31 Desember 2013. Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2013 dan sudah tandanya kalender masehi akan menginjak tahun 2014.
Malam ini, ratusan pasangan sudah memadati N Seoul Tower untuk menikmati pertunjukan sinar laser spesial yang berlangsung setiap tahun pada saat malam tahun baru. Bukan warga Seoul atau Korea Selatan saja yang menikmati pertunjukan sinar laser di malam tahun baru, tetapi para turis mancanegara pun ikut menikmati pertunjukan malam ini.
Berbeda dengan pasangan kekasih yang lainnya, pasangan kekasih yang sedang duduk berjauhan di kursi berbentuk hati, hanya menatap pertunjukan sinar laser dengan tatapan muram dan tak suka. Sebenarnya bukan kedua dari mereka yang terlihat muram, tetapi hanya prianya saja yang menampakkan wajah muram.
Melihat kekasihnya yang hanya diam, wanita yang mungkin saja kekasih dari pria itu hanya menatapnya dengan tatapan ragu.
“Pulanglah. Aku tidak akan mengantarkanmu.” Pria itu akhirnya angkat bicara memecah keheningan diantara dirinya dan wanitanya.
“Ne(apa)?” tanya sang wanita kebingungan.
“Kau pulang ke rumah menggunakan bus atau taxi, Miss Krystal Jung.”
“Ya(hei) Park Chanyeol, wae(kenapa)? Kenapa kau menyuruhku pulang sendiri?”
Tanpa menjawab pertanyaan kekasihnya, pria bernama Park Chanyeol itu berdiri dan meninggalkan Krystal sendiri.
Chanyeol tersenyum ketika mendengar kekasihnya meneriakinya di belakang dengan segala kata-kata caci maki yang terlontar dari mulutnya. Chanyeol sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan dilakukan atau dikatakan gadis itu. Chanyeol sudah pasrah dengan satu gadis bernama Krystal Jung.
Setelah berjalan-jalan sekitar 25 menit, Chanyeol kini sudah menyadari bahwa ia sudah keluar dari kawasan N Seoul Tower. Chanyeol juga baru menyadari bahwa ponselnya berdering sedaritadi. Chanyeol tidak ingin mengangkatnya, karena ia yakin itu adalah telepon dari Krystal atau ibunya.
“Eomma(ibu), biarkan anakmu ini tenang hanya satu malam saja,” gumamnya pelan.
Jika mengingat kejadian-kejadian di masa lalu, Chanyeol selalu heran dengan kelakuan sang ibu yang selalu menentukan nasib buruk untuknya. Dari mulai sekolah, universitas, teman dan kekasih semuanya ibu Chanyeol yang memilih. Chanyeol tidak pernah menyentuh nasib dirinya sendiri.
Melihat kerlap kerlip pohon natal di restoran Italia, Chanyeol berlari kecil menuju pohon natal itu. Setiap kali melihat pohon natal, Chanyeol selalu teringat kepada sang ayah yang sudah pergi jauh 10 tahun lalu.
Dulu, ayahnya selalu menghias pohon natal bersama dengannya. Ayahnya selalu mengikuti keinginan anak tunggalnya tanpa ada kata menolak.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pelayan wanita—dengan Bahasa Italia—saat Chanyeol sampai di depan pohon natal.
Merasa tidak mengerti apa yang dikatakan pelayan itu, Chanyeol hanya menggaruk kepalanya dan mencari-cari kamus Bahasa Inggris di dalam otaknya.
“You can speak English or Korean?”
“Ya, saya bisa berbahasa Korea,” ucap pelayan wanita itu dalam Bahasa Korea.
“Boleh saya memesan satu meja saja untuk malam ini?”
“Bisa. Kau ingin meja yang sebelah mana?”
“Yang ini,” kata Chanyeol dengan jari telunjuk yang mengarah ke meja yang berada di samping pohon natal.
Dengan sopannya, pelayan itu mempersilahkan Chanyeol untuk duduk. Tak lupa, Chanyeol memesan beberapa masakan Italia favoritnya. Pizza dan Risotto—nasi berbumbu saffron dari Milan.
Sambil menunggu pesanannya datang, Chanyeol mengeluarkan ponselnya dari saku celana. 38 panggilan masuk dan 15 pesan sudah menghiasa layar ponsel milik Chanyeol. Awalnya Chanyeol mengira itu semua berasal dari Krystal. Tapi bukan, semua panggilan dan pesan itu berasal dari Park Bom—sepupu perempuannya.
Dengan cepat, Chanyeol mengirim pesan pada sepupunya karena Chanyeol yakin ada sesuatu yang penting jika sepupunya sudah mengirim pesan dan menelpon seperti itu.
