Summary: Joonmyun dan Chorong hanyalah dua orang asing yang bertemu dalam sebuah lembar perjalanan. Hanya sebentar, tapi rupanya sebentar bisa menjadi harta karun terdalam dalam peti kenangan mereka. Sampai sepertinya 'teman seperjalanan' sudah tidak cukup untuk mendefinisikan hubungan keduanya lagi. Karena sungguh, nasib rupanya punya rencana yang lebih besar dari yang semua mereka pikirkan. #ShinzuiWhiteConcert
Characters: Park Chorong (A Pink), Kim Joonmyun/Suho (EXO-K), and others.
Genre: Alternate Universe, Romance, Drama
phase o n e;
Akhirnya dia di sini, sendirian, tidak ada orang-orang berjas hitam yang akan terus mengikutinya ke manapun ia pergi sekarang. Ia tahu benar apa yang ia perbuat saat ini akan membawanya ke dalam bencana besar saat ia kembali. Oh ya, orangtuanya mungkin akan marah besar. Bukan karena ia pergi diam-diam, tapi karena ia membahayakan dirinya sendiri, atau setidaknya menurut mereka begitu.
Jadi untuk mengurangi segala kepanikan yang mungkin terjadi, ia mengeluarkan ponselnya (satu yang sudah sangat lama dan hampir tidak pernah digunakan) dan menelepon satu-satunya orang yang ia yakin masih bisa mengerti keberadaannya. Dan seperti yang telah ia duga, ia tersambung dengan voicemail. Berkatilah orang yang hanya mengecek ponselnya setiap dua jam sekali seperti ‘teman’nya yang satu ini.
“Hai, Howon-ah, voicemail lagi seperti yang telah kuduga. Tidak apa, memang ini yang kubutuhkan, sempurna. Karena aku tahu aku tidak akan kuat menahan omelanmu yang tidak akan berujung.” Di sela-sela kalimatnya, ia pun mencoba menarik nafas panjang. “Aku memutuskan untuk pergi liburan sebentar. Mendadak memang, aku tahu, tapi kalau tidak begitu aku tahu benar apa yang akan kalian lakukan. Aku tidak akan pernah mendapatkan liburan yang normal kalau aku memberitahu kalian semua.”
Selagi ia berbicara ke teleponnya, sekali lagi ia melihat keadaan di sekelilingnya, kalau-kalau ternyata ia masih belum luput dari pengawasan mereka.
“Ehm, pokoknya, sampaikan pada orangtuaku aku minta maaf karena pergi mendadak. Yakinlah aku akan baik-baik saja. Pokoknya jangan lakukan apapun yang mengganggu liburanku, mengerti? Atau aku benar-benar menolak untuk makan lagi selama seminggu. Dan aku serius. Oke? Sampai ketemu sekitar… tiga hari lagi. Aku sayang kalian semua.” Dan begitulah bagaimana akhirnya sambungan teleponnya diputus. Ia akhirnya bergegas menuju ke tempat pembuangan sampah terdekat, kemudian tanpa ragu-ragu lagi membuang ponsel tuanya ke dalam salah satu tong sampah. Dengan begitu ‘mereka’ tidak akan bisa melacak dirinya melalui ponsel.
Untuk sesaat, ia berdiri terdiam, lalu mengambil nafas terdalam yang ia sanggup. “Kau bisa lakukan ini, Park Chorong. Satu kesempatan atau tidak sama sekali.” Detik berikutnya ia sudah membalikkan badan dan melangkah mengikuti tanda yang bertuliskan ‘International Departure’
:::
Dia baru saja akan menarik kopernya menjauh saat ia merasakan benda itu rupanya tertahan dan tidak mau bergerak. Ia menoleh hanya untuk mendapati sepupunya menatapnya dengan tatapan khawatir.
“Jongdae-ya, aku tidak bisa bergerak kalau kau menginjak koperku dengan seenaknya begitu. Dan ehm tolong jauhkan sepatu kotormu dari koperku.” serunya dengan nada sedikit gusar.
“Kim Joonmyun kutanya sekali lagi apa kau sudah kehilangan akal?” tanya sepupunya, penuh nada frustasi.
“Apanya? Aku merasa sehat-sehat saja.” jawab Joonmyun enteng.
“Tapi bagaimana dengan rapat direksi yang harusnya aku dan kau, kutekankan sekali lagi, K I T A harusnya hadiri dua hari lagi?? Apa yang ayahmu akan katakan nantinya?”
“Oh tenang saja, dia tidak akan keberatan perusahaannya untuk sementara waktu diurus keponakannya yang pintar sepertimu untuk beberapa waktu, hm?”
“Dan kau tega meninggalkan aku sendirian di sini??!” jika saja Joonmyun tidak menarik kopernya supaya lepas dari injakan Jongdae yang semakin keras, ia yakin kopernya sudah akan cacat dengan bekas jejak sepatu di permukaannya.
“Tidak, tidak, kau tidak sendirian. Kau tahu Yuna-ssi kan? Sekretarisku? Dia akan menyiapkan semuanya. Semuanya akan baik-baik saja, semudah membalikkan telapak tangan.” lagi-lagi suara Joonmyun terdengar begitu ringan, hampir terdengar seperti ironi sebenarnya.
Jongdae menatap putra pamannya itu dengan mata menyipit, sepupunya itu benar-benar sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk saat ini. Kim Joonmyun memang bukan orang yang keras kepala, dan justru pria itu akan melakukan apapun yang orang lain minta dengan senang hati sebisa yang ia lakukan. Tetapi saat Kim Joonmyun sudah mempunyai keinginannya sendiri, tidak ada yang bisa menghalanginya.
“Terserahlah, pokoknya aku ingin kau kembali dengan keadaan utuh.” ujar Jongdae setelah menghela nafas panjang tanda menyerah.
“Tidak perlu kau minta pun aku sudah berharap yang sama untuk diriku.”
“Sebenarnya negara mana yang bakal kau datangi sih? Inggris? Jerman? Perancis? Kanada? Atau malah Maldives? Seingatku tahun lalu kita sudah pernah ke semua negara itu.”
“Ah… sayang sekali tebakanmu salah.” sahut Joonmyun setengah tertawa dan menarik kopernya menuju terminal keberangkatan, Jongdae tak lama kemudian mengikuti dari belakang. “Aku berangkat menuju Kamboja.”
:::
“Paspor Anda?” Chorong tanpa bersuara menyerahkan paspor miliknya dengan sedikit gugup. Jika petugas imigrasi keberangkatan telah mendapatkan peringatan akan dirinya, barang kali dia akan dibawa ke ruang lain dan ditahan di sana beberapa lama dan hancurlah liburan yang telah ia rencanakan selama ini.
Petugas yang sudah berumur sekitar tiga dekade itu meletakkan paspornya ke scanner, ia menatap layar kaca komputernya untuk beberapa waktu yang agak lama, barulah ekspresinya berubah drastis. Jantung Chorong nyaris copot rasanya.
“Ah…” seru petugas imigrasi itu kepadanya. Jujur saja ekspresinya saat itu lebih seperti orang kebingungan dan terkejut bercampur jadi satu. “Nona Park Chorong. Apa Anda tidak salah jalur? Anda bisa ambil jalur untuk diplomat kalau Anda mau.”
Chorong diam-diam menahan nafas lega, ia tersenyum manis ke arah petugas tersebut “Tidak apa-apa. Kepergiaanku bersifat sipil. Ini cuma liburan biasa.”
“Begitu, kalau begitu silakan, saya senang bisa melayani Anda.” ucap petugas itu dengan terkesan penuh kehati-hatian. Selalu seperti itu. Chorong sudah hampir terbiasa dengan perlakuan mereka.
Dan gadis itu pun hanya membalas dengan sebuah senyuman kecil, ia sudah tergesa-gesa ingin segera naik ke dalam pesawat. Alasannya lebih karena ia merasa khawatir terus menerus kalau ada di sini. Chorong begitu kalut dengan pikirannya hingga ia tidak begitu memperhatikan suara petugas bea dan cukai yang sedari tadi rupanya telah mengajaknya berbicara.
“Barang bawaan Anda, Nona.”
Tubuhnya berjengkit sedikit saat pundaknya disentuh oleh seorang pria muda bertubuh kekar dengan seragam resmi. “Maaf Nona, Anda tidak bisa lewat tanpa melewati screening terlebih dahulu.”
Dengan tampang bodoh, Chorong hanya menggumamkan kata maaf berkali-kali sebelum menyerahkan tas ranselnya melewati alat scan. Kopernya sih sudah masuk ke dalam bagasi pesawat, tapi ia tidak tahu kalau sebelum naik lagi barang bawaannya harus kembali diperiksa. Maklum, ia tidak pernah bepergian secara ‘umum’ seperti ini.
Sementara ia menunggu tasnya diperiksa, Chorong kembali melamun memperhatikan para petugas yang berada di balik komputer. Salah satu di antaranya bergumam dengan suara tertahan kepada yang lain, sambil mengamati Chorong dan layar komputer bergantian, akhirnya petugas itu berteriak kepada petugas lain yang sedang berdiri. “Periksa tasnya!!”
Kalang kabut, Chorong hanya bisa bersifat defensif terhadap tasnya saat petugas berbadan kekar tadi sudah menghampiri untuk membuka tasnya dengan paksa. “Hei ada apa ini??”
“Kami perlu melihat isi tas Anda, Nona.”
“K-k-kenapa?? Aku tidak membawa apapun yang berbahaya.”
Saking paniknya, Chorong agak terlambat menyadari begitu ada seorang lelaki lain yang berdiri di antara dirinya dan petugas berbadan kekar. “Maaf, tenang sedikit, sepertinya dia agak kebingungan karena ini penerbangan pertamanya.”
Chorong hampir memprotes bahwa ini bukan kali pertamanya ia pergi ke luar negeri, tapi ia buru-buru menutup mulutnya kembali karena tahu hal itu tidak akan begitu membantu posisinya. Jadi ia pasrah saja begitu pria asing di depannya membalikkan badan dan tanpa basa-basi berbisik dengan cepat seraya membuka tasnya, “Apa kau membawa cairan ke dalam sini?”
“A-a-aku tidak tahu. Aku terlalu terburu-buru ketika mengepak semuanya.”
Pria itu tidak berbicara lagi selagi ia mengobrak-abrik isi ransel Chorong. Ia persatu-satu mengeluarkan beberapa barang seperti botol minuman, botol sunblock, gunting, parfum, dan… “Tomat cherry? Yang benar saja?” bisik pria itu tertahan ketika tangannya mengeluarkan satu kotak sayuran tersebut dari dalam ransel Chorong.
“Cemilanku.” gumam Chorong, “diet itu menuntut banyak hal.”
“Aku rasa sudah semua, selain itu sudah tidak ada yang bisa dipermasalahkan.” dengan mudah lelaki asing di hadapannya mengabaikan celetukan Chorong dan justru tersenyum ke arah petugas-petugas berbadan kekar tadi.
Sayangnya bagi Chorong, ia hanya bisa memandang ngeri saat barang-barang yang tadi dikeluarkan sudah dilempar ke tumpukan barang-barang sitaan lainnya. “Kalian akan membuang sunblock dan parfumku??” Untungnya sebelum keributan berlanjut lebih lama lagi, Chorong sudah ditarik menjauh oleh pria asing tadi.
“Aku tidak akan mau menambah keributan lagi kalau jadi kamu.” gumam pria itu tertahan meskipun wajahnya seakan tersenyum.
“Oh tidak, aku baru saja melakukan sesuatu yang memalukan ya? Benar kan? Itu semua tadi, aku pasti terlihat sangat bodoh.” bisik Chorong kepada pria yang masih menggeretnya menuju pintu boarding.
Pria di sampingnya itu hanya menahan tawa kecil, “Selalu ada yang pertama untuk sebuah perjalanan ke luar negeri. Semua orang akan maklum. Terutama bagi seorang gadis yang pergi sendirian.” Lagi-lagi Chorong sudah ingin berteriak bahwa ini bukan pertama kalinya ia ke luar negeri, tapi seperti yang sudah-sudah ia tahu lebih baik tutup mulut untuk sementara waktu.
Lelaki itu akhirnya memalingkan wajah saat mengeluarkan boarding pass yang ia serahkan kepada petugas boarding, dan karena diliputi rasa penasaran yang membuncah Chorong tidak bisa menahan diri untuk tidak mengintip sedikit.
“Namamu Kim Joonmyun?” bisik Chorong pelan, tepat saat ia juga menyerahkan boarding passnya. Ah, Chorong bisa melihat bahu pria itu menegang sedikit ketika nama tersebut keluar dari mulutnya. Ia melirik Chorong sedikit dengan mata cokelat gelapnya.
“Tidak bisa tidak mengintip ya?”
Chorong hanya mengangkat kedua bahunya enteng, “Tidak sengaja terlihat. Lagipula akan sedikit aneh kalau kita tidak bertukar nama, terutama ketika genggamanmu sepertinya tidak akan lepas.”
Joonmyun menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Chorong bersyukur ia punya refleks yang lumayan cepat, karena jika tidak ia yakin wajahnya dan punggung Joonmyun sudah pasti akan bertubrukan sangat keras. “Maaf. Aku tidak sadar.” jawab lelaki muda itu yang sekarang sudah tampak seperti tomat berjalan. Tangannya yang sebelumnya menggenggam tangan Chorong kini menggaruk-garuk bagian belakang lehernya malu.
Gadis yang ada di sampingnya hanya tertawa seraya melanjutkan langkahnya menapaki lorong yang akan membawa mereka ke dalam pesawat, “Chorong.” celetuknya singkat. “Kalau kau ingin tahu namaku, panggil saja Chorong.”
“Chorong.” gumam Joonmyun mengulangi lagi apa yang dikatakan oleh gadis berambut cokelat tembaga itu, “Nama yang terdengar ‘cerah’.” Sayangnya (atau ‘untungnya’ bagi Joonmyun) yang disebutkan tidak sekalipun mendengar apa yang keluar dari mulutnya, dan justru telah meninggalkan Joonmyun termangu sendirian di lorong.
:::
Chorong menatap pemandangan di depannya dengan perasaan meluap-luap. Akhirnya ia di sini juga. Dengan usahanya sendiri tanpa dikekor oleh orang lain yang mengatur setiap waktunya. Siem Reap International Airport. Ia benar-benar menginjakkan kakinya di tanah Kamboja. Ia benar-benar berada di kota yang terjebak oleh waktu dengan keindahan masa lalunya itu.
Ia pun menghirup nafas dalam-dalam. Bagi Chorong saat ini, udara Siem Reap terasa sangat mahal, mahal karena ia bisa merasakan kebebasan di setiap partikelnya. Tidak ada yang benar-benar tahu berapa lama Chorong telah mendambakan ini sejak lama.
Di luar gerbang kedatangan internasional itu, akhirnya Chorong mengeluarkan notesnya yang ia simpan. Membaca baik-baik alamat yang tertera di sana, dan segera naik ke dalam taksi terdekat. Siem Reap bukanlah kota yang benar-benar padat dengan penduduk meskipun menjadi destinasi utama wisata, jadi Chorong sampai saat ini tidak menemukan kesulitan yang benar-benar berarti.
“Travellers Inn Siem Reap, Sivutha Road, Vihear Chen Village.” ucap Chorong hati-hati kepada supir taksi yang tampak sudah setengah baya. Tidak lama bagi si supir untuk mengerti instruksi dan alamat yang diberikan, taksi mereka sudah melesat di tengah jalanan Siem Reap setelahnya.
Yang tidak mereka ketahui, ada sepasang mata yang mengikuti tiap gerak-gerik Chorong sampai gadis itu akhirnya masuk ke dalam taksi dan melaju pergi. Joonmyun menemukan dirinya bernafas lega sedikit, “Setidaknya sampai dia dapat taksi kali ini rupanya dia tidak melakukan satu hal pun yang memalukan lagi.” gumam Joonmyun lebih kepada dirinya sendiri. Sesungguhnya Joonmyun juga heran kenapa ia mau mengkhawatirkan seorang gadis yang ia sama sekali tidak kenal kecuali namanya, yang bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun saat mereka berada di dalam pesawat (yah sedikit dimaklumi karena kursi mereka berjauhan) atau saat mereka telah mengambil koper mereka masing-masing dari troli bagasi airport (yang ini baru keterlaluan). Antara gadis itu sudah benar-benar melupakan eksistensi Joonmyun, atau mungkin gadis yang bernama Chorong itu pikirannya terlalu dipenuhi sesuatu. Yang manapun pilihannya Joonmyun tetap merasa aneh karena ia pikir ia seharusnya tidak memikirkan ini terlalu dalam.
Jadi Joonmyun memutuskan untuk lebih baik menikmati saja perjalanan kecilnya ini tanpa diganggu oleh pikiran-pikiran tentang seorang gadis berambut cokelat kemerahan.
:::
Joonmyun memutar-mutar kunci kamar yang sekarang ada di jemari kanannya. Roda kopernya sedikit berbunyi seraya ia menggeretnya menuju kamar yang akan ia tempati selama hari-harinya di Siem Reap, Kamboja ini. Secara tampak luar, Guesthouse yang telah ia booking sejak berminggu-minggu lalu ini ternyata tidak terlalu mengecewakan. Gaya arsitekturnya kuno seperti bangunan kolonial Perancis yang banyak ditemukan di sepanjang jalan Siem Reap, aliran udaranya pun baik dan dominasi cat tembok putih membuat cahaya yang masuk terdistribusi dengan indah. Bagian favorit Joonmyun adalah balkon guesthouse yang langsung menghadap ke taman kecil yang ada di depan dengan bunga-bunga bougenville berwarna ungu dan putih yang mulai muncul bermekaran. Sungguh cukup memuaskan untuk ukuran guesthouse yang memakan biaya sekitar $20 semalam. Tidak murah memang walaupun jelas tidak masuk ke dalam kategori mahal juga. Tapi jujur saja, jumlah segitu sebenarnya bukan masalah berarti bagi Joonmyun.
Joonmyun sudah memasukkan kunci ke dalam kamarnya dan baru saja akan masuk ketika ia membaca ulang apa yang tertulis di gantungan kuncinya, “Welcome… Travelers Inn Guesthouse Siem Rea--“ sayangnya perhatian Joonmyun teralihkan saat pintu kamar yang berhadapan persis dengan kamar miliknya terbuka. Menunjukkan seorang gadis berambut cokelat tembaga yang sedang mengamati peta dengan seksama.
“Ch-Chorong-ssi…?” oh sungguh Joonmyun tidak sadar suara yang keluar dari mulutnya terdengar seperti mencicit.
“Ya?” jawab gadis itu secara refleks, mendongak dari petanya. Yang dilanjutkan dengan “Oh.” pelan saat Chorong sadar benar siapa pria muda yang sekarang menempati kamar persis di depan kamarnya.
“Kebetulan yang benar-benar kebetulan bukan?” tawa canggung Joonmyun adalah satu-satunya suara yang terdengar di seluruh lorong hotel mereka saat itu.
:::
Mungkin kebetulan bukan kata yang benar-benar tepat. Joonmyun tidak tahu apa ini masih bisa dibilang kebetulan saat ia keluar dari hotel untuk memulai perjalanannya yang pertama dan menemukan Chorong masih berdiri tidak nyaman melihat ke arah sekeliling. Ternyata gadis itu sama sekali tidak benar-benar tahu harus ke mana di kota Siem Reap ini.
Joonmyun hampir tidak mau mempercayainya. Chorong menjawab dengan alasan bahwa perjalanan ini awalnya sama sekali tidak direncanakan. Tidak ke Kamboja pastinya. Jadi kata-kata yang keluar dari mulut Joonmyun selanjutnya adalah titik mula yang (mungkin) bakal mengubah hubungan mereka berdua. “Mau ikut denganku kalau begitu?”
Jadi di sinilah mereka berdua, duduk canggung di dalam tuk-tuk yang mereka sewa seharian ini. Mendapat teman seperjalanan sepertinya masih lebih baik jika dibandingkan harus tersesat di tempat asing ini. Setidaknya begitu pikir Chorong.
:::
Perjalanannya ke sini memang tidak pernah direncanakan matang-matang. Kecuali cara bagaimana ia akan kabur dari pengawasan yang menempel kepadanya. Tapi ia juga tidak akan menduga bahwa yang akan ia lakukan pertama kali untuk menjelajahi Siem Reap adalah ini. Chorong menatap ternganga ke arah Joonmyun yang masuk ke dalam gedung dengan santai.
“Kita… mengunjungi panti asuhan?” ucap Chorong pelan.
Lelaki di depannya tampak antusias lebih dari apapun, “Iya. ‘Sangkheum Center for Children’. Sejak dulu aku ingin melakukan hal ini. Setidaknya aku ingin berkontribusi sedikit. Aku dapat tempat ini dari internet dan mencoba menghubungi mereka beberapa hari sebelum berangkat ke sini. Hari ini sebenarnya aku sudah membuat janji dengan pengurusnya.”
Chorong memandang berkeliling dengan kagum, sementara anak-anak berkeliaran di sana sini dan beberapa mengintip malu-malu melihat kedatangan mereka. Rupanya bukan hanya mereka berdua yang berniat untuk mengunjungi panti asuhan ini. Masih ada banyak sukarelawan mancanegara lain yang menyibukkan diri mereka untuk anak-anak yang ada di sini, dan untuk sesaat Chorong merasa tersentuh dengan niat baik orang-orang itu.
Perhatiannya teralih begitu Joonmyun menyuruhnya untuk mendekat dan bertemu dengan wanita lokal paruh baya yang mengenakan kemeja kusam. “Ini Nina. Dia yang selama ini mengurus dan menjadi pelindung bagi anak-anak ini.” kata Joonmyun sambil tersenyum tanpa henti. Chorong hanya membungkuk dan menarik bibirnya selebar yang ia bisa kepada Nina. “Tempat ini adalah ‘suaka’ bagi anak-anak yatim piatu maupun yang dulu pernah dibuang, dianiaya, dan yang mendapatkan perlakuan tidak pantas.”
Chorong hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan penjelasan Joonmyun. Ia sering melakukan kegiatan seperti ini di negara asalnya. Malahan hal yang paling ia sukai dari statusnya saat ini adalah kesempatan untuk melakukan berbagai aktivitas volunteering yang ada. Ia akan melakukannya dengan senang hati selama ia bisa bermanfaat dan berbuat sesuatu untuk orang lain.
Tidak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk membaur dengan anak-anak yang ada. Joonmyun berada di sisi lain sedang mengajari mereka bahasa Inggris, sedangkan Chorong menyibukkan dirinya dengan mengajari anak-anak yang lebih kecil untuk membaca dan menghafalkan huruf alphabet satu persatu. Begitu Chorong selesai dengan sesinya dan anak-anak itu sudah menyebar untuk bermain satu sama lain, Chorong mendudukkan dirinya di bangku terdekat untuk menarik nafas sebentar.
“Tea?”
Chorong mendapati Nina sedang tersenyum ke arahnya dengan kedua tangan memegang nampan berisi cangkir. Gadis berambut cokelat tembaga itu tersenyum dan bergeser sedikit untuk memberi ruang kepada Nina. Tangan Nina yang sudah membentuk beberapa keriput di sana-sini menyerahkan sebuah cangkir berisi teh hangat kepadanya.
“Nice choice. He is a good man. I can see it in his eyes.” celetuk Nina dalam bahasa Inggris patah-patah sembari wanita itu sedang menyisip tehnya sendiri.
Chorong batal menyeruput isi cangkirnya. “Eh?”
“You two look good together.” kali ini ada sedikit gelak tawa yang keluar saat Nina mengedikkan kepalanya ke sebuah arah. Chorong menelusuri apa yang dimaksud Nina dengan pandangannya.
“Ah, did you mean Joonmyun? W-with… who?” tiba-tiba saja Chorong merasa pipinya mulai memanas saat ia sadar ke mana pembicaraan ini akan mengarah.
Nina kembali meneguk tehnya dan tersenyum lebar kepada Chorong, kali ini lebih terkesan jahil. “So are you guys here for honeymoon?”
Nina harus bersyukur Chorong tidak menyemburkan tehnya saat itu, “NOOOO! We. Are. Not. Married. Just. Friends. Okay??”
“Really? Aw too bad. If I were as young as you I would definitely want to marry him. That guy is just too good to be ‘just friend’.” usia Nina memang sudah cukup untuk dibilang tua namun rupanya tidak dengan semangat dan jiwanya, ia justru mengedipkan satu matanya ke arah Chorong dan tertawa begitu melihat reaksi gadis yang lebih muda itu.
Dengan wajah sudah memerah seperti buah jambu biji, Chorong tidak bisa menahan diri untuk ikut diam-diam memandangi oknum topik pembicaraan mereka kala itu. Joonmyun sama sekali tidak mendengar apa yang mereka berdua sedang bicarakan terutama karena ia berada di seberang sisi lainnya sibuk tertawa dan mengobrol bersama anak-anak panti asuhan.
Semua salah Nina. Salahkanlah Nina karena pada saat itu, Chorong sadar betul apa yang dikatakan Nina memang benar. Joonmyun terlihat terlalu berkualitas untuk dijadikan ‘hanya teman’. Tapi bisa apa Chorong? Sampai saat ini mereka berdua hanyalah dua orang asing yang tidak sengaja ‘bertabrakan’ dalam satu lembaran petualangan.
:::
Cuaca yang terik sama sekali tidak menghalangi gadis seperti Chorong untuk bersemangat menjelajahi keindahan Kamboja. Gadis itu bersyukur karena body scrub, body cleanser, dan body lotion kesayangannya tidak ikut disita oleh petugas bandara, setidaknya kulitnya masih bisa terlindungi dan tetap terjaga kelembabannya dari udara tropis. Jika ada yang dapat disyukuri dari segala kemewahan yang diterimanya di rumah, maka salah satunya adalah perawatan nomor satu untuk menjaga kulitnya tetap sehat. Kali ini ia benar-benar merasakan manfaat Putih Itu Shinzu’I yang disarankan oleh stylist pribadinya di Blue House.
Chorong dan Joonmyun akhirnya menghabiskan waktu sore di hari pertama mereka dengan mengunjungi Angkor Wat . Tentu saja, mulailah sebuah perjalanan dari yang paling mainstream. Meskipun se-mainstream apapun Angkor Wat dalam dunia pariwisata Kamboja, Chorong dan Joonmyun tetap tidak bisa menutup mulut mereka yang menganga lebar-lebar.
Ini adalah pertama kalinya mereka melihat sebuah candi secara langsung selama mereka hidup.
“Ini benar-benar indah.” bisik Chorong pelan.
Bangunan megah berbahan dasar batu itu tersusun dan diukir dengan bentuk-bentuk yang mereka berdua tidak pernah bayangkan. Setiap langkah yang mereka ambil mengelilingi kompleks candi ini semakin membuat mereka berdua tersedot ke dalam dunia yang benar-benar berbeda. Joonmyun terpaku untuk beberapa saat dengan memperhatikan bagaimana ukiran di salah satu temboknya dibentuk. Bagaimana orang jaman dahulu bisa membuat sebuah keajaiban seperti ini, Joonmyun tidak habis pikir. Namun begitu Joonmyun memalingkan kepala dan menggerakkan pandangannya ke sekitar, ia sama sekali tidak menemukan Chorong di manapun.
Ia mulai merasa sedikit panik untuk pertama kalinya sejak ia berada di Kamboja. “Chorong? Chorong-ssi?!”
Barulah saat Joonmyun melangkahkan kakinya ke bagian samping candi yang berbentuk seperti lorong-lorong ia menemukan gadis itu sedang berdiri termenung menatap kompleks candi dan sinar senja matahari yang mulai bersiap untuk tidur. Joonmyun pun terpaku.
“Aku rela menukarkan apa saja kalau aku bisa mengulur waktu saat ini lebih lama lagi. Bisa kupastikan ini adalah sore terindah yang pernah aku lewati.” Joonmyun tahu benar yang dimaksud Chorong adalah pemandangan candi-candi kekayaan peninggalan sejarah dan budaya di depannya, diiringi dengan semburat sinar matahari yang masuk ke dalam celah-celah lorong. Tetapi pikiran dan perhatian Joonmyun saat ini tidak bisa fokus kepada hal lain lagi. Selain menatap wajah damai dan kedua bola mata berbinar, yang memantulkan cahaya senja yang saat ini sedang menginjak waktunya. Joonmyun berusaha kuat untuk memilih menatap lorong-lorong candi jika dibandingkan harus terpaku seperti ini menatap gadis di depannya. Sayangnya ia tidak bisa.
“Bukankah ini pemandangan tercantik yang pernah kau lihat seumur hidupmu?” celetuk Chorong yang masih terlalu terpukau dengan hamparan keajaiban di depannya.
“Ya. Benar. Memang cantik.” gumam Joonmyun pelan. Oh tetapi sungguh, Joonmyun mengucapkannya dengan niat berbeda dari apa yang Chorong maksud.
:::
Malam itu mereka berpisah untuk masuk ke dalam kamar masing-masing dengan sebuah ucapan “selamat malam” yang terdengar pelan. Tidak lebih. Bagaimanapun mereka bahkan baru saling kenal tadi pagi. Jadi keduanya memilih untuk menghabiskan malam itu dengan merenungkan pikiran masing-masing. Bahwa mungkin liburan kali ini akan menjadi satu pengalaman berbeda yang akan mereka terus ingat sampai kapanpun.
:::
Pagi pertama di Siem Reap adalah yang menentukan segalanya. Joonmyun yang turun pertama kali untuk mengambil sarapan. Roti sandwich sederhana dengan kopi hitam pahit, kali ini ia memilih untuk duduk di meja dekat jendela. Joonmyun lebih banyak melamun, sampai ia menangkap semburat warna tembaga di pojokan matanya. Otomatis ia pun tak kuasa untuk tidak melirik ke arah gadis itu. Joonmyun hampir menyesali pilihannya karena detik berikut ia mendapati nafasnya tercekat.
Ia harus mengakui. Summer dress berwarna putih polos itu tampak lebih dari cocok saat dikenakan Chorong.
Sebagaimana ia telah dilatih untuk tidak sembarangan membiarkan emosinya tampak di permukaan, Joonmyun memilih mengalihkan pandangan dan berpura-pura sama sekali tidak melihat gadis itu. Kunyah, kunyah, kunyah, kenapa sandwichnya sekarang terasa sangat susah untuk ditelan?
Tetapi pagi itu memang berbeda dengan pagi yang mungkin bisa ia bayangkan. Pagi itu adalah pagi yang mengawali segala hal yang menanti. Pagi itu adalah pagi di mana Chorong yang entah muncul dari mana tanpa Joonmyun sadari, memilih untuk duduk di sebelah Joonmyun. Beberapa potong sandwich di piringnya, tentu, tetapi kali ini ia ditemani dengan secangkir milk tea.
“Selamat pagi.” celetuk Chorong dengan senyumannya yang biasa. Yang biasa berarti sama cerahnya seperti yang sudah-sudah.
Joonmyun hanya mengangguk, terlalu kaget untuk bereaksi mungkin.
Setelah itu mereka berdua hanya duduk berdampingan seraya menghabiskan isi piring dan cangkir masing-masing. Dengan beberapa obrolan pendek yang keluar suatu waktu. Tidak canggung, tapi jelas tidak sampai ke tahap terlalu nyaman.
Yang jelas pagi itu memang satu pagi yang mengawali dan mengubah banyak hal bagi mereka berdua.
Pagi itu adalah saat Kim Joonmyun dan Park Chorong memutuskan untuk berubah dari dua orang asing, menjadi dua orang teman seperjalanan.
