lalu bagaimana dengan aku?” rengeknya dengan suara tercekat. “Kau tidak kasihan denganku? Aku juga bingung harus bersikap bagaimana? Dua tahun sudah aku mempertimbangkan segala hal. Berpikir aku harus bersikap bagaimana. Tapi tetap saja, susah bagiku untuk bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, oppa.”

Yonghwa menghela napas.

“Memang benar. Aku tahu pasti susah jika ada berada di posisimu. Akan tetapi, sikap terbaik yang bisa kau tunjukkan adalah kau harus menerima kenyataan ini. Hadapi masalah ini. Bersikap dingin tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada persahabatanmu dengan busan boy itu akan kandas. Kau ucapkan selamat atas pernikahannya. Menurutku itu cara terbaik, dengan begitu kau bisa mulai untuk melupakannya.”

Jun-hee mendongak. Bibirnya bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Argumen.

“Jangan membantah lagi!” tukas Yonghwa yang selalu menang dalam hal berdebat. “Itu saran terbaik yang bisa aku berikan padamu. Busan boy itu terlihat bertanya-tanya dengan sikapmu itu. Tunjukkan padanya kalau kau bisa menerima bahwa dia sudah menikah. Memang apa salahnya kalau dia menikah? Sudah lupakan saja dia, seperti namja di dunia ini hanya dia saja.”

Jun-hee berpikir sejenak. Yonghwa oppa ada benarnya juga, batinnya. Mungkin aku saja yang terlalu susah untuk melupakannya. Terlalu susah untuk menerima kenyataan bahwa cheot sarang-ku sudah dimiliki lebih dulu oleh sunbae-ku. Oleh seseorang yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Aku akan terlihat menyedihkan kalau bersikap seperti ini. Ia menghela napas panjang.

“Baiklah,” putusnya. “Aku akan mengikuti saranmu. Gomawo, oppa.

Yonghwa tersenyum lega. Jun-hee juga tersenyum simpul.

“Aku istirahat dulu, oppa. Cal cayo..”

Tubuhnya yang mungil berjalan ke arah kamarnya meninggalkan Yonghwa yang merasa seolah-olah salah satu beban hidupnya berkurang.

BLAM

“Syukurlah kalau..” gumamnya, bahagia. Kata-katanya terputus.

Tiba-tiba ia teringat suatu hal. Meja makan kesayangannya masih dihiasi dengan butir-butir nasi. Dan semua itu adalah ulah Jun-hee.

“Yak! Bersihkan dulu mejanya. YAK!!” teriaknya memekakkan telinga.

Bayi Nyonya Zoe yang tinggal di apartemen sebelahnya menangis histeris. Nampaknya ia terbangun dari tidurnya. Diikuti omelan panjang ibunya dalam bahasa Perancis yang tentu saja ditujukan untuk Yonghwa yang tidak memedulikan tangisan bayi itu. Yang penting baginya adalah meja makan kesayangannya.

“YAK!!!” seru Yonghwa, menggedor-gedor pintu kamar Jun-hee.

Jun-hee tidak menyahut.

“BERSIHKAN SEKARANG JUGA!! AKU MEMBUATNYA SELAMA SATU SEMESTER DAN MENDAPAT NILAI TERBAIK!”

Jun-hee meringkuk dibalik selimutnya. Anggap saja ia tiba-tiba mengalami gangguan pendengaran atau tuli. Ia sedang tidak mood melayani sepupunya yang super menyebalkan itu. Yonghwa mengumpat dalam bahasa Perancis dilanjut dalam bahasa Korea.

“BERSIHKAN SENDIRI ATAU AKAN AKU CABIK-CABIK LUKISANMU YANG ADA DI KAMAR INI!!” lengking Jun-hee di balik selimutnya.

Jung Yonghwa melenguh. Ancaman yang manjur untuk meneror namja itu. Jun-hee tahu betul akan hal itu. Dengan masygul, namja itu membersihkan meja makan yang katanya merupakan masterpiece-nya itu.

