Adikku menderita Prosopagnosia. Suatu penyakit angka dimana penderitanya tak bisa menghafal wajah orang lain. Bahkan untuk keadaan yang lebih parah, ia tak dapat mengenali wajahnya sendiri. Untuk mengenaliku, ia mengandalkan aroma tubuhku. Oleh karena itu aku selalu memakai Body Scrub Shinzui Kirei untuk membantunya mengenali aku, Son Nana sebagai kakaknya.
Sinopsis :
Nana dan Naeun adalah kakak beradik. Semenjak orang tua mereka meninggal, Nana mau tak mau harus bekerja. Ketidak siapannya untuk hidup sederhana membuatnya frustasi. Ia berniat untuk mengambil surat wasiat kedua orang tuanya di Incheon, di kediaman Pamannya. Memanfaatkan keterbatasan Naeun, Nana pergi secara tiba-tiba. Suatu pagi Naeun menemukan beberapa kejanggalan di rumahnya, Nana menyiapkan sarapan, nakas serta tempat tidurnya rapi dan lemarinya kosong. Juga ia menemukan sebuah tulisan Incheon di sebuah majalah.
Naeun hanya bisa menunggu saat Nana tak pulang untuk beberapa hari. Akhirnya Naeun memutuskan untuk mencari Nana di tempat kerjanya. Namun nihil, Nana sudah mengundurkan diri. Terlintas di benak Naeun untuk mencari Nana di Incheon, sesuai tulisan tangan Nana di majalah. Dengan keterbatasan yang ia miliki, ia harus bertahan untuk berkelana ke Incheon. Demi mencari kakaknya, demi mencari kehangatan keluarga seperti dulu. Bisakah Naeun menemukannya padahal ia sendiri tak ingat bagaimana rupa Nana.
Selain rambut panjang dan bentuk mata sepertiku, aku tak ingat apa-apa lagi.
#ShinzuiWhiteConcert
***
My Sister
Nana menatap lurus kearah seorang pria paruh baya di depannya. Pria itu tersembunyi dibalik lembaran koran yang memuat artikel tentang perampokan bank dan kenaikan harga saham. Saat Nana mencoba terbatuk, Pria itu menatapnya dengan gusar. Ia menurunkan korannya, menampilkan perut gembrot yang tertutupi kemeja berwarna hijau apel. “Bagaimana dengan adikmu?” Ia bertanya pada Nana sambil menggosok hidung pendeknya. Di hadapannya Nana duduk tenang seolah mereka berbincang untuk menentukan tempat liburan besok sore. “Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Lagipula ia tak mengingatku.”
“Apa maksudnya dia tidak mengingatmu? Kau kakaknya bukan?” nada Pria itu meninggi saat Nana mengutarakan jawabannya. Kini tangannya menggenggam diatas meja. Sesaat alisnya naik turun karena berpikir. “Kau sudah tahu alasannya.” Nana menodong.
Pria itu menarik tangannya, ia menyandarkan kepalanya disandaran kursi. Sinar mentari yang mulai menyengat menyusup diantarai daun jendela yang sedikit terbuka. “Baiklah, aku menurut padamu.” Setelah mengatakannya, Pria itu lantas membuka sebuah laci di bawah mejanya. Terdengar bunyi klik beberapa kali hingga ia mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat. Ia lalu menyodorkan amplop itu pada Nana. “Aku tak tahu apa dia masih tingal disana. Yang jelas dalam amplop itu masih ada alamat dan kartu namanya.”
Nana tersenyum lalu mengambil amplop itu. Ia membuka amplop itu dan mengambil secarik kartu nama didalamnya. Nama Son Tae Yong tertulis jelas disana. Dengan tinta merah yang menyala-nyala dihiasi pola ornamen yang rumit. Kartu nama itu sedikit banyak menjelaskan bagaimana watak Tae Yong yang tegas dan bijaksana. “Terima kasih. Ini sangat berguna.”
***
Nana tiba didepan apartemennya sekitar pukul lima sore. Ia menekan password rumahnya, setelah terdengar bunyi bip pintu terbuka. Ia melepas sandal dan berjalan kearah ruang tamunya. Disana Naeun –Adik Nana− sibuk memotong beberapa kertas origami warna-warni. Ia memotong bentuk bintang, bulan dan beberapa bentuk awan yang cukup aneh. Di depannya sebuah papan dengan latar belakang biru tua siap untuk dihiasi dengan berbagai pernik. Saat Nana meletakkan tasnya di sudut meja depan televisi, Naeun terkesiap. “Apa kau Nana?” tanyanya.
Nana mendekatkan dirinya kearah Naeun saat gadis itu meletakkan gunting dan tersenyum kepadanya. Naeun mendekatkan cuping hidungnya kearah Nana, membauinya disekitar leher. “Ya, kau benar Nana. Kau seharum bunga tercantik di dunia. Shinzui Kirei.” Teriak gadis itu saat mengenali Nana sebagai orang yang familiar di kehidupannya. Lalu ia beralih kearah kertas origaminya lagi. Nana tersenyum kemudian berjalan ke kamar tidurnya.
Ia sudah berganti piyama setelah asyik berlulur dengan Shinzui Kirei kesukaannya. Ia mengikat rambut kemudian keluar kamar. “Naeun-a, apa kau sudah makan?”
Pertanyaannya hanya dibalas dengan anggukan. Gadis itu tetap saja menatap kertas origaminya yang berbentuk bintang selebar kotak korek api. Setelah menyelesaikan sudut yang kelima, gadis itu menatap Nana dengan polos. “Lalu kau?”
“Aku belum. Mau temani aku makan? Aku ingat kita masih punya kimchi lobak dan sawi.” Jawab Nana sambil mengayunkan tangannya sebagai isyarat membujuk Naeun. “Ya. Aku akan menemanimu.” Naeun langsung berdiri. Ia berlari mendekati kakaknya, tanpa terduga ia memeluk Nana dari belakang. “Aku takut kau sakit karena telat makan.” Nana hanya tersenyum saat bibir mungil Naeun mengatakannya. “Aku hanya perlu makan bersama adikku agar tetap sehat.”
Nana menyuapkan sesendok penuh nasi kearah mulut Naeun. Gadis itu harus melengkungkan tangannya di bawah dagu untuk menampung nasi yang lolos dari mulutnya. “Kimchi..” seru Naeun saat mengunyah nasinya. Spontan Nana menyendok kimchi dan disuapkannya ke mulut Naeun. “Kau harus makan banyak agar tumbuh dewasa.” Naeun tertawa saat Nana mengatakannya. Ia mengambil air minum kemudian menyesak kimchi yang ada di mulutnya dengan air. “Omong kosong. Aku sudah dewasa sejak tiga bulan lalu.” Ia kembali tertawa.
