Suara merdu dentingan piano terdengar dari balik pintu yang sedang kubuka. Sebuah vintage piano tengah dimainkan oleh seseorang berjari jenjang yang menari-nari indah diatas kuncinya, seolah tombol-tombol putih-hitam itu adalah arena dansa. Aku masuk kedalam ruangan berinterior minimalis namun hangat dan nyaman favoritku itu dengan hati-hati, takut derit handle pintu mengganggu konsentrasi sang pianis yang hanya tampak punggungnya dari tempatku berdiri.
“Ayah…”
Seorang pria bermata teduh perlahan menoleh padaku seraya mengembangkan seulas garis senyum lembut penuh wibawa. Garis-garis kerut yang samar terlihat diwajahnya saat tersenyum tidak mampu menutupi keindahan anugerah Tuhan yang diberikan padanya.
Ya, pria itu masih tampak setampan kala ia masih muda. Saat panggung, kilat lampu-lampu dan sorak sorai masih menjadi bagian terhidup dari hidupnya. Pria paling tampan yang pernah kulihat dan yang paling kukagumi di dunia.
Pria itu adalah Ayahku. Seorang musisi, vokalis band rock terkenal yang kini menjadi seorang ayah dari seorang putri yang beranjak remaja, Jung Yonghwa.
Aku menghampirinya. “Ayah, Bibi bilang makan malam sudah siap.”
Ayah mengangguk pelan lalu kembali berfokus pada tuts-tuts piano kesayangannya itu tanpa sedikitpun memudarkan garis senyum berhias sebuah gigi samping bertumpuk yang membuatnya wajahnya tetap tampak imut. Bahkan setelah pensiun dari band yang membesarkan namanya dulu itu, Ayah masih aktif menciptakan lagu untuk bintang-bintang baru.
“Ayah akan segera kesana,” Ia lalu melihat lagi padaku. “Kau pergilah duluan, ya?”
Aku menggeleng. “Aku… ingin makan malam bersama Ayah.”
“Iya..” katanya dengan suara lembut seperti biasanya. “Ayah juga mau, Diamond. Tapi sebentar lagi, ya? Ayah hampir menyelesaikan ini. Oke?” Sebuah ekspresi merayu yang lucu pun muncul dari wajahnya.
Aku tetap menggeleng. Kini tanganku mulai mengait lengan Ayah dan menariknya, tanda memaksa. Ayah tentu paham betul maksudku, jadi ia hanya memperlihatkan sebuah cekikik kecil padaku. Aku juga paham apa yang Ia maksud, artinya rayuanku berhasil.
Alhasil aku membawa Ayah turun ke ruang makan, dimana aroma masakan Bibi tercium lezat menggoda. Bibi yang sedang menata piring diatas meja melihat kami datang dan tersenyum lebar padaku.
“Selamanya tidak bisa meragukan kemampuan merayu uri Ryungie.” Kata Bibi dengan logat Busan-nya yang masih sangat kental meski sudah bertahun-tahun tinggal bersama kami di Seoul. Aku mengedipkan sebelah mata pada Bibi sebagai tanda rencana sukses.
“Kuanggap itu pujian.” Aku terkekeh kecil. Aku merasa patut berbangga, karena hanya akulah yang dapat menarik Ayah keluar dari ruang musik meski Ia sedang sangat sibuk disana.
Hanya aku, sekarang.
Entah mengetahui arti ucapan Bibi atau kedipan mataku tadi atau tidak, Ayah tidak menunjukkan ekspresi apapun kecuali senyum yang sejak tadi dipakainya. Dengan gestur yang sangat normal, Ia menarik sebuah kursi, duduk dan memperhatikan hidangan yang tersaji rapi diatas meja makan.
“Wah, aku jadi lapar…” Kata Ayah sambil mengusap perutnya.
“Memang sudah seharusnya, Yonghwa-ssi. Kamu menghabiskan hampir seharian diatas.” Bibi memberikan mangkuk berisi nasi pada Ayah. “Ada sup kesukaanmu, makanlah yang banyak.”
“Untung ada aku kan, Bi?” Sahutku.
“Iya. Untung ada Ryungie yang pintar dan berbakat merayu.” Bibi bertubuh ramping dan berambut panjang dan indah itu terkekeh kecil menanggapiku. “Akan lebih pintar lagi kalau kau habiskan makanmu, sayang.”
“Kalau begitu lebih baik jangan berikan paprika di makananku.”
“Lebih baik berikan yang banyak dan suruh dia habiskan.” Sela Ayah meledek.
“Ayah!”
Ayah terkekeh. Memang selain kebiasaannya menjabat tangan semua orang yang ditemuinya, salah satu kebiasaannya yang kurasa tidak akan berubah adalah mengisengi orang. Bibi mengambil inisiatif untuk menengahi kami dengan memberikan potongan daging ikan yang diambilnya dengan sangat terampil keatas mangkuk-mangkuk nasi kami.
“Kalian, makanlah yang banyak.”
Menit selanjutnya, kami terdiam sambil menikmati makan malam itu sampai suara Bibi Hyerim memecah menit-menit yang sempat hening itu.
“Yonghwa-ssi..,”
Ayah yang masih sambil mengunyah makanan menoleh padanya dengan sedikit ‘hm’ untuk menyahutinya.
“Untuk 5 hari lagi…”
“Ah,” Ayah menelan makanannya. “Tenang, sudah kuurus semuanya. Kau tidak perlu repot-repot melakukan apapun. Lakukan saja seperti biasa, serahkan padaku. Oke?” Tak lupa sebuah garis senyum mengembang diwajah Ayah. Dan meski hanya sepersekian detik, aku yakin aku menangkap Bibi tampak terpana menatapnya.
“Tapi… Bagaimanapun kakak…”
“Hyerim-ah…”
Aku berusaha mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Paling tidak aku tahu topiknya adalah sebuah acara yang 5 hari lagi akan digelar. Tapi apa yang akan mereka rencanakan berkaitan dengan hal itu, aku berusaha menahan diri untuk bertanya. Lagipula, aku juga tidak punya niat untuk merusak acara makan malam bersama yang damai dan ceria ini hanya demi rasa penasaranku. Momen ini terlalu berharga untuk itu.
Bagiku tidak terlalu mengejutkan mendengar percakapan itu. Lima hari lagi, adalah hari ulang tahunku.
Lima hari lagi juga adalah hari peringatan kematian Ibuku.
***
11 tahun lalu. Musim dingin. Salju yang turun cukup lebat malam ini membuat jalanan macet. Aku baru saja kembali dari konser tunggalku. Jadwal penerbanganku tertunda karena cuaca buruk. Cemas rasanya, karena perjalanan dari bandara menuju rumah masih cukup jauh. Walaupun ingin sekali rasanya keluar dari mobil dan berlari menuju rumah, tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu. Mereka juga pasti akan menahanku. Aku tak punya pilihan.
Istriku menelepon. Katanya Haeryung menangis karena aku tidak kunjung sampai dirumah, padahal pesta ulang tahunnya sudah akan dimulai. Ia kemudian memberikan teleponnya pada Ryungie yang bicaranya sudah sangat lancar pada usia 2 tahun itu. Aku meminta maaf berkali-kali padanya, tapi ia mematikan telepon. Aku menelepon istriku kembali, ia bilang mereka sedang menuju ke bandara karena Ryungie tidak mau memulai pesta tanpa ayahnya. Saat ingin kularang, ia menutup lagi teleponnya. Aku menelepon lagi, tidak diangkat. Aku terus mencoba menghubunginya lagi tapi tak lagi mendapatkan jawaban. Beberapa menit kemudian teleponku berdering. Tapi itu dari bukan istriku.
Telepon itu dari paramedik.
Mereka bilang sebuah truk menabrak mobil istriku.
Aku sampai. Bukan di rumah, tapi di lokasi kejadian. Aku masih sempat menggenggam tangan istriku di dalam ambulans. Ia hampir tak bernafas, tapi bukan rasa sakit yang terpikir olehnya. Nama Haeryung, buah hati kami, terus terucap olehnya lebih banyak dari nafas yang bisa dihelanya. Aku bilang padanya Haeryung selamat dan tidak mengalami banyak luka, ia sudah dibawa ke rumah sakit terdekat. Istriku tersenyum mendengarnya. Senyumnya, begitu indah. Seperti malaikat. Ia menggenggam tanganku erat dan berkata…
“Ini hari ulang tahunnya. Ia ingin ayahnya di pestanya. Kumohon padamu, jangan ada hal sedih di hari ulang tahunnya. “
“Aku… menyayangi kalian.”
***
“SELAMAT ULANG TAHUN!”
Ayah mengecup pipiku disusul oleh Bibi Hyerim di pipi lainnya lagi. Sebuah kue dengan warna-warna manis bertuliskan namaku diatasnya ada di atas meja ditengah kami. Karin, Eunsoo, serta si kecil kembar Jungri dan Jungki— anak Paman Jonghyun, Paman Minhyuk dan Paman Jungshin, teman-teman Ayah — yang juga teman-teman baikku bertepuk tangan dengan meriah.
“Make a wish dan tiup lilinnya, sayang!” Seru Bibi Hyerim. Aku menurut. Kupejamkan mataku perlahan, berbisik dalam hati dan mulai meniup lilin berbentuk angka 13 itu. Mereka bersorak setelah semua lilin padam.
“Kue! Kue!” Seru si kembar membuat kami tertawa. Bibi Hyerim lalu memberikanku sebuah pisau untuk memtong kue itu.
“Potongan pertama… aku berikan untuk….” Aku menaruh sepotong kue diatas piring kecil dan hendak memberikannya pada ayah yang juga sudah siap menerimanya.
“…..untuk Bibi!” Kuterbangkan piring itu kepada Bibi Hyerim yang tak menyangka aku akan melakukan itu. Kami semua lalu tertawa karena wajah cemberut ayah.
“Jangan marah, Ayah. Soalnya kan, Bibi yang merawatku setiap hari. Yang ini, untuk Ayahku yang paling tampan sedunia.” Kataku padanya sambil memberikan piring kedua dan menjulurkan lidahku.
“Siapa yang marah?” Kata ayah masih dengan wajah cemberut yang lucu. Seisi ruangan kembali tertawa dibuatnya. Aku lalu melanjutkan memberikan kue pada para teman-teman kecilku yang sudah berebut untuk mendapatkan kue.
Aku lalu mengambil sepotong kue lagi dan menaruhnya diatas piring dengan rapi.
“Ryungie, mau kemana?” Tanya ayah yang ternyata memperhatikan gerikku. Aku sengaja tak menjawabnya, dan berjalan menuju sebuah meja yang tertata rapi, dengan foto-foto Ibu. Melihatku berjalan kesana, semuanya terdiam.
“Ryungie…..” panggil Bibi Hyerim sangat pelan.
Aku membungkukkan badanku didepan sebuah bingkai besar yang menghias foto ibu.
“Ibu… Hari ini aku berulang tahun lagi. Terima kasih, telah melahirkanku dan memberikan hidupmu untukku.”
Suasana haru sekejap menyeruak di ruangan itu.
“Maafkan aku, Bu. Karena aku, Ibu…. Karena tidak ingin membuatku bersedih di hari ulang tahunku, Ayah dan Bibi tidak berani memperingati hari peninggalanmu.”
“Diamond…” Suara ayah di belakang sana terdengar lirih.
“Aku janji tidak akan menyia-nyiakan hidup yang telah Ibu berikan padaku. Tapi sekarang aku bukan anak kecil lagi. Kali ini…” Aku membungkukkan badan lebih dalam.
“Kali ini, izinkan kami memperingati hari kematianmu juga.” Aku mengorek sakuku dan mengeluarkan setangkai bunga terompet berwarna ungu dan menaruhnya didekat piring kue tadi.
“Kali ini juga, aku tidak ingin hadiah. Aku ingin meminta izin Ibu untuk sebuah permintaan. Bibi Hyerim, meski ia bukan Ibuku sendiri, ia merawatku dengan sangat baik dan tidak kenal lelah. Meski Bibi Hyerim bukan Ibu, sepenginggal Ibu, ia membuatku merasa tak kehilangan sosok Ibu.”
“Ryungie….” Panggil Bibi pelan. Ia tidak menghampiriku. tapi hanya dengan mendengar suaranya, aku tahu Bibi tengah menangis.
“Meski Bibi adalah adik Ibu… aku mohon, Ibu.. izinkanlah Bibi, menjadi penggantimu, disisi Ayah. Karena aku tahu, Bibi mencintai Ayah, seperti Ibu mencintainya.”
Aku bisa merasakan Bibi berlari kearahku dan memelukku erat. Airmatanya mengalir deras. Beberapa kali ia memanggil namaku disela isak lirihnya. Ayah menyusul, mendekap kami berdua sambil menatap langit-langit. Tanpa terucap, aku tahu, ayah menyembunyikan airmatanya seperti biasanya.
Ibu, sepeninggalmu, aku menderita. Aku kesakitan karena merindukanmu. Aku rapuh tanpamu. Tapi aku tahu yang terlihat kuat sebenarnya adalah yang paling rapuh. Ayah, yang sangat mencintaimu. Dan juga Bibi Hyerim, adikmu, yang telah merelakan cintanya pada dua orang yang disayanginya demi kebaikan. Merekalah yang hatinya berdarah setelah kau pergi. Tapi mereka berusaha sekuatnya untuk menyembunyikan luka itu. Luka yang terlalu dalam untuk tak kuketahui. Kali ini aku ingin orang-orang yang paling menderita ini, merasakan sedikit kebahagiaan yang bisa kubagi.
Ibu…
Ibu tentu ingin semuanya bahagia, kan? Seperti aku?
“Jung Haeryung…”
Ayah mengelus wajahku pelan. Ia tidak berbicara, tapi tatapan matanya mengatakan segala yang ada didalam hatinya. Aku mengangguk pelan.
“Aku sayang Ayah.”
*Tamat*