“Cho?”
“Kau mengenal suaraku?”
Aku tertawa.
“Tentu, kau menelepon ke siaranku setiap malam. Aku selalu mengingatmu.”
Bagaimana mungkin aku melupakan suara dengan aksen khas dari seseorang yang selalu meleponku setiap malam? Ya, tidak ada yang salah. Setiap malam.
“Hahaha, aku tersanjung.”
Aku yakin gadis di ujung telepon itu meletakkan gagang telepon terlalu dekat pada bibirnya. Suara tawanya aneh dan terlalu serak, seperti dia sedang memakan sesuatu. Ugh, tidak sopan.
Aku tertawa hambar.
Gadis itu sering kali membuat moodku buruk, dia selalu menelepon dan bertanya tentang hal-hal tidak penting seperti ‘Bagaimana cuaca saat ini, menurutmu?’ atau ‘Kau tahu pencuri sering tertangkap di daerah rumahku?’. Dan aku dengan pekerjaan ku yang selalu di tuntut untuk ramah hanya akan menjawab ‘Maaf, nona siaran hari ini tentang musik’. Tidak tahukah dia betapa aku ingin menambahkan ‘Aku bukan peramal cuaca, FBI atau semacamnya, dan berhentilah berbasa-basi!’
Tetapi aku tak bisa. Pekerjaanku tahurahannya.
“Aku benar-benar merasa bahagia kau mengenal suaraku, Kai. Kau tahu, aku selalu menanti siaran radio mu setiap malam. Dan aku selalu jadi penelpon pertama!”
Dia mulai lagi.
“Hahaha… benarkah?”
Dia selalu jadi yang pertama.Selalu. Aku menarik rambutku kesal, kemudian melepas headphone dari kepalaku dan membiarkan benda itu melingkar di leher, karena jelas setelah ini si Gadis akan berbicara sepanjang rel kereta.
Sejurus kemudian manikku menangkap Suho hyung yang tengah menatapku kesal, beruntung kami terpisah oleh kaca tebal dari ruangan siaranku dengan control room – tempatnya berdiri, jika tidak mungkin kepalan tangannya sudah mendarat di kepalaku.
Dia menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya kemudian menunjuk wajahnya yang tengah tersenyum dengan gaya menyebalkan adalannya.
Aku memutar mata dengan sebal –gaya andalanku, untuk menyakinkan Suho hyung jika aku melakukan semua itu dengan terpakasa. Catat. Terpaksa.
Aku memakai kembali headphoneku dan yang kudengar adalah suara ‘bip’ panjang tanda telepon sudah di tutup dari seberang. Aku sempat terkejut karena Cho –gadis itu menutup telepon begitu saja, atau mungkin terputus? Ah benar, mana mungkin gadis hyper itu akan menutup telepon begitu saja.
“Let’s hear Na yoon Kwoon – Love is Like Rain.”
Lagu kesukaan Cho, anak itu sangat sering meminta lagu ini. Aku anggap ini sebagai permintaan maaf karena mungkin seseorang di Control room yang memutuskan sambungan teleponnya. Alasannya jelas, dia terlalu berisik.Walaupun lagu ini merupakan sebuah soundtrack dari sebuah drama yang sudah lama namun aku rasa aku juga menyukainya.
Sarangeun bicheoreom pogeunhaetdeon bomcheoreom
(Love is like rain, like the warm spring)
nareul kkumkkugehae
(it makes me dream)
nuni dadneun gotmada nan neoman boyeo
(Everywhere my eyes go, I only see you)
cheoncheonhi dagaga oneureun marhaejulkka naerineun i bi tago?
(Shall I slowly approach you and tell you today?)
geu ibsul bitbang uldo nayeoss eumyeon
(If only the raindrops on your lips was me)
***
Sarangeun bicheoreom pogeunhaetdeon bomcheoreom
(Love is like rain, like the warm spring)
Hujan.
Aku merutuk kesal sebelum membiarkan kepala dan hampir seluruh tubuhku basah karena rintik hujan malam ini. Aku berjalan cepat, karena berlari hanya akan membuat sepatuku semakin basah karena genangan air dijalan. Aku mengeratkan jaket baseballku setelah tiba di halte bus, hari ini mobil kantor sedang rusak jadi tidak ada kendaraan apapun yang bisa mengantarkanku pulang selain bus terakhir malam ini.Ya, tinggal sendirian di kota 'tak pernah tidur' membuatku harus melakukan semua sendiri. Ah, aku lupa bagaimana aku bisa sejauh ini.
Jam digiital di pergelangan tanganku sedikit basah saat aku melihatnya, waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam tapi bus terakhir baru akan tiba tiga puluh menit lagi.
Aku mendorong punggungku hingga menyentuh pinggiran kursi tunggu halte . Sesaat aku berfikir untuk mendengarkan music dari ipod, namun sebuah lengan tiba-tiba terulur dari sampingku.
“Pakailah.”
Aku melirik seseorang di sebelahku, seorang gadis dengan rambut coklat sebahunya yang lurus dan gaun putih gading tengah tersenyum malu-malu dengan saputangan warna coklat muda yang masih terulur.
Aku mengerjap dua kali.
Namun akhirnya memutuskan untuk mengambil saputangan itu karena wajah dan rambutku benar-benar basah.
“Aku suka hujan.”
Suara gadis itu membuatku menoleh lagi kesamping dan mendapati ia yang sedang mengulurkan tangannya kedepan. Dia menyentuh tetesan hujan yang jatuh dari pinggiran atap halte.
Apa itu sindiran?
“Ah, terimakasih untuk saputanganmu,” mungkin si gadis sedikit tersinggung karena tak kunjung mendapat kata terimakasih, hanya saja dia tidak ingin langsung mengatakannya.
“Aku sudah menunggumu sejak tadi, sejak hujan belum turun.”
Aku menatap aneh pada gadis itu sekarang, kata-katanya begitu ambigu,dia menungguku katanya?
Gadis itu memutar tubuhnya ke arahku, membuat sudut hatiku sedikit bergetar saat mendapati sebuah senyum tergurat di wajahnya yang oval.
Aku ingin bertanya maksud sang gadis, namun dia tiba-tiba dia berucap lirih.
“Aku suka hujan, dan aku menyukaimu.”
******
nareul kkumkkugehae
(it makes me dream)
Aku mengusap tanganku berkali-kali, tak mengerti mengapa sekarang aku berada di dalam bus dengan tujuan sungai Han. Seharusnya aku menunggu bus terakhir yang akan mengantarkanku ke rumah dan bergelung di selimut hangatku, bukannya membiarkan diriku mengambil bangku paling belakang di bus dan membiarkan seorang gadis duduk berhimpitan di sebelahku.
Ini baru setengah jam sejak aku keluar dari kantor penyiaran, namun rasanya sudah seperti bermimpi di dalam kamar.
Aku memutar kembali ingatanku kepada setengah jam sebelumnya.
Saat seorang gadis memberikanku saputangan coklat muda, seorang gadis yang tersenyum, seorang gadis yang menyukai hujan dan seorang gadis yang menyukaiku. Menyukai hujan dan menyukaiku. Aneh sekali.
Aku tersenyum canggung saat gadis itu menanyakan bagaimana perasaanku padanya. Aku sebenarnya ingin tertawa mendapat pertanyaan itu. Bagaimana mungkin ada seseorang yang bertanya perasaanmu padanya sedangkan kau baru saja meihat wajahnya. Baru saja. Detik itu.
Bukannya karena aku sudah memiliki pacar.Tidak. Aku juga sedikit ragu apakah aku pernah memiliki pasangan sebelumnya. Aku tidak lupa,aku yakin. Aku hnya ingin melupakannya saja.
Aku akhirnya menjawabnya dengan kata-kata paling rasional yang kupunya bahwa aku tidak mengenalnya dan aku tidak mungkin menyukai seseorang yang tidak ku kenal karena itu terdengar aneh. Keadaanku sudah sangat menyebalkan dengan pakaian yang basah, jadi aku tidak ingin menambah kekesalanku dengan menjawab pertanyaan seseorang asing mengenai perasaanya.
Aku mencoba mengabaikan gadis yang terlihat menyedihkan itu dan tak menggubris ajakannya. Namun mataku membulat seketika setelah lamat-lamat dia berucap dengan wajah menunduk.
“Aku Cho. Park chorong”
*****
nuni dadneun gotmada nan neoman boyeo
(Everywhere my eyes go, I only see you)
Pagi itu aku mengerang kesal tepat setelah berada di ruanganku, aku merasa sakit kepala yang selalu kudapat setiap bangun tidur menjadi bertambah parah dalam seminggu belakangan. Sebab sejak aku bertemu dengan Chorong –seorang pendengar setia siaran radioku yang menyebalkan, membuatku kepayahan untuk tidur setiap malamnya. Selama seminggu itu pula Cho selalu meneleponku, namun bukan ke siaran radio seperti biasanya tetapi ke nomor telepon yang aku berikan padanya, maksudku, yang dia minta padaku.
Gadis itu menelepon satu kali pada pagi hari, dua kali pada siang hari dan berkali-kali pada malam hari setelah siaran radioku selesai. Oh!
Aku tidak mengerti mengapa gadis itu bersikeras bahwa dia menyukaiku, dia menyukai suaraku pada awalnya dan memutuskan meyukaiku seutuhnya setelah melihatku malam itu di halte bus. Asal tahu saja, dia juga baru meilihatku pertama kali pada malam itu. Aku yakin begitu, karena aku juga baru pertama kali melihatnya.
Dia aneh. Sungguh.
Dan aku semakin tak mengerti mengapa aku membiarkan gadis itu menarik tanganku kedalam bus untuk menemaninya ke sungai Han waktu itu. Mungkin karena aku menyesal membuat dia bersedih dengan wajah yang menunduk. Kurasa memang begitu.
Aku mendengus entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. Membuat Suho hyung mendelik kesal ke arahku. Masih dengan gaya andalanku –memutar mata. Aku memutuskan untuk pergi dari sana karena waktu siaranku telah usai dan aku cukup waras untuk tidak mencari masalah dengannya.
Aku menutup pintu perlahan, selanjutnya udara malam yang dingin menerpa wajahku. Aku harus menunggu bus malam lagi karena mobil kantor masih rusak dan itu adalah alasan mengapa aku mendengus dan merengek garis miring memohon dengan keren pada Suho hyung agar di antar pulang dengan mobilnya. Namun aku terlalu naïf dengan Suho hyung yang pelit itu.
Dia ingin pergi dengan pacarnya.
Lagipula lelaki mana yang lebih memilih mengantar temannya yang jomblo coret single pulang kerumah dibandingkan mengajak pergi kekasihnya yang cantik.
Omong-omong ini malam minggu.
****
Aku merengut sesaat setelah tiba di halte bus karena Cho telah duduk dengan manis di salah satu bangku panjang yang lengang.
“Mengapa kau kesini?” aku memutuskan bertanya karena Cho hanya mematung dengan senyuman di wajahnya.
“Aku menunggumu, ayo ke sungai Han!” dia menatapku harap dengan bola matanya yang bulat dan berwarna coklat gelap.
Aku mendengus sesaat, sangat keras, agar dia mendengarnya, “Berhentilah menganggap kita teman Cho, kita saling mengenal satu minggu yang lalu dan kau selalu menghubungiku dan mengajakku seakan-akan aku adalah teman dekatmu.”
Cho meremas jemarinya.
Seketika aku merasa bersalah membuat gadis itu menunduk dengan bibir yang bergerak-gerak gelisah. Gesture tubuhnya menandakan dia takut denganku. Ah, bukan itu maksudku. Aku tidak bermaksud membuatnya takut. Hanya saja dia terlalu berlebihan terhadap perasaanya. Dia seorang gadis dan dia terlalu terbuka terhadap perasaanya padaku.
“Cho …”
“Apa salahku Kai…” Cho membuka suaranya, sedikit serak.
“Aku hanya mencintaimu, dan kemanapun aku pergi yang aku lihat hanya wajahmu. Apa itu salah?” Cho mengangkat wajahnya dan aku dapat melihat dengan jelas wajah itu telah basah. Aku ingin memberikannya saputangan coklat muda yang dia pinjamkan minggu kemarin dari dalam tas. Namun Cho telah menghilang dari hadapanku, menghilang di tengah malam yang pekat.
Malam itu aku tidak bisa tidur.
Pikiranku diliputi rasa bersalah.
*****
cheoncheonhi dagaga oneureun marhaejulkka naerineun i bi tago?
(Shall I slowly approach you and tell you today?)
Hari ini adalah hari kelima sejak Cho menangis di hadapanku, sejak malam itu aku tidak mendengar kabarnya lagi. Dia tidak menghubungiku atau menelepon seperti biasa ke stasiun radio. Tidak ada Cho yang menungguku di halte dan tidak ada Cho yang berkali-kali mengajakku kesungai Han.
Aku kembali seperti keadaan sebelumnya. Namun entah mengapa jauh di sudut hatiku ada sedikit rasa yang entah apa namanya menyakiti diriku perlahan. Aku berusaha mengabaikan rasa itu dan menjalani kehidupan seperti biasanya. Mengabaikan Cho yang entah untuk alasan apa seperti menghantuiku setiap malam.
Namun lagi-lagi fikiranku menghianatiku.
Sebelumnya aku tidak pernah terlalu perduli padanya, namun sejak malam itu aku seringkali memikirkan betapa manis senyuman gadis itu ketika dia tersipu malu atau tentang betapa seringnya dia memakai gaun dengan warna putih gading yang membuatnya terlihat anggun.
Aku meremas rambutku.
Siaranku baru berjalan setengah malam ini, bukan siaran music seperti biasa. Malam ini siaranku membahas masalah sebuah product kecantikan Shinzu’i.
“Putih itu SHINZU’I… Ok guys, Let’s hear Na yoon Kwoon – Love is Like Rain”, aku tidak perduli pada pendengar lain yang mungkin akan protes karena sejak kemarin siaranku memutar lagu ini, juga pada Baekhyun –seseorang dari control room yang mendelik kesal kearahku, aku yakin dia setengah kesal karena harus memutar lagu ini lagi. Karena lagu lama ini membuatku mengingat Cho, gadis yang membuatku merasa aneh dari hari-kehari.
Entah mengapa aku selalu mengingatnya.
Entah mengapa.
*****
“Kau selalu memutar lagu itu,” suara Baekhyun memecah lamunanku petang itu.
“Eh?”
“Na yoon Kwoon – Love is Like Rain. Kau memutar lagu itu sejak kemarin. Bukankah itu lagu yang selalu di pesan gadis itu?” Baekhyun melirikku dari balik meja, dia sedang memakai Body Lotion di lengannya. Aku mengerang sesaat. Dia juga pria sepertiku, tapi bagaimana perfeksionisnya dia terhadap penampilannya membuat tengkukku gatal tanpa sebab.
“Aku juga suka lagu itu,” aku menjawab dengan bimbang, sebab membahas tentang Cho membuat sudut hatiku berdenyut aneh lagi.
“Eh? tapi kau tidak pernah memutarnya kecuali gadis itu yang meminta, dan aku tidak pernah mendengar dia menelepon lagi akhir-akhir ini. Bukankah dia pendengar setiamu?”
Baekhyun memicingkan matanya, jelas dia sedang mengorek informasi dariku.
Aku mendengus “ Tidak juga. Mungkin dia sibuk.”
“Kau terdengar sedih, dude!” Baekhyun tertawa riang. Dia berkedip berkali-kali.
“Sudahlah Baek, aku tidak sedih dan berhenti mengolok-olokku.”
Baekhyun tertawa semakin keras dia memegangi perutnya kencang-kencang “Kau lucu, apa kalian benar-benar bertemu setelah dia meninggalkanmu pesan itu? Apa kalian bertengkar? Aku benar-benar ingin tahu! Ceritakan!” Baekhyun memukul mukul mejanya karena terlalu bersemangat.
Aku menangkap sesuatu yang aneh. Pesan? Pesan apa?
“Pesan apa?” akhirnya aku bertanya.
“Malam itu. Beberapa malam yang lalu saat dia mematikan telepon setelah memeberimu pesan yang aneh. Bukankah kalian bertemu setelah itu?”
“Mematika telepon? Maksudmu dua minggu yang lalu? Bukankah kau yang memutuskan teleponnya?”
Baekhyun meletakkan Body Lotion nya di atas meja dan menatapku dengan pandangan tak percaya “Ya, Kim jongin! Aku tidak pernah memutuskan sambungan penelepon manapun tanpa permintaanmu. Bukankah kau yang selalu memintaku dengan ‘kode-kode’ mu itu agar aku memutuskan sambungan telepon gadis itu karena kau terganggu dengan suara berisiknya? Ha?”
Baekhyun marah, dan ini bukan berita baik.
“Maaf, tapi aku benar-benar tidak tahu mengenai pesan itu, karena aku melepas headphoneku. Tapi setelah aku memasanganya sambungan telepon terputus. Aku berfikir mungkin saja itu kau…” aku berbicara pelan agar Baekhyun tidak tersinggung dan meledak lagi.
“Huh! Dasar bodoh. Dia mengirimu pesan dan kau tidak tahu. Jadi kau tidak bertemu dengannya?”
“Aku bertemu dengannya. Namun sebelumnya aku tidak tahu itu dia.”
“ Bodoh.”
Baekhyun beranjak dari meja kerjanya, ingin membeli Body scrub, Body Cleanser atau hal ‘wanita’ semacamnya lagi mungkin. Entah mengapa sejak Shinzu’I menjadi salah satu promotor siaran radio kami, anak itu semakin sering menggunakan produk-produk kecantikan dari Jepang itu.
Namun sebelum dia membuaka pintu aku sempat bertanya.
“Dia bilang apa?”
Baekhyun berhenti memutar kenop pintu dan menatapku “Dia bilang, dia akan membuatmu mengingat dirinya cepat atau lambat.”
****
Mengingatnya?
Aku berhenti memutar kunci mobil saat mengingat kembali perkataan Baekhyun. Mengingat? Mengingat apa maksudnya?
Aku meraih ponselku dan melihat layarnya yang gelap, tidak ada tanda-tanda pesan dari Cho dan itu membuat sesuatu di dadaku berdenyut lagi.
Aku fikir aku sudah gila.
Kemudian aku memutar lagi kunci mobil kantor yang siang tadi sudah kembali dari bengkel. Mesin mobil menyala. Namun sejurus aku meraih handphoneku lagi dan mengetikkan sebuah pesan singkat untuk seseorang.
Apa kau di sungai Han?
Aku menunggu balasan dengan degup jantung yang tak beraturan dan mesin mobil yang masih menyala.
Sesaat kemudian Handphoneku berbunyi dan pesan dari seseorang membuatku menginjak pedal gas tanpa berfikir dua kali.
Ya, aku disini.
*****
Aku berjalan pelan di pinggiran sungai Han yang di hujani cahaya dari lampu-lampu jalan. Aku menyapu pandanganku pada air sungai yang terlihat samar dan menenangkan.
Sesaat aku mengeratkan jaket baseballku, sebuah saputangan coklat muda ada di genggaman tangan kananku dan sebuah senyum tergurat di wajahku. Aku berjalan pasti menuju satu titik di ujung sana. Satu titik dimana seorang gadis dengan rambut coklat lurus dengan sebuah gaun putih gading hingga mata kaki tengah memandang sungai dengan tenang.
“Hai,” aku menyapanya ragu-ragu.
Dia menatapku dan tersenyum manis sebelum menjawab “ Hai.”
Aku berdeham, “Kemana saja kau? Kau tak menghubungiku akhir-akhir ini?”
Aku bergeser untuk berdiri lebih dekat dengannya, membuat bahu kiriku bersentuhan dengan bahu kananya yang ramping.
Aku berdeham lagi, menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba menyerang.
“Aku hanya tidak ingin berada di samping seseorang yang tidak mengahrapkanku” Cho menunduk, menatap sepatu kremnya lekat-lekat.
Sesuatu tak kasat mata menghantam tepat di dadaku. Bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan kehadirannya sedangkan beberpa malam belakangan aku bahkan tidak bisa tidur hanya karena ingin mendengar suaranya.
Aku berdeham untuk ketiga kalinya, “Hm, tidak seperti itu. Aku.. aku bukan, argh! Aku bingung.”
Aku mengerang kesal, karena kata-kata yg sudah terangkai sejak perjalanan ke sungai Han menjadi sia-sia. Aku terlalu gugup. Kentara sekali, dan –memalukan.
Aku tahu setelah ini mungkin Cho akan menganggap ku pria yang aneh, sama seperti aku menganggapnya aneh dahulu.
“Kau lucu.”
Cho memutar kepalanya ke arahku, membuatku mengikuti gerakkannya sehingga kini kami berdiri berhadapan.
“Aku suka rambutmu” Cho mengangkat tangannya dan menyentuh rambutku, memilin beberapa helainya lalu melepaskan tangannya dari sana. Aku agak kecewa, namun kemudian dia menyentuh pipiku dengan tangannya yang agak bergetar. Aku tidak menolak. Sebenarnya aku sedikit berharap lebih.
“ Tapi aku lebih suka pipimu yang dulu. Kau terlihat kurus sekarang”.
Aku tertegun sesaat mencoba mencerna kata dulu dan sekarang. Sesuatu berputar-putar di kepalaku. Aku ingin bertanya pada Cho, namun ketika aku merendahkan kepala untuk menatapnya sesuatu yang tipis dan lembut menyapu pelan permukaan bibirku.
****
nae sarangi nege dahasseumyeon
(If only my love could ride this falling rain and reach you)
Rintik hujan jatuh pelan, Cho menjauhkan wajahnya saat hujan mulai membasahi wajah kami.
“Maaf,” dia berucap lirih, kemudian berbalik untuk pergi. Aku tahu ini aneh, tapi aku butuh penjelasan. Jadi aku menarik pergelangan tangannya kemudian menekan telapak tangankku di sekitar bahunya membuat saputangan coklat muda gadis itu terjatuh bebas dari tanganku.
“Jelaskan…” aku menuntutnya dengan suara rendah.
Cho menggeleng perlahan, namun lagi-lagi aku menuntutnya, kini dengan tatapanku.
“Apa kau merasa asing dengan hujan? Apa kau merasa asing dengan sungai Han? Dengan suaraku? Dengan aku?”
Aku tak mengerti. Apa yang salah dengan hujan, sungai Han dan dia? Bukankah itu 3 hal yang berbeda.
“Ayolah Cho, jangan membuatku bingung.”
Tubuh Cho bergetar pelan, aku tahu hujan malam ini membuat gadis itu kedinginan. Tapi aku butuh penjelasan. Sangat.
“Aku masa lalumu, Kai. Kepingan dari kisahmu yang dulu. Yang mungkin tak akan kau ingat lagi.”
“Masa lalu?”
Cho melepaskan tanganku dari bahunya. Dia menatap lekat sepatunya juga mungkin jalanan yang telah basah karena hujan.
“Kau lupa Kai. Kau lupa semua kisahmu dulu. Semuanya, kau lupa bagaimana kau menyukai hujan, kau lupa dengan sungai Han yang kau bilang membuatmu tenang, kau lupa dengan warna putih gading sebagai warna kesukaanmu. Kau lupa,juga aku Kai. Kau melupakan aku!”
Aku sedikit tersentak saat Cho berteriak di akhir kalimatnya.
“Maksudmu aku lupa ingatan?” aku bertanya seperti orang bodoh.
Cho tak menjawab, namun manik coklat gelapnya yang meredup menandakan bahwa itu benar. Aku lupa ingatan, aku melupakan hidupku dulu. Aku memang merasa melupakan sesuatu. Tapi aku tidak menyangka bahwa dahulu ada seseorang seprti Cho di hidupku. Aku menghilangkan memori tentang seseorang se istimewa Cho. Aku merasa sanggup mengganti apapun demi mendapatkan memori itu kembali. Apapun ku rasa.
Aku ingin bertanya tentang mengapa itu terjadi, kapan dan apa saja yang telah aku lupakan. Aku ingin bertanya semuanya. Namun melihat Cho yang terisak pelan, membuatku menarik gadis itu kedalam pelukanku.
“Maaf, aku tak bermaksud membuatmu menangis.”
Cho mengangkat wajahnya untuk melihatku dan aku membiarkannya sehingga dahiku bersentuhan dengan miliknya. Aku tidak berniat menjauh begitu juga dengan Cho.
Cho ingin membuka suara, namun aku memotongnya dengan cepat “Aku mungkin melupakan kisahku dulu. Melupakan memori tentangmu juga. Tapi aku akan memulai lagi sekarang dengan diriku yang baru. Aku yakin perasanku masih sama. Ada sesuatu yang bergetar didadaku saat melihatmu. Ingatanku mungkin hilang seperti debu di jalanan gersang namun perasanku tak akan berubah seincipun.”
Cho tersenyum perlahan dan aku yakin akupun begitu.
Dengan tangan sedikit bergetar, aku meraih wajah lembut Cho kemudian meletakka bibirku di atas miliknya yang lembab.
geu ibsul bitbang uldo nayeoss eumyeon
(If only the raindrops on your lips was me)
[THE END]