Hujan...
Untuk kesekian kalinya Kwon Je Hwa melayangkan pandangan ke lapangan dibawah sana. Tempat duduknya yang persis disamping jendela membuatnya leluasa memperhatikan keadaan diluar. Kaca jendela kelas yang basah diguyur hujan menyebabkan pemandangan disana tidak terlalu jelas. Angin sepertinya bertiup kencang, karna pepohonan terlihat meliuk-liuk. Bosan. Je Hwa pernah merasakan rasa bosan seperti ini. Seperti pertanda bahwa dia akan kehilangan hal penting lagi dari hidupnya, seperti kematian Eonninya beberapa tahun lalu. Rasanya kosong dan tidak ada semangat.
Jam di depan kelas sudah menunjukkan pukul 3 sore dan masih ada dua jam lagi supaya kelas hari ini berakhir. Tapi guru untuk pelajaran terakhir ini tidak hadir di kelas. Tatapan Je Hwa menerawang jauh. Kembali terputar di memorinya, namja yang untuk kesekian kalinya mampu menghancurkan konsentrasinya. Namja yang ditemuinya waktu menyelamatkan kucing yang diguyur hujan, beberapa hari lalu. Namja yang hanya dengan senyumannya saja mampu membuat Je Hwa lupa untuk bernafas.
#Flash Black On#
Je Hwa berlari kecil meninggalkan halte bus tempatnya menunggu bus, tangannya berusaha melindungi kepalanya dari rintik hujan yang mulai turun.
“Oh, apa itu?”
Langkahnya tertahan karna melihat kardus kecil tergeletak di tepian jalan.
“Ah, bayi kucing... Ommo, lucu sekali... Siapa yang tega membuangmu disini?”
Je Hwa buru-buru jongkok dan mengambilnya dari kardus. Ia menggendong kucing itu dan melindunginya dari tetesan hujan yang semakin deras. Bahkan dia lupa kalau sekarang dirinyalah yang basah kuyup sampai rambut panjangnya sudah benar-benar basah.
“Neo gwaenchana?”
Tiba-tiba sebuah payung sudah melindungi tubuh Je Hwa dari terpaan hujan. Je Hwa hampir terjengkang saat mendapati ada orang yang berdiri dibelakangnya, dan kucing dipelukannya nyaris terlepas. Je Hwa mendongak untuk bisa melihat orang yang sudah memayunginya itu.
“Ah, mianhae kalau aku sudah membuatmu kaget... Aku hanya penasaran dengan kardus disitu. Ternyata ada orang yang lebih dulu melihatnya..” Namja itu menggaruk tengkuknya dan tersenyum tipis.
Je Hwa bangun dari jongkoknya dan berdiri berhadapan dengan namja itu. Je Hwa hanya bisa terdiam dan menatap takjub wajah namja yang sedang tersenyum itu. ‘Ommo, ada apa denganku? Kenapa rasanya sesak. Ah, bernafas..bernafas..’ Je Hwa menenangkan diri sendiri dan mencoba menetralkan pernafasannya.
“Pakai ini...” Namja itu menyodorkan payung abu-abu ditangannya.
“Ah, aniyo... aku tidak perlu.” Je Hwa berusaha menolak.
“Supaya kucingnya tidak kehujanan..” Seringaian kecil terlihat di bibir namja itu dan ia menggenggamkan payung itu ketangan Je Hwa yang masih berusaha mencerna maksud ucapan namja didepannya, dan segera berlari menembus hujan meninggalkan Je Hwa yang baru saja paham maksud kalimatnya.
“Yak! Neo....!!” Je Hwa langsung berteriak protes dan hanya bisa mendumel untuk menghilangkan rasa jengkelnya. Sementara namja itu berlari menjauh dan hanya melambaikan tangan tanpa berbalik menatapnya.
“Cihh... dasar pria menyebalkan..” Ujarnya dengan senyum terkulum sambil menatap kucing di pelukannya dan payung ditangannya. “Gomawoyo...”
#Flash Back Off#
“Je Hwa-yaa.. Kau tidak lapar? Aku kedinginan dan perutku minta diisi. Kajja.. kita ke kantin dulu.
Seseorang menepuk bahunya dan membuyarkan lamunan Je Hwa seketika.
