natadecocoo presents...
| Totally Crazy |
| Kim Minsoek & Jeon Seyeon |
| romance, slice of life, fluff |
| 1142 words |
| Teen |
Selama bertahun-tahun, Seyeon tak juga menemukan informasi siapa yang tengah memenuhi hati Xiumin atau mungkin hanya singgah di hati Xiumin. Xiumin sama sekali tidak pernah bercerita, sedikitpun.
Seyeon tahu, seharusnya ia tidak berkeluh kesah tentang profesi yang ia jalani saat ini. Ia tahu betul akan hal itu—but apparently she cant help it. Pasien Rumah Sakit Jiwa dimana ia bekerja terus saja membludak. Mereka berdatangan seperti zombies yang menginvasi rumah sakit—oh cuma majas hiperbola kau tahu. Ia bahkan bisa menghitung jumlah jam tidurnya yang biasanya ia sama sekali tidak peduli berapa jam. Satu jam dua jam waktu tidur sudah menjadi hal yang harus ia jalani saat ini. Sabtu malamnya pun terancam hilang. Ini semua karena dokter spesialis jiwa di Rumah Sakitnya banyak yang telah pensiun dan pihak Rumah Sakit belum menemukan penggantinya.
Setelah menyuntikkan sebuah obat penenang ke salah satu pasien yang sempat mengamuk, ia melepaskan sebuah helaan nafas lega. Diambrukkan tubuhnya ke sebuah kursi di samping bed pasien itu.
“Kalian bisa pergi.” instruksinya pada para residen dan dokter muda yang tadinya membantu dirinya untuk mengurus pasien yang kini sudah tenang dan tertidur itu.
Diambilnya ponsel yang berada di saku jas putih yang ia kenakan. Jas putih kebanggan yang telah ia kenakan selama 7 tahun lamanya ini. Jangan ditanya umurnya, Seyeon selalu sentimen dengan pertanyaan “Sekarang sudah umur berapa?” atau “Apakah kau sudah menikah?”
Demi apapun, ia tak akan ragu menyuntikkan obat penenang ke pembuluh darahmu jika kamu berani menanyakannya.
Umurnya 27 tahun saat ini. Umur ideal dimana ia seharusnya mungkin sudah menikah atau mungkin menimang seorang anak.
Seyeon menyibakkan rambutnya ke belakang tatkala melihat bahwa jam telah menunjukkan lewat tengah malam.
“Aah aku bisa gilaaaa” gumamnya—sedikit keras sebelum meneguk air mineral yang ia bawa di saku jasnya yang besar.
Seseorang kemudian datang dari belakangnya dan menepuk kepalanya pelan. “Siapa yang gila?”
Tanpa perlu menoleh pun Seyeon tahu bahwa itu rekan kerjanya sesama dokter spesialis jiwa, Kim Minsoek. Mereka berada di angkatan yang sama, bahkan kelas yang sama sejak di sekolah menengah atas. Meskipun selisih usia mereka satu tahun namun mereka berada pada satu angkatan.
Seyeon menunjuk ke dirinya sendiri dan kembali menghela nafas. “Tak kusangka menjadi dokter spesialis jiwa akan selelah ini..heol.”
“Yaaaa. Kau bisa gila hanya karena ini? heol.”
“Wae? Kenyataannya memang begitu...Semenjak para sunbaenim telah pensiun entah mengapa aku jadi jarang meletakkan pantatku untuk duduk santai.”
Xiumin tertawa—renyah.
“Ya. Mengapa kau bisa setenang ini. Apa bangsalmu tidak se-hectic bangsalku? Aigooo...Beruntungnya diriku.” Seyeon mengeluarkan sarkasmenya lalu memejamkan matanya berusaha untuk mengistirahatkan tubuhnya dan matanya sejenak.
“Aani. Kurasa semua bangsal memang ramai. Howon juga mengeluh terus tadi di bangsal sebelah.”
“Lalu kenapa kamu bisa setenang ini? Aigoo..Aku benar-benar bisa gila” respon Seyeon tetap masih menutup mata.
“Kenapa? Sepertinya karena aku memang telah gila.”
Kini Seyeon membuka matanya. Jelas saja, baru saja temannya yang bermarga Kim ini mengatakan sesuatu yang terdengar tidak wajar.
“Bwo? YA berbicaralah yang benar.”
“Aku bersungguh-sungguh.Kurasa aku memang telah gila.”
“Ya waraslah Kim Minsoek. Jika kamu gila, maka kau tidak akan mengakuinya. Tch.” Seyeon menyilangkan tangannya.
“Eeey kau tak percaya padaku? Baiklah aku akan menjelaskan bagaimana gejala yang kualami.”
Xiumin terdengar tengah membersihkan kerongkongannya, berdeham berulang kali.
Seyeon terlihat menunggu dan melihat ke raut wajah Xiumin yang mendadak serius.
“Jika dekat dengannya aku bahagia, jantungku berdetak tak keruan, padahal sudah sering bersamanya selama bertahun-tahun. Pertama-tama bertemu dengannya aku memang tidak merasakannya namun setelah mungkin setahun dua tahun, aku melihatnya sebagai seseorang yang berbeda. Aku melihatnya layaknya seorang pria yang melihat ke arah wanitanya.”
