"Kenapa kau lama sekali membuka pintu?" Sarah langsung melangkah masuk begitu Fani membukakan pintu untuk dua sahabatnya. Ajeng memperhatikan penampilan Fani yang sangat berbeda dengan karakternya. Gadis itu mengenakan celemek biru langit bergambar kelinci di bagian kantongnya.
Fani kembali menutup pintu, "Maaf-maaf. Aku harus memasak sarapan dulu." Ajeng mendaratkan punggungnya disandaran sofa ruang tamu, "Tumben sekali kau memasak. Ada apa?"
"Oppaku baru kembali dari California, kemaren malam. Dia sangat kelelahan. Jadi, aku putuskan memasak untuknya pagi ini. Biar begini, aku ini adik yang baik, tahu!" Fani tersenyum, menyalakan televisi, lalu menyerahkan remotnya pada Sarah yang duduk di sebelah Ajeng, "Ah, iya! Aku masih memasak. Chakkaman." gadis itu segera melesat menuju dapur.
Ajeng mengerutkan keningnya, "Sejak kapan Fani punya oppa? Bukankah dia..."
Sarah melirik dapur sekilas, bisa dipastikannya Fani tidak bisa mendengar ucapannya terlebih lagi volume televisi yang diperbesar perlahan olehnya untuk menutupi suaranya yang berbicara pada Ajeng, "Apa kau lupa, ibu Fani menikah dengan pria korea dua belas tahun yang lalu."
"Iya, aku ingat itu. Bukankah, Fani pernah menceritakan itu pada kita?"
"Ssshhh, kecilkan suaramu!" Sarah menyenggol bahu Ajeng, dia melirik ke dapur sekilas-lagi- lalu kembali menatap Ajeng, "ayah tiri Fani punya anak laki-laki. Aku belum pernah melihatnya memang. Kurasa..." belum selesai Sarah berbicara, terdengar suara pintu kamar yang terbuka.
Terlihat seorang pria dengan rambut khas baru bangun yang serasi dengan wajah masih setengah sadarnya. Pria itu terlihat sangat lucu dan sayang untuk dilewatkan, meski dia masih mengenakan kaos tipis bewarna putih dan celana pendek yang biasa disebut boxer dengan motif kelinci yang menghiasi. "Itu...oppanya Fani..." bisik Ajeng, tanpa melepaskan pandangannya dari pria itu.
"Aku rasa begitu." balas Sarah yang juga berbisik dan tidak melepaskan pandangannya.
Setelah mengucek matanya, "Fani-a....kalian ini siapa?!" kaget pria itu, begitu menyadari ada dua orang gadis yang duduk manis menatapnya tanpa mengedipkan mata.
"Ah, annyeonghaseyo..." serentak Ajeng dan Sarah berdiri lalu membungkukkan badan memberi salam. Disaat yang sama, Fani keluar dari dapur, berusaha membaca situasi. "Oh, oppa. Kau sudah bangun?"
Fani melihat kedua sahabatnya yang seperti menunggu untuk dikenalkan. Sembari menahan senyum Fani berkata, "Oppa, kenalkan ini sahabat-sahabatku. Selama aku tinggal di Seoul, mereka banyak membantuku. Gadis rambut ikal berponi ini namanya Sarah, dan sahabatku yang bermata biru ini namanya Ajeng. Dan Ajeng-Sarah, kenalkan ini oppaku, Jiyoung oppa."
"Ah, salam kenal." Kini dengan canggung Jiyoung membalas salam Sarah dan Ajeng, yang juga canggung karena malu-malu.
*
Bisa dibilang, persahabatan Ajeng, Fani dan Sarah sudah dimulai sejak mereka duduk di bangku SMA. Awalnya Ajeng yang merupakan anak baru, tidak memiliki banyak teman. Terlebih lagi, dia orang asing di kota Seoul. Sebelumnya Ajeng tinggal di Busan, mungkin karena logatnya itu dia tidak memiliki banyak teman ketika pindah ke SMA di Seoul. Belum lagi karena penampilannya. Ajeng yang masih keturunan Amerika-Prancis, memang bukan orang Korea asli. Tapi karena pekerjaan orangtuanya yang merupakan profesor dan koki, dia mulai tinggal di Korea sejak umur lima tahun. Jadi, bahasa koreanya tidak perlu diragukan lagi. Mungkin karena itu pula, Ajeng lebih mengerti bahasa Korea dibandingkan bahasa Prancis.
Fani yang bertemu Ajeng pertama kali. Saat itu, Ajeng sedang duduk sendirian di meja kantin, menikmati bekalnya. Karena bangku sekitar penuh, Fani memutuskan duduk bersama Ajeng. Siapa sangka jika itu membawa mereka akrab. Terlebih lagi Fani juga baru ke Seoul saat itu. Dia sendiri imigran dari California. Fani kehilangan ayah dan kakak kembarnya saat kecelakaan mobil yang terjadi di California. Saat itu Fani baru berusia dua tahun, saat itu dia bersama ibunya berada di rumah. Fani sendiri blasteran Jepang-Philipina. Setelah ibunya menikah lagi dengan duda korea, Fani yang mendengar cerita dari ayah tirinya itu ingin mencoba hidup di Seoul. Berbekalkan fasilitas mewah dari ayah tirinya, dan dengan ijin dari ibu yang dengan susah payah dia dapat akhirnya Fani berada di Seoul.
Sementara Sarah, yang beberapa bulan lebih awal berada di Seoul mengenal Fani dan Ajeng setelah gadis itu duduk diantara mereka. Sarah sendiri merupakan anak dari fotografer keturunan Taiwan yang cukup terkenal. Sementara ibunya adalah pengusaha sukses di bidang fashion. Tapi, salah satu penyebab Sarah dan keluarganya menetap di Seoul adalah karena permintaan Sarah, yang terpengaruh drama korea. Karena dia merupakan anak satu-satunya dan merupakan harta berharga bagi ayahnya juga merupakan berlian yang tak ternilai untuk ibunya, maka orangtuanya pun mengabulkannya. Maka, pindahlah mereka sekeluarga dari Taiwan, ke kampung halaman ibunya, Seoul, Korea.
*
"Yoboseyo? Ah, omma, ah, iya, maaf aku tidak memberi kabar aku sudah sampai dan bertemu dengan Fani." Jiyoung mengacak rambutnya. "Ne?" kemudian Jiyoung melemparkan pandangannya pada Fani dan dua orang sahabat adiknya itu. Tiga gadis yang baru saja menginjak usia dua puluh itu terlihat asyik menonton televisi. Meski sesekali Jiyoung mendapati Sarah mencuri pandang padanya. Jiyoung tersenyum, "arasho, omma. Nanti akan kusampaikan padanya. Iya omma, selama aku di sini, aku akan menjaganya. Lebih baik kau tidur omma, suaramu sudah separau itu. Lagi pula jam berapa ini, di sana. Um?" Jiyoung tertawa kecil mendengar sahutan dari seberang, "Tentu saja. Aku ini anakmu yang paling pintar menggodamu. Ung, baiklah, bye~" kemudian Jiyoung menaruh ponselnya ke saku lalu menghampiri adiknya itu dan duduk di sebelahnya.
Fani mengerutkan keningnya, "Ya! Oppa! Di sana bahkan masih luas, kenapa kau menyempit di tempatku?!"
Jiyoung tertawa kecil, dia bisa merasakan gerakan yang sengaja dibuat Fani untuk menggesernya bahkan mengusirnya. Ya, salah Jiyoung juga memaksa duduk bersama di sofa single. Diam-diam Jiyoung mencuri pandang pada Sarah. Entah kenapa, dia melakukannya. Dia juga tidak mengerti.