Nana menyuap sesendok Kimchi ke mulutnya, merasakan asin serta pedasnya Kimchi buatan mereka dua minggu lalu. Ia menggeser sebuah peta yang ada di ponselnya. Incheon, ia pernah sekali kesana, itupun saat ia masih berusia sepuluh tahun. Tepat 15 tahun sejak saat itu, pergi bersama orang tua mereka ke bandara Incheon untuk pergi ke Jepang. Itu hanya kenangan hingga sekarang.
“Kakak…” tiba-tiba Naeun bertanya. Nana langsung menatapnya, dimatikannya ponsel berisi peta itu semata agar Naeun tak mengetahui rencananya. “Ada apa?”
“Apa kita punya kerabat?” Nana sedikit terkejut. Ia menyesap beberapa mili air sebelum berniat menjawab pertanyaan Naeun. Ya, kita punya satu. Dia di Incheon itu yang ada dalam hatinya. Alih-alih mengutarakannya kalimat “Memang kenapa?” justru melesat dari mulutnya tanpa aba-aba. “Tidak, hanya saja aku pernah mendengar kabar mengenai warisan Ayah dan Ibu untuk kita.”
***
Tepat awal musim panas aku meninggalkannya.
Bulan Juli menjadi bulan yang sangat berarti bagiku
Pukul enam pagi Nana telah siap dengan baju kerjanya. Ia mengambil jaket lalu menulis sebuah memo berwarna biru muda. Naeun, jangan lupa makan. Aku akan kembali. Ia menelan ludah untuk beberapa kali. Dengan berat hati ia mencoret kata Aku akan kembali beberapa kali. Lalu ia menempelkan kertas tersebut di kulkas. Ia tak lupa memastikan sarapan Naeun masih ada di mejanya. Terhitung sudah lima kali ia membuka tudung saji di meja makan mereka sejak dua jam lalu. Ada yang menganggu hatinya sejak tadi malam hingga pagi ini. Nana menarik napas panjang setelah memakai sepatu dan pergi.
Naeun terbangun saat kicauan burung pipit menganggunya di ujung jendela. Naeun selalu suka tidur dengan jendela terbuka. Nana selalu melarangnya karena alasan keamanan, tetapi Naeun selalu lolos membuka jendelanya saat tengah malam. Ia bangkit kemudian menggosok mata kirinya dan menguap. Sesekali ia tersenyumkearah burung pipit yang secara tak sopan membangunkannya. Ia melirik sebuah weker di nakas tempat tidurnya. Pukul 9 pagi, cukup pagi bagi seorang Naeun yang tak punya tanggungan sekolah maupun kuliah.
Naeun meninggalkan tempat tidurnya. Ia mengikat kuda rambut coklatnya kemudian mengambil handuk untuk mandi. Sebelum itu sempat ia pergi ke dapur untuk mengambil body scrub Nana di kotak sebelah kulkas. Matanya membulat saat ia hanya mendapati tiga botol lulur yang tersisa. Jika ia tak lupa, Nana masih menyimpan setidaknya sepuluh botol Shinzui Kirei untuk persediannya musim ini. Kemana Nana membawanya, pikir Naeun dalam hati.
Ia menghabiskan setengah jam di kamar mandi untuk berlulur serta menggosok gigi. Satu kebiasaan Naeun yang menurut kakaknya aneh adalah Naeun selalu menggosok giginya tiga sampai empat kali sebelum berkumur dengan obat kumur dua kali. Kegiatan itu menghabiskan waktu sekitar 15 menit dan itu juga membuat kakaknya jengkel saat harus menunggunya mandi.
Di rumah, mereka tak memasang cermin satu pun, hanya ada satu di kamar Nana. Hal ini karena Naeun memang tak pernah bercermin dari kecil. Naeun selalu mengikat rambutnya tanpa bercermin. Saat menyapukan bedak atau lipstick ia hanya menggunakan perkiraan. Ini adalah dampak dari penyakit Naeun yang langka. Prosopagnosia sebuah penyakit yang menyebabkan penderitanya tidak dapat menghafal wajah setiap orang. Untuk keadaan yang lebih parah, penderitanya bahkan tak mengenali wajahnya sendiri. Pernah Naeun harus memasang muka konyol saat ia bercermin di toilet umum. Saat itu ia ingin mencuci tangan dan mau tak mau harus menatap wajahnya di cermin wastafel. Agar tak disangka aneh, Naeun harus memasang ekspresi cemberut atau tersenyum lebar untuk mengenali wajahnya sendiri. Semasa kecil Naeun harus rela berdiam di rumah agar tak disangka idiot dan sombong oleh teman-temannya. Naeun sempat putus asa dan memberontak. Namun lama-kelamaan Naeun mencoba untuk menerimanya.
Naeun menatap secarik kertas biru di permukaan kulkasnya. Lantas tersenyum saat mengerti apa arti tulisan tersebut. Ia beralih pada tudung saji di meja lalu membukanya. Ia menarik sebuah kursi kemudian mencomot satu roti selai almond di depannya. Ia mengambil sebuah tabloid di kotak samping meja makan. Membalik setiap halamannya diselingi dengan menggigit roti almondnya. “Girls' Generation, 2NE1, Sistar, APink… Huh kenapa media selalu memuat wajah wanita-wanita cantik.” Kata Naeun. Tanpa melihat, tangannya mencapai gelas susu di samping roti. Meneguknya dengan hati-hati. Saat mebuka lembaran yang ke sepuluh, Naeun menemukan satu tulisan tangan yang ia yakini adalah tulisan Nana. Dirumah ini siapa lagi yang punya kebiasaan mencoret-coret majalah selain Nana. Kakaknya itu selalu menulis hal-hal yang tidak ingin ia lupa di majalah. Seperti menu makan malam, tanggal gajian atau tanggal di mana ia harus belanja. Incheon. Dahi Naeun berkerut. Ia menutup majalah itu untuk melihat tanggal majalah itu terbit. Sekitar satu minggu lalu, jadi dia baru menulisnya, batin Naeun. Ia membuka halam sepuluh itu lagi. Di bawah headline yang mengabarkan artis korea yang menyumbangkan penghasilannya pada panti asuhan, tulisan tangan Nana cukup terlihat jelas. “Kenapa harus Incheon dan di halaman tengah?” Naeun menyadari ada sebuah kejanggalan pada kebiasaan kakaknya kali ini. Biasanya Nana menulis ingatannya di halaman depan dengan huruf besar-besar agar mudah terlihat. Namun kali ini ia memilih sebuah halaman yang agak tersembunyi dan menuliskan kata Incheon sangat kecil. “Ah sudahlah. Mungkin ia ada janji dengan temannya.” Naeun menutup majalahnya dan melanjutkan sarapan.
Naeun hampir mati bosan duduk di sofanya. Ia sudah puluhan kali mengganti channel televisi. Ia menggerutu kenapa stasiun tv hari ini tak menyajikan tayangan yang cocok dengan mood nya hari ini. Ia melemparkan remote kearah tv dan berda itu menghantam pinggiran tv lalu terjatuh. Naeun melipat tangan di dada lalu cemberut.
Ting.. Ting..
Bel rumahnya berbunyi. Naeun langsung berlari dan membuka pintu. Alih-alih Nana yang dibelakang pintu, ia mendapati bibi paruh baya yang memencet bel-nya. “Oh, Anyeonghaseyo.” Sapa Naeun sambil membungkuk. “Maaf mengganggumu. Tetapi apakah kau punya meja yang bisa disewakan?” tanya Bibi itu. Naeun masih memegang gagang pintu dan terdiam di posisinya. Ia mengingat-ingat apa dia masih punya sebuah meja yang tak dipakai. “Kurasa ada. Silahkan masuk.” Katanya saat mengingat ia punya satu meja di kamar Nana yang sudah lama tak terpakai. “Jangan takut padaku. Aku tinggal di lantai bawah. Aku bibi penjual kue beras di depan apartemen, kau ingat kan?” Naeun berhenti untuk mendengarkan bibi itu bicara, lalu mengangguk cepat saat ia mengingat bibi yang orang itu maksud. “Oh aku ingat. Aku pernah beli kue mu sekali. Itu sangat enak.” Naeun menghilang ke kamar kakaknya.
Ia membuka kenop pintu dengan pelan layaknya tak ingin membangunkan Nana yang sedang tertidur. Padahal ia sendiri juga tahu Nana sudah berangkat kerja sejak tadi pagi. Dahinya berkerut lagi saat mendapati kamar Nana yang sangat bersih. Ia melipat selimutnya di meja. Tak biasanya seperti itu. Juga beberapa kosmetik yang biasanya berserakan di meja juga sudah tidak ada. Hanya beberapa botol krim yang rasanya sudah hampir habis yang tersisa. Mungkin ia menyimpannya di kotak, batin Naeun. Tanpa berniat untuk mencari tahu, Naeun langsung mengangkat sebuat meja setinggi pinggulnya disamping lemari Nana. Ia menabrak pintu saat mencoba keluar dari kamar. Bibi itu spontan berlari dan membantu. “Seharusnya kau memberitahuku.” Katanya. Naeun hanya tersenyum saat kesusahan mengangkat meja.
“Apa perlu aku bantu membawanya sampai dasar.Aku tahu kau pasti kesusahan.” Tawaran Naeun langsung disambut anggukan Bibi itu. Akhirnya Naeun dan Bibi itu bekerja sama membawa meja hingga ke lantai dasar apartemen. “Aku akan membayarmu mahal untuk ini.” Sela Bibi itu. Dengan cepat Naeun menggoyangkan tangannya. ‘Tidak perlu. Kau hanya perlu memberiku kue beras untuk upah sewanya. Kau bisa menyewa meja ini kapanpun, meja ini tak terpakai.”
***
Nana merogoh tas tangannya saat seorang petugas mengawasinya curiga. Setelah menemukan sebuah benda di tas tangannya, Nana langsung menyodorkan benda itu kearah si petugas. Dahinya terlihat berkerut saat melihat kartu nama itu. “Kim Sooni?” tanyanya. Pertanyaan itu dibalas anggukan dari Nana. “Ya. Apa ada masalah?” Petugas itu menelengkan kepalanya meskipun Nana jelas-jelas meyakinkannya. Petugas itu masih belum percaya rupanya. “Kau terlihat lebih muda. Baiklah, selamat menempuh perjalanan.” Serunya lagi. Ia menyodorkan kartu itu pada Nana kembali. Dengan cepat Nana mengambilnya lalu ia naik ke bus.
Suasana di dalam bus sedikit lengang. Hanya tiga perempat kursi penumpang yang terisi. Nana memilih bangku paling belakang di dekat jendela. Ia meletakkan kopernya diatas lalu duduk sambil menatap jendela. Seorang remaja tak sengaja menyenggolnya dan meminta maaf. Nana tak tersinggung, ia hanya tersenyum lalu kembali ke dalam dunianya. Dunianya kini bimbang. Ia tak yakin dengan keputusannya. Bagaimanapun juga meninggalkan seorang adik –terlebih seorang adik yang menderita penyakit langka seperti Naeun− bukan cara yang bijak, meski niatnya baik sekalipun. Ia hanya ingin financial kehidupannya bersama Naeun selamat. Setidaknya Naa ingin kehidupannya tercukupi, untuk makan atau sekedar membeli kosmetik. Karena itu ia memutuskan pergi ke Incheon untuk menemui pamannya dan mengambil surat wasiat untuknya. Agar Naeun tak mencarinya, ia senganja memakai tanda pengenal ibunya. Ia membisu, itu keputusan yang bodoh, batin Nana.
Bus mulai meraung dan bersiap meninggalkan terminal. Semua penumpang terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Lelaki yang ada diseberang tempat duduk Nana sudah memasang headphone di telinganya sejak sepuluh menit lalu. Sedangkan lelaki disampingnya tampak memasang bantal leher dan bersiap tidur. Tempat duduk disamping Nana masih kosong, entah mengapa ia mensyukurinya.
***
Hampir pukul sepuluh malam Nana belum pulang juga. Tidak biasanya ia seperti ini. Dihari-hari biasa ia akan pulang jam lima sore dan untuk weekend jam tujuh. Tetapi ini sudah kelewat. Kelewat terlambat untuk orang seperti Nana. Naeun cemberut melihat jam tangannya. Ketiga jarum kecil itu seakan bekejar-kejaran memakan malam. Agaknya mereka ingin segera menghabiskan waktu hingga pagi menjelang. Naeun kembali menatap jalanan kosong di depan apartemennya. Meja yang tadi siang dipinjam Bibi Oh masih ada di tempatnya. Naeun menghembuskan napas kecil dan tercipta kabut dari mulutnya. Ia bosan menunggu.
Esoknya, tak sengaja ia tertidur di tangga depan apartemennya. Hari ini masih pagi, sekitar jam 5 pagi. Waktu yang tepat untuk Nana bangun pagi. Naeun mengusap matanya dan menguap. Ia tak sadar semalam ia menunggu hingga larut, hingga ia tak sadar tertidur di tangga. Mungkin saat ini tulangnya sedang kram karena posisi tidur yang salah. Ia mencoba menarik tubuhnya.
Keluar seorang Bibi paruh baya –sepertinya bukan yang kemarin− rambutnya panjang berwarna merah layaknya anak muda. Ia memakai rok selutut dan kemeja berwarna putih. Ia melengos saat Naeun mencoba menunduk kearahnya. Cih, untung aku tidak ingat namamu, batin Naeun.
Ia berjalan kearah lift untuk menuju apartemennya. Miliknya ada di lantai dua, dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur serta ruang tamu ia nyaman melakukan aktifitasnya di ruangan itu. Bagi orang introvert seperti Naeun terkadang berada di rumah sesempit itu menimbulkan masalah juga. Saat ia bosan ia akan mengajak Nana jalan-jalan, entah itu Mall atau taman, yang jelas bukan rumah. Setidaknya Naeun mendapat liburan dua minggu sekali. Dan tepat hari ini ia mendapat liburannya. Seharusnya.
Naeun menggosok tangannya. Ia berdoa setelah membuka pintu akan disambut wajah kakaknya. Ia berharap sekarang kakaknya sedang memakai celemek dan menyiapkan sarapan untuknya. Seperti hari biasa. Sayangnya tak ada yang berubah. Sofa di depan televisi masih berantakan dan di meja tak ada nasi atau roti. Naeun murung. Ia memasuki apartemennya dengan ling lung. “Incheon.” Tuturnya.
***
Sebuah rumah megah berlantai dua berada didepan Nana. Gadis itu mengapai udara didepannya seakan menggenggam rumah itu di telapak tangannya. Tak sengaja senyum simpul bertengger di kedua belah bibirnya. Ia membenahi tas tangannya yang melorot. Ia sangat gerogi kali ini. Hampir sepuluh tahun ia tak bertemu pamannya. Bertegur sapa lewat telepon pun ia tak pernah. Ia hanya mendengar ceritadari ibunya bahwa pamannya ini punya watak keras dan bijaksana. Nana sedikit mengkerut. “Mana mungkin ia menyerahkan semudah itu.”
Ia menekan tombol intercom. Jeda beberapa saat hingga sebuah suara wanita menyambutnya. “Siapa?” suara itu bertanya. “Son Nana. Ijinkan aku masuk.”
Paman Tae Yong sedkit terkejut saat mendengar kata Son Nana. Berkali-kali ia menanyai pembantunya –wanita yang menjawab intercom− apa ia tak salah dengar. Ia menggosok dagunya sambil menatap Nana. Nana belum berkata apa-apa selain kata halo. Setelah ia duduk ia masih membisu. Paman Tae Yong memerintah Bibi itu untuk membuat minuman untuk Nana. Bibi itu mengangguk dan ia sudah menghilang diujung ruangan.
“Benarkah kau Son Nana? Anak Kim Sooni?” tanya Paman Tae Yong sedikit tidak yakin. “Ya. Aku gadis kecil yang suka bermain anjing di halaman rumahmu sepuluh tahun yang lalu.”
“Benarkah? Hunter? Anjing itu sudah mati delapan tahun yang lalu. Aku masih ingat ia meminta sosis padaku. Haha.” Paman Tae Yong tertawa renyah saat mengenang anjingnya. Tatapannya kembali serius saat memandang Nana.
“Untuk apa kau datang kemari? Maksudku, tidak biasanya kau kemari. Ada masalah apa?” semburnya saat Nana mencoba membenahi tempat duduk. Nana mengusap dahinya, berusaha mengenyahkan ketakutan dan keringat dingin yang menyerangnya. “Ini soal surat wasiat… Aku hanya..”
“Oh surat itu.” Saat Nana mengatakan surat wasiat, Paman Tae Yong sedikit terjeut. Sesaat kemudian ia menghilang diujung ruangan. Nana mengawasinya hingga punggung pamannya tak terlihat lagi. Ia merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia mengatakan dengan jelas. Bagaimana jika pamannya itu tak percaya, apa yang sedang dicarinya.
Beberapa saat kemudian, Paman Tae Yong kembali dengan tumpukan map di tangannya. Ia menggelarnya di meja. Mengamati satu persatu lalu tangannya jatuh pada subuah map kuning dengan hiasan emas di pinggirnya. “Ini. Yang ini milik orang tuamu.”
“Tunggu.” Nana cepat-cepat mencegah sebelum Paman Tae Yong bertindak lebih jauh. “Ijinkan aku bicara. Aku jauh-jauh dari Busan hanya untuk ini. Tolong dengarkan aku. Aku tahu saat kehilangan orang tuaku aku harus bekerja dan mandiri. Sekarang aku sudah bekerja di minimarket dan mendapat gaji. Aku digaji setiap minggu. Tetapi..” Nana sedikit memberi jeda pada kalimatnya. Ia memandang jari-jarinya yang bergetar kemudian terpejam. “Tolong jangan usir aku.”
“Apa maksudmu? Aku tidak akan mengusir tamuku.” Balas Paman Tae Yong. Ia membuka map itu. Didalamnya ada beberapa lembaran dengan logo resmi besar di pojoknya. Nana tak mengetahui logo apa itu tapi ia yakin itu logo notaris atau semacamnya. Paman Tae Yong mengambil selembar kertas yang ada di tumpukan paling bawah. Paman Tae Yong menatapnya sekilas sebelum ia menyerahkannya pada Nana. “Ini kan yang kau maksud. Sebenarnya, setelah mendengar kabar duka orang tuamu. Aku berniat untuk mencarimu dan menyampaikan ini. Kurasa ini memang hakmu. Tetapi aku belum bisa menemukanmu hingga saat ini kau berkenjung ke rumahku.” Kata Paman Tae Yong sambil menyodorkan lembaran itu pada Nana.
Nana melotot saat Paman Tae Yong semudah itu memberikan surat penting pada orang. Sehingga Nana berpikir jika seseorang mendahuluinya dan mengaku ia Son Nana. Mungkin Paman Tae Yong juga memberikan surat itu dengan mudah. Nana menelan ludah. Ia bergantian menatap Paman Tae Yong dan surat itu. Satu gapaian surat itu sudah ada ditangannya. Namun ia malah menolak. Menarik tangannya dan menyembunyikannya di balik saku. “Tidak. Simpanlah. Tolong angkat aku jadi anakmu.”
***
Naeun meremas tangannya. Didepan televisi berserakan gelas kertas mi instan. Sejak kepergian Nana dua hari yang lalu, ia hanya memakan mi yang di belinya di sebuah toko di samping apartemen. Ia tak makan apapun selain mi, bahkan es krim –yang dulu menjadi kebiasaan Naeun saat sore dengan Nana− ia tak lagi memakannya. Ia tahu ia tak punya banyak uang. Naeun hanya menemukan uang 400 ribu won di sebuah amplop yang ia temukan di kamar Nana kemarin. Selain uang tabungannya yang tak genap 700 ribu won, ia tak punya uang lagi.
Naeun tak mendengar siaran berita yang ada di televisinya. Didalam kepalanya kini hanya melayang pertanyaan dimana kakaknya berada. Ia tak mungkin berdiam diri di rumah, ia takut jika ada yang terjadi pada kakaknya. Meskipun itu agak mustahil mengingat Nana adalah pemegang sabuk hita Taekwondo. Tetapi musibah bisa datang pada siapa saja, bahkan master bela diri sekalipun. Naeun memejamkan matanya. Ia menunduk, memikirkan segala sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menemui Nana.
Naeun teringat sesuatu. Tempat kerja. Naeun tahu Nana bekerja di sebuah minimarket tak jauh dari apartemen mereka, kira-kira berjarak dua blok. Naeun segera bangkit. Ia mengacak-acak kotak kartu nama di sebelah buku telepon. Nana pernah menyimpan kartu nama bosnya –pemilik minimarket tersebut−. Puluhan kartu nama bertebaran begitu saja keluar dari kotaknya. Hingga Naeun menemukan sebuah kartu nama dengan logo minimarket tempat Nana bekerja. “Bingo..” ia memekik.
Naeun berjalan sendirian di tengah teriknya matahari yang mulai memanas. Ia harus rela hanya menelan ludah saat melihat segerombolan anak SD yang berjalan sambil menjilat es krim. Saat ia mulai lapar ia menggosok perutnya, menggosokkan kata-kata hingga perutnya itu berhenti mengamuk. Di ujung sanalah tempat Nana bekerja. Sebuah minimarket dengan papan bertuliskan Kimmy’s Market terlihat ramai disbanding toko lainnya. Hingga terbesit pikiran bahwa Nana sedang lembur disana, sehingga ia tak sanggup pulang. Tetapi kenapa ia tak menelpon kalau hanya lembur. Naeun mulai berlari agar ia cepat sampai ke minimarket itu.
***
Satu bulan sudah berlalu semenjak Nana tiba rumah Paman Tae –Paman Tae Yong lebih nyaman dipanggil seperti itu. Paman Tae mengaku ia tak tega mengusir Nana dari rumahnya, mengingat ia sudah yatim piatu sekarang. Tetapi, menambah satu kepala lagi artinya menambah tempat hidup dan biaya. Itu agak sulit bagi Paman Tae yang kali ini sedang terlilit hutang perusahaan. Ia menyuruh Nana tinggal disebuah apartemen milik anak Paman Tae yang sedang ada di luar negri. Agak kecil memang, tetapi Nana harus bersyukur karena ia hanya perlu merawatnya tetap bersih agar tetap tinggal.
Hari ini Nana diminta Paman Tae untuk datang kerumahnya. Meski selama satu bulan ini segala keperluannya ditanggung oleh pamannya, Nana jarang berkunjung kerumah Paman Tae. Entah karena apa. Dan saat ini Nana merasa panggilan ini cukup penting. Ia tergesa-gesa saat memasuki halaman rumah. Pintu depan sudah terbuka sehingga Nana langsung memasuki ruang tamu. “Paman..” katanya dengan tergesa.
Disana Paman Tae sedang berjalan mondar-mandir sambil menggosok dagunya. Ia tampak berpikir keras hingga kedua alisnya terlihat bertaut. Saat mendengar sapaan Nana ia langsung mempersilahkan Nana duduk. “Begini..” Paman Tae sedikit merendahkan suaranya sambil duduk. Ia memang berbicara pada Nana, tetapi pandangannya tetap terarah ke tangannya yang sedikit lemas. Ia masih berpikir. “Kau tahu kan perusahaanku sedang terlilit hutang.” Kata Paman Tae tiba-tiba. Mau tak mau Nana harus menelan ludah mengesampingkan pikiran bahwa ia akan diusir. “Aku tak bisa membayar hutang dalam waktu dekat ini. Tetapi ada satu jalan yang bisa kutempuh. Maukah kau membantuku?” Nana menelan ludah lagi saat pikiran diusir mulai berkecambuk dalam pikirannya. Permintaan tolong ini bisa saja permintaan untuk pindah dari apartemen itu segera. Mungkin saja Paman Tae butuh dana untuk mkembayar hutang ketimbang menampung keponakan. Nana tahu diri soal itu. “Apa ini artinya aku harus pergi?” kata itulah yang keluar dari bibir Nana saat Paman Tae terlihat menunggu jawaban Nana. Paman Tae langsung menggoyangkan tangannya dan berkata “Bukan. Kau harus ada disini untuk membantuku.”
“Maukah kau menikah dengan anak sahabatku?” sembur Paman Tae. Nana berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan keterkejutannya. “Menikah?”
“Aku tahu kau pasti terkejut. Tetapi umur 25 sudah cukup. Kau harus segera menikah. Jika kau menikah dengannya, segala kebutuhanmu akan terpenuhi. Kau akan kaya dan….. kau bisa membantuku dari hutang ini.” Paman Tae member jeda untuk kalimat terakhirnya. Ia takut jika Nana menolak. Tentu saja Nana harus berpikir keras untuk menerima ini. Tapi tanpa disangka-sangka Nana mengangguk dengan mantap.
***
Setelah membantu Bibi membereskan dagangannya, Naeun pamit untuk segera pulang. Saat ia menerima upah, ia memeluk Bibi dengan sayang. “Terima kasih, Bi. Aku mungkin tak bisa hidup tanpa Bibi.” Ucapan naeun disambut tepukan hangat dipunggungnya. Saat mereka melepas pelukan, satu bulir air mata jatuh dari pelupuk Naeun. “Sayangku, mengapa kau menangis?” naeun menyeka air matanya. Diiringi dengan pergelangan tangan Bibi yang mengusap lembut pipinya. “Ini air mata bahagia. Apa kau tak lihat?” Ucap Naeun sambil terus sesenggukan. “Besok aku akan pergi ke Incheon.” Kata Naeun. Bibi hanya mengangguk mendengarnya. “Semoga kau cepat menemukannya. Tapi bagaimana caranya? Penduduk Incheon sangat banyak. Bagaimana kau bisa menemui kakakmu?” tanya Bibi.
“Aku sendiri tidak yakin. Tapi yang kuingat ia punya rambut panjang dan mata sepertiku. Kurasa kita memiliki beberapa kemiripan. Itupun jika aku ingat wajahku sendiri.” Kata Naeun pelan. Baru saat ini ia merasa ingin sembuh dari penyakitnya. Setelah seumur hidupnya ia merasa rela tak mengenal wajahnya sendiri, ia ingin kali ini ia bisa mengingat wajah kakaknya. Bahkan sekali saja. “Apa kau tak punya foto? Kau bisa mencocokkan fotonya dengan wajah kakakmu.” Kata Bibi tiba-tiba. Beberapa hari yang lalu gagasan itu memang cemerlang, tetapi kali ini tidak. “Kurasa juga begitu. Tetapi Nana tak menyisakan satu fotonya untukku.” Naeun berkata sambil menunduk. Tak disangka air matanya menetes lagi. Bibi merengkuh bahu Naeun dan menepuknya pelan. “Aku sangat ingin menemanimu. Tetapi aku tak bisa meninggalkan cucu-cucuku. Mereka akan sangat kelaparan. Semoga Tuhan selalu memberkatimu.” Naeun tak menjawab. Ia mengeratkan pelukannya pada Bibi. Mengingat momen terakhir saat dia dan Nana berpelukan sehangat ini. Naeun kembali menangis.
***
Nana menatap bayangannya di cermin. Disana nterlihat seorang wanita cantik yang berbalut gaun berwarna putih. Ornamen gaun serta riasannya menawan, tetapi ada satu yang kurang di wajah gadis itu. Rasa bersalah. Sepertinya perasaan itu sibuk menggelayuti pikirannya kala itu. Nana meremas tangannya, meminimalisir segala rasa bersalahnya. Ia mengambil sebuah lipstick dan mengusapkannya pada bibir. Kemudian terdengar seseorang mengetuk pintu dan Nana mempersilahkan dia masuk.
Paman Tae datang. Ia mengenakan setelah warna hitam dengan bunga mawar putih terselip di saku jasnya. Wajahnya terlihat penuh dengan kegembiraan. Ia menatap Nana takjub. “Kau sungguh cantiki, Nana.” Pujian itu hanya disambut anggukan dan senyuman dari Nana.
“Terima kasih kau sudah mau membantuku.” Kata Paman Tae lagi. Lalu ia mengeluarkan sapu tangan dan menyeka sudut matanya. Nana berjalan mendekatinya. Menatap Paman Tae dengan perasaan tersembunyi. “Seharusnya aku yang berterima kasih padamu. Kau telah bersedia mengangkatku sebagai anak.” Nana mengulurkan tangannya untuk memeluk Paman Tae. Paman Tae yang semakin terharu memeluk Nana dengan sayang. Tanpa memperdulikan apa hubungan mereka, semua orang pasti menganggap mereka ayah dan anak secara sesungguhnya.
Paman Tae menggiring Nana menuju altar. Ia meremas tangan Nana, menyalurkan segala energy untuk meredap kegugupan Nana. Gadis itu menarik napas panjang sebelum berdiri di depan altar. Musik mengalun dan pintu aula dibuka. Ia berjalan beriringan dengan Paman Tae. Semua mata terpaku padanya. Disana calon suami Nana sedang berdiri menunggunya. Menunggu untuk memulai hidup baru dengannya. Dan besok Nana akan menghirup kehidupan barunya. Ia akan menjadi Kim Nana untuk Kim Joon, suaminya.
***
2 Tahun Kemudian…
Naeun terkejut saat mendapati jarum jam di kamarnya mengarah ke angka 10. Bam! Ia terlambat lagi. Buru-buru ia melempar selimutnya. Melepas kaos kaki kemudian berlari kearah kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air hangat kemudian menggosok gigi. Ia mengeluh dan menepuk dahinya saat mendengar teriakan seorang wanita terdengar di luar rumahnya. Ia segera berganti baju dan keluar rumah. Mendapati rekannya bersungut-sungut, Naeun segera menghampirinya. Maaf! Hanya kata itu yang tercuat dari bibirnya. Rekannya itu segera meraih tangan Naeun kemudian berlari kearah jalan dan menunggu bis. “Kau sudah lama menungguku?” tanya Naeun tiba-tiba. Dasom – Nama temannya itu− mengangguk tanpa melihat kearah Naeun. Tatapannya tetap kearah jalan.
“Ah, apa kau punya petunjuk lagi?” Naeun sedikit berjingkat saat Dasom tiba-tiba melempar pertanyaan. Saat Naeun mencoba menatap wajah Dasom, gadis itu malah mengernyitkan dahi. “Ada apa?” balas Dasom ketus. Naeun segera menggoyangkan kepalanya. “Tidak. Hanya saja sedikit aneh kau menanyakan hal itu sepagi ini.” Tak disangka Dasom malah tertawa. Ia memegangi perutnya kewalahan. “Ya Tuhan. Apa kau sudah melupakan kakakmu?”
Jam kerja Naeun telah usai. Ia tinggal menunggu Dasom setengah jam lagi. Meski dirinya dan Dasom bekerja di tempat yang sama, mereka punya pekerjaan yang berbeda. Naeun bekerja sebagai kasir. Dulu Dasom juga menjadi kasir, tetapi setelah naik jabatan ia diangkat menjadi perencana serta pengembang toko. Dan pekerjaannya ia berikan pada Naeun. Sulit bagi seorang Naeun untuk mencari pekerjaan. Mengingat ia hanya sekolah hingga sekolah menengah. Tetapi atas kebaikan Dasom, Naeun dapat hidup di Incheon dengan uang gajinya sendiri. Naeun masih ingat saat pertama kali berjumpa dengan Dasom. Waktu itu ia sangat kelaparan dan lusuh saat pertama kali menginjakkan kaki di Incheon. Saat Dasom pulang kerja ia mendapati Naeun jatuh tersungkur dijalan. Ia menolong Naeun kemudian membantunya untuk bertahan hidup selama berminggu-minggu. Menyakit Naeun yang sulit menghapal wajah orang membuat Dasom sedikit terbebani. Sempat ia dikira pencuri oleh Naeun saat tiba-tiba ia memasuki rumahnya sendiri lalu mengambil air di dapur. Saat Naeun bilang, Biasanya aku mengenali orang dengan baud an suaranya. Sejak saat itu Dasom selalu memakai parfum yang sama, agar Naeun mengenalinya.
Naeun tenggelam dalam kenangannya. Pertemuannya dengan Dasom sedkit banyak merubah kehidupannya. Sekarang ia lebih mandiri, tanpa harus bergantung pada kakak atau orang lain. Tak sengaja Naeun menunduk dan mengusap sudut bibirnya. Didepan toko Naeun melihat seorang wanita kesulitan membawa tas belanjanya. Beberapa kantungnya terjatuh dan wanita berteriak keras karena jengkel. Naeun hanya mengawasinya. Wanita itu memungut dua kantungnya yang terjatuh di tanah. Ia menekan kunci mobilnya dan terdengar beep di seberang jalan. Wanita itu berjalan melewati Naeun. Tas belanjanya yang banyak menutupi separuh dari wajahnya. Ia memasukkan seluruh belanjaannya di bagasi mobil. Ia memasuki mobil dan mesin berderu. Naeun bergejolak. Udara yang dilintasi wanita itu baru dicium olehnya. Ini aneh, ia mengenali bau ini. Bau yang selama ini selalu bersamanya. “Kirei… Kakak!” Naeun menjerit.
***
Sejak kejadian itu Naeun sedikit histeris. Tak henti-hentinya ia menceritakan tentang wanita itu pada Dasom. Meski Dasom yakin wewangian seperti itu banyak dijual di toko, tetapi ada sesuatu yang membuatnya percaya bahwa Naeun telah menemui kakaknya. Ikatan batin. Sebuah sinyal yang akan selalu terhubung meski satu sama lain tak saling melihat sekalipun. Hari ini mereka berdua ijin kerja. Bos mereka mengijinkan mereka ijin untuk dua hari. Dasom membawa Naeun ke psikeater.
“Naeun-ssi apa yang kau ingat tentang kakakmu?” Naeun terlihat berpikir keras saat Dokter Soo menanyainya. Ini kala ketiga Naeun mengunjunginya. Tapi di setiap kunjungan mereka tak mendapat apa-apa. Ini karena Naeun lebih memilih diam saat Dokter Soo menanyainya. “Naeun-ssi?”
Dasom terlihat sedikit khawatir di bangkunya. Ia memijit tangannya tanpa melepas pandangannya dari Naeun. Naeun sendiri masih berpikir keras. “Aku hanya ingat ia berambut panjang juga punya mata sepertiku.” Kata Naeun kemudian sambil menunjuk matanya. Dokter Soo menelan ludah. “Ada banyak wanita korea yang punya mata sepertimu. Apa kau tak ingat yang lain?” Naeun kembali berpikir. Ia menunduk menggali sebanyak-banyaknya memori. Hingga terlintas di benaknya sosok wanita yang ia temui kemarin malam. “Kemarin aku bertemu seseorang. Ia memiliki bau seperti kakakku. Aku tak bisa melihat matanya karena tertutup kantung belanja. Sayangnya ia berambut pendek.” Dokter Soo memperbaiki posisi duduknya. “Lalu, apa yang membuatmu yakin ia kakakmu?” sembur Dokter Soo. Naeun seketika menatapnya. Ia gugup. Bibirnya bergerak-gerak. “Wanita itu berbaui Shinzui Kirei, sama seperti kakakku. Dan aku yakin aku bertemu dengannya kemarin malam.”
“Shinzui Kirei?”
“Ya. Produk lotion dan body scrub yang selalu dipakai kakakku.”
***
Lagi-lagi Naeun ijin bekerja. Ia berjalan ditengah terik sambil membawa sobekan kertas. Disana tertulis Dangson Group sebuah perusahaan elektronik. Naeun menemukan alamat perusahaan itu di amplop yang ditujukan padanya. Waktu itu Bibi yang sempat meminjam mejanya menelpon dan mengabarkan bahwa ia mendapat kiriman uang di sebuah amplop besar. Tak ragu lagi, pasti kakaknyalah yang mengirim uang itu. Bibi kemudian mengirimkan uang itu ke alamat Naeun di Incheon dan ia mendapati sobekan kertas itu didalamnya. Apa kakaknya ingin ia menemuinya di tempat ini, hanya kata-kata itu yang terlintas di benak Naeun. Sudah dua bulan Naeun menyimpannya. Ia masih ragu, hingga kini keinginan untuk bertemu dengan kakaknya semakin memuncak.
Gedung besar dengan tulisan biru bertuliskan Dangson Group sudah terpampang didepannya. Ia mengangkat kertas ditangannya, mensejajarkan tulisan di kertas dengan tulisan yang ada di gedung. Ia menarik napas panjang sebelum menurunkan kertas itu sejajar dengan wajahnya. Pelan-pelan Naeun menggeser kertas itu kea rah kanan. Terlihat seorang wanita berjalan anggun ke arahnya. Ia menggunakan kacamata hitam besar dan berjalan sambil menunduk. Naeun memang berdiri tepat ditengah jalan, jadi tak ada alasan khusus mengapa banyak orang yang berjalan kearahnya. Tapi Naeun agak sangsi dengan wanita itu. Rambutnya pendek berwarna coklat, kakinya jenjang dan.. “Kakak!” Naeun berteriak. Segera ia berlari kearah wanita itu. Tanpa disangka Naeun mendekatkan wajahnya kearah leher wanita itu.
PLAK!
“Apa kau tak punya sopan santun, Nona?” wanita itu berteriak. Ia mengusap lehernya dengan tatapan jijik. Lalu seperti tangannya beku, wanita itu terdiam. Ia melihat Naeun dengan tatapan yang sulit diartikan. Didepannya Naeun mulai terisak. “Nana.” Wanita itu terkesiap saat Naeun memanggil nama Nana.
“Nana? Siapa Nana?”
Naeun serasa tertusuk ribuan jarum. Meski ia tak ingat bagaimana wajah kakaknya, ia merasakan getaran halus. Getaran yang hanya bisa dirasakan oleh ikatan keluarga. “Kau bukan Nana?”
Sekali lagi wanita itu terkesiap saat Naeun mengucapkan nama Nana. “Ada apa dengan Nana?”
Naeun mengusap air matanya. Sambil sesenggukan ia menatap wanita itu, berniat untuk menjawab pertanyaannya. “Dia kakakku. Aku mencarinya lebih dari dua tahun. Sayangnya aku hanya ingat ia berambut panjang dan punya mata sepertiku. Selain itu dia juga beraroma sepertimu. Kau memakai Lotion Kirei kan? Shinzui?” Wanita itu hendak membuka mulut tetapi urung. Ia membenahi posisi tas tangannya. “Bagaimana jika kita berbicara di kedai es krim?”
Mereka berdua duduk disebuah meja kedai es krim. Agak canggung jika harus duduk ramah dengan orang yang sama sekali tak dikenal. Naeun mengingat kembali sepenggal memori dimana dia dan kakaknya dulu pernah duduk seperti ini. Mereka saling bercanda dan menyuapi es krim. Tapi kenangan itu makin pudar. Dan sekarang hanya wanita asing dan kekosongan yang ada dalam pikiran Naeun.
Seorang remaja dengan celemek merah muda menghampiri mereka. Ia menyodorkan sebuah buku kecil yang memuat menu-menu es krim. Saat wanita hendak berbicara untuk memesan, Naeun sudah melontarkan pesanannya terlebih dahulu. “Es Krim Vanila.” Wanita itu menatap Naeun agak aneh. Kemudian ia menyodorkan kembali buku itu kearah pelayan. “Es Krim Mocha.”
“Kenapa anda melihatku seperti itu?” tanya Naeun tanpa melihat kearah si wanita. Wanita itu sedikit terkejut lalu menatap tangannya yang terkepal diatas meja. “Kenapa kau yakin sekali memesan es krim Vanila?” Sedikit sunggingan senyum di bibir Naeun. “Aku ingat. Kakakku suka es krim Vanilla. Sebenarnya aku lebih suka es krim dengan aroma mint atau buah. Tetapi aku ingin makan es krim yang selalu dikunyah kakakku. Aku masih ingat bagaimana ia mengunyah es krim bukan menyesapnya.” Sunggingan kembali terpatri dalam bibir Naeun.
Lima menit kemudian, remaja bercelemek merah muda itu kembali lagi. Ia membawa sebuah nampan ungu berisi dua mangkuk es krim. Ia menghidangkannya di meja disambut dengan angguka gembira Naeun. Wanita itu hanya menatap Naeun menghabiskan es krimnya. Ia menyendok sekali dan hampir mengunyahnya. Lalu ia mendetingkan sendoknya lagi dan melipat lengan. “Kenapa kau tak makan?” Tanya Naeun tiba-tiba. Wanita itu tidak siap dengan pertanyaan Naeun. Ia terlihat menimang-nimang perkataannya. “Apa yang membuatmu sangat ingin bertemu dengannya?”
Naeun menghentikan makannya. Ia mengusap sisa es krim disudut bibirnya dengan tisu. “Aku hanya ingin bertemu dengannya. Tak ada alasan lain selain keluarga Dia satu-satunya keluargaku. Dan aku ingin berkumpul dengannya seperti dulu.” Naeun kembali tersenyum dan menyendok es krim Vanilla lagi. “Tapi kenapa kau tak mengingat wajahnya?”
