SISTAR FanFiction | ONE SHOOT
Judul : Kudengar Nada Kasihmu
Cast : Yoon Bo-Ra (SISTAR), Hyunseong (Boyfriend), Kim Da-Som (SISTAR), Kim Donghyun (Boyfrined), Jeongmin (Boyfriend)
Sinopsis :
Yoon Bo-Ra, seorang gadis yang sejak dulu diselimuti oleh bayang-bayang hitam. Bersama seorang kakak perempuannya, dia bertahan hidup. Menjalani pekerjaan yang dapat menutup hutang-hutangnya. Namun, dia justru semakin terjebak dalam bayangan hitam yang semakin kelam. Di saat ia tersesat, ia menemukan sebuah cahaya. Yang semakin lama menerangi hidupnya yang gelap. Uluran tangannya yang begitu tulus, membuatnya jatuh cinta. Satu-satunya orang yang menerimanya apa adanya selain kakaknya. Menganggapnya ada, layaknya seorang manusia dan juga seorang wanita.
Kudengar Nada Kasihmu
Hidupku hanya untuk melayaninya. Melayani para lelaki yang datang ke tempat ini. Cafe remang-remang di sudut jalan. Hanya sekedar menemaninya minum dan mengobrol. Tak lebih dari itu. Sudah berapa lama aku menjalaninya? Hm... kira-kira sudah dua tahun. Ya, dua tahun saat aku masih berusia delapan belas tahun. Sejak orang tuaku meninggal dan kakakku, yang saat itu menjadi kepala keluarga, terlilit banyak hutang dan kami tak punya tempat tinggal karena rumah kami disita untuk membayar sebagian hutang kami.
Awalnya hanya kakakku yang bekerja sebagai wanita penghibur dan merangkap menjadi penjaga kasir di sebuah toko roti pada pagi sampai sore hari. Namun aku mulai mengikutinya untuk membantu membayar hutang keluargaku. Hanya sampai semua hutang kami lunas. Tapi semuanya tidak berjalan semulus yang kami kira. Memang setelah hutang kami lunas, kami berhenti bekerja sebagai wanita penghibur.
Adalah Donghyun, pacar kakakku yang tak sengaja dikenalnya di toko roti tempatnya bekerja, yang mengukir coretan merah besar dalam hidupku. Dia seorang pemusik. Dialah yang menghancurkan hidupku yang sedang kucoba benahi. Kakakku geram dan ingin membunuhnya. Semenjak itu, aku takut dan benci pada orang yang bekerja sebagai pemusik. Entah penulis lagu, penyanyi, pengaransemen lagu atau semacamnya yang berhubungan dengan musik.
♪
Aku berjalan tanpa tujuan. Entah kenapa, kakiku membawaku ke sebuah klab malam yang tak jauh dari rumahku. Lagi-lagi kakiku melangkah, mendekati pintu masuk klab itu. Butiran kristal jatuh membasahi pipiku sambil lalu. Tiba-tiba sesuatu yang hangat menyentuh bahuku. Bahu kananku. Kakiku berhenti melangkah. “Jangan” katanya. Aku berbalik dan mendapati sosok pria jangkung dengan potongan rambut yang rapi. Mungkin usianya sekitar dua puluh limaan.
“Jangan masuk. Nanti kau tersesat” katanya lagi.
“Aku memang tersesat” jawabku begitu saja. Kenapa seluruh tubuhku bergerak semaunya? Tanpa meminta persetujuan dariku.
“Maka jangan semakin menyesatkan dirimu.”
“Lalu, bagaimana caranya agar aku tidak teresat lagi? Aku tidak tau jalannya. Aku tidak bisa menemukannya. Aku buta arah.”
Pria itu tersenyum sambil berkata, “mudah. Kau tinggal menelusuri jalan ini sampai ke rumahmu. Dan kau tidak akan tersesat.”
“Percuma. Sudah dua hari aku tidak keluar dari rumah, tapi justru aku merasa semakin tertekan dengan udara pengap dalam kamarku. Tak ada yang bisa menerangi dan merangkai kembali hidupku. Aku merasa, hanya sendirian di dunia ini.”
