Tanganku sakit sekali! Aku masih menggenggam tanganmu dan kau juga menggenggam tanganku erat sekali. Perlahan tapi pasti jari jemarimu merosot dari tanganku. Meskipun terasa menyakitkan, tapi aku tidak mau melepaskan tanganmu. Aku melihat matamu banyak meneteskan air mata. Aku tahu ini juga menyakitkan untukmu tapi kau juga takut untuk melepas genggaman tanganku.
Aku benar-benar tidak tahan lagi. Keringat ditanganku juga mulai mengkhianati usahaku untuk tetap mempertahankanmu dalam genggamanku. Kau menatapku. Aneh, meskipun menangis tapi kau tersenyum padaku. Aku menggeleng saat menyadari kau tidak lagi menggenggam tanganku. Kini hanya tanganku yang bersikeras memegang tanganmu.
Ingin sekali aku menarik tubuhmu dan memelukmu, tapi untuk menarik tubuhku sendiri saja aku tidak bisa. Tenagaku mulai habis. Aku mengerahkan sisa tenagaku untuk mempertahakanmu di tanganku. Aku tidak mau menyerah. Tapi apa yang kau lakukan. Kau bahkan mencoba menarik tanganmu dari tanganku.
“Ani..” kataku. Kau menggeleng dan masih tersenyum padaku. “Jagiya..jebal,” pintaku.
“Aku tidak mau menyakitimu,” katamu dalam isak tangis.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu jatuh? Anio…” bantahku. Aku berusaha menarik tanganmu yang lemas. “Jagiya, pegang tanganku!”
“Sireo..” kau bergumam. “YA!”
“Lepaskan aku! Kalau tidak, kau akan jatuh bersamaku!” pekikmu. Tangismu pecah lagi.
“Jagi, andwae..” Kau kembali menarik tanganmu. Aku menggenggam tanganmu semakin kuat. “JAGIYA!!!” Tanganmu lenyap dari tanganku. Aku menatap sosokmu lenyap dengan cepat. Kemudian aku merasa seseorang menyentuh bahuku pelan dan memanggil namaku.
“Oppa,Sungmin oppa..Sungmin oppa..”
Aku membuka mataku. Melihat ke sekeliling dan mendapati kau sedang menatapku sambil tersenyum manis. Aku memegang kedua bahumu dan memelukmu. “Jagi, kau baik-baik saja. Aku baru saja bermimpi aneh. Syukurlah itu hanya mimpi,” kataku.
Kau menatapku dan tersenyum padaku. Aku beranjak dari tempat tidurku yang nyaman. Aku menatapmu yang sedang menyibakkan gorden di jendela kamarku dan membiarkan cahaya matahari masuk, membuatmu bersinar seolah kau malaikat. Lagi-lagi kau tersenyum padaku. Badanku terasa kaku dan sakit di sana-sini. Aku meregangkan badanku lalu bergegas ke kamar mandi.
***
Kau sedang duduk di meja makan saat aku turun ke bawah. Sepiring pancake dan segelas jus jeruk ada di sana. Kau menyodorkan keduanya saat aku duduk di sampingmu. “Kau tidak makan?” tanyaku. Kau menjawabnya hanya dengan tersenyum dan menggeleng pelan. “Kau manis sekali hari ini,” pujiku dan aku melihat wajahmu memerah.
Pancake ini enak sekali, aku sampai menghabiskannya dengan cepat. Kuteguk juga jus jeruk segar itu. Rasanya aku bisa bersemangat sepanjang hari setelah sarapan. Kau menggenggam tanganku dengan lembut. Aku menatapmu dan kau mengendikkan kepalamu dengan manja.
“Aku tahu…aku sudah janji akan mengajakmu jalan-jalan ‘kan? Aku tidak lupa. Ayo,” kataku sambil menarik tanganmu. Udara di luar sangat cerah, matahari juga sama semangatnya denganku. Angin berhembus pelan, membuat rambutmu bergerak-gerak pelan. Gaunmu yang putih bersih itu melambai-lambai saat kau berlari-lari kecil.
“Jagiya, kau mau hadiah apa?” tanyaku. Kau menatapku. “Ini ‘kan hari ulang tahunmu. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu.”
“Geurae?” tanyamu.
“Yups, apapun,” jawabku.
Kau bertepuk tangan sambil tersenyum manja. Kau menggenggam tanganku lagi dan mengayunkan tangan kita. Kita berjalan sambil menyanyikan lagu favorit kita, Close to You – Edward Ou.
Why do bird suddenly appear
Every time..you are near
Just like me they long to be
Close to you..
Sepanjang jalan, aku bertemu dengan para tetangga yang sedang memulai paginya di halaman. Aku tersenyum dan menyapa mereka semua. Mereka membalas sapaanku dengan amat ramah seperti biasanya tapi setelah itu tatapan mereka berubah. Entah itu hanya perasaanku saja atau mereka memang menatapku dengan aneh. Aku tidak peduli, kau saja terlihat tidak masalah dengan itu. Kau tetap tersenyum dan bernyanyi sambil melompat-lompat kecil di sampingku.
Berjalan di pagi hari sangat menyenangkan. Apalagi bersamamu yang sangat ceria. Tak terasa, kita sudah memasuki taman kota yang ramai pengunjung. Kau berlari ke sana kemari, melihat ini itu seperti anak kecil. Aku tersenyum sendiri, teringat betapa aku mencintaimu karena sikap polosmu yang kekanak-kanakan itu. Aku berlari menghampirimu dan mencubit pipimu dengan gemas.
“Sakit..” katamu sambil cemberut, makin menambah rasa gemasku. Aku memegang pipimu dengan kedua tanganku dan menggoyangkan kepalamu pelan. Kau tersenyum. Aku tidak sengaja melihat seorang gadis di seberang jalan sedang menatapku aneh. Aku menatapnya dan dia segera memalingkan wajahnya. Aku mengangkat bahu dan kembali menatapmu. Di depan sana aku melihat seorang pria paruh baya menjual permen kapas kesukaanmu.
“Kau duduk di sini yah,” kataku, menyuruhmu duduk di kursi taman. Kau mengangguk. Aku segera berlari menghampiri si pedagang permen kapas. “Aku beli dua,” kataku pada si pedagang. Pedagang itu menyodorkan permen kapas berwarna pink. “Ah, mian. Boleh buatkan yang berwarna putih? Pacarku tidak suka warna pink,” pintaku. Pedagang itu tersenyum dan segera membuatkan permen kapas sesuai permintaanku.
Aku menengok ke arahmu yang masih duduk di bangku taman. Aku melambaikan tanganku padamu dan kau membalasnya. Pedagang itu mengikuti arah pandanganku, lalu tiba-tiba alisnya bertaut. Ia menatapku sekilas, lalu kembali membuat permen kapas. Ia menyerahkan dua permen kapas putih padaku dan aku membayarnya.
Dengan dua permen kapas berwarna putih di tanganku, aku berlari menghampirimu. Wajahmu terlihat sangat senang. Aku menyerahkan permen kapas itu ke tanganmu yang terulur ke arahku.
“Kau membawa awan untukku,” katamu sambil memakan permen kapasmu. Ada permen kapas yang tertinggal di atas bibirmu. Aku mengusapnya dengan tanganku. Di saat yang bersamaan, seorang anak kecil lewat bersama ibunya. Lagi-lagi mereka menatapku dengan aneh. Sang ibu malah berusaha tersenyum padaku sambil menarik anaknya pergi.
“Jagi, apa ada yang aneh denganku?” tanyaku bingung. Kau menatapku dengan seksama lalu menggeleng. Kau tersenyum padaku saat melihat aku termenung. “Ah..aku tahu! Aku tampan sekali sampai-sampai orang menatapku seperti itu,” tebakku. Seketika tawamu meledak. Mendengar tawamu yang begitu lepas membuatku ingin tertawa juga.
***
Seharian penuh kita bermain di taman. Bermain di wahana mainan anak-anak, bermain di air mancur dan banyak lagi. Aku tidak lagi mempermasalahkan orang yang menatapku dengan tatapan aneh. Aku bisa bersama dengan orang yang sangat ku sayangi di hari ulang tahunnya adalah hal yang sangat menyenangkan karena aku bisa memanjakannya.
“Jagi..kau belum menyebutkan kau ingin hadiah apa dariku,” kataku saat kami menuju arah puncak bukit bertebing terjal dengan mobilku yang melaju pelan. Kau tidak menjawab pertanyaanku, kau bahkan tidak memalingkan wajahmu padaku. “Jagi…jagiya apa yang sedang kau pikirkan?” tanyaku manja.
Kau menatapku dingin. Kau memintaku berhenti di sebuah tikungan tajam yang pagarnya tampak baru diperbaiki. Kau berjalan dan berhenti tepat di depan pagar yang menjadi batas antara jalan dan ujung tebing yang curam.
Angin meniup rambutmu pelan dan entah mengapa aku merasa kalau kau sangat cantik. Namun aku baru menyadari ada yang berbeda darimu saat cahaya matahari menyinari wajahmu dengan cahayanya yang tajam. Salah satu hal yang membuatku jatuh cinta padamu adalah pipimu yang selalu merona merah saat terkena matahari. Tapi kali ini, aku tidak melihat itu di wajahmu. Kau pucat.
“Jagi, kau kelelahan ya? Atau jangan-jangan kau sakit?” tanyaku. Kau tidak menjawab hanya terus menatapku dengan bingung. “Kau sakit ya?”
“Aku baik-baik saja. Kau yang tidak beres oppa..”katamu datar.
“Nan? Apa yang salah denganku?” tanyaku. Aku memeriksa bajuku, serasi. Aku meraba wajahku, tidak ada yang menempel atau terasa aneh. Semua seperti biasa. “Ada yang aneh denganku? Apa?” tanyaku.
Balon biru yang kubelikan untukmu di taman terlepas dari tanganmu. Aku mencoba untuk meraih ujung talinya tapi kau menyentuh tanganku. Aku berbalik dan melihat air mata di pipimu.
“Kenapa kau menangis? Maafkan aku, aku tidak bisa menangkap balonnya. Nanti ku ganti,” bujukku.
“Sepenting itukah?” katamu bergumam.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.
“Kau sudah janji akan mengabulkan permintaanku, ‘kan?” tanyamu ketus.
“Tentu saja. Apa yang..”
“Biarkan aku pergi,” katamu memotong kata-kataku. Aku terkejut mendengar kata-katamu jadi aku hanya memandangmu kebingungan. “Mengapa kau tidak mau membiarkan apa yang sudah pergi darimu meninggalkanmu? Sepenting itukah aku bagimu?”
“Pergi?” Aku melihat apa yang ada di sekelilingku. Keringat mulai muncul dari keningku. Aku menatap tebing terjal berbatu di depanku. Kilasan mengerikan dalam mimpiku terlintas begitu jelas. Aku lalu menatap tanganku dan merasakan kembali rasa sakit saat kau menggantungkan hidupmu di ujung tebing itu. “Anio..itu cuma mimpi..iya ‘kan jagi?”
“Sudah setahun kau terus mempertahankanku di sisimu. Kumohon…biarkan aku pergi.” Kau menangis sambil menatapku. Aku menggelengkan kepalaku keras-keras. Berharap mimpi itu pergi dari otakku. Tapi itu bukanlah mimpi.
FLASHBACK
Tepat setahun lalu…
Aku mengendarai mobil silver kesayanganku melewati tikungan demi tikungan tajam di bukit ini. Kau tertidur sangat lelap di sampingku. Jalanan gelap sekali sehingga jarak pandangku sangat terbatas. Aku berjalan pelan tapi rasa kantukku terasa sangat menguasai. Rumahku hanya tinggal beberapa tikungan di depan sana.
Aku sudah melihat kalau pagar di sisi kiriku mulai membelok. Di depan pasti ada tikungan lagi. Aku melajukan mobilku agak sedikit lebih cepat. Aku ingin segera sampai di rumah. Pesta ulang tahunmu hari ini sangat menyenangkan tapi juga melelahkan. Namun beberapa meter sebelum aku mencapai tikungan itu, sebuah cahaya muncul dengan sangat cepat dari arah yang berlawanan dengan mobilku. Cahaya itu muncul dari balik tikungan dan menikung terlalu jauh sehingga masuk ke lajur mobilku. Motor itu melaju terlalu cepat bahkan aku tak bisa memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku membanting stir mobilku ke arah kiri berharap bisa menghindari motor berkecepatan tinggi itu. Tapi itu menjadi hal yang membuatku membenci diriku sendiri selamanya.
Mobilku menabrak pagar pembatas keras sekali. Motor itu menabrak bagian belakang mobilku saat mobilku berputar. Sekali lagi mobilku menabrak pagar pembatas dengan keras. Kali ini mobilku terpental dan berputar dengan mengerikan di udara. Kau menjerit dalam pelukanku sambil memegangi kepalamu. Mobil mendarat dalam keadaan terbalik lalu terseret dan menabrak pagar tepat di tikungan. Kaca mobil pecah dan kau terlempar ke luar.