Naeun kembali berhenti makan. Ia mengangguk. “Banyak orang mengira aku amnesia. Tetapi aku punya sebuah penyakit langka dimana aku tak bisa menghapal wajah orang bahkan wajahku pun sendiri tak ingat. Aku tak pernah pernah becermin, itu membuatku frustasi. Aku sudah bersahabat dengan penyakit itu sejak masih kecil. Prosopagnosia.”
“Bagaimana jika dia tak mengingatmu?” Tanya wanita itu lagi. Kini es krimnya sudah mencair. Tanpa menggubrisnya, wanita itu hanya menatap Naeun. Dan itu terasa sangat aneh.
“Aku yakin dia masih mengingatku. Dua bulan yang lalu ia masih mengirimiku uang di rumahku di Busan. Dia kakak terbaikku. Tak mungkin dia melupakanku begitu saja.”
***
Sejak pertemuan itu Naeun sedikit melupakan ambisinya untuk bertemu Nana. Kini ia lebih giat bekerja. Tabungannya sudah hampir 500 ribu won. Bilangan yang cukup besar bagi seorang kasir seperti Naeun. Ia melepas seragamnya dan mengenakan jaket. Setelah berpamitan dengan dua teman kasirnya yang lain, ia keluar toko dan berniat pulang. Didepan toko mobil sedan merah sedang terparkir. Seorang wanita berambut pendek bersandar disalah satu pintunya. Naeun sedikit mengertnyit. Apa dia wanita yang dulu ia temui di Dongsan, pikiran itu terlintas dibenaknya. Melihat Naeun keluar dari toko, wanita itu melambaikan tangannya kearah Naeun. Naeun mendengus kemudian berjalan kearahnya.
Wanita itu mengenakan atasan berenda dengan rok selutut. Jepit kecil menghiasi rambutnya yang secoklat caramel. “Aku yang ada di Dongsan. Masuklah.” Wanita itu mempersilahkan. Naeun menatapnya heran. Tak biasanya orang yang baru sekali ditemuinya hafal dengan kelainan yang diderita Naeun. Bahkan Dasom sekalipun. Ia tak pernah menyebutkan bahwa dirinya Dasom meskipun jelas-jelas ia tahu Naeun tak mengingatnya. Naeun kemudian duduk di kursi samping pengemudi.
Mesin berbunyi dan mobil melesat membelah jalan. Jalanan di Incheon cukup ramai. Mereka melewati pasar-pasar serta gedung bertingkat. Hingga mereka sampai disebuah rumah yang cukup besar. “Ini dimana?” tanya Naeun akhirnya. Wanita disebelahnya hanya tersenyum kemudian membuka pintu. Ia mengitari mobil dan membukakan pintu Naeun. Naeun keluar dengan perasaan yang mengganjal. Apa yang sedang wanita ini lakukan. “Masuklah.” Ia mempersilahkan Naeun.
Suara Intercom menyahut lalu pintu besi terbuka. Dibaliknya halaman seluar lapangan bulutangkis tertata apik dengan bunga-bunga anggrek. Di belakangnya, sebuah rumah besar bercat coklat dengan dekorasi kayu menyita perhatian Naeun. Rumah yang selalu Nana dan Naeun impikan. Rumah itu mirip dengan rumah yang pernah mereka dan orangtuanya tinggali. Pintu rumah terbuka dan Naeun dipersilahkan masuk.
Naeun disambut dengan seorang Bibi paruh baya. Ia mengambil tas belanja yang disodorkan wanita itu padanya. “Nona belanja lagi?” Wanita itu menggoyangkan tangannya dan berbisik. Dari tangga terdengar dentuman langkah. Wanita itu mengernyit mendengarnya. “Apa Joon sudah pulang?” Bibi itu mengangguk lemah. Ia buru-buru pergi ke dapur. Langkah itu semakin jelas dan seorang pria memasuki ruang tamu dengan tatapan kesal. “Kau sudah pulang?” tanya wanita itu. Nada bicaranya sedikit bergetar. Tatapan pria itu beralih kearah Naeun. Ia mengawasi Naeun dari ujung kepala hingga kaki. Mau tak mau Naeun sedikit mundur, merasa aneh. “Siapa dia?” tanyannya.
“Aku akan menjelaskannya nanti.” Balas wanita itu. Ia meraih tangan Naeun untuk pergi. Tetapi tangan Joon –pemuda itu− menahannya. “Kau harus datang ke persidangan.” Wanita itu terpejam saat mendengar perintah Joon. Kemudian ia balas menatap. “Kalaupun aku tidak datang. Kita akan tetap bercerai.” Joon mendengus lalu membiarkan Naeun dan istrinya melengos. Naeun melotot, apa yang tadi dia katakana. “Apa kau akan bercerai?” tanya Naeun.
Mereka keluar dari rumah. Wanita itu menekan tombol di kunci dan mobilnya berbunyi. “Ayo kita pergi. Akan kujelaskan semuanya.” Wanita itu berujar. Naeun menghentikan langkahnya. “Tunggu. Kenapa kau melibatkanku disini?” Wanita itu meraih tangan Naeun namun ia menolak. “Aku akan menjelaskannya nanti.” Jelasnya. Naeun tetap bersikukuh. Ia merasa menjadi keledai disini. Dibodoh oleh kancil-kancil yang tak ia kenal. “Jelaskan sekarang.”
“Kau masih keras kepala seperti dulu.” Ucap wanita itu. Naeun mencelos, ia serasa mengenal kalimat itu. Ia pernah mendengar serapah itu saat ia memaksa. Memaksa membeli es krim atau memaksa pergi jalan-jalan. Kakaknya selalu menganggap ia keras kepala. “Dulu? Kau mengenalku?” Tanya Naeun sedikit sangsi. Wanita itu kemudian berjalan mendekati Naeun hingga mereka hanya berjarak satu meter. “Apa kau hanya ingat kenanganku? Kau tak ingat wajahku?” Naeun semakin tak mengerti. Wanita itu bertanya padanya dan bulir-bulir air mata berjatuhan di pelupuknya. “Apa kau lupa Kim Sooni? Kau mengenaliku sebagai Kim Sooni kan?” ucap wanita itu lagi. Naeun hanya mengangguk. Tangannya diraih. Ia menatap tangan yang meremasnya itu. Mencoba mengingat bagaimana genggaman ini sehangat milik kakakknya. “Aku berharap kau mengingat wajahku. Maafkan aku, Naeun.” Wanita itu memeluk Naeun. Tanpa sengaja Naeun juga terisak. Ia sendiri belum yakin alasannya. Ia membalas pelukan wanita itu. Merasa kehangatan yang sama. “Kau?” ucap Naeun lemah.
End.
note : Fanfiction ini khusus aku buat untuk mengikuti event Dreamers Radio. Memang ada secuil harapan untuk menang, tetapi fanfiction ini sepenuhnya untuk berkarya. Jadi berikan aku dukungan dengan mengklik "Love" juga memberi komentar.
Gomawoyo~ :D
Segala saran saya terima. Yuk mampir ke twitter! @astria_dhima