“Oh, Gi Kwang-ah.. aku belum lapar..” Je Hwa meletakkan tangannya yang semula bertopang dagu keatas meja dan mulai membolak-balik buku pelajarannya.
“kalau begitu temani aku saja.” Namja bernama Gi Kwang itu bersikeras dan mulai menarik-narik tangannya seperti anak kecil.
“Tsk... kapan kau akan ke kantin sendiri? Selalu saja merepotkanku.” Je Hwa pura-pura kesal, namun akhirnya mengalah dan mengikuti langkah Gi Kwang yang tersenyum puas karna tahu Je Hwa tidak akan pernah menolak permintaannya.
Keduanya berjalan di koridor yang terlindungi oleh hujan. Je Hwa hanya terdiam sembari menikmati suara hujan yang selalu disebutnya musik dewi yang kesepian, bahkan terlalu kesepian hingga mampu membuat para makhluk di kahyangan menangis sedih mendengarnya.
“Kau memikirkannya lagi?” suara Gi Kwang memecahkan kesunyian disekitar mereka.
“Huh? Nugu?” Je Hwa menatap Gi Kwang dengan tatapan penuh tanya.
“Rain Prince..” Gi Kwang mengucapkannya dengan memasang wajah mencibir.
“Yak! Neo jjeongmall! Berhenti meledekku seperti itu. Aku tidak pernah menyebutnya seperti itu.” Je Hwa memasang wajah cemberut dan memukul pundak Gi Kwang.
“Kau yang menyebutnya seperti itu..” Gi Kwang menarik kerah seragam Je Hwa, dan membuat wajah manis yeoja itu kembali ditekuk.
“Aku tidak memanggilnya Rain Prince. Sebutan itu ku pakai untuk orang lain. Dulu.” gumam Je Hwa.
“Hanya bertemu sekali, efeknya sampai seperti ini. Kenapa denganku yang hampir tiap hari bersama tidak pernah seperti itu?” Gi Kwang memasang mimik seolah-olah sedang berfikir keras.
“Kau?! Bahkan kalau tidak bertemu denganmu selamanya aku tidak akan kehilangan.” Ledek Je Hwa kembali.
“Jinjja? Geure... besok kau tidak akan melihatku, bahkan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Sampai kau merasa kehilangan dan merindukanku.”
Je Hwa hanya tertawa kecil dan berjalan mendahului Gi Kwang, tidak begitu memperdulikan ucapannya. Sementara dibelakangnya Gi Kwang mengamati punggung Je Hwa dengan tatapan yang sulit diartikan.
@$#@$#
Je Hwa pulang terlambat malam ini, selain karena terjebak hujan di sekolah juga karena Gi Kwang menahannya pulang dengan hujan-hujanan. Tadinya Je Hwa bersikeras akan pulang dengan menembus hujan, tapi tangan kokoh Gi Kwang tetap memegangi kerah seragamnya, seperti hal yang sering dilakukannya untuk tidak membiarkan Je Hwa pergi.
Je Hwa meraih handuk yang digantung di dekat kamar mandinya dan berniat membersihkan badan. Tubuhnya terlalu lelah hari ini. Jam sekolah yang memaksanya pulang lebih lama dari biasanya benar-benar membuat pikirannya penat. Dia perlu mandi, dan mengisi perut sebelum beristirahat dengan nyenyak malam ini.
Diliriknya lampu kamar kedua orang tuanya yang masih menyala, tanda mereka belum tidur. Je Hwa masuk ke kamar mandi dan mulai menyalakan air.
*^^*
Gi Kwang-ah, besok jangan lupa membawa buku yang kau pinjam kemarin.. selamat malam, Jjaljayo.. ^^
Kirim...
Je Hwa merebahkan dirinya diatas tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya yang ditempeli sticker bintang yang bercahaya dalam gelap. Dia berusaha memejamkan matanya, namun ingatan akan namja yang ditemuinya sewaktu hujan itu kembali merenggut pikirannya.
“Seperti De Javu saat bertemu denganmu. Payungmu masih ada ditanganku... dan orang itu juga belum meminta kembali payungnya. Apa dia lupa?” ujar Je Hwa lirih.
#%$
“Gyun Moo, Gi Kwang belum datang?”
Je Hwa menepuk bahu namja yang duduk di depan mejanya itu sembari berbisik pelan karena guru di depan sedang menerangkan pelajaran.
“Aku tidak melihatnya..” jawab namja itu tak kalah lirihnya.
Je Hwa menatap bangku yang ada di sampingnya dengan lesu. Gi Kwang tidak kelihatan sejak tadi. Sementara buku yang dipinjam Gi Kwang sudah tergeletak diatas mejanya dari awal pelajaran.
“Kemana bocah itu?” gumam Je Hwa.
Gi Kwang sama sekali tidak menampakkan diri seharian ini, bahkan sampai pelajaran terakhir tidak ada tanda-tanda keberadaannya.
‘Sudahlah, mungkin dia sedang ada kesibukan..’ Je Hwa berusaha mengalihkan perhatiannya dan melangkah keluar dari kelas karna semua siswa sudah pulang.
Je Hwa menatap langit sore yang entah kenapa terlihat cerah saat ini. Tidak ada mendung, dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Itu artinya akan semakin kecil pula kemungkinan bertemu dengan namja itu. Ia melangkah menuju halte bis dengan lesu dan wajah yang tertunduk. Akhir-akhir ini sepertinya semangatnya terkuras habis. Dan parahnya lagi, Gi Kwang yang selalu mampu membuatnya tertawa di sela-sela ledekannya, tidak terlihat satu hari ini.
#$#$#
“Gi Kwang tidak masuk lagi?”
Ini untuk ke empat kalinya Gi Kwang tidak mengikuti kelas seperti biasanya. Dan Je Hwa merasa begitu kesal karena namja itu bahkan tidak mengaktifkan ponselnya.
“Kalau muncul, akan kuhabisi kau..” Je Hwa mengepalkan tangannya dan memukulkannya ke meja belajarnya.
“Yak! Kau kenapa?” Gyun Moo yang ada di depannya menatapnya kesal karna suara gebukan Je Hwa membuatnya kaget.
“Ani... lanjutkan saja tidurmu..” jawabnya ketus.
Je Hwa melangkahkan kaki menuju atap sekolah dan duduk di pembatasnya. Pagi ini langit terlihat cerah dan tidak ada tanda-tanda akan hujan. Dan tentunya tidak ada tanda-tanda kemunculan si menyebalkan Gi Kwang. Je Hwa mengamati siswa yang berlalu lalang di sekitar sekolah dengan malas. Melihat mereka yang berlarian menuju lapangan untuk mengikuti pelajaran olahraga, dan ada yang sedang dihukum karena melanggar peraturan sekolah. Hal itu tidak ada yang menarik perhatiannya.
$%$%$
“Ini saja?” Yeoja penjaga kasir itu menghitung belanjaan Je Hwa dan memasukkannya ke kantong kertas.
“Ne..” Je Hwa menyodorkan uangnya sesuai dengan yang tertera di monitor.
“Kamsahamnida...” Yeoja itu tersenyum dan menyerahkan barang belanjaan Je Hwa, yang dibalas dengan anggukan ramah Je Hwa.
Je Hwa berjalan keluar dari minimarket itu dengan menenteng belanjaannya yang tidak banyak. Biasanya Gi Kwang akan dengan senang hati menemaninya ke minimarket. Tapi sampai sekarang Gi Kwang belum terlihat juga. Dihelanya nafasnya dan dia mencoba mengenyahkan berbagai kemungkinan buruk yang melintas di pikirannya.
“Dia pasti baik-baik saja..” ujarnya mencoba meyakinkan diri sendiri.
Je Hwa terkesiap melihat seseorang yang selama ini di pikirkannya. Namja itu, namja yang pernah meminjaminya payung. Sekarang namja itu sedang berada di dalam sebuah toko buku. Je Hwa tersenyum senang karna akhirnya bisa bertemu namja itu lagi. Namja itu sedang membuka pintu toko, sepertinya akan keluar. Senyuman Je Hwa langsung membeku. Karna lebih tepatnya, namja itu sedang membukakan pintu untuk yeoja yang akan keluar dari toko itu. Dan mereka saling bertukar senyum.
Je Hwa tertegun. Dia merasa ada yang salah dalam dirinya. Tak seharusnya dia melambungkan harapan akan namja yang bahkan belum dikenalnya itu.
“Ah, sepertinya aku begitu banyak berkhayal. Tak seharusnya aku berharap lebih dari namja yang tidak mengenalku, hanya karna ia pernah meminjamiku payung.” Je Hwa tersenyum getir.
