home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Creep

Creep

Share:
Published : 24 Mar 2014, Updated : 27 Mar 2014
Cast : Zelo, OC
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |978 Views |1 Loves
Creep
CHAPTER 1 : Hebetudinous

Aku patut merasa lega. Setelah pembantaian yang dilakukan Mr. Lee di kelas matematika, Minah bilang ia bisa membantu mengembalikan nilaiku.

     “Dia teman dekat kakakku,” ucap Minah dengan santai. Begitukah caramu mendapat nilai? Dengan menjilat? Pernah terpikir olehmu perasaan orang yang tiap malam banting tulang mengulang pelajaran yang itu-itu saja untuk mendapat nihil?

     “Tiap hari Sabtu Mr. Lee jadi tutorku. Kau boleh ikut kalau kau mau.”

Oh.

     “Tentu, Minah. Aku butuh nilaiku naik setidaknya dua poin lagi agar aku bisa lulus.” Kuhela napas panjang, “aku harap ini bisa menolongku.”

      “Kau bisa mulai Sabtu ini, nanti kuSMS padamu di mana kita bertemu.”  Minah tersenyum dan mengedipkan matanya padaku. Lalu Junhong datang dan melingkarkan lengannya di pinggang Minah.

     “Mau pergi sekarang?” Tanya Junhong.

     Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menunduk ketika Junhong mengecup pipinya. Sensasi menggelitik timbul jika teringat bibir yang sama pernah mengecup pipiku.

     Kutelan segumpal rasa pahit yang tiba-tiba mengendap di tenggorokan.

     “Aku … uh. Sampai nanti, ya.”  

Beberapa saat setelah makan malam, ponselku menerima pesan singkat dari Minah kalau kami akan bertemu di cafe tak jauh dari tempat tinggalku, lalu kami bisa ke mall atau belanja setelahnya.

     Hal tentang tutor dan jalan bareng ini membuatku senang bukan kepalang. Maksudku, ini akan jadi yang pertama kali aku pergi keluar dengan teman perempuan setelah, well, setelah aku kembali dari Colorado.

     Bukan tanpa alasan aku pulang tiga bulan yang lalu, meninggalkan teman-teman dan keluargaku, ke Korea. Namun, setelah semua yang kutinggalkan di Colorado, yang aku dapati malah alasanku sudah menggandeng cewek lain. Sialnya cewek itulah orang pertama yang mengajakku bicara dan kemungkinan besar satu-satunya temanku sampai sisa semester berikutnya.

    Kupandangi kartu pos yang dikirim Nikki beberapa waktu lalu saat sekolah lamaku pergi karya wisata. Ia menanyakan kabarku dan Korea. Setelah kubalas pesannya lewat surel dan kuceritakan mengapa misi digagalkan, Nikki memaksaku untuk kembali ke sana. Tak ada gunanya, ia bilang. Sebagian kecil hatiku yakin kalau masih ada harapan. Meski hanya sebagian kecil.

    Kusiapkan buku pelajaran, catatan, dan pakaian yang akan kukenakan besok. Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuatku bersemangat.

Bahkan di pagi hari Minah sudah penuh dengan energi. Ia bertanya padaku tentang banyak hal sambil menunggu Mr. Lee. Minah bertanya tentang teman-teman, keluarga, dan hobiku. Sebagai gantinya aku bertanya tentang hal yang sama padanya. Harus kuakui, meski kami sudah lumayan sering mengobrol, masalah pribadi selalu jadi topik yang dihindari.

    “Aku dengar dari Junhong,” mendengar Minah menyebut namanya membuat punggungku tegang, “dia bilang kau dari sekolah yang sama dengannya waktu masih di Colorado.”

    Ia menunggu beberapa saat setelah melihatku, “aku bertanya-tanya kenapa aku tak pernah melihat kalian mengobrol. Apa terjadi sesuatu?”

    Yeah, Kau terjadi.

    “Aku berteman dengannya waktu SMP, memang benar. Lalu semenjak dia pindah kemari, kami kehilangan kontak. Tapi kebanyakan karena kami tidak punya kesempatan untuk, kau tahu, berbicara.” Kusesap tehku.

   “Tapi yang penting kalian bertemu lagi, kan?” Ia tersenyum seolah ini bukan masalah besar. “Eh, itu dia Mr. Lee,”

    Minah mengangguk ke arah Mr. Lee yang baru keluar dari mobil, tak lama kemudian seorang pria lagi muncul dari mobil yang sama. Aku perhatikan wajahnya seperti familiar, “Kutebak yang itu pasti kakakmu,”

    Dari cara kakak Minah merapikan kaus Mr. Lee, tidak mungkin kalau hubungan mereka tidak lebih dari teman dekat.

    “Selamat pagi,” sapa Mr. Lee lalu duduk di salah satu kursi. “Karena kita sekarang tidak sedang di lingkungan sekolah, aku rasa kau boleh memanggilku Oppa.”

    “Lee Oppa?” tanyaku, bingung.

    “Jinki, Hwayoung,” sela Minah,”Namanya Lee Jinki. Panggil Jinki Oppa atau Lee Jinki Oppa.”

    “Oh, maaf. Tak terpikir olehku.”

    Jinki Oppa tersenyum, “Tidak apa-apa kok. Sekarang, bagian mana yang mau kau tanyakan?”

    “Euh, bagaimana kalau mulai dari awal bab?” Kurasakan pipiku memerah karena malu, tidak mudah lho mengakui kalau kau lemah dalam suatu bidang apalagi langsung pada pakarnya.

 Kami kemudian belajar sampai lupa waktu. Biarpun sebagian besar waktu kami habis karena mengobrol dan Jinki Oppa mengulang berkali-kali trik untuk memecahkan persamaan aritmatika (yang belakangan diketahui adalah materi paling tolol yang pernah kukerjakan), kami cukup bersenang-senang.

    Kalau bukan karena Jinki Oppa harus pergi menemui rekan-rekannya, mungkin kami akan bertahan di tempat ini sampai petang.

      “Atau mungkin sampai besok pagi,” begitu kata Minah, sambil cekikikan dan mulut penuh kue, membuatku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

     Kurasa, kami cewek-cewek butuh lebih banyak waktu berkualitas seperti ini. Sangat menyenangkan bergaul dengan Minah, membuat aku lupa dengan Junhong. Dan lupa tentang fakta bahwa mereka  adalah sepasang kekasih.

    “Sekarang kita mau ke mana?” tanyaku setelah kami menghabiskan potongan kue terakhir.

    “Mm, teman-temanku mau nonton film.” Balasnya, “kau ikut?”

    “Tentu.”

Yang tak kuperhitungkan adalah, banyak sekali teman Minah yang datang. Ehm, tidak sebanyak itu sih. Tapi hampir semua dari mereka berisik, jadi nilainya sama saja dengan banyak sekali manusia.

     “Aneh sekali,” Junhong menyikut lenganku, satu-satunya hal yang aneh di sini adalah inisiatifnya mengajakku bicara, membuatku membelalak. “Kau sangat pendiam, kupikir kalian akan cocok.”

     “Euh, ini di luar kapasitasku.” Kubilang, lalu kembali berjalan menunduk sambil sesekali memeriksa ponsel atau sekedar menatap wallpaperku di layar. Belakangan ini aku rindu teman-teman lamaku.

     Kami jarang nonton film bersama di bioskop, selalu ada malam nonton bersama bergantian di tiap rumah. Tentu saja sama serunya, apalagi di rumah kami bisa lebih bebas terutama jika tidak ada orang tua.

    Teman-temanku akan mulai bermesraan dengan pasangan masing-masing bahkan sebelum film mencapai separuh bagian. Hanya aku dan Junhong yang menahan diri sampai filmnya tuntas, kalau bukan karena hal seperti itu  dianggap pribadi. Tapi kami sama-sama tahu kalau kami belum siap untuk maju ke tahap yang lebih jauh.

    Maksudku secara fisik.

    “Bagaimana kabar Devlin?” Hampir saja ponselku jatuh.

    “Tak bisakah kau beri peringatan dulu?” spontan aku berteriak.

     Junhong tertawa, lalu menaikan dagu dan mengangkat tangan. “Maafkan aku. Sepertinya aku mengusik topik sensitif.”

     Aku berusaha mengabaikannya. Tapi, tentu saja nona berhati lemah ini gagal dengan sempurna.

     “Devlin jatuh dari tebing dua minggu lalu ketika dia bertindak bodoh dengan memanjat tanpa pengaman dan membiarkan ular gunung mematuk telapaknya.”

     Waktu aku melihat sorot terkejut di matanya, aku langsung meneruskan, “Tapi beruntung ketinggian tebingnya tidak sampai sepuluh kaki, jadi dia sudah bisa berjalan sekarang. Meski patah tulang di lengannya masih parah.”

     “Benarkah …, ng, … katanya seseorang membuat Devlin patah hati.” Junhong menggaruk bagian belakang kepalanya.

     Kalau saja ia tahu, tentu ia tahu. Sebelum membuat orang lain patah hati, hatiku sudah patah duluan. Setelah itu, untuk membuatnya semakin jelas, hatiku kembali patah. Hanya, salah satu dari patahan itu menumbuhkan sulur, menarik patahan yang lain dan memaksa mereka untuk merekat. Tapi itu saja.

    Tak pernah rekatan itu berusaha untuk sembuh.

    Lalu Minah memanggil, dan menggandeng tangan kami berdua sebelum masuk ke studio pemutaran film. Apapun yang sedang kami tonton, aku tak bisa konsentrasi karena pikiranku melayang ke banyak tempat. Dan kebanyakan, ke dua kursi di sebelahku.

___________

Jangan malu buat komentar, kritik, saran  di bwah atau kirim sesuatu ke halaman aku yaaaa...

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK