Langkahnya tegap membelah keramaian. Dagunya naik dengan arah pandang lurus ke depan. Stiletto tinggi yang dikenakannya beradu dengan kerasnya lantai marmer menciptakan suara konstan sepanjang kaki jenjangnya melangkah. Berbalut kemeja tanpa lengan warna putih gading yang dirangkap oleh blazer warna biru tua, celana jeans warna hitam panjang mencapai mata kaki, juga hand back warna biru senada di tangannya, mempercantik penampilannya sore ini.
Hanya sebuah senyum pias yang gadis itu sunggingkan tak kala beberapa wajah yang masih diingat kepalanya melempar senyum padanya. Selebihnya, ia kembali memasang wajah dingin yang meninggalkan kesan tak peduli dengan keramaian dalam aula berukuran 200m2 itu.
Jalannya terhenti pada sebuah meja yang menyediakan beberapa jenis minuman. Berniat membasahi tenggorokannya yang terasa kering, gadis itu menjulurkan tangannya mengapai gelas sampanye dari atas meja. Lalu sekejap, mengirim beberapa teguk minuman anggur putih bergelembung tersebut ke perutnya.
“Jung Soo-yeon ssi?” Gadis itu berbalik. Wajahnya mengernyit menatap lelaki yang baru saja menyapanya. “Cha Hak-yeon.” Ucap lelaki itu kemudian, seakan tahu bahwa gadis di depannya sedang kebingungan.
“Ahh~” Soo-yeon sedikit membuka mulutnya. Gumpalan lembek di otaknya menyodorkan ingatannya tentang seorang Direktur muda yang terlalu percaya diri menyombongkan kekuasaannya pada saat penawaran kerjasama dengan perusahaannya. “Cowon system, Inc. Deoryonim.” Ucapnya.
Lelaki itu tertawa kecil. “Aku tidak menyangka anda alumni Hannyoung high school ini, Soo-yeon ssi.”
Soo-yeon hanya mengedikkan bahu pelan. “Aku juga tidak pernah melihat anda di acara-acara sekolah sebelumnya. Sulit percaya melihat pemimpin perusahaan sesibuk anda mempunyai waktu mendatangi acara reuni seperti ini.” Soo-yeon membual. Ini adalah pertama kalinya dirinya datang memenuhi undangan sekolah masa SMA-nya. Sebelumnya, ia hanya melempar lembar undangan itu ke tong sampah bahkan sebelum membaca isinya.
“Tidak, tidak, tidak. Aku menghabisakan masa remajaku di Japan bersama nenekku. Disini, aku datang menemani adik perempuanku.”
Apa peduliku?
“Dan berhubungan tanpa sengaja bertemu dengan Direktur utama Hynix Semiconductor, Inc. di tempat ini, aku ingin menanyakan alasan penolakan pengajuan proposal kerja sama yang perusahaanku tawarkan beberapa waktu silam. Sepertinya ada yang salah dengan kinerja karyawan perusahaan anda.” Lelaki itu kemudian meneguk cocktail dari gelas di tangannya. “Kusarankan kau menganti pekerjamu yang berotak dibawah rata-rata itu, Jung sajang-nim.”
Soo-yeon menarik bibirnya satu sudut setelah menaruh gelas yang sudah ditandaskan isinya di atas meja. Ia menatap laki-laki itu dengan pandangan yang sulit di artikan oleh lawan bicaranya. “Terimakasih atas sarannya, tapi itu adalah keputusan final dariku. Asal tahu saja, Cha Hak-yeong ssi, proposalmu benar-benar buruk. Dan aku tidak akan mengambil kerja sama yang tidak memberi profit besar terhadap perusahaanku. Permisi.” Ucapnya. Lantas menarik kakinya menjauh dari lelaki itu. Jika satu menit ke depan dirinya masih menatap wajah lelaki tersebut, ia tidak akan tahan menahan umpatannya yang terselubung atau isi perutnya yang mendorong memaksa ingin keluar.
“Soo-yeon ah!”
Gadis itu menghentikan kakinya. Suara yang masuk gendang telinganya membuat tubuhnya menegang. Wajahnya semakin dingin dengan rahang yang mengeras kaku. Ia tidak ingin membalik tubuhnya, tapi jika ia tidak melakukan itu, itu berati-
“Oraen-maniya, Soo-yeon ah.” Dua tubuh di depannya bergantian memeluk tubuhnya. Membuat darah dalam tubuh sang pemilik mendidih. “Aku sudah yakin jika reuni kali ini kau akan datang,” ucap seorang gadis sembari melepaskan pelukannya pada tubuh Soo-yeon “Kau tahu, Betapa susahnya kami ingin bertemu denganmu? Mencoba menghubungi nomer-mu tapi yang menjawab hanya suara operator, datang ke kantomu tapi security tak mengijinkan masuk, ke rumahmu namun para Ahjumma itu mengatakan kau sedang tak ada di rumah, Ahh- itu benar-benar menguras tenaga.”
“Kami merindukanmu, Jung Soo-yeon.”
Soo-yeon merasa kesusahan menelan ludahnya sendiri. Seakan-akan tenggorokan telah penuh oleh oksigennya yang tersangkut disana. Seberapa kuat ia berusaha tak pernah mengingat kenangan-kenangan masa lalu itu, menghindar dari menatap wajah keduanya, hingga membuang semua barang-barang yang mengingatkan tentang persahabatan mereka dulu. Namun tetap saja dua wajah tak asing di depannya tidak bisa hilang dari ingatannya. Dua orang teman yang dulu pernah ia anggap sebagai keluarganya sendiri dan yang paling dikasihaninya. Benar, rasanya sangat sakit saat ia tahu sahabat yang menjadi kekasihnya, selingkuh dengan sahabat perempuannya.
“Bulan depan kami akan menikah, kuharap kau datang dan berdoa untuk kebahagiaan kami.”
Soo-yeon mengangkat sebelah alisnya. “Apa aku mengenal kalian?”
Penghianat!
-oOo-
“Hwang In-deok!”
Dadanya naik turun bersamaan dengan deru nafasnya yang keluar memburu lewat mulut. Gadis itu menatap jengah pada pemuda yang berdiri berkacak pinggang memunggunginya. Kilatan merah dari dua matanya yang sipit, menjabarkan kalau gadis itu tak mampu menggali lebih lagi ke dalam hatinya guna mengubur kekesalan yang tengah melandanya. Emosinya berada ditingkat akut yang menyebabkan darah di kepalanya mendidih, meletup-letup, menyeruak tak terkendali.
Mengesampingkan fakta bahwa sepatutnya ia melindungi dan menjaga pemuda itu, ia bisa saja melempar vas bunga yang ada di atas meja tak jauh dari dari tempatnya berdiri, atau menendang kaki meja yang menjadi satu-satunya penghalang dirinya dengan pemuda bernama In-deok itu. Tapi ia tak mungkin melakukannya. Karena pemuda itu saudaranya. Adik kandung yang tabiatnya tak jauh beda dengan dirinya.
Hwang Mi-young masih akan memaklumi adiknya itu jika yang dilakukannya hanya sekedar pulang malam –asal tidak dengan bau busuk keluar dari mulutnya, atau mengabaikan tugas sekolahnya yang berakhir dengan dirinya merengek meminta Mi-young untuk datang memenuhi pangilan wali kelasnya. Namun tidak masalah ini. Ketika seorang gadis berseragam datang ke rumah dan mengaku bahwa adiknya mengambil paksa uang sekolah milik gadis itu. Mi-young tidak bisa memakluminya.
Hati Mi-young merasa tersayat. Mereka memang tidak terlahir dari rahim seorang Chaebol yang dikelilingi harta. Juga kepergian kedua orang tuanya dalam kebakaran kereta bawah dua tahun silam tidak meninggalkan warisan ataupun asuransi yang bisa mereka jadikan untuk pegangan hidup. Tapi bekerja keras tanpa mempedulikan cibiran orang di sekelilingnya dengan satu tujuhan memenuhi kebetuhan hidup mereka berdua, bukan hal mudah yang dilakukan oleh Mi-young.
Gadis itu mengorbankan seluruh waktunya untuk adik laki-lakinya. Tanpa peduli rasa lelah yang menimpa pundaknya, seberapa banyak gunjingan yang ia dengar dari tetangganya saat ia kedapatan pulang malam menjelang pagi tiap harinya, atau pun rasa kantuk yang mendera matanya saat ia mengikuti kelas pagi hari, semua itu dilakukan untuk adiknya. Untuk seorang Hwang In-deok satu-satunya harta terbesar yang dimilikinya.
“Sudah kukatakan aku tidak melakukannya!”
Mi-young mengeram kesal. Ia menatap In-deok yang kini sudah membalik tubuh menghadap ke arahnya. “Jadi sekarang kau berusaha mengakatakan kalau adikku yang tampan ini punya saudara kembar, huh?!” sakrasnya. Ia mengikat rambutnya menjadi satu gelungan berantakan di belakang kepala. “Ah- sepertinya aku harus pergi ke rumah sakit untuk memastikan kalau selama ini aku tak menyia-nyiakan adikku yang lain.”
“Young!”
Mi-young mengatur napasnya. Warna merah di wajahnya perlahan menghilang seiring napasnya yang mulai teratur. “Katakan pada teman perempuanmu, dalam dua hari aku akan menganti uangnya yang kau ambil.” Mi-young membungkuk mengambil tasnya yang tergeletak di atas lantai. Anak rambut depannya yang keluar dari ikatan, jatuh menutupi sebagian matanya. “Dan juga, katakan padanya untuk tidak datang lagi kemari. Itu membuatnya terlihat sedikit tak punya harga diri saat kau menendang tubuhnya keluar.”
“Jangan percaya dengan ucapan gadis itu!” teriak In-deok. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah Mi-young dan berhenti pada dua langkah lebarnya. “Bukan urusanku. Gadis itu memang sudah tidak punya harga diri sejak awal,” lalu memeluk tubuh kakak perempuannya penuh sayang, “tidak sepertimu, Noona.”
Penjilat!
-oOo-
Namanya Cho Kyuhyun. Pemuda beruntung yang tak hanya dianugerahi tampang rupawan, namun juga kemampuan akademik yang menjanjikan. Penampilannya bukan sekedar cangkang emas yang dirinya pamerkan untuk menjerat korban-korbannya. Karena menurutnya, tampan adalah takdirku.
Tidak perlu lagi dipertanyakan seberapa besar pengaruh akan pesonanya dalam memporak-porandakan keteguhan gadis-gadis di universitasnya. Mereka dengan sukarela melempar diri sendiri ke pelukan pemuda itu, meski sudah tahu jika pada akhirnya mereka hanya akan mendapatkan goresan luka di balik dadanya.
“Ya, bukankah itu Park Gyu-ri?”
Kyuhyun memutar kepalanya pada arah jarum jam sembilan dari tempatnya duduk. Ia sedang bersama Lee Joon menikmati sarapan pagi di cafeteria yang tidak sempat dilakukannya di rumah karena suara bising dari mulut lelaki cerewet yang dirasa tidak pernah lelah memberikan petuah-petuah padanya.
“Sepertinya dia belum melihatmu.”
Kyuhyun kembali menatap Lee Joon sebelum mengedikkan bahu acuh kepadanya. “Dia sedang pura-pura tidak melihatku.” Ucapnya. Lalu menyuapkan satu jendok penuh bibimbab ke dalam mulutnya.
“Wae?”
“Aku mengakiri hubungan dengannya tadi malam.” Jelasnya, sambil mulutnya terus menguyah. “Dia memakiku dan meninggalkanku begitu saja di café, yang sialnya aku datang bersamanya dengan menggunakan mobilnya.” Lee Joon nyaris tersedak jika ia tidak cepat-cepat meraih paper cup di depannya. Ia sudah ingin tertawa namun urung saat mata Kyuhyun melotot kepadanya. “Hanya sedang tidak beruntung, asal kau tahu.”
Yah, memang sedang tidak beruntung. Dan kalaupun Kyuhyun mau, dirinya bisa saja dengan mudah menelpon salah satu gadis yang dengan rela hati mau menjemput kemudian mengantar ia pulang. Tapi masalahnya, ia tidak melakukan itu. laki-laki itu memilih menghabiskan malam dengan menyelusuri jalan. Seperti dulu.
“Ya, ya, ya,” Lee Joon menyenggol lengan Kyuhyun pelan. “Gyu-ri menatap kemari.”
Kyuhyun tersenyum kecil. “Percaya padaku, dalam hitungan ketiga, gadis itu akan meneriakkan namaku.”
“Seyakin itu?” Lee Joon mencibir. “Baiklah, ayo kita buktikan.”
Satu
Dua
Ti-
“Young!” Kyuhyun mengacungkan tangannya melambai pada gadis yang tengah mengantri di salah satu stand pancake. “Disini!” Serunya saat melihat kepala dan mata gadis itu memutar mencari sumber suara. Melupakan fakta bahwa sesaat yang lalu ia ingin membuktikan pada Lee Joon kebenaran ucapannya.
Kyuhyun mengamati raut wajah gadis yang berdiri di ujung meja. Wajah pucat yang masih ketara meski sedikit tertutup warna merah muda di tulang pipinya, warna hitam di bawah mata yang semakin terlihat jelas tiap harinya, juga mata sayu yang memperkuat alibinya kalau gadis itu terjaga sepanjang malam. “Berapa jam kau tidur?”
“Seperti biasa.”
Kyuhyun mencibik. “Apa gunanya berbohong pada calon dokter sepertiku, huh?” sinisnya, lantas menaruh sendok makannya di mangkuk sebelum mengacungkan jari telunjuknya. “Hanya melihat matamu saja, aku sudah tahu kalau kau tidur kurang dari tiga jam. Dan aku juga yakin jika dua matamu itu bisa bicara, mereka sudah minta ganti kepemilikan.”
“Menyombong lagi, hem?” keluh gadis itu. Sebelah tangannya mendekap buku, sedang yang lain ia sembunyikan di balik sweetenya yang panjang. “Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk bangun pagi tadi. Jadi kumohon, jangan buat aku kembali mengantuk karena suaramu itu, Kyu. Kau tahu, kepalaku rasanya seperti akan meledak sekarang.”
“Cis,” Kyuhyun mendesis. “Aku sudah sering mendengarnya.” Ucapnya. Kemudian tangannya terjulur mengaduk isi tasnya, mengambil botol bening yang tak pernah lupa ia bawa. “Buka mulutmu.”
“Lagi?!”
Kyuhyun tak menanggapi pekikan tak mau dari mulut gadis itu, hanya menarik lengannya dan menundukkan tubuh tersebut di sampingnya. Kedua tangannya sudah siap dengan tablet obat yang ia pegang di ujung jari telunjuk dan ibu jarinya tangan kirinya, sedang tangan kanannya sudah memegang gelas air putih miliknya. “Anemia-mu tidak bisa ditolelir, Young. Buka sendiri mulutmu atau memilih aku yang membuka mulutmu dengan caraku?”
“Brengsek!” umpat gadis itu. Membuat Lee Joon yang sedari tadi duduk tenang menikmati sarapannya tertawa keras.
Kyuhyun menyungingkan senyum smirk-nya begitu tablet obat yang tadi ditangannya kini sudah berpindah ke mulut gadis itu. Tangan kirinya yang bebas mengusap pucuk kepala gadis itu sementara tangan kananya sibuk memegangi gelas yang ujungnya tengah menempel di bibir gadis tersebut. “Gadis pintar,” ejeknya.
“Kau tahu, kau lebih pantas jadi ayahku dibanding jadi temanku, Cho Kyuhyun.”
Sialan!
-oOo-
Raut wajahnya gelisah. Jari-jemarinya di ketuk-ketukkan cepat di atas meja sementara tangan kirinya memegangi ponsel yang kini menempel di telinganya. Kentara sekali lelaki itu sedang sebal dengan seorang yang ditunggunya yang melupakan perkara penting hari ini.
Ia sudah berusaha menghubungi gadis itu berkali-kali –mungkin ini yang kedelapan kalinya, namun terus berakhir dengan nada ‘beep’ yang menghubungkan dengan pesan suara. Hingga akhirnya ia memutuskan pada nada beep yang baru saja masuk ke telingannya, adalah nada beep terakhir yang di dengarnya malam ini.
Kepalanya menunduk. Menatap dua cincin jarum jam yang melingkar di tangannya, yang kini sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Dan itu menandakan bahwa tiga puluh menit lagi hari itu akan berakhir.
“Permisi, apa pesanan anda bisa kami suguhkan sekarang?”
Lelaki itu menggeleng pelan. “Nanti saja, tunggu sebentar lagi.” Tolaknya. Kendati ia merasa sebal, namun ia masih berharap pada menit-menit terakhir nanti, gadis yang ditunggunya datang.
Ia menyandarkan punggungnya di kursi. Matanya menerawang menembus kaca lounge yang mulai berembun. Sebelum bertemu dengan-nya, lelaki itu tak pernah menganggap tanggal ini berarti. Hanya sebuah angka, pada satu hari, di bulan Agustus, dan tentu saja musim gugur. Tidak ada kesan mendalam memaknai hari ini, juga tidak ada permohonan pada tengah malam. Dulu.
Namun tidak dengan sekarang. Disaat lelaki seumurannya sudah tak mempedulikan bahkan melupakan hari seperti itu, ia malah ingin menghabiskan satu hari penuh tersebut dengan senyum. Senyum dimana membuat perutnya kenyang serasa ingin pecah.
Matanya mengitari tiap sudut ruangan. Menemukan bahwa hanya tersisa dirinya sebagai pengunjung lounge malam ini. Tersenyum masam, ia mengangkat sebelah tangannya ke atas. “Tolong berikan aku bill-nya.”
Bahunya merosot seiring langkahnya yang lemah melangkah meninggalkan lounge. Tiba di mobilnya, ia bersandar sejenak di balik pintu Audi hitamnya. Menegadahkan kepala menatap langit, ia membuang napas keras. “Kau tak pernah berhenti membuatku khawatir, Jung Soo-yeon.”
Getar ponsel di saku jasnya, mengembalikan kesadaran lelaki itu cepat. Ditatap layar menyala tersebut sebelum jarinya mengeser icon hijau bergambar gagang telepon. “Yoboseo?” sapanya.
“Hyung, kau sedang bersama Soo-yeon?”
Mendengar pertanyaan dari ujung sambungan, laki-laki itu menunduk sembari sebelah tangannya mengusap belakang lehernya. “Oeh, aku baru saja mengantarnya pulang. Wae-yo?”
Bohong.
“Tidak, hanya merindukanmu.”
Ia tertawa kecil. “Kau ingin aku cepat pulang, huh?” Tanyannya. Laki-laki itu masuk ke dalam mobil kemudian bersiap memasang seatbelt menyilang dadanya. “Memangnya kau tak pergi dengan gadis- gadismu itu?”
“Aku bosan. Malam ini hanya ingin bersama kakakku saja.”
“Arraseo.” Balasnya. Tubuhnya memutar ke belakang sementara kepalanya miring menahan ponsel yang menempel diantara bahu dan telinganya. “Kau ingin aku membelikan wine sebelum aku pulang? kurasa mini market di ujung gang menjual beberapa.”
“Tidak usah, masih ada persediaan di lemari. Kau langsung pulang saja.”
“Okay, sampai ketemu nanti.” Ucapnya, dengan mobil mulai meluncur meninggalkan area parkir membelah kegelapan. Dan sesaat sebelum tangannya menekan tombol merah, suara di seberang kembali menyerukan namanya. “Apa lagi?”
“Saengil chukae, Kim Jong Woon.”
“Hah!” Ia mendegus. “Kau memberiku selamat sementara hari ulang tahunku sudah berlalu sepuluh menit yang lalu.”
“Ya, ini bukan pertama kalinya aku melakukan itu. Aku selalu menjadi orang terakhir yang mengucapkannya, kau tidak sadar?”
“Mana mungkin aku tidak sadar, kau membuatku kesal tiap kali kau memberiku ucapan selamat padaku.” Ucapnya. Membuat lelai di ujung sambungan terkekeh, yang sekejap membuatnya merasa tak kesepian. “Tapi sampai sekarang aku tidak tahu alasanmu selalu menjadi yang terakhir.”
“Tidak ada alasan yang berarti. Hanya jika suatu saat orang-orang di sekitarmu sudah tak lagi peduli padamu dan membuangmu, kau masih memilikiku yang sampai akhir bisa kau andalkan.”
“Sialan! Kau hampir membuatku menangis karena bualanmu.”
“<strong>Cengeng.”
“Tapi sayangnya, tahun ini kau orang pertama yang mengucapkannya, Cho Kyuhyun.”
Terimakasih.
-oOo-