Seperti ada sesuatu yang ditarik dari dalam dirinya, di angkat tinggi, kemudian dihempaskan ke tanah dengan begitu kejamnya.
“Chagiya.. Kau mau makan dulu?”
Suara namja itu terdengar begitu manis ditelinga Je Hwa saat mereka melewatinya.
“Chakkaman...”
Suara Je Hwa yang tiba-tiba terdengar berhasil menghentikan langkah sepasang kekasih itu.
“Nde?”
Ujar yeoja tadi dan berbalik menatap Je Hwa.
“Ini... Sepertinya anda tidak sengaja menjatuhkannya..” Je Hwa memungut kertas yang ternyata tiket konser.
“Ah, Jjjongmall kamsahamnida...” yeoja itu tersenyum lebar dan membungkuk untuk mengucapkan terimakasih padanya.
“Ne....” Je Hwa membalas senyuman yeoja itu.
“Ah, kau yang pernah memungut kucing yang kehujanan itu kan?”
Namja itu buka suara dan menatap antusias kearah Je Hwa.
“Ne, Annyeong... terimakasih sudah memberiku pinjaman payung. Aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya.”ujar Je Hwa.
“Ah, tidak perlu. Simpan saja, supaya kucingmu tidak kehujanan.” Seloroh namja itu, dan akhirnya membuat tawa Je Hwa pecah. Ternyata dia lebih mengkhawatirkan kucingnya.
“Dong Woon imnida.” Namja itu mengulurkan tangan dan dibalas oleh Je Hwa.
“Je Hwa imnida. Yeoja chingu mu?”
“Ah, ne... Kim Shu Ri imnida..”
“Senang berkenalan dengan kalian...” Je Hwa menatap pasangan itu dengan sumringah.
“Nado... Mian, kami harus pergi. Sebentar lagi konsernya akan dimulai.”
“Ne.. selamat bersenang-senang.” Je Hwa melambaikan tangan kearah mereka dan tersenyum lebar.
Ada perasaan lega disana. Je Hwa baru menyadari suatu hal. Ternyata dia hanya merasa penasaran pada namja yang dengan manisnya mau memberikannya payung itu dan mengingatkannya pada seseorang yang juga pernah memayunginya saat hujan turun di hari kematian eonninya.
“Mereka pasangan yang manis sekali..” ujarnya sambil melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.
#$@$@#
Je Hwa duduk di atas gedung sekolah sendirian. Ada rasa sepi di dalam dirinya. Ini hampir dua minggu, dan belum ada tanda-tanda kalau Gi Kwang akan kembali ke Sekolah. Ternyata butuh usaha keras bagi Je Hwa untuk membiasakan diri tanpa adanya Gi Kwang disisinya. Je Hwa teringat kembali ucapan Gi Kwang dulu, kalau Gi Kwang akan pergi dan akan kembali jika dia merindukannya. Je Hwa mendongak menatap langit yang mendung.
“Dewi langit... apa kau tidak kesepian lagi? Apa kau sudah punya teman sekarang? Apa kau sudah bahagia? Kenapa kau tidak memainkan alat musikmu untukku? Aku sedang kesepian dan merasa kehilangan saat ini.. maukah kau memainkannya untukku? Kumohon.. mainkan alat musikmu sekali saja untukku. Kalau kau kesepian, aku selalu mendengarkan musik sedihmu. Kenapa kau tidak mau melakukan hal yang sama untukku?”
“Gi Kwang-ah, nan jjeongmall bogoshipheo..”
Je Hwa mencoba menahan air matanya yang akan tumpah dengan mengerjapkan mata perlahan.
“Kau sedang merindukanku?”
Je Hwa dengan refleks berbalik untuk melihat pemilik suara itu.
“Gi Kwang-ahh..”
Air mata yang berusaha ditahannya akhirnya menetes dengan sukses saat mendapati namja itu bersandar di pembatas atap dan tersenyum kepadanya tanpa rasa bersalah.
“YAK! UNTUK APA KAU MUNCUL LAGI? KENAPA KAU TIDAK MENGHILANG SAJA UNTUK SELAMANYA..!!!!”
Je Hwa langsung berdiri dan meneriaki Gi Kwang dengan histeris, emosinya benar-benar meluap.
“Je Hwa-ya.. ada apa denganmu? Kenapa kau begitu marah?” Gi Kwang menatapnya bingung dan berjalan ke arahnya.
“NAPPEUN NAMJA...”
Je Hwa langsung memukul badan Gi Kwang begitu namja itu berada dalam jangkauannya.
“Yak! Appo...” keluh Gi Kwang. “Ulljima..” Gi Kwang mencoba menghapus airmata Je Hwa yang langsung di tepis yeoja itu.
“Kenapa kau tidak memberi kabar? Bahkan ponselmu mati.”
“Mianhae... Aku harus mengikuti acara keluarga yang ada di Mokpo, dan ponselku terjatuh karna dimainkan sepupu. Apa semuanya baik-baik saja saat aku pergi?”
“Aku bertemu dengannya.”
“Rain Prince?”
“Ani.. sebutan itu bukan untuknya.”
“Wae..?”
Hening.
“Kau benar-benar menyukainya?” Ada nada kecewa dari suara Gi Kwang.
“Tidak. Aku hanya penasaran saja padanya.”
Je Hwa mengalihkan pembicaraan.
“Apa maksud ucapanmu dulu? kalau aku merindukanmu kau akan kembali.”
“Aku hanya bercanda...” ledek Gi Kwang.
“Tapi aku merindukanmu, Pabo..”
“Mwo?! Kau benar-benar merindukanku? Jadi bagaimana dengan Rain Prince itu? Jangan bilang kalau itu aku?”
“Pabo... Kau bahkan tidak ingat kalau dulu kita bertemu pertama kali waktu hujan, waktu kematian eonniku.”
“Jadi Pangeran Hujan mu itu aku?”
“Ah, Molla... Aku membencimu...”
Je Hwa berbalik dan hendak pergi.
Gi Kwang buru-buru meraih tangan Je Hwa dan menariknya kedalam pelukannya.
“Aku benar-benar kesal kalau kau membicarakan namja itu setiap saat. Jangan bicarakan dia lagi dihadapanku.”
“Gi Kwang-ah...”
“Apa aku harus benar-benar menghilang dulu baru kau akan merindukanku? Itu sangat berat untuk kulakukan. Bahkan tidak melihatmu dua minggu saja, rasanya aku akan gila karna begitu merindukanmu. Kwon Je Hwa, nan jjeongmall saranghaeyo...”
Je Hwa tidak memberi jawaban apapun. Dia hanya memeluk Gi Kwang dengan erat. Hal itu sudah lebih dari jawaban baginya. Gi Kwang memeluk Je Hwa lebih erat dan mengecup puncak kepala yeojanya itu dengan lembut.
Dan dewi langit memainkan musiknya dengan syahdu. Kali ini bukan melody kesedihan, tapi melody yang indah dan manis yang membuat Je Hwa dan Gi Kwang tersenyum dalam pelukannya.
‘Dewi langit, gomawo. Kali ini aku tidak kehilangan lagi. Gomawo, sudah membawa pangeran hujanku kembali. Kau tidak sendirian lagi kan disana? Aku juga sudah tidak kesepian lagi. Dewi langit, kau mau berjanji akan menemaniku saat hujan turun kan?’
Senyuman manis terukir di wajah Je Hwa saat menatap langit sore yang mendung kali ini.
“Je Hwa-yaa..”
“Nde?” Je Hwa menoleh dan..
CUP...
“Saranghae..”
Wajah Je Hwa langsung merona merah saat menyadari kalau Gi Kwang baru saja mencium bibirnya dengan lembut meskipun begitu singkat.
Saat hujan turun, ada rasa sedih dan bahagia yang tercipta didalamnya. Bahkan ada kesepian yang menyayat hati orang yang mendengar dan mencoba merasakannya dengan mata terpejam. Dan hujan sore ini menghantarkan kebahagiaan kepada mereka yang layak mendapatkannya. Hujan. Bukan hanya bercerita tentang kesedihan seperti air mata yang tumpah. Tapi hujan juga menyimpan cerita manis saat orang berbahagia atas kedatangannya.Je Hwa mengeratkan genggaman tangannya pada lengan Gi Kwang dan menyandarkan kepalanya di bahu namja chingunya itu.
“Nado Saranghae, Rain Prince...”
&&END&