***

“Iya, aku tahu!!” desis seorang namja. Ia membuka pintu apartemennya. “Iya, jam tujuh pagi. Ya sudah, aku lelah. Aku ingin tidur.”

Jonghyun menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan baginya. Seminggu lagi, gallery pertamanya akan launching di Korea. Hari-hari sebelumnya ia begitu senang. Senang karena bisa kembali ke Korea selama liburan musim panas. Bahkan di angan-angannya, ia sudah merancang liburan yang selalu ia damba-dambakan di Korea. Entah kenapa, hari ini semangatnya merosot begitu saja. Bahkan ajakan Thomas ke Museum Louvre pun tidak mampu mengusir gundah gulana yang merongrong hatinya. Padahal ia selalu mengemis-ngemis kepada sahabatnya itu untuk diajak ke Museum Louvre demi melihat the Dying Slave dan tentu saja Monalisa. Tapi tidak untuk hari ini. Hari ini, mood-nya benar-benar sedang buruk. Kabar bahwa lukisannya akan dibeli oleh turis asal Itali juga tak kunjung merubah suasana hatinya.

Ia membuka smartphone-nya. Tertegun melihat wallpaper yang menghiasi smartphone-nya. Namja itu mendesah kesal. Ia meletakkan smartphone-nya dan jatuh tertidur hingga esok hari.

***

“Tunggu sebentar Thomas.” seru Jonghyun seraya mengambil baju tanpa lengan dari lemari.

Thomas meracau dalam bahasa Perancis.

“Iya, iya. Aku tahu!” kata Jonghyun, menyadari kesalahannya. Bangun kesiangan.

Thomas hampir mengamuk kalau saja dia tidak menyogoknya dengan iming-iming bahwa Jonghyun akan membelikan album terbaru AOA lengkap dengan tanda tangan semua member-nya. Begitulah, Thomas begitu menggandrungi musik K-pop. Walaupun sahabatnya itu tidak mengerti sama sekali dengan bahasa Korea. Ia hanya suka melihat perempuan Korea yang menurut Thomas begitu seksi dan cantik. Padahal Jonghyun yang berasal dari Korea merasa biasa saja.

“Yang kau pikirkan kan hanya melukisss  saja!!” cela Thomas saat Jonghyun mengeluarkan komentarnya mengenai musik K-pop.

Jonghyun hanya mengamini perkataan Thomas yang memang sesuai dengan kenyataan.

“Kita naik TGV saja ya?” ajak Thomas yang langsung dibalas Jonghyun dengan lirikan tajam.

“Tidak mau!” tolak Jonghyun terang-terangan.

“Ayolah.. Kau jangan sombong begitu,” Thomas merajuk. “Aku tahu kau terbiasa mengendarai mobil hasil jerih payahmu itu..”

“Ah, mulai lagi!” umpat Jongyun, yang sebal mendengar Thomas selalu melebih-lebihkan kekayaannya.

“Maka dari itu, naik TGV saja ya?” rengek Thomas dengan muka memelas.

Jonghyun akhirnya menyerah.

“Baiklah..” membuat Thomas melompat-lompat riang saking senangnya.

“Mau masuk lewat mana?” tanya Thomas, setelah puas melompat-lompat. Ia menghenyakkan tubuhnya di sofa empuk berwarna hitam yang bertengger manis di ruang tengah apartemen Jonghyun.

“Tentu saja lewat Piramida Louvre. Aku ingin melihat Piramida Terbalik juga.” seru Jonghyun dari kamarnya.

Thomas mengangguk, ia melirik sekilas pada smartphone Jonghyun yang diletakkan di meja. Ia tertegun saat layarnya berpendar dan melihat sebuah foto yeoja menghiasi seluruh layarnya.

“Jonghyun..” panggil Thomas memandangi foto yeoja itu.

Wae?” tanya Jonghyun, kepalanya menyembul dari pintu kamarnya. “Ups, maaf. Keceplosan.” Thomas sudah mendelik saat mendengar Jonghyun berbicara dalam bahasa Korea.

“Siapa perempuan ini?” tanya Thomas, mengayunkan smartphone temannya.

Jonghyun keluar dari kamar sambil mengenakan jam tangan di pergelangan tangan kanannya.

“Perempuan?” gumamnya, mengernyitkan dahi. “Siapa?”

Thomas menyodorkan smartphone Jonghyun. Jonghyun menerimanya dan menelan ludah setelah melihat foto yeoja yang dibicarakan Thomas.

“Tidak penting kok. Tak usah dihiraukan.”  Jawab namja itu sekenanya.

Thomas tak pantang menyerah.

“Omong kosong!”cibirnya. “Kalau tak penting tak mungkin kau jadikan wallpaper begitu.”

Jonghyun memilih bungkam.

“Ah, dia pacarmu? Atau jangan-jangan istrimu? Gosip yang..”

“Hentikan!” sela Jonghyun. “Aku sedang tidak mood  membicarakan hal itu.”

Thomas mengangkat bahu.

“Baiklah. Kau sudah siap? Ayo berangkat!”

***

Oppa, tunggu aku!!” teriak Jun-hee sambil mengenakan sepatu hak tinggi-nya.

Yang dipanggil hanya melengos pergi. Yonghwa sama sekali tak memedulikan panggilan Jun-hee yang kemarin malam sudah membuatnya kesal setengah mati. Hatinya benar-benar sudah beku. Suara cempreng Jun-hee tak akan mencairkan hatinya. Tidak akan!!

“Yak! Opaa! Tunggu!!” seru Jun-hee berlari ke arah Yonghwa yang sudah berada di parkiran.

“Mwoya!” gumam Yonghwa, memanyunkan bibirnya.

“Yak! Kenapa jalanmu cepat sekali, eoh?” umpat Jun-hee, yang masih mental dari telinga Yonghwa.

“Kau pergi sendiri ya ke Musѐe du Luvre-nya!” suruh Yonghwa dingin. Ia masuk ke dalam mobilnya.

Jun-hee melongo.

Ye? Sendiri?!” sergahnya. “Apa maksudmu? Aku kan tidak tahu jalan, oppa!” Ia merengek.

“Bukan urusanku!” tukas sepupunya, mengenakan sabuk pengaman.

Jun-hee berkacak pinggang.

 “Kau kenapa, eh? Kau masih marah karena kejadian tadi malam?” todongnya, mulai kesal.

Yonghwa mendengus.

“Kau bodoh kalau tidak tahu.” Umpatnya.

Jun-hee memutar bola matanya. Tangannya ingin sekali menonjok muka namja di depannya.

“Yak! Begitu saja marah. Kau tega sekali kalau meninggalkanku sendirian! Awas saja, akan kuadukan ke Shin-Hye eonni..” ancamnya sambil mengeluarkan smartphone dari saku bajunya. Ia berlagak menelpon Park Shin-Hye, kekasih Yonghwa. “Akan kuadukan bahwa kau selingkuh dengan Maïa eonni.”

Jung Yonghwa tersentak.

Ye? Selingkuh?! Apa maksudmu? Aku dan Maïa kan hanya berteman. Jangan menuduh sembarangan!”

Jun-hee berpura-pura tidak mendengar perkataan sepupunya.

“Wah..” gumamnya. “Kok eonni tidak mengangkat ya?”

Jung Yonghwa mendengus kesal. Park Shin-Hye yang menerima beasiswa di Universitas Sorbone adalah tipikal yeoja pencemburu. Ia sudah sering kewalahan karena amukan kekasihnya setiap ia kepergok sedang berbincang dengan yeoja Perancis. Ia juga tahu betul, kalau hubungan yeoja-chingu-nya dengan Maïa tidak begitu baik. Perang dunia ke tiga bisa-bisa meletus kalau Park Shin-Hye mengamuk lagi.

“Cepat masuk ke mobil!” selorohnya, masih tidak sudi menatap  Jun-hee.

Jun-hee menyingkirkan smartphone dari telinganya.

Ye?” ucapnya dengan ekspresi yang membuat Jung Yonghwa ingin melemparkannya ke sungai Seine. “Kau bicara, Oppa? Aku tidak mendengarmu. Bisa kau ulangi lagi, eoh?”

“Cepat-masuk-mobil!” geramnya dengan rahang mengatup.

Jun-hee tersenyum puas dan masuk ke mobil sepupunya.

Musѐe du Luvre, aku datang!!” serunya lalu tertawa.

“Kalau kau ngomong macam-macam ke Shin-Hye, kau akan kuceburkan ke sungai Seine!” ancam Yonghwa sambil melajukan mobilnya.

Jun-hee hanya nyengir kuda.

***

“Wah.. Daebak! Daebak!!” seru Jonghyun begitu takjub, bergantian melihat Piramida Louvre dan Piramida Terbalik.

Thomas memutar kedua bola matanya.

Please..” gumamnya, melirik tajam pada Jonghyun. “Jangan membuatku malu.”

Jonghyun tidak memedulikan omelan sahabatnya yang sudah pergi mencari minuman dingin. Ia mengambil kertas berukuran A4 dan sebuah pensil yang ujungnya runcing dari ranselnya. Ujung pensil itu bergerak-gerak seiring dengan gerakan tangan Jonghyun. Sesekali matanya memicing menatap piramida itu, lalu kembali menggambar.

“Apa yang kau lakukan, eh?” sergah Thomas yang kembali dengan soft drink di kedua tangannya.

“Selesai, ayo masuk!” jawab Jonghyun memasukkan hasil sketsa dan pensilnya ke dalam tasnya. Ia menyambar soft drink yang diulurkan oleh Thomas lalu buru-buru meminumnya.

“Panas sekali!” keluhnya, mengibas-ngibaskan kaos tanpa lengannya.

Thomas mengangkat bahu lalu memimpin Jonghyun memasuki museum.

***

“Kau pergi keliling sendiri ya?” pinta Yonghwa yang disambut Jun-hee dengan bibir cemberut.

Wae? Memang kau mau pergi kemana?” todong Juniel, merajuk. Ia menatap bangunan megah Museum Louvre dengan penuh damba.

Yonghwa tersenyum lebar membuat Jun-hee mengangkat sebelah alisnya.

“Aku mau kencan dengan Shin-Hye. Mau ke Place de la Concorde, di antara Tuileries Gardens dan Champs Elysées.” Jelas Yonghwa ceria.

“Percuma saja kau menjelaskan panjang lebar, Oppa! Aku juga tidak tahu dimana tempat itu.” omelnya. “Ya sudah pergi sana!”

Yonghwa tersenyum penuh kemenangan.

“Ya besok kau kuantar ke sana. Oh iya, nanti kalau kau sudah selesai telpon aku ya. Nanti aku jemput.” Seru Yonghwa lalu melajukan mobilnya menjauhi Museum Louvre.

Jun-hee hanya melambaikan tangannya lalu berjalan memasuki museum. Ia berhenti sebentar. Dia membuka peta museum Louvre yang diberikan oleh Yonghwa.

“Pergi kemana dulu, ya?” gumamnya sambil menelusuri peta yang dipegangnya. Ia berjalan dengan pandangan masih fokus pada peta itu.

BRUK

Ia terlalu sibuk melihat peta itu sampai jidatnya menubruk sesuatu yang keras. Ia mencium bau harum parfum yang menusuk lubang hidungnya. Rupanya ia menabrak sesosok namja jangkung.

Ah, pardon!” ucapnya menyunggingkan senyum sebagai permintaan maaf kepada orang yang ditabraknya.

“Jun-hee?”

Jun-hee tersentak begitu juga dengan namja yang baru saja menyebut namanya.

“O-o-oppa?” kagetnya, terlambat untuk menyembunyikan senyumnya.

Lee Jonghyun tersenyum simpul.

“Kau ke sini dengan siapa?” tanyanya sambil celingukan mencari punggung Thomas yang sudah menghilang dari pandangan.

“Aku sendiri, oppa.” Ujar Jun-hee tersenyum tipis. “Tadi aku dengan sepupuku, tapi dia mau kencan.”

Mata Jonghyun melebar.

“Sepupu?” selidiknya, memutar otaknya. “Ah, namja yang kemarin itu?” Ada nada lega di suaranya yang sehalus beledu.

Jun-hee mengangguk singkat. Ia menunduk menatap sepatu hak tingginya. Merasakan kecanggungan yang menggantung di antara mereka berdua. Tiba-tiba, suara sepupunya terngiang di kepalanya. Suara Jung Yonghwa seakan menerangi pikirannya yang buram.

“Memang benar. Aku tahu pasti susah jika ada berada di posisimu. Akan tetapi, sikap terbaik yang bisa kau tunjukkan adalah kau harus menerima kenyataan ini. Hadapi masalah ini. Bersikap dingin tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada persahabatanmu dengan busan boy itu akan kandas. Kau ucapkan selamat atas pernikahannya. Menurutku itu cara terbaik, dengan begitu kau bisa mulai untuk melupakannya.”

Yeoja itu menelan ludah lalu berdehem. Aku harus segera menyelesaikan masalah ini, serunya dalam hati.

Oppa...” mulainya.

Thomas benar-benar sudah tertelan puluhan pengunjung yang memadati museum itu, umpat Jonghyun dalam hati. Ia menoleh ke arah Jun-hee. Ekspresi yeoja itu sudah kembali normal. Seperti dua tahun yang lalu. Hangat dan menyenangkan. Ia perhatikan yeoja di depannya seperti ingin mengungkapkan suatu hal yang penting.

Ye?” jawab Jonghyun, menatap Jun-hee lekat-lekat. Senyum masih melekat di wajahnya yang tampan.

Jun-hee menarik napas dalam-dalam.

“O-o-oppa.. Selamat atas pernikahanmu. Maaf aku terlambat mengucapkannya.” katanya dengan senyum yang dipaksakan.

Jonghyun mematung. Tubuhnya yang gerah seakan baru saja disiram dengan air panas bersuhu seratus derajat celcius. Mulutnya kaku, susah untuk sekedar menguarkan kata ‘ya’ atau ‘tidak’.

Chukkhae..” Jun-hee mengulurkan tangan kanannya.

Jonghyun tidak menerima uluran tangan yeoja di depannya. Ia biarkan tangan kanan Jun-hee menggantung di udara.

“P-pernikahan?” gagapnya, setelah menemukan suaranya kembali.

Jun-hee mengangguk mantap.

“Iya, oppa.. Selamat atas pernikahanmu.” Tuturnya membuat muka Jonghyun kuyu.

Di tengah lalu lalang puluhan bahkan mungkin ratusan orang yang memasuki museum Louvre. Di depan Piramida Louvre dan Piramida Terbalik yang megah, Jonghyun masih membeku di tempatnya berdiri. Begitu juga dengan Jun-hee yang masih membiarkan tangannya menggantung di udara. Mengharap cheot sarang-nya ­menerima jabatan tangan dan ungkapan selamat darinya.

_TBC_

RCL please, sekali lagi, saya tunggu kritik, saran juga komentarnya. Thanks #bow J

 

Magelang, 5 Februari-22 Februari 2015

         

Keterangan:

Salut [1], Thomas          : Hi, thomas

Ça va? [2]                     : Apa kabar?

Oui, ça va. Et toi? [3]    : Baik. Dan kamu?

Ça va, merci! Salut [4] :Baik, terima kasih! Bye..

Il est beau.. [5]                  : Dia tampan.

Il est coréenne. [6]        : Dia orang korea.

Pardon, monsieur!! [7] : Maaf, tuan.

Ahh, Salut Maïa. Dèsolèe, je suis en retard. C’est la grève des bus. [8]    : Hi, Maïa. Maaf, aku terlambat. Busnya mogok.

Tu es coréenne?[9]”     : Apakah kamu orang korea?

Oui! [10]                       : Ya!

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK