home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Her Back

Her Back

Share:
Author : nidarifah
Published : 13 Feb 2014, Updated : 13 Feb 2014
Cast : Suho, Chen, Park Sae Na (OC)
Tags :
Status : Complete
0 Subscribes |1459 Views |3 Loves
Her Back
CHAPTER 1 : Her Back

Before I get to wake up, you seem to be in hurry
In my memory, your back figure was leaving
I never thought it would be your last appearance
I think I would get to meet you again at least once
Because we were in love
This longing seems to find me each time

I brush other people’s shoulders, simply thinking it was you
As I gaze your back for a while, I go absent-minded
The days have come to a halt
If you could come back to me only once
If I can see your face for the last time
I would not feel worry like this for long time

If you could come back to me only once
If I can see your face for the last time
Please don’t leave, I couldn’t forget you
To become weak in front of a separation, the person who leaves would have been able to see it
Until you disappear, I only looked at you

I didn’t try to forget
I pondered upon the memories
About our love at that time, during those days
It is not something that can be erased
People who passed me by may experience separation once
They didn’t seem to be bothered by anything
Only I felt the lonesome days

If you could come back to me only once
If I can see your face for the last time
I would not feel worry like this for long time

If you could come back to me only once
If I can see your face for the last time
Please don’t leave, I couldn’t forget you
A person who becomes weak in front a separation and you who left
A person to whom you were everything

I didn’t hold you because I hated myself
Because it is silly to expect you to come back
Nostalgic and sleepless nights taught me about one person only
Come back when you realize that

The smile I was familiar with, was the one appeared on your face

 

Author POV

            Udara dingin masih enggan beranjak di penghujung musim dingin tahun ini. Suhu yang hampir menyentuh angka nol membuat siapapun enggan keluar dari rumah untuk sekedar beraktifitas. Tampak seorang namja sedang terduduk termenung di depan sebuah rumah minimalis. Sesekali ia membuat bola-bola salju dan melemparnya ke sembarang arah.

            Namja itu melirik sekilas ke rumah di belakangnya. Rumah itu masih tampak sama, tak ada yang berubah semenjak ditinggalkan. Hanya suasana sepi tak berpenghuni yang membuat rumah itu tampak berbeda. Ia mencoba melangkahkan kaki ke dalam rumah, walau ia tak ingin. Ia hanya ingin kembali mengenang semua memori yang ada di sana.

            “YAA Suhoya, kau akan menyakiti dirimu sendiri.” Suho tersenyum mendengar batinnya berkata. Namun, ia tetap melangkahkan kakinya.

Suho POV

            Hari ini aku kembali. Tempat ini tetap sama dan akan selalu sama kurasa. Apa ia sering berkunjung kemari? Tak tampak debu menempel di lantai ataupun di sudut-sudut rumah. Aku tersenyum, ia pasti masih sering datang. Apa ia sama denganku, merasa berat setiap kembali kesini? Aku hanya tersenyum dan menghembuskan napas berat.

            Ia, Park Sae Na, yeojachinguku. Dia yeojachinguku dan ia sangat cantik. Aku hanya tertawa kecil mengenangnya. Namja lain iri melihat kami. Melihatku lebih tepatnya. Saena nyaris sempurna, cantik, berbakat, dan juga baik hati. Ia sangat senang melukis. Entah berapa lukisan yang ia ciptakan di rumah ini. Kalian tidak penasaran rumah siapa ini? Aku akan menjawabnya. Ini rumah kami. Kami belum menikah tetapi akan segera menikah. Ya tentu, sebelum semuanya membuat kami seperti sekarang.

            Kami tak tinggal di sini. Ia dan aku sepakat akan tinggal bersama di sini setelah kami menikah. Tentu kami masih paham adat timur Korea. Sesekali kami kesini, untuk membersihkan rumah dan menikmati waktu bersama. Ia senang melukis di teras belakang sambil mendengarkanku bernyanyi. Aku bukan penyanyi, tapi suaraku cukup enak untuk didengar. Saena juga pintar memasak. Bukankah aku sudah berkata ia hampir sempurna? Dan ia sempurna untukku. Bau khas cat minyak terasa dari arah teras belakang. Apa Saena ada di sini? Hatiku membuncah membayangkan akan bertemu dengannya.

            Aku penasaran dan melangkahkan kakiku ke teras belakang. Di sana ada taman kecil. Tapi karena ini musim dingin tentu taman itu hanya dipenuhi oleh salju. Ini terlalu dingin untuk berada di luar rumah. Apa Saena benar-benar ada di sana? Kakiku berhenti melangkah dan lidahku kelu. Ia kembali. Ia kembali ke rumah ini. Aku dapat melihat wajahnya dan ekspresinya dengan jelas.

            “Saenaya,” bibirku hanya mampu berucap tanpa suara. Aku tak ingin mengusiknya. Ia memang tidak ada di teras, tapi ia duduk di ruang perapian yang menghadap langsung ke taman. Saena tampak cantik dengan balutan baju rajut oversize putih dan syal rajut panjang coklat. Aku yang memberinya syal itu, tepat dua hari sebelum kami berpisah. Dan aku tahu syal itu akan cantik dikenakan olehnya. Rambut panjang Saena dikuncir kuda, membuat wajahnya yang oval terlihat semakin jelas. Dan ia.. sangat cantik.

            Saena tampak berkonsentrasi pada kanvas di depannya. Ia selalu seperti itu saat melukis. Saena memutar musik klasik kesukaan kami. Dulu, aku hanya akan duduk tenang sambil bersenandung menemaninya. Saat aku bosan menemaninya, aku akan membaca buku dan mencoba tenang. Terkadang aku akan usil menjahiliinya jika ia terus saja melukis dan tak menghiraukanku. Bibir Saena tampak tersenyum. Aku penasaran apa yang sedang dilukis olehnya. Semenit kemudian ia termenung dan semenit kemudian ia tampak kembali berkonsentrasi melukis. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya.

            Aku masih tetap berdiri di sudut ruang perapian, menyembunyikan diri dari jangkauan pandangannya. Aku tak berani menemuinya. Aku akan merasa lebih baik jika ia memakiku dengan kata-kata kasar. Tapi ia yeoja yang baik, ia pasti hanya akan tersenyum menangis menatapku. Itu yang kubenci, melihatnya menangis. Terlebih penyebabnya adalah aku. Aku sudah cukup bahagia dengan hanya berjumpa lagi dengannya dan melihat wajahnya. Aku tak khawatir, ia hidup dengan baik sekarang.

Suara oven di dapur menghentikan lamunanku. Saena langsung menghentikan kegiatannya melukis dan berjalan menuju dapur. Aku segera bersembunyi di celah antara tembok dan lemari, mengintip kegiatannya di dapur. Ia tampak membuka oven. Tercium bau harum yang menyeruak dari oven yang dibukanya. Aku hapal harum kue ini, Saena selalu membuatkannya ketika aku terlihat badmood. Chocolate cake, Saena tahu cake yang akan segera membuat moodku kembali baik. Kami akan menghabiskan satu cake ukuran cukup besar hanya berdua. Apalagi saat musim dingin seperti ini tiba. Kami akan membuat cokelat panas, duduk di ruang perapian, dan mengenakan selimut bersama. Aku begitu merindukannya. Kaki ini ingin berlari dan tersenyum kepadanya, ingin mengatakan bahwa aku kembali. Tapi aku terlalu takut melangkah. Ya, terlalu takut untuk melihat air matanya.

            Aku kembali terfokus pada kegiatan Saena di dapur. Ia tersenyum manis melihat kue itu. Matanya tampak sedikit menerawang. Aku melihat ada ekspresi sedih terpancar. Saenaya, uljima. Namun, air mata gadisku sudah merebak menyentuh pipi putihnya. Saenaya, mianhae. Ia tampak menghapus air matanya saat dering ponselnya berbunyi. Ia segera mengangkatnya dan tampak berbicara dengan seseorang. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku bertanya dalam hati, siapa yang meneleponnya? Ia tampak tersenyum saat menerima telepon itu. Apakah ia sudah mempunyai penggantiku? Terlalu sakit bahkan hanya untuk memikirkannya.

            Saena tampak memindahkan chocolate cake itu ke dalam sebuah kotak kue. Lalu dengan terburu-buru ia mengambil coat dan tasnya. Ia segera mengenakan angkle bootsnya dan pergi meninggalkan rumah. Aku segera mengikutinya keluar. Saena pergi ke halte bus dan tampak menunggu bus yang datang. Dan di sini, aku tetap memperhatikannya tanpa berani menyapanya. Kurapatkan syal dan topiku. Bus datang dan ia segera naik. Aku tetap mengikutinya ke dalam bus. Ia memilih duduk di tempat favoritnya, dekat jendela. Bus itu tidak penuh dan aku leluasa memperhatikannya. Berbagai pertanyaan berkecamuk di otakku, hendak kemana ia? Bersama dengan siapa? Ada keperluan apa? Aku tahu aku tak berhak lagi untuk tahu.

            Saena turun di wilayah pusat kota Seoul yang ramai. Aku bergegas turun mengikutinya. Ia tampak terburu-buru dan beberapa kali melihat arlojinya. Namun, ia tampak menjaga kue yang ia bawa agar tetap aman. Di depan sebuah toko bunga, ia berhenti. Tampak seorang namja tersenyum manis ke arahnya. Seketika mataku menyipit, aku mengenali namja itu, Kim Jong Dae, juniorku di universitas. Aku tak tahu mereka punya hubungan dekat. Tak kupungkiri rasa tak suka merayapi hatiku. Keduanya masuk ke dalam toko bunga. Saena tampak melakukan kegiatan rutin ketika ia di toko bunga, menyentuh kelopak-kelopak bunga sambil menutup mata dan menghirup baunya. Jongdae menghampirinya dan mereka tampak berbincang akrab. Sesekali Saena tersenyum dan tertawa menanggapi gurauan Jongdae. Jongdae pun dengan tak canggung sesekali mengelus dan mengacak rambut Saena, hal yang juga biasa aku lakukan.

            Ia dan Jongdae tampak keluar dari toko bunga dan melangkah ke toko lainnya. Entah apalagi yang mereka beli. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah, tak ingin melihat keakraban keduanya yang membuatku tak nyaman. Lebih baik menghabiskan waktu di rumah lebih lama dan melihat apa yang Saena lukis.

***

            Aku membuka pintu rumah dan segera melangkah ke ruang perapian. Lukisan Saena masih berdiri di tempatnya. Aku memutuskan untuk berkeliling rumah terlebih dahulu. Sudut demi sudut rumah yang sudah kubeli dengan hasil tabunganku dan Saena. Rumah yang nantinya akan menjadi tempat kami menghabiskan waktu. Bahkan kami sudah menyiapkan kamar pribadi. Aku ingat, dulu kami bertengkar hanya untuk memilih wallpaper yang bagus.

            “Oppa, aku lebih suka yang soft purple seperti ini.” Jelasnya sambil menunjuk salah satu wallpaper dengan warna ungu muda.

            “Saenaya, kau ingin wallpaper untuk kamarmu sendiri atau kamar kita berdua eo?” sahutku sedikit kesal.

            “Hu warna ini juga bagus dan netral.” Sungutnya sambil memanyunkan bibirnya, tanda ia ngambek.

            “Oke, kita pakai ini.” Aku mengalah, tak ingin melihatnya ngambek berkepanjangan. Masih banyak hal yang harus kami urus.

            “Jinjja!? Oppa kau memang baik.” Balasnya sambil tersenyum dan segera menggamit lenganku. Dan aku membalasnya sambil tersenyum dan mengacak rambutnya.

            Aku beralih ke ruangan di sebelah kamar kami. Kalian tahu itu ruang apa? Kamar untuk anak kami nantinya. Ruangan itu masih kosong, belum ada furniture apapun. Bahkan tembokpun masih polos. Kami berdebat tentang siapa jenis kelamin anak kami dan berapa jumlah anak yang ingin kami punya.

            “Aku mau mempunyai anak laki-laki agar aku bisa mengajaknya bermain.” Kataku.

            “Ani. Aku ingin mempunyai anak perempuan agar aku bisa mendadaninya. Aku ingin membuatnya menjadi anak perempuan paling cantik.” Bantahnya sambil matanya berbinar.

            “Adeul. Anak pertama kita harus namja.”

            “Ttal. Anak pertama kita harus yeoja!” balasnya tak mau kalah.

            “Tidak bisa. Untuk ini aku tidak mau kalah. Aku juga ingin punya anak.. 6! Ya 6.” Jelasku lagi.

            “Mwoya? YAA kau pikir aku kucing! Kau saja yang hamil oppa.” Ia memanyunkan bibirnya lagi.

            Entah mengapa perdebatan soal anak terhenti begitu saja tanpa kami bahas lagi. Aku tertawa sendiri mengingatnya. Itu sebabnya kamar ini kosong tanpa apapun, tanpa wallpaper. Lalu aku melangkah ke dapur, tempat Saena biasa memasak. Saena pintar memasak dan aku akan setia menunggunya di meja makan, melihatnya memasak dengan serius. Sesekali Saena akan memanggilku untuk sekedar menyicipi. Dan di dapur ini pertama kalinya Saena membuat chocalate cake kesukaanku.

“Oppa ppali, aku sedang mencoba resep kue baru. Aku yakin kue ini akan menjadi kue kesukaanmu.”

“Jinjja?”

“Eo. Igeo, coba. Eottae?”

“Enak.”

“Ini akan ku oven.” Saena memasukkan loyang kue tersebut ke dalam oven. Kami menunggu hingga bunyi ‘ting’ pertanda kue sudah matang. “Cha~ kuenya sudah matang. Kau mau menyicipi?” Saena mengambil pisau, memotongnya, dan menyuapiku sepotong.

“Jinjja mashitta. Kau sangat pintar memasak jagi.” Pujiku tulus.

Aku kembali melanjutkan langkahku. Kakiku melangkah ke ruang perapian. Tempat kedua yang sering menjadi tempat istirahat aku dan Saena setelah teras belakang. Aku kembali teringat bagaimana seriusnya Saena melukis, berantakannya rumah ini dengan segala peralatannya, dan lain sebagainya. Seseorang tak perlu memiliki masalah berat untuk menangis bukan? Dan entah mengapa aku menangis hari ini. Kulangkahkan kaki menuju lukisan yang Saena buat. Aku terpaku menatap lukisan tersebut. Aku mengingat dengan jelas potret di lukisan ini. Malam hari di sungai Cheongyecheon. Aku duduk di tepi sungai sambil menengadahkan kepala ke atas langit, menikmati musim semi kala itu. Aku tersenyum menatap langit. Di bawah potretku terdapat tulisan tangannya yang rapi, ‘Goodbye my dear, Suho.’

Aku tersenyum. Ini sudah waktuku. Aku berterima kasih pada Tuhan telah mengizinkanku kembali dan melihatnya lagi. Cukup untukku bertemu lagi dengannya walaupun hanya sekali. Memastikan semua kekhawatiranku saat ini tidak terbukti. Ia hidup dengan baik, sangat baik. Mungkin ia hanya belum siap menemuiku setahun belakangan ini. Tapi sekarang aku tahu, ia kembali padaku. Kembali menemuiku.

***

Saena POV

            Hari ini aku ingin mengunjunginya. Sudah setahun semenjak ia pergi dan tak pernah sekalipun aku menyapanya lagi. Aku terlalu takut melangkahkan kaki menemuinya. Aku tak ingin menangis di hadapannya, karena aku tahu ia paling tak suka aku menangis karenanya. Aku melukis potret dirinya hari ini. Dirinya yang menengadah langit di sungai Cheongyecheon. Aku juga membuat kue kesukaannya, berharap ia akan tersenyum menerimanya. Aku membeli bunga dan beberapa minuman kesukaannya, berharap ia juga akan senang saat aku berkunjung untuknya nanti.

            Jongdae menghubungiku hari ini, memastikan bahwa ia tak ada jadwal dan bisa menemaniku. Entah mengapa aku tak yakin akan kuat menemuinya sendiri. Aku membutuhkan Jongdae, namja yang setia di sampingku sejak setahun yang lalu.

            Aku selalu menikmati kesendirianku di rumah. Melukis berbagai macam hal yang ada di otakku, terutama tentang dirinya. Sejak musim dingin tiba, kegiatan melukisku akan pindah ke ruang perapian. Setiap waktu berkelabat kenangan tentangnya. Hal itu yang membuatku enggan menemuinya. Memori tentangnya selalu datang tanpa pernah bisaku lupa. Mianhae oppaya. Aku berjanji akan menemuimu dengan senyum hari ini.

            Jongdae menggenggam tanganku dan tersenyum, seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Aku tersenyum membalasnya. Kami melangkah masuk dan melewati lemari demi lemari. Kami berhenti di depan salah satu lemari kaca yang di dalamnya terdapat sebuah guci dan foto seseorang.

            “Suho oppa, annyeong.” Sapaku sambil tersenyum. “Bagaimana keadaanmu? Aku berharap kau baik-baik saja di sana. Dan bahagia tentunya.” Aku mengambil jeda sejenak. “Mianhae baru menemuimu kembali. Aku tahu ini terlalu lama. Tapi hari inilah aku siap bertemu lagi denganmu. Mianhae.” Aku mencoba menahan tangis. “Oppaya, mianhae selama ini sudah banyak membuatmu mengalah untukku. Aku tahu selama denganmu sifatku terlalu kekanakkan. Kau sangat dewasa dalam menghadapiku.” Aku coba mengingatkan mataku agar tak mengeluarkan isinya. “Jigeum, aku sudah lebih baik. Aku sudah belajar dan mencoba lebih dewasa. Hari ini, tepat setahun setelah kau pergi. Banyak hal yang membuatku sangat merindukanmu. Apapun tentangmu akan selalu kurindukan. Aku akan menepati janjiku untuk tidak pernah menangis karenamu. Kau bisa memegang janjiku oppa.” Aku kembali bisa tersenyum. “Oppaya, aku membawa kue kesukaanmu. Apa kau senang? Aku membuatnya pagi ini. Dan aku juga membawa bunga serta wine kesukaanmu.” Aku membuka pintu kaca dan meletakkannya di samping guci abu. “Dan.. aku bersama dengan Jongdaessi. Dia yang menemaniku selama setahun ini. Aku mohon berterima kasihlah untuknya. Tanpanya aku tak akan sanggup menemuimu lagi.” Aku tersenyum tulus pada Jongdae, berterima kasih.

            “Annyeong Hyung.” Sapa Jongdae ramah.

            “Oppa, aku akan hidup dengan baik dan baik lagi. Kau tak perlu khawatir di sana. Aku percaya kau bahagia di sana. Dan di sini, aku akan melanjutkan hidupku dan menjadi lebih bahagia. Gomawo sudah bersamaku selama ini. Gomawo sudah mencintaiku setulus hatimu. Kau yang terbaik dan aku tidak akan pernah melupakanmu. Goodbye my dear, Suho.” Akhirku sambil tersenyum di depan guci abunya. Mulai sekarang aku rela melepasnya dan membiarkannya bahagia.

***

Author POV

            Saena melangkahkan kakinya ke dalam rumah, berniat menyelesaikan gradasi warna pada lukisannya. Moodnya sudah lebih baik sekarang. Saat ia duduk di bangkunya, ia menemukan secarik kertas yang tertempel di ujung lukisannya, tepat di bawah kata-kata yang ia tulis. Ia mengambil kertas itu dan membacanya, ‘Hiduplah dengan baik. Aku sudah bahagia. Aku berharap kau bahagia. Lanjutkan hidupmu dan aku akan melihatnya darisana.’

            Aku terpaku membacanya. Tulisan tangan ini.. ini tulisan tangan Suho. Di mana dia? Apa ia kembali ke rumah ini tadi? Apa ia kembali untuk menemuiku? Aku mencoba menahan air mataku, takut ia masih berada di sini dan melihatku. “Oppa, aku akan hidup dengan baik dan akan bahagia. Terima kasih.” Jawabku tersenyum. Dan tiba-tiba angin berhembus perlahan di sini.

 

Depok, 12 Februari 2014

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK