home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Things Left Unsaid

Things Left Unsaid

Share:
Author : INDRPST23
Published : 07 May 2014, Updated : 07 May 2014
Cast : Kai, EXO
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |3723 Views |4 Loves
Things Left Unsaid
CHAPTER 1 : 001

[NISEUL POV]

“Ne eomma, aku akan jaga kesehatan. Ne, kirimannya sudah sampai, gomawo semuaaaa! Sampaikan salamku pada appa dan Jaekwon. Ne, nado saranghae. Annyeong haseyo!”

Sambungan teleponpun terputus. Aku tersenyum senang sambil meletakkan ponselku di sampingku. Hari ini adalah hari ulangtahunku. Keluargaku yang tinggal jauh dariku baru saja mengucapkan selamat ulang tahun. Teman-temanku siang ini juga memberiku beberapa hadiah dan sebuah kejutan di sekolah. Umurku bertambah setahun, haaah semakin tua saja ya aku ini.

Tiba-tiba sebuah notification email muncul di sudut layar laptopku, “Apa ini?”

Lalu kubuka email tersebut, ternyata March Digest dari Youtube. Aku sedikit mengharapkan email itu berasal dari seorang temanku, Hara. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya karena dia sibuk bekerja di sebuah agensi ternama di Korea Selatan, kau tahu SM Entertainment kan? Nah iya disitu dia bekerja. Dan teman-temanku sisanya, mereka masih berada dekat dari jangkauanku. Walaupun kami semua sibuk tapi pasti ada waktu untuk berkumpul. Aku tetap membuka Youtube untuk melihat video baru yang ada di dashboardku. Jadi ada video dari 2pm, Junho bermain film dengan si namja F4.. siapa itu namanya? Aish aku lupa! Ada video simonandmartina yang sering membuatku tertawa sendiri. Lalu video dari SM, ada SHINee dengan lagu barunya Sherlock. Sebuah video dance practice dan promotion clip untuk cover contest. Dan...

“EXO!” teriakku.

Lalu pandanganku jatuh pada sebuah gelang yang setahun lebih ini selalu kupakai di tanganku. Bahkan aku suka merasa janggal kalau aku tidak memakainya. Mengingat adanya cerita di balik gelang ini membuatku tersenyum kecil. Mataku kembali mengarah pada judul video yang baru saja ku new tab itu, EXO_SHOWCASE_Promotion Clip.

“Jadi, akhirnya mereka akan debut.”

Tanpa kusadari aku merasakan sedikit rasa bangga di lubuk hatiku yang terdalam. Aku tahu bagaimana kerja keras mereka, bagaimana mereka sangat menanti saat-saat ini. Terbayang muka kedua belas teman namjaku itu. Perlukah kusebut satu persatu? Ah, tidak usah ya mereka terlalu banyak kkkkk. Aku hanya tersenyum membayangkan bagaimana senangnya mereka saat ini. Aku merindukan mereka.

Sekali lagi aku menjatuhkan pandanganku pada gelang di tanganku, lalu menghela nafas berat.

“Terlebih lagi.... kau. Aku sangat merindukanmu.”

 

[FLASHBACK]

 

“Ah, ne. Niseul-ah, aku pergi duluan ya. Ada.....latihan...sore ini. Annyeong.” lalu ia pergi, sekali lagi, ia tidak banyak bercanda seperti hari-hari kemarinnya.

Aku termenung melihat punggung Jongin yang semakin lama semakin menjauh dari pandanganku.

Apa yang terjadi dengannya? Pikirku dalam-dalam.

Sudah sejak bulan Januari sampai pertengahan Februari, Jongin berkelakuan aneh. Aku sangat mengenalnya, ia adalah temanku dari SMP sampai sekarang SMA. Kim Jongin, bagaimana aku menjelaskannya? Dia adalah teman yang cuek, jutek, dan suka menggoda sebagai bahan candaan. Bahkan kadang, candaannya terdengar seperti dia sedang melakukan flirting. Sehingga banyak yeoja-yeoja di sekolahku yang jatuh cinta padanya. Sayangnya, Jongin tidak tertarik oleh salah satu dari mereka.

Selama berteman dengannya, tak seharipun aku lepas dari bahan godaan yang ia buat. Mau itu berupa ejekan, sindiran, atau sesuatu yang mungkin menyakitkan tapi ia mengatakannya dengan cara yang lebih... halus mungkin? Tapi, disamping itu dia juga seorang teman yang baik. Dia teman yang pengertian dan perhatian. Ya, itulah sisi baik dari seorang Kim Jongin.

Namun akhir-akhir ini sifatnya benar-benar berbeda. Tak pernah sekalipun selama 6 tahun ini aku melihat Jongin sangat... diam. Saat kutanya apakah ada masalah, dia hanya menggeleng dan segera mengganti topik. Namun dia terlihat tidak terlalu peduli dengan topik yang baru saja ia buat itu. Ia bahkan tidak akan berbicara padaku kalau aku tidak mengajaknya bicara duluan.

Apa jangan-jangan........ia marah padaku?

Aku berusaha berpikir apa hal yang sudah kulakukan sampai-sampai bisa membuat Jongin seperti itu. Tapi tidak muncul sesuatu yang salah di benakku. Aku tidak salah! Jinjayo, Kim Jongin wae ire?! Sejujurnya aku tidak tahan dengan sifatnya yang seperti ini. Aku merasa... kesepian. Rasanya sepi sekali. Walaupun aku sering terganggu oleh ejekan-ejekannya serta senyumnya yang mencemooh itu, tapi aku sudah terbiasa. Sekarang dia jadi pendiam, aku malah merasa kehilangan.

“Apa yang harus kulakukan?” kataku lagi.

“Niseul-ah?” ada sebuah suara di belakangku.

Aku memutar badan untuk melihat, ternyata Junmyeon. “Ah, oppa, annyeong!”

Junmyeon lalu tersenyum padaku. “Annyeong!”

Aku menatap senyuman malaikat yang selalu dimiliki Junmyeon itu, seakan-akan seluruh dunia ikut tersenyum juga dengannya.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya. Aku hanya menjawabnya dengan gelengan. Junmyeon menghela nafas kecil dan tersenyum, lalu menepuk pundakku, “Bagaimana kalau kau bantu aku menghabiskan bekal yang Kyungsoo buatkan untukku?”

Tanpa berpikir dua kali aku mengangguk dan mengikuti Junmyeon yang berjalan ke arah taman belakang. Taman di sore hari seperti ini terasa sangat damai dan menyenangkan. Suasananya sejuk, musim semi memang musim terindah yang pernah ada. Aku dan Junmyeon duduk bersebelahan. Dia membuka tempat makan yang ternyata isinya berupa onigiri. Dia memberikan satu kepal nasi untukku dan satunya lagi untuk dia.

“Jadi... kulihat, kau dan Jongin sedikit berbeda ya. Sedikit renggang.” kata Junmyeon tiba-tiba.

Aku menghentikan kunyahanku. Ah, seharusnya aku tahu Junmyeon akan menanyakan hal ini lagi. “Hmmm, aneh? Aneh bagaimana?” kataku sambil memandangi daun-daun yang tertiup angin.

“Entahlah.. kalian terlihat sedikit berjauhan.” katanya lagi.

Bahkan Junmyeon oppa pun menyadarinya.

Tadinya aku berniat menceritakan hal ini pada Minseok saja. Dia adalah orang yang sudah kuanggap seperti oppaku sendiri. Dia suka mendengarkan ceritaku, memberiku nasihat, bahkan mentraktirku makan. Orang-orang sempat salah paham dengan hubunganku dan Minseok, mereka kira kami berpacaran. Sayangnya, Minseok sedang sibuk belajar bahasa Cina dari dua bulan yang lalu. Sehingga kami tidak punya waktu untuk bertemu. Namun, Junmyeon berada di kedudukan kedua setelah lelaki itu. Dia juga seorang oppa yang baik untukku.

“Oppa, sepertinya Jongin marah padaku.” kataku pada akhirnya. Aku mulai menceritakan kelakuan-kelakuan Jongin yang diluar kebiasaan. Junmyeon mendengarkannya dengan seksama. Namun pada akhirnya ia berkata,

“Mungkin dia memang marah sekali padamu.”

Aku mendengus. “Aiiish, aku meminta saran bukan kesimpulan.”

Junmyeon tertawa, “Aniya, aku hanya bercanda. Hmmm, bagaimana ya? Memangnya kau merasa sudah melakukan hal yang salah?” Aku menggeleng-geleng. “Lalu kenapa kau berasumsi kalau dia marah?” tanyanya lagi. Aku mengangkat pundakku.

“Aku juga tidak tahu kenapa aku berasumsi seperti itu. Habis kelihatannya begitu sih.”