Aku tergeletak dipinggir jurang dengan kepala berlumuran darah. Kudengar rintihanmu, tapi aku tidak melihat sosokmu dimana pun. Aku berusaha berdiri dan berjalan mendekati jurang. Aku segera mencoba meraih tanganmu yang memegang erat bongkahan batu yang muncul di tebing, jauh dari jangkauan tanganku. Sambil tetap menjaga tubuhku tidak terperosok ke bawah, aku mengulurkan tanganku sejauh yang aku bisa untuk menggapaimu.
“Apa kau bisa meraih tanganku, jagiya?” tanyaku. Awalnya kau ragu melepaskan peganganmu pada batu itu, tapi kemudian kau perlahan-lahan meraih tanganku dengan tangan kananmu. Aku terus menggenggam tanganmu. Aku bisa merasakan tanganmu gemetar saat kau menggenggam tanganku erat sekali. Ingin sekali aku menarik tubuhmu dan memelukmu, tapi untuk menarik tubuhku sendiri saja aku tidak bisa. Aku tidak tahu sampai kapan ini akan berakhir.
Sial! Kenapa di saat seperti ini tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Si pengendara motor yang menabrak kami pun tergeletak di tengah jalan. Entah dia mati atau masih hidup. Yang jelas ia tidak bergerak sama sekali sejak tadi. Aku menatap matamu yang berlinang air mata. Sekali lagi aku mencoba menarik tubuhmu. Tanganku bahkan terasa mati rasa, dan jari jemarimu pelan-pelan merosot dari tanganku.
Keringat ditanganku juga mulai mengkhianati usahaku untuk tetap mempertahankanmu dalam genggamanku. Kau menatapku. Aneh, meskipun menangis tapi kau tersenyum padaku. Aku menggeleng saat menyadari kau tidak lagi menggenggam tanganku. Kini hanya tanganku yang bersikeras memegang tanganmu. Tenagaku mulai habis. Aku mengerahkan sisa tenagaku untuk mempertahakanmu di tanganku. Aku tidak mau menyerah. Tapi apa yang kau lakukan. Kau bahkan mencoba menarik tanganmu dari tanganku.
“Ani..” kataku. Kau menggeleng dan masih tersenyum padaku. “Jagiya..jebal,” pintaku.
“Aku tidak mau menyakitimu,” katamu dalam isak tangis.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu jatuh? Anio…” bantahku. Aku berusaha menarik tanganmu yang lemas. “Jagiya, pegang tanganku!”
“Sireo..” kau bergumam.
“YA!”
“Lepaskan aku! Kalau tidak, kau akan jatuh bersamaku!” pekikmu. Tangismu pecah lagi.
“Jagi, andwae..” Kau kembali menarik tanganmu. Aku menggenggam tanganmu semakin kuat. “JAGIYA!!!” Tanganmu lenyap dari tanganku.
Aku tidak mendengar jeritanmu saat kau jatuh. Aku memandang tanganku yang hampa, pucat seperti tidak dialiri darah. Benarkah kau sudah pergi? Aku terduduk lemah memandang kegelapan yang melenyapkanmu. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Aku membiarkan tubuhku terbaring di tepi jurang, menatap langit yang seharusnya terlihat indah dengan ribuan bintang berkelip.
NOW…
Ingatan menyakitkan itu menjawab semuanya. Senyum yang tiba-tiba berubah dari para tetangga yang ku sapa, gadis yang memalingkan mukanya saat aku tahu dia sedang memandangku aneh, penjual permen kapas yang bingung melihatku, seorang ibu yang dengan sopannya menarik anaknya agar jauh dariku. Semua itu jawabannya hanya satu. Mereka pikir aku gila. Mereka tidak melihat siapa yang sedang aku ajak bicara. Tidak pernah ada.
“Mianhae…”gumamku di sela tangis. “Mianhae…”
Kau berjalan menghampiriku yang terus menggelengkan kepalaku sambil menangis. Kau menyentuh kedua pipiku dengan kedua tangan mungilmu, mengangkat wajahku agar aku bisa melihat matamu. Dengan kelembutan yang sangat kukenal, kau menghapus air mata di pipiku.
“Sekarang kau sudah sadar. Lupakan aku. Kembalilah pada kehidupan normalmu,” katamu. “Berhentilah menganggapku masih di sisimu. Jangan seperti ini. Kau bukan hanya menyakiti dirimu sendiri, tapi jika kau terus seperti ini kau menghancurkan hatiku, Sungmin oppa…”
Aku menggeleng dan terus menangis. Aku tidak mau kehilanganmu tapi aku tidak mau menyakitimu. Kau masih memegang pipiku. Aku ingin memegang tanganmu tapi saat kusentuh tanganmu, hanya udara yang ada di pipiku. Aku tidak bisa menyentuhmu. Aku memandangmu dan kau menangis.
“Let me go…jagiya..jebal….” isakmu. “Akan ada banyak wanita yang mengejarmu karena kau tampan,” rayumu.
“Aku tidak mau yang lain selain kau,” kataku keras kepala.
“Jagi…” tangismu terdengar sangat menyakitkan. “Aku lelah, biarkan aku tidur.” Aku menatap matamu. Rasa sakit serasa mengoyak jantungku saat melihat matamu yang begitu menderita. Aku tidak ingin kau hilang. Tapi… Aku mengangguk. Lalu kulihat kau menghembuskan napas.
“Gomawo…” gumammu sambil melepaskan tanganmu dari pipiku.
“Jagi…” Sekali lagi aku mencoba meraihmu, tapi lagi-lagi hanya udara kosong yang kutangkap.
“Annyeong..” katamu sambil mengangkat tanganmu dan melambai padaku.
Setahun kemudian…
Aku merasa seseorang menendang kakiku. Aku terbangun dan mendapati aku tertidur di samping makammu. Ini hari ulang tahunmu dan juga hari kepergianmu. Aku biasa mengunjungimu di sini dan memberimu banyak bunga mawar putih. Aku sudah merelakanmu dan aku juga sudah kembali pada hidupku.
Aku menggosok mataku dan membersihkan lengan kemejaku dari serpihan rumput. Saat melihat kakiku, aku melihat kaki seorang gadis yang berdiri di depanku. Aku mendongak dan terkejut saat melihat wajahmu. Aku berdiri tergesa-gesa sehingga tidak bisa menjaga keseimbanganku. Wanita yang memiliki wajah sepertimu buru-buru memegangiku.
“Jweseonghamnida..tadi saya tidak melihat anda di sana. Apa anda terluka?” tanya wanita itu sangat sopan. Meskipun memiliki wajah serupa denganmu dan bersikap sangat baik, tapi dia bukan kau. Aku merasa ada yang berbeda. Benar-benar tidak sama.
“Ah..Gwaenchana,” kataku saat wanita itu menatapku terus.
“Yeobo?” tanya seorang wanita dari belakangku.
“Oh jagiya, kau sudah kembali,” kataku pada istriku.
Ya, aku sudah menikah dengan gadis yang menatapku aneh di taman setahun lalu. Ia bernama Seungyi. Setelah kepergianmu, aku sering mengunjungi taman itu dan dia menyapaku. Meskipun tidak pernah melihatmu atau bertemu denganmu, tapi ia menerimamu seperti kakak sendiri. Dia juga memahami perasaanku seperti kau memahami aku.
“Yeobo, dia..” kata Seungyi tampak terkejut melihat wajahmu pada gadis di depanku.
“Jweseonghamnida..tadi aku tidak sengaja menendang kakinya,” kata gadis itu sambil membungkuk.
“Sudahlah..aku tidak apa-apa. Salahku juga menghalangi jalan,” kataku. Setelah itu seseorang memanggil gadis itu. Setelah meminta maaf sekali lagi, gadis itu pergi. Seungyi masih memandang kepergian gadis itu.
“Yeobo, wajahnya..” gumam Seungyi.
“Mirip tapi tidak sama,” kataku meneruskan kata-katanya. “Kau tidak perlu cemburu, karena cintaku kini hanya untukmu. Dia sudah berisirahat dengan tenang di dalam sana,” kataku sambil menunjuk makammu. “Aku yakin dia sudah bahagia. Jadi sekarang aku akan membuatmu bahagia. Ok?” Seungyi mengangguk. Aku menaruh permen kapas putih dalam plastik menggembung di atas makammu. Setelah itu aku meninggalkanmu dalam senyum karena aku yakin kau pun tersenyum meski aku tak dapat melihatnya.
THE END