Genre: YAOI, Sad, Romance
Mereka mungkin tidak tahu, saat mereka menghujat Luhan dengan kritik yang begitu kasar—membuat telingamu panas mendengarkannya, Luhan tak pernah peduli. Ada Sehun yang membuatnya tuli akan ocehan para pembencinya. Saat ia membuka mata di pagi hari hingga saat ia ingin segera merebahkan tubuhnya ke atas kasur, Sehun selalu ada. Bahkan saat ia marah pada Sehun, tidak pernah sedikitpun Sehun berpikir untuk menjauhi Luhan.
Luhan, dimana kau letakkan magnet ditubuh Sehun?
Hingga detik ini Sehun tidak pernah tahu, dan ia memang tak pernah ingin tahu.
Saat cinta yang tidak normal mengikat mereka dengan erat, Luhan dan Sehun tidak pernah merasa menyesal akan pertemuan mereka. Luhan melengkapi Sehun, begitu pula sebaliknya.
Mereka suka yang klasik.
Menonton film tua sambil memakan semangkuk besar Popcorn bersama. Saling berpelukan dibalik selimut bermotif bunga-bunga milik Luhan. Sesekali mereka tertawa kecil saat para aktor bertingkah lucu dan manis. Ini semua lebih dari apa yang mereka harapkan.
Tidak butuh sebuah pengakuan atas hubungan mereka. Luhan dan Sehun hanya ingin dihargai atas nama cinta mereka.
Bukan menatap mereka dengan sinis saat tangan mereka saling bertautan.
Bukan rasa jijik saat melihat bibir mereka saling bersentuhan.
Hanya sebuah perlakuan adil. Apa sangat sulit?
---
LUHAN POV
“Sehun-ah,” panggilku lembut.
Sehun menoleh sekilas sementara tangannya masih cekatan memotong sayuran yang akan kami masak.
“Tadi aku bertemu ibu.” Kataku sedikit ragu.
Suara pisau yang beradu dengan talenan kayu itu tiba-tiba berhenti. Ia tidak berbalik dan menatapku kemudian bertanya tentang hal-hal yang kupikir akan ia tanyakan.
“Oh, ya?” responnya sedemikan datar.
Sehun menghampiriku, mengambil sayuran yang baru saja aku cuci. Kemudian kembali melakukan aktifitas memotong sayur tanpa memandangiku sedikitpun. Sehun tak pernah suka saat aku membicarakan tentang orangtua kami. Tentu saja, karena mereka yang pertama kali menentang hubungan kami.
“Ibu ingin mengundangmu makan malam. Bukankah ini bagus? Mungkin saja ibu sudah berubah pikiran dan akhirnya merestui hubungan kita.” Ungkapku dengan perasaan senang. Kupikir ia akan senang.
“Jangan terlalu berharap.”
Singkat, dingin, dan menusuk. Ini seperti ditusuk pisau lalu ditarik lalu ditusuk lagi. Aku memilih bungkam. Kalaupun aku bertanya, “kau kenapa, sih?” ia pasti akan menjawab, “aku tidak apa-apa.” Dan itu pastinya akan membuat darahku naik.
Mungkin ia sedang lelah. Aku mencoba untuk berpikir positif.
Keadaan semakin buruk hingga kami selesai makan malam. Aku pikir dia memang sedang banyak pikiran. Tapi saat ia memanggilku untuk membicarakan hal serius di ruang tamu, aku tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“Lu, kau tahu ‘kan aku suka anak-anak?”
Ya, aku tahu pasti tentang Sehun yang rela bolos kerja demi menemani keponakannya yang masih anak-anak dirumah. Ia selalu sabar menghadapi anak-anak yang rewelnya membuatku gemas ingin mencubitnya, huft. Aku memang tidak begitu dekat dengan anak-anak. Beda dengan Sehun yang meski tampangnya terlihat sangar, tapi hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh.
Aku mengangguk yakin. Sehun menghela nafasnya sebelum ia kembali berucap, “Aku ingin anak, Lu. Kau dan aku sama-sama tahu kalau satu dari kita tidak bisa menghasilkan anak,”
“Kenapa sangat tiba-tiba? Kita bisa mengadopsi anak, bukan?”
“Itu beda, Lu.”
“Tapi...”
“Kita ini gay, tidak normal, terlarang. Apa kau tidak lelah dengan semua ini, Lu?”
Kalimat itu terlalu kasar untuk diucapkan Sehun. Apa pria ini sedang mabuk? Amarahku memuncak, bila ini animasi, mungkin kalian bisa melihat asap yang mengepul diatas kepalaku. Airmata tak kuasa kubendung tatkala Sehun melanjutkan kalimatnya.
“...aku ingin hubungan kita berhenti sampai disini, Xi Luhan.”
Sial. Setelah apa yang kami lewati beberapa tahun terakhir ini, ia mengakhirinya begitu saja? Well, setidaknya ia tidak memutuskanku dengan alasan yang bodoh. Ia ingin keturunan, aku tidak bisa memberikannya. Aku bisa apa? Warna merah digabung dengan merah akan tetap menghasilkan warna merah. Kami sama. Kami berdua adalah pria.
Aku hanya membisu. Hingga pintu itu tertutup bersama dengan dirinya yang meninggalkanku, saat itu pula aku merasakan lututku melemas.
---
Hari-hari aku hanya berharap ia akan pulang, mengecup keningku dan memohon maaf beribu kali. Tapi aku dan kau yang membaca ini tahu, itu hanya sebatas harapan.
Sudah tiga minggu semenjak ia mencampakkanku pada malam itu. Dan selama itu pula aku tak pernah mendengar kabar tentangnya. Raganya pergi, namun masih menyisakan bekas di benakku.
Aku tak habis pikir mengapa Sehun bisa dengan mudahnya mengakhiri hubungan kami. Kupikir ia akan memegang janjinya untuk selalu berada disampingku. Tapi nyatanya, ia seorang pengingkar. Aku merasa bodoh karena cinta yang tak benar ini. Seharusnya kami tak saling mencintai.
Mungkin Sehun sudah mendapat pengganti diriku, tentunya dengan seseorang yang dapat memberinya keturunan. Rasanya aku ingin mati saja saat memikirkan bayang-bayang Sehun tengah bermain bersama keluarga kecilnya. Keluarga yang normal.
Aku menyesap secangkir teh yang kini tak terasa lagi hangatnya. Sedari tadi aku hanya duduk di halaman belakang rumahku. Sejuknya angin musim gugur meresap dalam kulitku, nyaris masuk kedalam tulang. Aku kemudian memilih untuk beranjak masuk kerumah. Kubawa cangkir yang menemaniku sejak dua jam yang lalu ke dapur. Sesampainya aku disana, cangkir yang kupegang itu nyaris jatuh karena sesosok yang tengah memasak didapurku.
“Selamat pagi menjelang siang, Lu.”
Hatiku teriris mendengar suaranya. Satu langkah, dua langkah, sepuluh langkah, hampir tak ada jarak diantara kami. Kenapa dia datang lagi?
“Aku menyesal....” ucapnya lirih.
Aku tertegun. Tangan lebarnya merengkuh pundakku, menarikku kedalam pelukannya yang aku yakini terasa hangat.
“Aku minta maaf, Lu.”
Saat yang aku tunggu, mungkin dia akan meminta agar aku mau kembali padanya. Mungkin seharusnya aku menjawab ‘tidak’. Tapi setelah bibirnya menyentuh bibirku, aku tak mungkin berkata ‘tidak’.
“Kau tahu aku selalu memaafkanmu, Sehun-ah.”
Dari awal aku memang tahu, ini hanyalah perpisahan sementara. Sehun mengakhiri hubungan kami hanyalah karena sebuah nafsu semata. Ibu pasti dalang dari semua kekacauan ini. Well, aku tidak terkejut. Bu, kau gagal lagi.