“Tidak ada orang yang sendirian. Tidak pernah ada. Jika duniamu gelap, kau hanya perlu mencari setitik cahaya yang bisa menerangkannya. Dan tak ada juga orang yang tersesat. Hanya saja, dia belum menemukan jalannya. Jika sulit, carilah peta untuk menuntunmu.”
“Kalau begitu, kau mau jadi peta untukku?” tanyaku tiba-tiba. Aku melihat perubahan raut wajahnya. Ah, semuanya sama saja. Tidak ada yang mau berteman atau bahkan dekat-dekat dengan orang yang tidak bisa memancarkan sinar.
“Tentu” jawabnya sambil tersenyum. Lalu ia mengusap kepalaku dan mengantarku pulang.
♪
Sejak saat itu, aku sering bertemu dengannya. Aku lebih sering berkunjung ke rumahnya. Rumah sederhana yang ditempati olehnya dan adik perempuannya. Tentu saja aku sudah mengetahui namanya. Hyunseong. Dan adiknya bernama Dasom, ia seumuran denganku tapi sudah sukses menjadi model produk kecantikan ternama, Shinzu’i. Kulit putihnya didapatkan dari penggunaan Shinzu'i Body Scrub, Body Cleanser dan juga Body Lotion hingga ia terpilih untuk menjadi model tetap selama lima tahun. Dan kini, ia sedang mencoba merambah menjadi seorang produser musik.
Satu tahun berlalu, dan aku sudah menjadi diriku yang baru. Diriku yang sudah tidak tersesat. Diriku yang sudah mendapatkan lampu yang menerangi hidupku. Diriku yang sudah menemukan peta, yang dapat menuntunku, Hyunseong. Kakakku sangat berterima kasih padanya. Tapi tidak adiknya. Dia sangat membenciku karena dia tetap menganggap kalau aku adalah wanita penghibur yang sudah penuh dengan noda dan coretan merah. Ia tidak rela jika noda itu kupeperkan juga pada kakaknya, Hyunseong. Tapi aku mencoba tak peduli.
Namun, ada satu pertanyaan yang terus membayangiku. Pertanyaan yang harus kuberikan padanya. Aku terus sibuk dengan pikiranku sampai tidak sadar kalau aku sudah sampai di depan pintu rumahnya. Kuketuk pintu kayu yang dicat putih itu. Selang beberapa detik, pintunya terbuka. “Kau lagi” ucap adiknya, Dasom, ketus.
“Kenapa kau selalu datang menemui kakakku? Tidak bisakah kau tidak mengusik keluargaku? Kehadiranmu, memberi citra buruk bagi keluargaku! Apa kau sadar?” sambungnya dengan nada sedikit tinggi. Aku hanya diam menatap gadis sebaya di hadapanku mengoceh panjang lebar. Bagaimana bisa, seorang gadis cantik berkulit putih mulus ini terus menerus melontarkan kata-kata yang membuat telingaku panas.
“Sudah, Dasom! Kau selalu saja bersikap seperti ini padanya” sahut Hyunseong sedikit membentak adiknya. Lalu beralih menatapku. “Maafkan dia. Ayo masuk” ia menarik tanganku, membawaku masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan lukisan, lengkap dengan perlengkapannya. Aku melihat sekeliling. Cat dinding putih susu dengan pintu kaca menghadap langsung ke kota, kuas lukis, palet, cat minyak, pensil, sampah rautan pensil yang tersebar di atas lantai keramik.
Dia menyuruhku duduk dan menunggunya mencari sesuatu yang ingin diberikan padaku. Lagi-lagi pertanyaan itu muncul. Terus terngiang di kepala dan telingaku. Aku harus mengatakannya. Aku harus. Kuambil napas panjang dan mengehembuskannya perlahan.
“Mengapa kau mau membantuku?” akhirnya pertanyaan itu keluar.
“Memangnya tidak boleh?” jawabnya sambil terus membongkar sebuah kotak rotan yang lumayan besar. Mungkin, tubuhku cukup untuk masuk ke dalam sana.
“Bukan seperti itu… maksudku… Tak ada yang tidak mengenal diriku. Terlebih para laki-laki pasti mengenal siapa diriku. Yoon Bo-Ra, si wanita dengan banyak bercak hitam dan merah dalam buku hidupnya. Semua orang pasti akan membicarakanmu yang bukan-bukan. Aku tidak mau… memeperkan noda yang ada pada diriku ke orang lain, yang baik seperti dirimu” aku tertunduk.
Ia menghentikan aksinya, lalu berjalan perlahan ke arahku. Apa dia marah? Apa aku salah bicara? Langkahnya berhenti tepat di hadapanku. Kupandangi kakinya yang besar tanpa suara. Dia mengangkat tangan kanannya… dan mengusap-usap kepalaku sambil tertawa kecil.
“Membantu orang itu, tidak memikirkan hal baik dan buruk apa yang akan dialami nanti. Aku hanya ingin membantumu. Tak peduli apa yang orang-orang katakan, aku akan tetap membantumu.” Aku tersenyum mendengar kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Kemudian dia menyodorkan sebuah buku harian. Masih kosong, belum ditulisi apa pun. Mungkin dia baru membelinya.
“Buku itu cerminan dirimu. Masih bersih tanpa coretan apa pun. Kini kau harus memulainya dari awal lagi. Menuliskan kisah dirimu dari lembar pertama” jelasnya dengan sabar. Lalu dia mengantarku pulang.
Kakakku sangat menyukai sikap Hyunseong yang begitu tulus padaku. Dia bilang, dia sangat lega karena ada yang bisa menjagaku selain dirinya. Dia sangat mempercayai Hyunseong. Perlahan, aku menjadi dekat dengan ibu Hyunseong.
Aku menganggap restu dari kakakku dan orang tua Hyunseong sebagai pembuka gerbang hubungan kami. Hubungan sebagai sepasang kekasih. Berlebihan memang, tapi aku tak peduli. Hyunseong juga mengenalkanku pada teman-temannya. Dan hubungan kami berjalan dengan baik. Sebelum ia mulai bekerja sebagai penulis lagu. Entah apa yang merasukinya. Aku tau dia menyukai musik dan hobi menulis lirik lagu. Aku belajar memaklumi itu. Karena aku tak mau kehilangannya. Tapi kenapa dia juga tidak belajar memaklumiku? Apa dia tidak merasakan apa yang aku rasakan terhadapnya? Rasa benciku mulai tumbuh.
♪
Aku membencinya karena ia terlalu sibuk dengan kertas dan pulpen, menulis ratusan lagu dan merekamnya. Berbulan-bulan ia habiskan waktu membuat segudang lagu, tapi tak satu hari pun ia luangkan untukku. Dia ada, tapi hilang. Hilang dari rumah petak yang sering kukunjungi. Hilang dari indahnya masa yang kami lalui, dan hilang dari hatiku yang semula penuh akan dirinya.
Sudah tiga bulan lebih aku menjalani hubungan yang tak jelas ini semenjak ia bekerja menjadi seorang penulis lagu. Kami jarang bertemu apalagi mengobrol. Mengirim pesan pun tidak. Sekalinya bertemu pun, tidak banyak bicara. Ia selalu sibuk mengirim lagu baru buatannya yang membuat memori ponselku penuh. Padahal ia tahu kalau aku tidak akan pernah mendengarnya. Dan aku sudah pernah mengatakan kalau aku tidak suka pada pria yang bekerja dalam bidang musik.
Itu merupakan alasan kedua mengapa aku mulai membencinya. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Membiarkan hubungan kami tenggelam jauh di dasar hatiku. Sebulan sudah berlalu. Tiba-tiba ponselku tak hentinya bergetar. Semua pesan yang masuk dari teman-teman Hyunseong yang juga temanku. Bahkan salah satunya adalah sahabat Hyunseong, Mika. Isinya pemberitahuan kalau Hyunseong masuk rumah sakit. Ia mengidap penyakit TBC akut. Dan memintaku untuk menjenguknya. Cih! Aku tak sudi.
Di dalam kereta, aku sibuk membaca dan menghapus semua ‘sampah’ yang masuk ke ponselku. Bahkan ada yang memohon agar aku tidak lagi bertengkar dengannya. Bertengkar? Kami tidak bertengkar. Aku hanya merasa, Hyunseong adalah orang asing yang tidak kukenal. Karena dia memang bukanlah Hyunseong yang kukenal dulu. Jadi, apa aku harus ikut pusing memikirkan orang asing yang tak kukenal? Untuk apa?
Beberapa hari dirawat, ia koma. Astaga. Aku tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Apakah aku harus menuruti super-ego-ku? Moralitas yang mengatakan kalau aku membencinya dan tak lagi mengenalnya, atau justru aku harus mengalahkannya dan mengikuti ego-ku? Realitas yang jauh ada di dalam jurang hatiku yang lebih gelap dari hitam, kalau aku masih mencintainya dan ingin mempertahankan hubungan ini. Jeongmin, menyuruhku untuk mendengarkan semua lagu yang ada di ponselku. Aneh. Kenapa dia menyuruhku mendengarkan lagu di saat seperti ini? Dia tahu sendiri kalau aku tak pernah sekali pun mendengarkan lagu. Baiklah aku coba dengarkan. Mungkin saja rasa bosan sendirian di kereta bisa hilang.
Kubuka daftar musik di ponselku, lalu memilih lagu pertama, ‘Kudapati Senyummu’. Lagunya ringan didengar. Nada yang indah. Kudengarkan semua lagu yang ada satu per satu. Hanya ada enam belas lagu. Tapi semuanya bukan lagu yang populer. Sampai aku terdiam mendengar lagu yang terakhir, “Nada Kasihku Untukmu” . Aku melihat detail lagu ini. Entah bagaimana lagu ini bisa ada di ponselku pada tanggal di mana aku sudah tidak lagi bertemu dengannya. Ah, Jeongmin, yang mengirimkannya lewat bluetooth waktu itu.
Suaranya... Ya, suaranya, orang yang kubenci, Hyunseong. Liriknya seperti berbicara padaku. Benar-benar menyentuhku. Hanya dengan iringan gitar, ia bernyanyi dengan suara yang terdengar sedikit serak. Di akhir lagu, saat musik sudah berhenti, ia berbicara dengan suara serak. Yang berhasil melunturkan air mata dan rasa benciku.
Semua lagu yang kudengarkan tadi adalah lagu yang ia buat khusus untukku di sela-sela pekerjaannya. Dan lagu yang terakhir tadi, dibuat saat ia di rumah sakit dan direkam juga di sana, dibantu teman-temanku yang lain. Aku langsung turun di stasiun terdekat, dan pergi menjenguknya bak terbang dengan pesawat super kilat. Dengan harapan saat sampai di sana, tidak seperti adegan drama. Di mana orang yang dicintai sakit, lalu meninggal saat semua kebenaran sudah terbongkar.
Sambil berlari, aku masuk ke dalam rumah sakit menuju kamar 105, lantai delapan, ruangan tempat Hyunseong dirawat. Tak sabar menunggu lift, aku berlari menaiki ratusan anak tangga. Dengan napas terengah, aku tetap gigih menapakkan kaki di setiap anak tangga. Tak sia-sia. Aku sampai di depan ruangannya hanya dengan waktu enam menit.
Kakiku gemetar, hampir tak mampu menopang tubuhku sendiri. Kubuka pintu yag bertuliskan ‘Kamar 105’ perlahan, dan langsung mendapati tiga teman Hyunseong yang berdiri mengelilingi ranjang Hyunseong. Mereka menatapku tajam. Aku tak peduli. Aku berjalan pelan, menjaga langkahku tetap ringan agar tidak mengganggu tidurnya yang lelap. Melihatnya berbaring tak berdaya, membuat tenggorokanku sakit. Baru kali ini aku menelan ludah dengan tenaga yang luar biasa. Aku berdiri di sisi kiri ranjangnya. Menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kakinya yang tertutup rapat oleh selimut biru. Dengan selang infus yang menempel di tangan kanannya. Kurus sekali.
“Betapa bodohnya diriku, membiarkanmu berjuang sendirian. Tapi kau juga bodoh! Membiarkan dirimu berjuang sendirian. Kau kan yang selalu bilang kalau manusia tidak bisa hidup sendiri. Bahkan membutuhkan Tuhan yang memberi nyawa agar bisa hidup. Kau yang bilang kalau tak boleh ada rahasia di antara kita. Tapi semuanya kau yang melanggar. Membuatku terjebak dalam jurang tanpa dasar yang menyelimuti pikiran dan hatiku. Sampai aku tak mengenalimu lagi” kataku sambil terisak.
“Kau dengar kan? Beri aku jawaban kalau kau mendengarnya! Kenapa kau melakukan semua itu? Hah? Kenapa!?” kataku sambil mengguncang-guncang ranjangnya. Jeongmin langsung menarik tubuhku menjauhi Hyunseong, dan mencoba menenangkanku.
“Batinku tersiksa, Hyunseong. Rasanya seperti kulit di tubuhmu yang dipisahkan dari dagingnya dengan paksa. Aku mencintaimu, Hyunseong. Sangat mencintaimu” isakanku makin keras. Kakiku tak mampu berdiri tegak. Perlahan aku terduduk, lalu menangis hebat di pundak Jeongmin. Tak lama, aku mencoba bangkit dan mendekatinya. Menatap wajahnya yang pucat, matanya yang menghitam, pipinya yang tirus, bibirnya yang kering dengan selang kecil yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
Kudekatkan bibirku ke telinga kirinya, membisikkan dua kata mudah yang mungkin bisa ia dengar dengan jelas. “Maafkan aku”. Lalu kukecup lembut keningnya. Entah aku berkhayal atau tidak, air mengalir dari mata kirinya. Dia mendengarnya. Seulas senyum bahagia terpancar begitu saja dari wajahku yang basah akan hujan air mata.
Setiap hari aku menunggunya di rumah sakit. Dari pagi sampai malam. Tak jarang aku menginap untuk menemaninya. Membersihkan wajah, tangan dan kakinya dengan tisu basah, menggunting kukunya, merapikan rambutnya yang mulai panjang menutupi telinga. Aku juga selalu mengganti bunga yang ada di vas kecil di atas meja sebelah ranjangnya dengan bunga yang berbeda-beda agar ia tidak bosan. Dan juga membacakan buku favoritnya setiap malam sebelum aku pulang atau tidur. Aku melakukan itu selama dua bulan. Namun ia tak kunjung sadar. Ia masih koma.
♪
Aku pergi sebentar untuk membeli makan siang. Meninggalkan ponsel dan barang-barangku yang lain di ruangannya. Hanya membawa dompet. Ponselku bergetar disambung lagu “Nada Kasihku Untukmu” yang kujadikan nada dering. Ponselku berbunyi cukup lama. Tak lama, aku kembali dan dengan cepat mengangkat telpon yang masuk. Dari kakakku. Seperti biasa, ia menanyakan kondisi Hyunseong, aku sudah makan atau belum, dan apa aku akan pulang atau menginap di rumah sakit.
Sambil mengobrol, aku terus melihat Hyunseong. Bagai putri tidur, ia membuka matanya perlahan. Dengan mata setengah terbuka, bola matanya berputar melihat sekeliling. Dan matanya terhenti padaku. Aku membeku, membiarkan kakakku berbicara sendiri pada ponselnya. Hyunseong mencoba menyunggingkan senyum menyapaku. Dengan susah payah, ia tersenyum kecil. Lalu berusaha menggerakkan tangannya yang kaku karena tidak pernah bergerak selama dua bulan lebih. Namun ia hanya berhasil mengangkat jari telunjuknya. Sambil tertawa kecil, aku menyambut uluran telunjuknya.
Ponselku masih menempel di telingaku. Dengan senang aku berkata, “kakak, dia sudah sadar.”
♪
Semenjak ia sadar, aku makin sering mengunjunginya, bermain dengannya, menggerakkan tubuhnya agar tidak kaku. Selang di mulutnya pun sudah dicabut dan ia makan dengan normal. Walau pun hanya makan bubur dan minum susu. Sudah lewat tiga hari ia sadar. Dia memintaku membawanya jalan-jalan. Ia bosan terus berada di dalam kamar. Aku menurutinya.
Dengan kursi roda, aku membawanya berjalan-jalan di taman kecil belakang rumah sakit. Kami berhenti di dekat kolam ikan kecil dengan air mancur berbentuk lumba-lumba. Cuacanya hangat sekali. Menyenangkan. “Oh iya, aku punya sesuatu. Sebenarnya aku akan memberikannya padamu lima bulan yang lalu. Saat peringatan satu tahun hubungan kita. Tapi, aku baru dapatkan kesempatannya sekarang”, katanya tiba-tiba. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah plastik kecil yang berisi cincin baja dengan hiasan berlian imitasi.
“Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Mungkin saja aku akan mati besok. Atau mungkin beberapa menit lagi. Aku tak mau lagi membuang satu detik pun dalam hidupku tanpamu. Aku berencana melamarmu”, lanjutnya. Aku masih terdiam, menyimak kata per kata yang ia lontarkan. “Aku ingin menjadikanmu milikku seutuhnya”. Ia menarik tangan kananku, ingin memakaikan cincin.
“Dengan ini, kunyatakan kau sebagai tunanganku. Bersediakah kau mencintai seumur hidupmu, dalam suka maupun duka?”. Ia memakaikan cincin ke jari manisku. Aku menutup mulutku yang mulai terisak dengan tangan kiri. “Tentu” jawabku. Air mata haru dengan bebas mengalir. Sentak aku memeluknya sambil tersenyum bahagia. Ia mengecup bibirku dengan lembut.
♪
Hari demi hari kondisinya tidak stabil. Penyakitnya terus menggerogoti tubuhnya yang semakin kecil seperti tak berdaging. Ia sering mengalami batuk darah. Penyakitnya memang sudah akut dan ia terlambat berobat. Dokter mencoba segala hal yang bisa menyelamatkan Hyunseong. Tapi tak bisa menjamin kesembuhannya.
Aku tak tega melihat keadaannya yang seperti itu. Setiap melihatnya, aku pasti menangis. Tapi aku harus tetap kuat. Aku harus tetap ada di sisinya, menemaninya melewati semua ini. Kugenggam tangannya, dan kutempelkan pada pipi kananku. “Jangan sedih. Aku pasti akan sembuh. Aku hanya perlu berpasrah dan menunggu keajaiban datang”, katanya seraya menghapus air mataku. Aku makin terisak. Tak mampu lagi mataku menampung genangan air hatiku. Keajaiban? Apa hanya itu obat penawarnya? Kalau memang iya, tolong berikan obat penawar itu. Siapa pun yang memilikinya. Tolong berikan. Sedikit saja, aku mohon.
Akan kubayar berapa pun harganya. Aku akan mencarinya ke mana pun. Aku rela jika harus berjalan mengelilingi bumi yang bulat tak berujung ini. Tak peduli sol sepatuku meleleh menginjak berkilo-kilo aspal panas. Tak peduli jika kakiku tak bisa berjalan lagi, aku masih bisa menyeretnya. Pikiranku buntu. Tak bisa berpikir jernih. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Memang aku benar-benar bodoh. Tak bisa bersikap selayaknya.
‘Berdoalah. Mintalah pertolongan pada Tuhanmu. Hanya Dia yang mampu memberi keajaiban’. Seolah mendengar bisikan dari malaikat. Aku mulai berdoa. Menundukkan kepala dan memejamkan mata. Dalam sekejap, hatiku merasa lega dan tenang.
♪
Semuanya datang. Memenuhi panggilan daruratku. Kakakku, orang tua Hyunseong, Mika, dan teman-teman yang lain, namun Dasom tidak datang. Hyunseong seperti tengkorak hidup. Ia tak mampu lagi bergerak dan bicara. Dengan susah payah ia menulis, memintaku untuk memanggil mereka semua datang. “Mereka semua sudah datang, Hyunseong. Kecuali adikmu”, kataku. Hyunseong menulis lagi. Sangat singkat.
‘Jemput dia’
Kuambil tas dan ponselku yang tergeletak di atas meja. Menggantung jaket pada tangan kiriku. Lalu bergegas pergi. Pergi menjemput adiknya ke rumah petak yang sering kukunjungi dulu. “Aku segera kembali. Tolong jaga Hyunseong. Hubungi aku jika sesuatu yang baik atau buruk terjadi padanya”, kataku sambil lalu.
Astaga. Apa yang harus kukatakan saat bertemu dengannya? Apa dia akan membuka pintu untukku? Bernapas di ruangan yang sama pun rasanya ia tak sudi. Sibuk dengan pikiranku yang tak karuan, tak sadar aku sudah sampai di rumahnya. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya. Kuketuk pintu kayu itu tiga kali. Lama sekali ia membukakan pintu. “Dasom!” aku memanggilnya sedikit berteriak. “Aku tahu kau di dalam. Kumohon biarkan aku bicara padamu. Ini sangat penting, Dasom”. Tetap tak ada jawaban.
“Dasom... kau di balik pintu ini, kan? Aku tau kau membenciku. Tapi kau menyayangi kakakmu. Begitu pun diriku. Aku memang bukan wanita yang suci. Kelamnya hidupku, itu hanya masa lalu. Dan kakakmu yang menarikku keluar dari sana. Itu sebabnya aku sangat mencintainya apa pun yang terjadi. Dia laki-laki pertama yang sangat menghargaiku sebagai wanita. Tanpa melihat coretan merah dalam buku sejarah hidupku. Bahkan ia perlahan-lahan menghapusnya...” aku bercerita cukup panjang di depan pintu. Dengan posisi duduk menyender ke pintu. Kadang tertawa, tapi juga menangis. Aku memang cengeng.
“... aku jadi berdongeng. Baiklah. Aku harus kembali ke rumah sakit. Kakakmu mengharapkan kedatanganmu. Begitu pula aku. Sampai jumpa” aku berdiri, lalu berjalan pergi. Beberapa langkah aku berjalan, terdengar suara hentakan kaki yang cepat seperti berlari. Dan mendekapku erat dari belakang sambil menangis.
♪
Aku berjalan perlahan ke sisi kiri ranjang Hyunseong. Diikuti oleh Dasom, adik Hyunseong. Dasom tersenyum padanya. Entah ada kejadian apa selama aku pergi menjemput Dasom, di dalam kamar sudah ada penghulu yang akan menikahkan aku dan Hyunseong. Dan Hyunseong juga sudah berganti baju menggunakan tuxedo sederhana berwarna hitam dan sudah disiapkan sebuah gaun putih. Hanya gaun biasa, seperti gaun pesta bukan pernikahan. Lalu aku memakainya.
Kami mengucap sumpah pernikahan. Pernikahan yang diiringi hujan air mata. Esoknya, ia kembali koma. Ponsel Hyunseong bergetar. Aku mengangkatnya. Dari Dasom. “Halo... ya... tak apa hanya sebentar... baiklah” aku menutup telpon. Aku langsung bergegas menuju restoran depan rumah sakit. Dasom ingin bicara padaku. Dia sudah tidak membenciku.
Dia menyodorkan sebuah CD yang berisi lagu-lagu yang dibuat Hyunseong untukku. “Aku berniat untuk membuatkan album khusus untuk lagu-lagunya yang dia buat untuk orang yang spesial dalam hidupnya” jelas Dasom. Aku hanya tersenyum. Namun aku berpikir lain.
“Aku pikir, dia membuatkan lagu ini untukku, dan hanya untukku. Tidak perlu disebarkan pada orang lain” jawabku.
“Ah, tidak. Sebenarnya, ia memang berniat menyebarkan lagu-lagu ini pada dunia. Ia ingin mendengar lagunya diputar pada seluruh channel radio, televisi, dan media-media lainnya. Katanya, agar seluruh dunia tau kalau cinta adalah hal yang tidak bisa dipahami dengan teori apa pun. Termasuk pikiran kita sendiri. Tapi, ia menunggumu menengarkan lagunya. Ia ingin kau menjadi orang pertama yang mendengarnya. Dan sekaranglah saatnya”
Aku mengangguk setuju. CD itu berisi enam belas lagu dan diberi nama ‘Kudengar Nada Kasihmu’. Dan benar. Beberapa hari setelah perilisan album, lagu-lagunya sudah banyak diputar di berbagai media. Sampai terdengar di telinga Hyunseong, melalui radio kecil yang sengaja aku bawa dari rumah. Selama lagu diputar, aku ikut bernyanyi sambil memegang tangannya. Saat lagunya selesai... Hyunseong meninggal dunia dengan tangannya menggenggam tanganku sambil tersenyum manis yang tersungging di bibirnya.
THE END
Story by : Diah Permata Restiana Putri
Twitter : @DIVA_Bora
FB : Diah Permata Witjaksono