“Nunna, ada apa?”
Tak lama pesan balasan dari Park Bom datang.
“Yak Park Chanyeol! Kenapa kau tidak menjawab telponku? Kau tahu, aku sedang membutuhkanmu sekarang. Kau masih ingat perjanjian yang pernah kita buat kan? Aku akan menagihnya sekarang.”
“Ne, aku ingat. Apa yang sedang kau butuhkan, nunna?”
“Temanku baru saja datang ke Korea. Namanya Melody Park atau Park Yun. Dia sedang menunggu di Incheon sekarang. Kau jemput dia ya, aku sedang bersama teman-teman.”
“Eish, kenapa Bom-i nunna selalu seperti ini,” umpat Chanyeol.
***
Sebuah koper pink yang besar berjajar dengan rapi bersama dengan koper besar berwarna biru dan ungu. Di pinggiran koper-koper itu terukir sebuah nama yang mungkin saja nama dari pemilik koper tersebut. Melody Park.
Melody Park atau Park Yun, gadis berambut coklat sedada dengan perawakan model dan tinggi sekitar 170cm itu sedang berdiri gelisah di samping koper-koper miliknya. Bila dilihat, gadis ini sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya di bandara karena sekarang gadis itu sedang berada di Bandara Internasional Incheon.
Dengan perasaan cemas, gadis itu melihat jam tangan berwarna pink di tangannya setiap satu menit sekali. “Park Bom eodi(Park Bom dimana)?” gumam gadis itu pelan.
Malam ini seharusnya Melody sudah berada di Seoul untuk menghadiri reuni bersama teman-teman SMA-nya. Sebelumnya, teman dekatnya Park Bom berjanji akan menjemputnya di Incheon tepat pada pukul 8 malam.
“Excuse me,” ucap Melody kepada seorang pria yang baru saja lewat di hadapannya. “When the bus to Seoul come? I have to go to Seoul, now.”
“I don’t know. But, you can go with me to Seoul. I have to go to Seoul too”
“Really? Thank you.”
“You’re welcome. Anyway, you can speak Korean?”
“Yes, I’m Korean.”
“Kalau begitu kenapa kita tidak berbicara dengan Bahasa Korea saja sekarang?” tanya pria yang berada di hadapan Melody kini.
“Ah ya, aku sudah terbiasa menggunakan Bahasa Inggris. Mian(maaf).”
“Gwaenchana(tidak apa-apa). Kau ingin aku membawakan kopermu?”
“Ah ya, kau bisa membawakannya tapi ini berat sekali.”
“Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa membawa beban berat.”
Melody tersenyum senang ketika pria yang baru saja di kenalnya begitu baik padanya. Seharusnya Melody berfikiran negatif terhadap orang yang baru dikenalnya ini, seperti sifat asli Melody yang selalu berfikiran negatif kepada orang baru. Tapi kali ini tidak, Melody sudah tidak peduli tentang pikiran negatifnya terhadap orang baru.
Di sekitar bandara Incheon, sebuah mobil sedan hitam sudah terparkir bersama mobil-mobil yang berwarna sama. Pria yang tadi membantu Melody kini sedang memasukkan koper-koper Melody ke bagasi. Sedangkan Melody, ia sedang mengambil potret wajahnya dengan riang.
“Ternyata kau narsis sekali,” ucap pria itu yang entah kapan sudah berada di hadapan Melody.
Dengan malu-malu, Melody hanya mengangguk dan tidak berani mengangkat kepalanya.
“Cah! Mari kita masuk dan pergi ke Seoul,” kata pria itu seraya membukakan pintu untuk Melody.
Melody dengan hitungan detik sudah duduk manis di jok depan mobil sedan hitam milik pria itu. Perasaan penasaran mulai muncul dalam pikiran Melody. Siapa nama pria itu? Itu yang sekarang sedang berkeliaran di pikirannya.
“Ireumi mwoeyo(siapa namamu)?” tanya Melody saat pria itu sudah duduk di kursi pengemudi.
“Kim Jongin. Atau kau bisa memanggilku Kai Kim.”
“Okay Kai Kim.”
“Dan kau, siapa namamu dan berapa umurmu?”
“Namaku Melody Park tapi kalau di Korea kau bisa memanggilku Park Yun. Umurku 30 tahun.”
“Mwo? 30 tahun?”
“Ne. wae?”
“Aku harus memanggilmu Nunna(kakak perempuan) karena umurku baru saja menginjak 21 tahun.”
Mendengar pernyataan Kai, Melody mengerutkan keningnya. Iya sama sekali tidak berfikir bahwa pria di sampingnya berusia lebih muda darinya. Padahal sebelumnya Melody berfikir bahwa umur Kai lebih tua darinya.
Sudah hampir satu jam perjalanan Melody menuju Seoul. Melody hanya terdiam tanpa kata karena pria di sampingnya terlihat fokus pada jalanan. Makan malam bersama teman lamanya seharusnya sudah berlangsung sekarang, dan Melody akan datang satu jam lagi.
Dengan perasaan gelisah, Melody menggerakan tubuhnya untuk membuat posisi yang nyaman. Ia terus bergerak karena semua posisi yang dicobanya sangat tidak nyaman untuknya.
Kai, yang menyadari gerak gerik Melody, menghentikan mobilnya di sebuah mini market. Melody yang sedaritadi bergerak, kini terdiam dengan ekspresi wajah bingung.
“Kita makan sebentar dulu nunna,” ucap Kai sambil menambahkan sebuah senyuman. Wanita yang di depannya hanya mengangguk dengan jari yang menggaruk-garuk kepalanya.
Di dalam mini market, Melody mengambil beberapa makanan tentu saja untuknya dan untuk Kai. Melody melihat Kai hanya membeli sebuah roti dan segelas air mineral. Melody merasa kasihan jadi ia membelikan beberapa makanan untuk Kai.
“Kai-ah, untukmu.” Melody menjulurkan sebuah kantong plastic besar yang berisi makanan.
“Semuanya untukku?” tanya Kai yang hanya dijawab sebuah anggukan oleh Melody. “Nunna makan saja semuanya, aku sedang diet.”
“Diet? Untuk apa diet? Kenapa seorang lelaki melakukan diet?”
Kai tersenyum. Ia sudah tahu Melody akan bertanya seperti itu. “Aku sedang dalam masa pelatihan olahraga, jadi aku tidak bisa memakan semua makanan darimu,” jawab Kai berbohong.
“Ah mian, aku tidak tahu. Pantas saja kau hanya memakan roti dan air mineral.”
“Ah ya nunna, kau ke Seoul untuk apa?”
“Ah itu. aku ada acara reuni SMA di Namsan.”
“Oh oke. Aku akan mengantarmu.”
“Kau tidak keberatan kan?”
Kai hanya menggelengkan kepalanya.
***
Pukul 10.00 KST, Chanyeol baru saja sampai di Incheon. Park Bom baru saja menyuruh Chanyeol untuk menjemput temannya di bandara internasional Incheon. Seharusnya, wanita bernama Park Yun yang dimaksud Park Bom sudah berada disini.
Chanyeol berjalan menuju security yang sedang berjaga dengan langkah yang kecil. Chanyeol baru saja berlari dari pintu masuk. Dalam hati, Chanyeol mengutuk siapa pun yang menjadi arsitek untuk bandara ini. Bandara ini terlalu luas sehingga membuatnya harus berlari seperti tadi.
“Jogiyo(permisi),apa pesawat dari Amerika sudah datang?”
“Belum, sepertinya akan datang sekitar... 10 jam lagi.”
“Mwo?” Chanyeol terkejut mendengar jawaban security. “Eish Bom-I nunna jinjja,” umpat Chanyeol.
Chanyeol harus menunggu di bandara Incheon selama 10 jam lagi. Chanyeol cukup sabar dalam hal ini.
Sudah empat jam lebih Chanyeol menunggu di bandara Incheon, namun pesawat dari Amerika belum juga mendarat. Chanyeol pun sudah melirik jam tangannya ratusan kali untuk mengecek apakah sudah tiba waktunya pesawat dari Amerika mendarat atau tidak.
Chanyeol mengacak-acak rambutnya saat mengingat bahwa ia telah melewatkan meriahnya tahun baru di Seoul. Seharusnya ia tadi melanjutkan kencannya saja dengan Krystal daripada menunggu tak jelas selama empat jam disini.
Kring kring...
Suara ponselnya tiba-tiba berdering. "Park Bom" nama itu muncul di layar ponsel milik Chanyeol.
"Nunna! Temanmu datang jam berapa? Aku sudah menunggu di Incheon 4 jam!"
"Apa? Kau menunggu di Incheon? Aigoo Chanyeol-ah, temanku sudah berada di rumah 3 jam yang lalu"
"Mworago? Kenapa nunna tidak bilang daritadi?!"
"I'm sorry. Aku lupa. Sekarang kau kembali saja ke Seoul, ibumu sudah menunggu disini!"
Dengan kesal, Chanyeol langsung mematikan ponselnya sekaligus. Hari ini ia benar-benar dilanda 'kesialan' yang tak henti.
*to be continue*