:::
Kompleks Candi Angkor adalah kompleks candi dan kuil yang sangat besar dan tidak mungkin bisa diselesaikan hanya dalam waktu sekejap, karena itu mereka berdua (lebih seperti keputusan Joonmyun seorang yang lagi-lagi terlalu bersemangat) kali ini memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi kemarin dengan menyewa sepeda agar lebih mudah untuk berkeliling. Sayangnya, Chorong memiliki masalah dengan benda beroda dua itu.
“Kamu tidak bisa naik sepeda?” tanya Joonmyun yang sudah selesai memilih sepedanya sendiri.
Chorong menggelengkan kepalanya. Ia pernah jatuh dengan luka parah saat ia mencoba belajar menaikinya, sejak saat itu Chorong menolak keras-keras saat ia dipaksa untuk belajar sepeda lagi.
“Uh kalau begitu…” Joonmyun menggaruk-garuk bagian belakang lehernya dengan agak canggung, “aku sih tidak keberatan kalau kau mau memboncengku di belakang. Sepedanya memang dirancang untuk dua orang sih…”
Jadi Chorong tanpa berpikir lebih lama sudah menyetujui usulan Joonmyun, terutama karena ia tahu ini adalah pilihan terbaik yang bisa ditawarkan untuk saat itu. Ia mengambil duduk tepat di belakang Joonmyun, dengan posisi menyamping tentunya karena summer dressnya menghalanginya untuk bergerak yang aneh-aneh.
“Sebaiknya pegangan kalau tidak mau jatuh.” Joonmyun mengeluarkan suaranya dengan susah payah, ia bersyukur Chorong tidak bisa melihat ekspresi wajahnya saat ini.
Dan perlahan-lahan pria muda itu pun bisa merasakan tarikan kecil di sudut kanan dan kiri bajunya. Ia tidak bisa menahan tarikan senyuman bodoh di bibirnya sendiri.
Selagi Joonmyun sudah mengayuh sepedanya, Chorong berusaha keras untuk mengalihkan fokusnya ke manapun selain punggung Joonmyun, dan juga pegangan tangannya yang terasa canggung di kemeja teman seperjalanannya itu. Salah. Justru saat perhatiannya mengarah ke mana-mana ia tidak sengaja menangkap beberapa penduduk lokal dan turis memandangi mereka sambil tersenyum penuh arti. Bahkan ada yang mengabadikan mereka berdua ke dalam kameranya, seorang turis nenek-nenek yang ia lihat sambil lalu, tertawa girang seraya memotret mereka berdua.
Chorong tidak tahu seberapa merah wajahnya saat itu.
:::
Mereka menghabiskan waktu seharian di Kompleks Candi Angkor. Jelas puas karena bisa menyaksikan salah satu keajaiban dunia yang baru dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka berdua setuju bahwa favorit mereka kali ini adalah Candi Ta Prohm yang menakjubkan dengan sulur-sulur akar raksasa yang menjalar di hampir seluruh bagian candi. Candi itu sendiri saja sudah hampir menghabiskan seluruh nafas Chorong yang tidak henti-hentinya menarik nafas panjang-panjang begitu mereka menginjakkan kaki di Candi Ta Prohm.
“Setiap sudutnya seperti berbisik sesuatu yang mistis, seperti sebuah rahasia yang ingin mereka katakan pada kita diam-diam. Seandainya kita mau berhenti dan mendengarkan untuk sejenak.” sahut Chorong pada saat mereka berdua berkeliling mengamati candi yang dulu pertama kali ditemukan saat hampir ambruk itu.
Joonmyun diam-diam mengagumi setiap celetukan deskripsi Chorong tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi. Yang jelas gadis ini tidak berpikiran seperti orang kebanyakan, ia memandang semuanya dari kacamata yang lain lagi, kacamata yang lebih berwarna. Joonmyun menganggap Chorong melihat dunia ini seperti sebuah kaleidoskop yang membiaskan warna-warni yang tidak pernah bisa kita bayangkan.
Jika ada yang mereka lebih sukai dari mengunjungi Candi Ta Prohm adalah bagaimana mereka mulai saling memahami satu sama lain di waktu yang singkat ini.
:::
“Balas budi.”
Tidak sekalipun Joonmyun mengira malam itu Chorong akan muncul di depan pintu kamarnya dengan sebotol besar bir dan dua gelas berisi es. Gadis itu tersenyum lebar tanpa henti meskipun Joonmyun masih belum sembuh dari ekspresi terhenyaknya.
“Balas budi karena aku telah merepotkanmu, membuatmu mengayuh sepeda itu dengan aku sebagai bebannya. Aku tahu aku tidak ringan.” sahut Chorong lagi setelah Joonmyun melongo cukup lama.
“Sungguh sebenarnya kau seringan bulu angsa, tapi aku tidak akan menolak kalau ditraktir seperti ini.” jawab Joonmyun pada akhirnya.
Maka balkon yang menghadap ke taman kecil di depan adalah pilihan favorit bagi Joonmyun dan Chorong untuk mengadakan pesta kecil mereka. Tanpa mempedulikan apapun mereka hanya duduk begitu saja di lantai balkon dengan gelas mereka yang sudah terisi penuh dengan bir, tidak lupa Joonmyun menyumbang sekantung besar keripik kentang untuk menemani mereka berdua.
Mungkin hanya bulan perak Siem Reap malam itu yang memperhatikan bagaimana Chorong dan Joonmyun tenggelam dalam obrolan mereka sendiri. Dengan beberapa pertanyaan trivia dan sepele seperti “Bagaimana seandainya kimchi musnah dari seluruh permukaan bumi ini” atau “Sesungguhnya siapa yang menciptakan dan mencetuskan ide tentang keripik kentang.” Tidak jarang lorong hotel yang biasanya sepi itu kali ini dipenuhi dengan gelak tawa tertahan dari keduanya, berusaha untuk tidak terlalu keras sampai mengganggu tamu yang lain.
Sampai akhirnya tercetus ide yang lain dalam benak Joonmyun.
“Hei, mau berdansa?” tanya Joonmyun secara spontan. Sepertinya sih cukup banyak dipengaruhi oleh dua gelas bir yang ia minum meskipun saat ini ia sadar sepenuhnya.
Chorong mengangkat satu alisnya, “Kau bercanda, tidak ada musik di sini.”
“Siapa bilang?” sebuah senyuman satu sisi yang terkesan menantang muncul di wajah Joonmyun, “Coba dengar baik-baik.”
Gadis yang ada di sebelahnya mencoba untuk diam dan memperhatikan sejenak. Begitu Chorong mengerti apa yang dimaksud, ia menoleh ke arah Joonmyun dan sudah siap untuk memukul lengan pemuda itu sambil tertawa. “Yang kau bilang itu maksudmu suara jangkrik di malam-malam begini?”
“Hei, suara alam adalah yang terbaik dari itu semua.” belum-belum Joonmyun sudah berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Chorong, “Tuan Puteri, bolehkah aku menemanimu berdansa?”
Gadis berambut tembaga itu tidak punya pilihan lain selain menyambut uluran Joonmyun, dan memulai dansa ‘bisu’ (atau tidak juga sebenarnya, kalau kau mengikuti apa yang Joonmyun mau) mereka di balkon yang bahkan tidak lebih lebar dari dua meter.
Mereka bertahan terus seperti itu untuk beberapa waktu tanpa ada suara sama sekali. Kedua tangan mereka bertemu di satu sisi, sementara tangan kanan Joonmyun meletakkan dirinya di bagian bawah punggung Chorong, dan tangan kiri Chorong beristirahat di pundak lelaki muda yang saat ini menjadi pasangan dansanya itu. Tentunya dengan dua pasang mata yang saling terpaku kepada satu sama lain, berbicara lebih banyak bahkan daripada saat mereka bersuara.
Malam itu, hanya sinar bulan yang tahu bahwa teman seperjalanan sepertinya terlalu remeh untuk mendefinisikan mereka berdua.
:::
Ini adalah pagi kedua bagi Chorong dan Joonmyun di Siem Reap, tapi mereka sepertinya tumbuh terlalu nyaman kepada satu sama lain. Kedua anak muda itu menyusuri pagi mereka (pukul setengah tujuh waktu Kamboja dan pukul ‘terlalu pagi’ bagi Chorong) di taman kota yang Joonmyun temukan dalam perjalanan pulang dari Kompleks Candi Angkor. Sebenarnya tujuan awal mereka adalah kuil keemasan yang berada di sisi lain taman kota, tapi sepertinya tidak ada salahnya untuk menikmati pagi buta yang ada di Siem Reap ini terlebih dahulu.
“Hei, coba lempar koin ke dalam kolamnya. Siapa tahu itu bisa mengabulkan permintaan kita.” usul Joonmyun tiba-tiba, matanya berkilat jenaka seperti biasanya.
“Bukannya itu berlaku di beberapa tempat tertentu?” Chorong tidak bisa menahan tawa kecilnya jika merespon semua ide-ide aneh Joonmyun, “Aku kira cuma air mancur-air mancur keren yang bisa melakukan sesuatu seperti itu?”
Joonmyun hanya mengangkat kedua bahunya, tetapi rupanya ia sudah menggenggam sebuah koin di tangannya dan melemparkan benda itu jauh-jauh ke tengah kolam. Gadis di sebelahnya lagi-lagi tergelak dan setuju untuk mengambil satu koin lagi yang diulurkan oleh Joonmyun, tidak lama kemudian menyusul nasib koin yang telah lebih dulu dilemparkan.
“Apa permintaanmu?” mata penasaran Joonmyun mengikuti gerak-gerik Chorong yang sudah mulai berjalan duluan.
Si rambut tembaga itu menarik kedua sudut bibirnya lebar, “Rahasia. Aku tidak akan memberitahumu.”
Joonmyun sama sekali tidak memaksa, tetapi justru buru-buru menyamakan langkahnya dengan Chorong. “Hei, kalau begitu kau mau tahu permintaanku?”
“Yakin? Aku boleh tahu?”
“Tentu.” Jawab Joonmyun mantap, “Aku berdoa, seandainya reinkarnasi itu benar-benar ada, aku ingin bisa bertemu denganmu lagi di kehidupanku yang selanjutnya.”
Bukan salah Chorong kalau kakinya tiba-tiba menolak untuk bergerak cepat dan memilih untuk melangkah dengan terpatah-patah. Sementara Joonmyun terus mengayunkan kakinya lamat-lamat, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
Chorong mendadak menjadi bisu, melupakan semua diksi yang pernah diajarkan di sekolah maupun yang diajarkan oleh ayahnya.
Pagi ini adalah pagi terakhir mereka di Kamboja, karena malam nanti pesawat yang akan membawa mereka berdua pulang ke Korea sudah akan menanti di terminal keberangkatan bandara internasional. Tetapi Chorong berani bersumpah, pagi yang seperti ini adalah pagi yang telah berhasil membuatnya kehilangan beberapa akal untuk beberapa saat.
Dan untuk pertama kalinya selama ia ada di Kamboja, Chorong diingatkan oleh kenyataan yang menunggunya beribu-ribu kilometer dari sini.
:::
Sebuah perjalanan pulang, terutama satu perjalanan di mana mereka harus meninggalkan sebuah kesenangan yang sesungguhnya terasa semu, membuat siapapun yang mengalaminya merasakan beban berat. Tidak terkecuali bagi Chorong dan Joonmyun. Yang lagi-lagi duduk terpisah selama ada di dalam pesawat.
Keduanya tiba-tiba menyadari bahwa apa yang selama ini terjadi di Siem Reap, memori-memori dan terutama segala emosi yang mereka tumbuhkan di Kamboja tidak seharusnya menjadi buah tangan yang terpaksa mereka bawa kembali pulang. Tidak, terutama tidak karena mereka berdua sadar benar siapa diri mereka masing-masing, meskipun masing-masing pihak yang lain masih tidak mendapatkan ide sekecil apapun tentang identitas mereka yang asli.
Chorong baru sadar bahwa ia sama sekali tidak tahu apapun tentang diri Joonmyun. Dan Joonmyun yakin di dalam benaknya bahwa ia tidak pernah ingat Chorong menyebutkan segala sesuatu yang menyangkut kehidupan gadis itu.
Keduanya saling memahami, tetapi tidak saling ‘mengetahui’ satu sama lain.
Namun tidak ada dari keduanya yang menuntut lebih, tanpa sadar keduanya sama-sama sepakat bahwa lebih baik begitu. Setibanya di negeri asal mereka, Siem Reap dan Kamboja beserta semua yang terjadi, adalah kenangan yang tetap menjadi harta karun terpendam mereka.
Bagi Joonmyun, ia tidak ingin Chorong terlibat di dalam dunianya yang asli. Dunianya yang terlalu penuh kepalsuan dan tuntutan-tuntutan keras mencoba merusak dan menggerogoti jiwamu perlahan-lahan. Memang sebuah kenyataan pahit yang ia coba untuk terus hidup bersamanya.
Di sisi lain, Chorong menganggap kehidupan nyatanya adalah satu yang jauh dari jangkauan semua orang. Satu kehidupan yang hanya bisa dimiliki dengan perbandingan 1:1.000.000. Yang pasti, Chorong menganggap ketika Joonmyun tahu segalanya (yang mungkin cepat atau lambat akan segera pria itu ketahui mengingat betapa seringnya kehidupan keluarganya disorot oleh media, dan mengingat bahwa saat ini Joonmyun telah mengenalnya secara pribadi) maka semua ceritanya akan berbeda dari apa yang Chorong sempat harapkan.
Tidak ada lagi pilihan kecuali menjadikan yang lainnya menjadi sebuah kenangan.
:::
“Harus kuakui liburan ini adalah liburan yang paling berkesan seumur hidupku.”
“Heh, aku pun merasa begitu. Jadi… selamat tinggal… kalau begitu?”
“Ya aku rasa.”
“Joonmyun…?”
“Hmm?”
“Terima kasih. Kau menjadikan segalanya berharga.”
“Dan kau menjadikan semuanya spesial bagiku.”
Mereka berdua saling tersenyum.
“Selamat tinggal. Jaga dirimu baik-baik.”
“Kau juga. Jangan lupakan aku. Dan selamat tinggal.”
Satu pelukan erat, dan satu kecupan singkat di dahi Joonmyun.
Keduanya berpisah ke arah yang berlawanan. Hanya dua punggung yang saling menghadap satu sama lain.
:::
“Kau dalam masalah besar, Nona Muda.”
Chorong menghela nafasnya panjang-panjang begitu melihat pemandangan yang ada di depan mata. Ini terlalu banyak dari apa yang ia bakal duga. Orang-orang sudah mulai berkerumun memperhatikan mereka dan jika mereka tidak cepat-cepat pergi, bisa-bisa para wartawan akan mulai meliput tentang kejadian ini.
“Howon-ah!!! Ini terlalu berlebihan! Aku tidak butuh iring-iringan sebesar ini! Yaahh! Singkirkan mobil-mobil polisi itu!!” teriak Chorong frustasi kepada lelaki muda dan tegap yang memakai setelan lengkap berwarna hitam.
Lelaki yang disebut Howon itu hanya membukakan pintu mobil yang telah ia siapkan kepada Chorong, “Bukan salahku. Sekretaris Negara yang memerintahkan ini semua. Dan oh, sebaiknya kau siap-siap menghadapi omelan Ayahmu di rumah.”
Chorong yang sudah ada di dalam mobil, diikuti dengan Howon yang masuk dan mengambil duduk di kursi bagian depan, hanya menggerutu pelan. “Oh ya? Bukannya seorang presiden seharusnya lebih mengkhawatirkan nasib kelanjutan negara ini jika dibandingkan harus repot-repot mengomeli putrinya yang sekali-kali memutuskan untuk pergi liburan?”
“Liburan? Kau baru saja kabur ke luar negeri selama hampir empat hari dan baru mengabari semua detailnya kepada kami di Korea pada hari ketiga. Bersyukurlah karena Ibu Negara berhasil meyakinkan Tuan Presiden untuk tidak mengirimkan pasukan intelijennya untuk mencarimu.” jawab Howon ketus.
Chorong lagi-lagi mencibir ke arah pengawal pribadinya yang telah dengan sukses merusak moodnya menjadi lebih buruk lagi. “Setidaknya kau bisa mengucapkan ‘selamat datang kembali’ kepadaku dan bukannya ini.”
:::
Joonmyun sudah tahu sepupunya Jongdae pasti akan ada di sana meskipun ia sudah memberitahunya untuk tidak usah melakukan ini. Bagaimanapun ia merasa benar-benar beruntung memiliki seseorang seperti Jongdae yang bisa sangat diandalkan.
“Hmm… sepertinya kau tidak membawakanku oleh-oleh.” celetuk Jongdae saat ia memperhatikan bawaan Joonmyun yang sama sekali tidak beranak pinak.
Joonmyun ingin menepuk dahinya keras-keras. “ASTAGA!!!” Ia sungguh lupa. Ia benar-benar lupa karena perhatiannya begitu disita oleh seseorang dengan rambut berwarna cokelat tembaga.
Ah. Seharusnya ia tidak mengingat tentangnya lagi.
“Maaf Jongdae-ya. Sepertinya ketinggalan heheheh.” jawab Joonmyun dengan tawa patah-patah.
Sepupunya hanya menatapnya dengan satu pasang mata sedingin es, “Ketinggalan atau memang ketinggalan di toko karena kau sama sekali tidak membelinya?”
Joonmyun tidak tahu apakah ia harus bersyukur dengan suara sirine keras yang tiba-tiba melewati mereka karena obrolan tentang oleh-oleh ini untuk sementara masih bisa ditunda. “Sirine? Kenapa ada banyak sekali rombongan mobil berwarna hitam dan juga mobil-mobil polisi?” Joonmyun melongokkan kepalanya agar bisa melihat lebih jelas ke arah jalan bandara Incheon.
“Oh, itu sih memang ada sejak tadi. Orang-orang bilang sepertinya ada keluarga Presiden yang baru saja tiba.”
Joonmyun menolehkan kepalanya ke arah si sepupu, “Maksudmu Presiden Park? Sungguh? Wow. Aku belum pernah bertemu sekalipun dengan Tuan Presiden maupun keluarganya. Hah, melihat keluarganya di tv saja belum pernah. Siapa yang menduga hari ini aku bisa melihat setidaknya mobilnya saja lewat.” Ia mengatakannya sambil tertawa kecil, sedikit mengasihani dirinya sendiri.
Jongdae menyodok perut Joonmyun dengan sikutnya pelan, “Sudah kubilang juga apa. Setidaknya cobalah update dengan berita-berita terkini. Bukannya tenggelam dengan tumpukan dokumen kantormu.”
Tetapi sepupu Jongdae yang lebih tua itu tidak begitu memperhatikan. Ia tidak tahu kenapa pastinya, tapi Joonmyun mendapati dirinya sendiri tidak mau melepaskan tatapannya dari rombongan keluarga Presiden itu sampai mereka hilang dari jarak pandang.
:::
Mereka berpisah dengan harapan agar bisa menyimpan kenangan mereka dalam-dalam. Satu harta karun yang paling berharga di dalam benak mereka. Seharusnya, semuanya bisa menjadi ‘hanya’ memori, bukankah begitu?
Tetapi tanpa diketahui keduanya, takdir telah memerankan peran yang lebih besar.
Bagaimana seandainya semuanya tidak benar-benar berakhir di sini?
--to be continued