Junmyeon lalu menutup tempat bekal yang sudah kosong lalu beranjak berdiri. Dia lalu membantuku untuk berdiri juga. “Tenang saja. Mungkin dia sedang stress karena latihan-latihan rutin. Bukan salahmu kok. Sebentar lagi juga ia kembali seperti semula.” ia mengatakannya sambil tersenyum.

Percakapan tersebut berakhir karena tiba-tiba Kyungsoo datang dan membawa Junmyeon pergi. Ya, tidak langsung pergi sih. Dia sempat bertanya, “Niseul, kau suka onigiriku? Aku membuatnya sendiri loh! Enak tidak?”

Saat kujawab enak, dia bersikeras untuk cepat-cepat kembali ke dorm. Katanya dia ingin membuatkan kesepuluh temannya lagi sekotak onigiri. “Karena kau yang pertama kuberi onigiri, jadi kali ini aku tidak akan membuatkanmu lagi.” kata Kyungsoo pada Junmyeon.

“Jadi kau memberiku onigiri eksperimen?!”

“Ya, bukan eksperimen dong. Kan rasanya enak. Niseul-ah kami pergi dulu yaaa! Annyeong!”

Pada malam harinya aku masih memikirkan Jongin. Haiiiish aku benar-benar tidak tahan! Kim Jongin kenapa kau melakukan ini padaku?!

“Apa sebaiknya aku minta maaf saja? Tapi untuk apa! Akukan tidak salah apa-apa! Mungkin saja dia memang sedang stress sampai-sampai dia jadi aneh begitu.”

Tapi, kalau sedang stress dia pasti cerita padaku.

“Rasanya sebentar lagi aku bisa gila. Baiklah, besok aku akan mencoba minta maaf padanya. Kalau dia tidak kembali waras juga, aku akan.........akan.........haiiish nanti akan kupikirkan lagi aku harus apa.”

Dengan kasar kutarik selimutku sampai menutupi kepala dan memejamkan mataku rapat-rapat. Aigoo, kenapa aku jadi seresah ini sih.

 

 

~o0o~

 

14 Februari 2011

 

Siang ini adalah pelajaran Ahn sonsaengnim. Jongin sedang menulis catatan yang ada di papan tulis. Letak mejanya berada di sebelah serong kanan depan mejaku. Biasanya dia akan menengok sesekali hanya untuk memberitahuku kalau dia bosan dan ingin cepat-cepat keluar dari kelas. Hari ini, dia sama sekali tidak melepas matanya dari buku catatan. Aku menghela nafas dan kembali melanjutkan catatanku..

Tiba-tiba sesuatu menimpuk kepalaku dan jatuh ke atas bukuku, sebuah gumpalan kertas. Aku membuka kertas tersebut..

Annyeong.

Walaupun dia tidak menuliskan nama pengirimnya disini. Tapi aku mengenal tulisannya. Segera aku menoleh ke arah Jongin yang juga sedang melihat ke arahku. Lalu dia hanya tersenyum jahil dan kembali menulis catatan. Eh?

Mau menyapa saja pakai kertas segala, wae?

Tulisku, lalu kertas tersebut kulempar lagi ke arah Jongin. Dia membacanya dan menulis lagi balasannya, lalu dia kembali melemparkan kertasnya padaku.

Ani, kau tahu sekarang tanggal berapa?

Jadi kau mengirimi kertas hanya untuk menanyakan tanggal padaku?!

Kali ini dia membalas kertasku lebih lama. Sekitar 5 menit dia tertegun, lalu kulihat lelaki itu berkali-kali mencoret kata-kata yang ia tulis di kertas tersebut, dan sepertinya dia sedikit.. cemas? Raut wajahnya terlihat lebih serius.

Apa yang sedang kau tulis disana Kim Jongin?!” Tiba-tiba Ahn sonsaengnim berdiri di belakang Jongin.

A-ani, bukan apa-apa.” Jongin berusaha menutup-nutupi kertasnya dari sonsaengnim.

Berikan kertas itu padaku.”

Kelas berubah sunyi.

T-tapi sonsaeng-”

Sekarang!”

Dengan terpaksa Jongin memberikan kertas tersebut. Ahn sonsaengnim membaca kertas itu dan tiba-tiba mukanya terlihat licik. Yap, benar-benar licik. Ahn sonsaengnim adalah guru terkiller dan teriseng sepanjang masa di SMA ini. Tidak ada yang berani macam-macam saat pelajaran guru itu. Ahn sonsaengnim lalu mengembalikan kertas itu lagi pada Jongin. “Bacakan ini di depan kelas.”

Jongin terlihat shock mendengar kata-kata sonsaengnim barusan. “Sonsaengnim...”

“Cepat bacakan, atau kau lebih memilih nilaimu kupotong menjadi setengah? Lagipula siapa suruh kirim-kiriman surat dengan Shin Niseul di jam pelajaranku?”

Seketika aku menjadi pusat perhatian orang-orang di dalam kelas. Duh, kenapa sonsaengnim pakai sebut-sebut namaku segala sih. Jongin juga ikut memandangku, pandangannya terlihat seperti meminta maaf. Lalu dia berdiri dan berjalan menuju depan kelas. Semua orang menanti-nanti apa yang akan dibacakan oleh Jongin dari kertas tersebut.

“Haruskah kubacakan semuanya?” tanya Jongin pada sonsaengnim.

“Baca bagian yang banyak kau coret-coret saja. Itu inti dari pembicaraannya bukan?”

Kulihat Jongin menelan ludah dan menggaruk-garuk bagian belakang lehernya. Lalu dengan sekali tarikan nafas, dia mulai membacakan kertasnya.

“Hm, seperti biasa kau tidak peduli dengan hari Valentine. Ini tanggal 14 februari pabo,” Apa? Aku tidak bodoh! “Kalau begitu, seperti tahun-tahu sebelumnya, kau tidak akan meminta siapapun untuk menjadi Valentinemu kan?”

Jongin lalu berhenti membaca, dia mengangkat kepalanya dari kertas dan melihat ke arahku. Baru kusadari dia menunggu jawabanku. Sekelas juga turut menunggu jawabanku.

“Ani.” jawabku, tiba-tiba saja aku jadi deg-degan.

“Eng, kalau begitu..” Ada hening sebentar sebelum Jongin mengatakan sesuatu yang tidak akan kulupa selama-lamanya. “Maukah kau menerimaku menjadi Valentinemu?”

Sekejap kelas ku ramai dengan siulan dan teriakan-teriakan yang.. Ah, tidak perlu kujelaskan, pasti sudah terbayangkan? Aku hanya terdiam di bangkuku. Terkejut dengan apa yang dikatakan Jongin. Aku ini.. tidak salah dengarkan?

“Shin Niseul, apakah kau akan menjawab atau tidak?” kata Ahn sonsaengnim mengejutkanku.

“Eh....eng, mwoh?”

Semua mata kembali tertuju padaku. Aku bingung harus melihat ke arah mana, akhirnya aku mengarahkan pandanganku pada Jongin. Jongin, kau sedang bercandakan?! Tapi sama sekali tidak ada raut bercanda di wajahnya sekarang. Dia kelihatan sama gugupnya denganku. Suasana kelas hening.

“Ne.” jawabku.

“WAAAAAAAA CHUKKAEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!”

Seluruh kelas bertepuk tangan dan mengelu-elukan namaku dan Jongin. Bahkan Ahn sonsaengnim ikut bertepuk tangan. Beberapa yeoja memandangku sinis dan ada yang pura-pura menangis. Hah, apa-apaan. Lalu aku kembali mengalihkan pandangan pada Jongin, dia tersenyum manis sekali. Jantungku rasanya berdegup semakin kencang.

Gomapta.” ucap gerak bibirnya tanpa suara.

Tepat saat itu bel pulang sekolah berbunyi..

“Baiklah anak-anak jangan lupa kerjakan PR halaman 23 sampai 26. Dan.. selamat hari Valentine! Aku harap coklat kalian diterima oleh siapapun orang yang kau berikan!” kata Ahn sonsaengnim, “Oh, kecuali kau Jongin, selamat ya kalian berdua. Lain kali jangan main surat-suratan di kelasku, arasseo?” Sonsaengnim tersenyum kepada kami berdua sebelum pergi meninggalkan kelas.

Teman-teman di kelasku masih saja heboh. Beberapa mengucapkan selamat padaku. Apa pula yang perlu diberi selamat? Dan mereka menyebutku beruntung. Astaga.

Aku baru saja ingin membereskan buku, tiba-tiba seseorang berbisik di telingaku.

“Temui aku di taman, oke?”

Jongin berdiri sangat dekat sampai-sampai aku bisa merasakan hangat nafasnya di tengkuk leherku. Suaraku tercekat di tenggorokan, jadi aku hanya mengangguk sebagai balasan dan lalu menyibukkan diri dengan memasukkan buku ke dalam tas.

Aku sengaja berlama-lama membereskan buku. Sampai ketika aku selesai, kelas sudah hampir kosong. Rasa dag dig dugku belum juga hilang daritadi. Aku sama sekali tidak tenang. Aku berpikir untuk kembali berlama-lama lagi disini, tapi aku takut Jongin marah padaku. Jadi kuputuskan untuk berlambat-lambat saja berjalan ke arah taman.

Sayangnya, aku sampai di taman lebih cepat dari perkiraanku. Taman tempat aku dan Jongin bertemu adalah taman yang sama dengan taman yang kemarin aku dan Junmyeon kunjungi. Disana, Jongin berdiri bersandar pada pohon memunggungiku. Dia terlihat sedang mengecek jam tangannya. Perlahan-lahan aku berjalan ke arah Jongin. Saat sudah cukup dekat dengannya, aku berdeham.

Jongin memutar balik badannya, mukanya terlihat tidak terlalu menyenangkan. “Apa perjalanan dari kelas menuju ke sini benar-benar membutuhkan waktu 30 menit?”

“M-mianhae.” jawabku sambil menundukan kepala. Aduh, bagaimana kalau dia benar-benar marah sekarang?

Tanpa kusangka Jongin malah tertawa terbahak-bahak. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya bingung. Kenapa dia tertawa? Apa dia sudah gila?!

“Ya! Sejak kapan kau jadi suka minta maaf begitu padaku?” kata Jongin, masih menahan rasa ingin tertawanya. “Apa ini gara-gara aku memintamu menjadi Valentineku?”

“Ani!” Tiba-tiba pipiku terasa panas. “Sudah bagus aku mau menerimamu.”

Jongin dengan masih tertawa-tawa berjalan menghampiriku. “Ne, memang bagus kok. Hanya saja, itu diluar kebiasaanmu. Biasanya kau gengsi sekali meminta maaf padaku.”

Aku diam saja tidak menjawab. Jongin sepertinya benar-benar menganggap permintaan maafku sebagai hal yang lucu sampai-sampai dia tidak bisa berhenti tertawa.

Menyebalkan.

“Bisakah kau berhenti tertawa? Aku mulai berpikir kalau kau bercanda memintaku menjadi Valentinemu.”

Hebatnya, saat itu juga Jongin berhenti tertawa. Dia benar-benar diam tidak bersuara. Aku menoleh ke arahnya dan menemukan mata Jonginn yang memandangku dengan tatapan serius.

“Ani. Bagaimana mungkin aku bercanda. A-aku melakukan itu karena.. ada sesuatu..” lalu dia menghela nafas. “Niseul, aku.....besok...tidak akan pergi ke sekolah lagi.”

“Eh?! Maksudmu-”

“Bukan bukan! Aku bukan keluar dari sekolah. Aku.. harus fokus di agensiku. Jadi sampai akhir tahun nanti.. kita tidak akan bisa bertemu. Ada sesuatu yang harusku kulakukan disana. Aku berusaha memberitahumu tentang ini dari kemarin. Tapi aku bingung bagaimana caranya, sampai-sampai aku sedikit menjauhimu karena..”

“Sedikit? Kau sebut itu sedikit?!”

“Sssst dengarkan aku dulu, oke? Aku menjauhimu karena aku takut aku terbiasa denganmu setiap hari. Jadi...aku...takut...” Jongin terlihat seperti lupa cara bernapas saat ingin melanjutkan kata-katanya.

“Kau takut apa?” kataku, tanpa kusadari nadaku melembut.

“Aku....takut akan sangat merindukanmu.” jawabnya tanpa melihat ke arahku. Sepertinya tanah di bawah lebih menarik perhatiannya dibanding aku sekarang. Lalu dia menutupi wajahnya dengan tangannya, seperti yang biasa ia lakukan kalau dia sedang malu.

“Hey,” kataku sambil menepuk bahunya pelan. “Kau masih bisa menelponkukan? Atau mungkin mengirimiku email atau yang lain.”

Tapi Jongin menggelengkan kepalanya, “Manajerku pasti melarangnya, aku tidak diperbolehkan berinteraksi dengan dunia luar selama aku membuat teaser-”

“T-teaser? Maksudmu, teaser?! Jjakkaman. Kalau kau sibuk untuk membuat teaser, berarti sebentar lagi kau.. OMO! KAU AKAN DEB-”

“Ssstttt! Jangan keras-keras! Kau satu-satunya orang diluar SM yang tahu tentang ini!”

“Ehe, mian. Jongin jeongmalyo? Kau.. akan debut?” kataku lagi.

“Ya, mereka bilang sih begitu. Tapi bukan itu masalahnya sekarang.”

“Memangnya kita punya masalah sekarang?”

“Aku baru saja membicarakannya tadi...”

“Apa?”

“Ck, lupakan sajalah. Kkaja, kita tidak punya banyak waktu.” lalu tiba-tiba Jongin menarik tanganku dan kami berjalan keluar sekolah. Aku menanyakan kemana kami akan pergi, tapi Jongin tidak menjawab. Sekitar setengah jam kami berjalan barulah pertanyaan tersebut terjawab.

“Sungai Han?” tanyaku.

Jongin sambil memutar bola matanya, mencemoohku. “Sudah jelas di depan mata pakai ditanya segala.” Tangannya masih memegangi tanganku dan membawaku ke suatu tempat entah kemana.

“Bukan itu maksud pertanyaanku bodoh. Kenapa kau membawaku kesini?!”

“Hmmmm, kau akan lihat sebentar lagi... nah, disini.” katanya.

Di depan kami, sebuah tikar terbentang rapih di atas rerumputan lengkap dengan bucket piknik dan dua botol besar coca cola.

“Kau mengajakku piknik?!” kataku terkejut. Jongin menggaruk-garuk belakang lehernya,

“Ne. Kau pernah bilang waktu itu kau ingin sekali pergi piknik tapi kau tidak ada waktu.”

Aku menatapnya tidak percaya, “Kim Jongin, kau jenius. Aku tarik kata-kata bodohku tadi.”. Lalu kulihat Jongin tersenyum puas mendengar perkataanku.

Kami berdua duduk di atas tikar dan mulai melihat isi bucket yang ternyata Jongin sendiri juga tidak tahu apa isinya.

“Aku meminta Kyungsoo hyung untuk membuatkan makanan.. Hey jangan beri aku tatapan seperti itu! Memangnya kau mau memakan makanan buatanku lalu kita berdua sakit perut?” Begitu katanya.

Salah satu makanan di dalamnya adalah onigiri yang kemarin kumakan. Karena belum makan siang aku langsung menghabiskan tiga kepal onigiri tersebut. Lalu aku dan Jongin mengobrol seperti biasa yang kami lakukan sehari-hari... Ya minus minggu-minggu kemarin saat dia sedang mengasingkan diri, yang sekarang aku tahu kenapa alasannya ia seperti itu. Rasanya senang bisa kembali berbicara dengan Jongin. Ternyata selama ini, aku merindukannya.

“Oh, ya. Aku jadi ingat sesuatu.. jjakkaman..” katanya di tengah-tengah pembicaraan, lalu dia merogoh-rogoh bucket piknik. Setelah menemukan apa yang ia cari, dia menggenggam benda itu di tangannya. “Karena aku tidak bisa memberimu apa-apa saat bulan depan nanti kau ulangtahun. Jadi, ini juga sebenarnya bukan sesuatu yang mewah. Tapi.. aku harap kau-”

“Kau terlalu banyak bicara.” kataku, secara terang-terangan menganggap itu hal yang lucu.

“Eh, baiklah. Kalau kau tidak suka buang saja, oke?” lalu dia memberikan benda itu padaku. Itu sebuah gelang. Gelang yang sama dengan gelang yang selama ini ia pakai. Bedanya hanya pada bahan talinya. “Kau sering menanyakanku kenapa aku selalu memakai gelang ini kemanapun aku pergi. Ya, menurutku ini adalah gelang keberuntungan. Bukannya aku percaya hal-hal mistis atau bagaimana. Tapi, aku merasa lebih percaya diri kalau memakai gelang ini. Jadi aku putuskan untuk membuatkan satu gelang juga untukmu.”

“Jongin-ah, gomawoyo!” kataku, lalu memakaikan gelang tersebut di tangan kananku. “Semoga keberuntunganmu menular padaku!”

“Niseul-ah...”

“Hmmm?”

“Aku ini valentine pertamamu kan?”

“Itu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban.”

“Hmm, bagaimana rasanya punya Valentine?” tanya Jongin sambil membuka botol coca cola dan menuangkannya ke dua gelas.

“Sejujurnya sih menyenangkan,” jawabku. Aku lihat Jongin sedikit menyunggingkan senyuman di sela-sela gerakan meminumnya. “Tapi siapa tahu? Mungkin saja Valentineku tahun depan lebih menyenangkan daripada sekarang!”

Tiba-tiba Jongin tersedak, aku terkejut dan segera bergerak untuk menepuk punggungnya. Tapi sepertinya itu tidak perlu karena dia langsung berteriak. “Mwoh? Sejak kapan kau jadi maniak hari Valentine begini?!”

“Maniak? Siapa yang maniak?! Dan kenapa pula kau yang ribut?”

“Ya, soalnya kan tahun depan aku akan sibuk dengan persiapan debutku!”

“Memangnya aku akan merayakan Valentine dengan orang yang sama di tahun yang berbeda?”

“Aniya, bukan itu maksudku. Ah, terserah kau sajalah.” kata Jongin. Terlihat jelas dari raut wajahnya kalau ia menjadi jengkel. “Jadi kau berniat merayakan hal ini lagi.”

Aku hanya tertawa dan meminum coca colaku, “Hmm, lagipula tahun depan aku akan sibuk mencari pekerjaan. Jadi, aku tidak akan sempat memikirkan hal-hal seperti itu.”.

“Oh ya? Baguslah kalau begitu.” kata Jongin. Aku hanya memutar bola mataku dan memandang ke arah langit. Hari sudah hampir malam. “Niseul, bagaimana kalau kita buat perjanjian?”

“Perjanjian?” kataku, Jongin mengangguk dan menunjuk gelang pemberiannya. “Kalau sampai nanti kita bertemu kau masih memakai gelang ini, artinya kau belum mempunyai Valentine lagi selain aku.”

“Lalu?”

“Ya, berarti aku akan menjadi Valentine pertama dan terakhirmu.”

“Aigoo Kim Jongin, tumben sekali kau bermanis-manis begini.” kataku sambil mencubit pipinya yang tidak berlemak itu.

“Aisssh kau ini seperti noonaku saja mainannya cubit! Aku serius tahu!” Jongin lalu mengusap-usap pipinya, “Aku ingin menjadi seseorang yang spesial untukmu.”

Aku tertawa mendengar perkataannya barusan, baru saja aku ingin bilang 'kau kan bukan nasi goreng' tapi ia terlanjur memotong pembicaraanku.

“Kenapa? Aneh ya? Aku juga berpikir seperti itu. Tapi kalau bukan hari ini, kapan lagi aku bisa bicara seperti ini padamu? Aku serius dengan perkataanku tadi. Aku.. ingin menjadi seseorang yang spesial untukmu. Karena kau sudah menjadi orang yang spesial untukku.”

“Jongin..” kataku sambil bergeser mendekat ke arahnya. Tanganku menggapai pipi kanannya, namun bukan untuk mencubitnya. Sebenarnya aku tidak biasa seperti ini. Entahlah. Jemariku membelai lembut sisi wajahnya. “Kau sudah menjadi orang yang spesial untukku sedari dulu.”

“Dulu? Dulu kapan?” tanyanya.

“Hmmm, dulu sekali. Kau ingat waktu kau meminjamkan payung padaku? Waktu itu pulang sekolah, hujan deras sekali dan aku tidak membawa payung. Jadi aku menunggu di bawah kuil kecil sendirian. Lalu tiba-tiba kau lewat dengan payung di tanganmu, terus berjalan tanpa melihat ke arahku. Kukira kau memang tidak sadar... tapi, tiba-tiba kau berjalan mundur lalu menghampiriku.”

“Niseul, jangan dilanjutkan..” katanya datar.

Aku tertawa sendiri mengingat hal tersebut. “Kenapa? Itukan bagian dimana aku menganggapmu spesial! Jadi... kau menghampiriku dan menyodoriku payung yang satu-satunya kau pegang. Aku tidak mengerti apa maksudnya karena kau tidak berbicara sama sekali, mana tampangmu seram sekali waktu itu. Kau hanya menyodor-nyodoriku payungmu sampai akhirnya kau menaruh payung itu disampingku dan lari pulang hujan-hujanan.”

“Yaaa, kau lebih membutuhkan payung itu dibandingkan aku.” jawab Jongin santai.

Aku mencibir. “Bohong, aku ingat sekali besoknya sonsaengnim bilang kalau kau absen karena sakit demam.”

“Setidaknya bukan kau yang demam.” balasnya lagi.

Lalu kami kembali terdiam. Bintang-bintang sudah mulai bermunculan di langit. Lampu-lampu mobil bergerak kesana-kemari di atas jembatan. Sungai Han memantulkan cahaya bulan purnama. Hawanya juga semakin dingin. Bekal dari Kyungsoo sudah hampir habis, mungkin hanya tersisa beberapa potong roti dan kue-kue kecil..

“Niseul-ah, kau gemetaran..” kata Jongin sambil memegangi lenganku.

“Eh? Gwenchanayeo. Hanya kedinginan sedikit.”

“Ani. Kau bisa sakit kalau terus seperti ini. Kkaja, kuantar kau pulang.”

Jongin sudah beranjak dari tempat duduknya, tapi aku mencegahnya, “Aniyo, aku masih ingin disini.”

“Jangan ngeyel, ppali kkaja.”

“Shireo, kalau begitu kau saja sana pulang sendiri.”

“Yah! Jangan seperti anak kecil begitu, kkaja!”

“Shi.reo.yeo.” lalu aku memberinya mehrong.

“Kau ini benar-benar keras kepala ya? Baiklah, aku pakai cara lain.” kata Jongin, lalu dengan mudahnya dia mengangkatku dan berjalan menuju pinggir jalan raya. Aku terlihat seperti jemuran yang disangkutkan di pundaknya,

“Jongin turunkan aku! Yaaaa!!!!”

Aku terus memukuli punggungnya, tapi bukannya kesakitan, aku malah mendengar Jongin tertawa. Orang-orang yang sedang berjalan kaki memerhatikan kami berdua. Ada yang berkomentar wah pasangan yang lucu, ada juga woaaah namja itu kuat sekali, lalu satu lagi yeoja itu diculik?! Yang langsung dengan cepat Jongin jawab,

“Aku tidak menculiknya, dia ini Valentineku.”

Jongin memanggil taksi dan akhirnya menurunkanku ke kursi belakang, lalu ia masuk lewat pintu sebelahnya.

“Kalau kau melakukan itu sekali lagi.. awas saja.” ancamku pada Jongin, yang sama sekali tidak dianggap serius olehnya. Suasana taksi malah membuatku mengantuk. Kepalaku terjatuh kesana-kemari karena aku setengah tertidur setengah terbangun, dan sepertinya Jongin menyadari hal itu.

“Kemari,” katanya, lalu dia mengarahkan kepalaku ke pundaknya, “Kau bisa salah urat kalau kepalamu bergerak-gerak seperti itu.”

“Hmmmm,” gumamku, terlalu lelah untuk menanggapinya. Sebelum benar-benar tidak sadarkan diri, aku merasakan tangan Jongin merangkulku dan menarikku lebih dekat ke arahnya. Lalu dia mengusap-usap tanganku menenangkan.

Setelah itu, aku tertidur dengan senyuman di bibirku.

 

[FLASHBACK END]

 

Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan Jongin. Ya, seharusnya ada satu kesempatan untuk kami bertemu. Di acara wisuda sekolah. Sayangnya, waktu itu halmeoniku sedang sakit. Yaa, tidak parah-parah amat sih. Hanya saja waktu itu pamanku terlalu hiperbolis sehingga aku panik dan memutuskan untuk tidak ikut wisuda. Ternyata halmeoniku hanya sakit perut karena terlalu banyak makan kimchi dan setelah buang air......sakit perutnya hilang. Jarak dari rumah halmeoni dan sekolahku sangatlah jauh, jadi kalau aku kembali ke acara wisudapun percuma saja. Paling-paling sampai sana aula sudah kosong melompong.

Ting...tong... terdengar suara bel pintu rumahku.

Siapa sore-sore begini berkunjung ke rumahku? Aku memindahkan laptop dari pangkuanku dan berjalan menuju pintu. Kuputar kunci pintu tersebut dan kutarik gagangnya.

“Kiriman bunga untuk Nyonya Shin.” kata orang yang seluruh mukanya tertutupi oleh bucket bunga itu.

“Woaah, untukku? Dari siapa?” kataku, tanpa mengambil bunga tersebut dari tangan orang itu, aku sibuk mencari-cari kartu nama pengirimnya. Namun aku tidak menemukan apa-apa. “Maaf, tapi bunga ini. Siapa yang mengirimnya?”

“Hmmm, menurutmu?” kata orang itu. Loh. Aku bertanya siapa pengirimnya kok malah diajak bermain tebak-tebakan. Pengirim barang yang aneh.

“Hah, yasudah deh. Siapapun pengirimnya, sampaikan terima kasihku padanya ya!” kataku sambil mengambil bunga tersebut dari tangan orang itu. Barulah terlihat jelas siapa orang dibalik bunga tadi.

Senyum miring itu.

“Sama-sama.” jawab Jongin.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK