Taehyung belum pernah merasa semarah ini.
Hatinya bergejolak, perasaannya berkecamuk. Dadanya terasa panas dan sesak. Umpama api berkobar di dalamnya. Riak-riak kebencian muncul. Bagaikan tunas yang tumbuh, memecah tanah dan keluar menampakkan rupanya. Perasaannya tidak keruan. Seperti ada badai yang menerjang dan mengacaukan semua emosinya. Dalam hati, ia memaki-maki dirinya sendiri.
Ralat, kehidupannya.
Taehyung tidak pernah suka dengan kehidupannya.
Tidak, sebagian besar kehidupannya.
Lebih tepatnya bagian kecil yang berperan besar dalam kehidupannya.
Apapun itulah. Yang penting, ia benar-benar tidak suka. Sangat tidak suka.
Wajah Taehyung menengadah ke atas, menatap langit kelabu. Mendung bak suasana hatinya. Suara gemuruh mulai terdengar. Awan-awan hitam yang bergumpal-gumpal menghiasi langit, siap menurunkan hujan lebat.
Atau air mata.
Sejak kecil, Taehyung percaya bahwa langit menangis, burung-burung berbicara, angin berbisik, kupu-kupu menari, dan gunung menumpahkan amarahnya. Ia percaya bahwa alam berbicara, alam mendengarnya. Ia juga percaya bahwa alam mengerti apa isi hatinya.
Dan Taehyung jauh lebih percaya pada alam ketimbang siapapun.
Ya, bahkan ia lebih percaya pada alam ketimbang orangtuanya.
Karena sesungguhnya ...
...
...
...
Taehyung membenci orangtuanya lebih dari apapun.
***
Anggaplah Taehyung seorang Buddha.
Ia selalu memaafkan kesalahan orang lain. Begitu adil, begitu sempurna. Tak hanya fisiknya yang hampir tanpa cacat sedikit pun, hatinya juga begitu. Begitu tulus dan lembut. Kepribadiannya hangat. Seorang yang dinilai sungguh jenius untuk ukuran anak SMA. Wajahnya tampan. Punya banyak teman.
Apakah yang kurang?
Orangtua.
Seharusnya, ayah dan ibunya merupakan tempatnya untuk bersandar. Tetapi, mereka tidak pernah ada untuk Taehyung. Sepasang manusia yang seharusnya menjadi payung bagi Taehyung tidak pernah menjalankan tugasnya dengan baik.
Mungkin pernah, setidaknya sampai Taehyung cukup umur untuk masuk ke sekolah dasar. Sampai anak laki-laki itu duduk di bangku kelas satu SD.
Betapa irinya dia ketika teman-temannya duduk bersama kedua orangtua mereka saat festival olahraga. Sedangkan Taehyung hanya duduk berdua dengan kakaknya, tanpa ayah maupun ibu mereka. Taehyung hanya dapat menatap kakaknya dengan tatapan sedih yang akan dibalas kakaknya dengan sebuah pelukan hangat.
Pertemuan orangtua murid merupakan acara yang paling dibenci Taehyung—selain festival olahraga. Orangtuanya tak pernah hadir. Kakaknya yang selalu menggantikan keduanya. Ia mengorbankan kuliahnya hanya untuk menghadiri pertemuan bodoh yang bahkan tidak diingat orangtuanya. Selalu kakaknya yang datang.
Kakak yang juga bodoh, sama seperti orangtuanya.
Bodoh karena menyelamatkan nyawa ayahnya. Kim Seokjin, anak sulung dari Tuan dan Nyonya Kim, mendorong Tuan Kim hingga terpental ke trotoar dan membiarkan truk besar itu menabraknya. Kecelakaan yang membuatnya koma selama berbulan-bulan dan masih berlanjut sampai sekarang.
Semua orang benar-benar bodoh.
Tidak berguna.
Sampah.
Termasuk diri Taehyung sendiri.
***
Hidup ini tidak adil.
Itulah hasil dari pemikiran Taehyung selama ini. Hasil dari apa yang telah ia alami setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini.
Ralat, Taehyung tidak hidup di dunia ini, ia hidup di dalam fantasinya.
Fantasinya akan dunia yang tidak masuk akal dan terlalu imajinatif. Dunia yang hanya ada di dalam pikirannya, membuatnya terkurung di dalamnya dan tidak pernah bisa menerima kenyataan.
Taehyung benci realita.
Realita, dunia yang penuh dengan kepastian dan minim kebahagiaan—setidaknya, untuk Taehyung. Penuh dengan angka dan ilmu pasti. Setiap partikel di dunia ini tersusun sedemikian rupa, membentuk sebuah kemistri antar satu sama lain. Dunia ini tersusun secara rapi, praktis, sistematis. Dikekang aturan, dicambuk hukuman.
Kenyataan diumpamakan sebagai musik klasik. Menuntut intelektual dan teknik yang tinggi. Lengket dengan aturan. Setiap komponen mempunyai tugasnya masing-masing dan tidak boleh mengganggu komponen yang lain, layaknya orkestra. Kombinasi dari berbagai aturan, teknik, intelektual, dan komponen itu menghasilkan alunan musik yang indah dan sedap untuk didengar. Tak heran, musik ini begitu diagung-agungkan umat manusia. Bagaikan dunia ini, diagungkan dengan terlalu berlebihan.
Tetapi, imajinasi tidak begitu.
Semuanya abstrak, namun indah. Laksana lukisan seorang balita, seburuk apapun kelihatannya, lukisan itu tetaplah seni. Imajinasi bagaikan barang yang tak ternilai harganya. Begitu agung, begitu mistis. Fantasi tersusun secara abstrak, penuh tantangan, dan tidak pernah membosankan. Persetan dengan ilmu pasti, atom, dan tetek bengeknya. Dunia ini tidak perlu tersusun secara sistematis, setiap bagiannya sudah berhubungan dan membentuk sebuah kemistri. Lebih indah daripada apapun. Lebih indah dari realita.
Jika diperbolehkan Tuhan, Taehyung lebih memilih untuk tinggal di fantasinya.
Taehyung bagaikan avatar dari dunia penuh keabstrakan.
Lord of the Abstraction, itulah Kim Taehyung.
To be continued.