Seyeon berkedip—meskipun alisnya sempat terjungkit tatkala ia mendengar kata ‘bertahun-tahun’. Ia terus mendengarkan, dan memberi wajah penasaran itu ke arah Xiumin.
“...itu jatuh cinta Xiumin-a.” terang Seyeon—memasang wajah datar. “Kau sudah sebesar ini dan masih bingung itu cinta atau bukan?”
Xiumin terkekeh—sebelum ia melanjutkan ceritanya.
“Belum selesai.” Xiumin mengambil jeda lalu menghela nafas sedikit panjang. Seyeon terus menunggu. Sepertinya ia tertarik—sangat tertatik ketika sobatnya itu bercerita tentang kisah yang sepertinya kisah asmaranya. Selama bertahun-tahun, Seyeon tak juga menemukan informasi siapa yang tengah memenuhi hati Xiumin atau mungkin hanya singgah di hati Xiumin. Xiumin sama sekali tidak pernah bercerita, sedikitpun. She doesnt have any clue about his lovestory.
“Bahkan di akhir SMA, aku membanting setir dari cita-citaku yang ingin menjadi seorang arsitek menjadi dokter karena seseorang yang bercerita dirinya ingin menjadi seorang dokter. Otakku yang sepertinya tercipta untuk proyeksi, menggambar, menggaris dan menghitung saat itu aku paksakan untuk belajar menghafal.”
Seyeon berkedip lagi—kali ini dua kali. Ia seperti menemukan dirinya karena hellyeah, siapa lagi teman Xiumin yang ingin menjadi seorang dokter seperti dirinya. Yah tapi Seyeon memutuskan untuk terus mendengarkan ceritanya itu karena siapa tahu bahwa mungkin saja teman Xiumin itu tak hanya dirinya. Dunia sangat luas,bukan? Masih banyak yeoja di luar sana yang bercita-cita untuk menjadi seorang dokter.
“...kamu benar-benar jatuh cinta padanya,eoh?”
Xiumin terlihat tersenyum ke arah Seyeon, jawabannya pada pertanyaan Seyeon—yang mana membuat Seyeon mengakuinya bahwa sesungguhnya kawannya itu tampan, dan manis. Apalagi ketika sedang tersenyum.
“...belum selesai sampai di situ. Aku bahkan memutuskan mengambil spesialisasi dokter yang sama dengannya, agar kita selalu bersama.Tak peduli bahwa spesialis jiwa dan ilmu psikiatri adalah hal yang paling tidak kuminati.”
“...” Seyeon memilih untuk diam. Ia tidak tahu harus berbicara apa lagi. Kepalanya sedang sibuk, mengolah informasi siapa saja teman Xiumin yang masuk ke spesialis jiwa selain dirinya. Apakah jangkauan pertemanan Xiumin lebih luas dari apa yang ia bayangkan?
Karena setahu Seyeon Xiumin selalu bermain dengannya, berada di sekitarnya.
“Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa itu tidak gila, Park Seonsangnim.Kurasa aku memang telah gila.” Xiumin terlihat memainkan peran adegan sebagai seorang pasien di depan Seyeon dan memasang wajah bingung.
“..tapi gilamu itu positif..” Seyeon tidak tahu apa yang terjadi padanya. Ia merasa yeoja dalam cerita Xiumin sangat mirip dengannya. Membuatnya bingung harus merespon apa. Ia bahkan tidak sadar akan apa maskud dari jawabannya barusan.
“Bahkan namja itu kini masih saja menyimpan perasaannya selama 13 tahun.” Xiumin masih melanjutkan ceritanya, terkekeh sebentar lalu menggosok tengkuknya.
Seyeon mendongakkann wajahnya dan melihat ke arah Xiumin yang tidak seperti biasanya. Telinganya merah, sangat merah.
“...Duduk di samping yeoja itu sambil tetap menyimpan kotak kecil berisi sebuah cincin di saku jasnya yang terus menerus ia simpan selama berbulan-bulan karena tak menemukan waktu yang tepat untuk segera memberikannya..”
Seyeon terperanjat—tentu saja. Xiumin saat ini sedang duduk di sampingnya dan hanya ada dirinya dan Xiumin saja di ruangan itu.
Ia memegangi dada kirinya. Benda kecil di dalamnya itu tiba-tiba terasa berdegup lebih kencang. Badump, badump, badump!
“Kudengar kau benci ketika harus ditanya apakah kau sudah menikah, Seyeon-a. Aku ingin kau tidak membenci pertanyaan itu lagi.”
Xiumin lalu mengeluarkan kotak merah kecil itu dan mengeluarkan isinya.
Diraihnya tangan Seyeon yang menganggur lalu ia menelusupkan cincin indah itu ke jari manis milik Seyeon.
“Kurasa kini namja itu bertanya-tanya, apakah yeoja itu keberatan akan lamarannya..”
Masih dengan suara berat yang dalam khas milik Xiumin, ia bertanya.
Xiumin tahu melamar di tempat seperti ini bukanlah sesuatu yang ia inginkan akan tetapi mungkin itu malah akan menjadi kenangan tersendiri baginya dan bagi yeoja yang kini sedang tersipu malu di depannya.
Comment~ Love~ Subscribe~ Hargai usaha author nulis ff ini~