home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Suppletory

Suppletory

Share:
Published : 24 Jan 2014, Updated : 25 Jan 2014
Cast : Park Chanyeol, OC
Tags :
Status : Complete
0 Subscribes |1070 Views |1 Loves
Suppletory
CHAPTER 1 : Glass

Jar of Heart

      Kusibak tirai jendela. Sinar matahari menerobos di antara daun-daun akasia. “Haaah,” udara musim semi di pagi hari selalu terasa menyenangkan. Aku  jadi tidak perlu pakai mantel tebal lagi meski masih terasa dingin. Masih ada sedikit lapisan es menyelimuti bingkai jendela kamarku. Kuncup bunga petunia yang kupetik dari taman belakang mulai sedikit merekah.

      “Ini cantik.” Telunjuknya menyentuh mahkota petunia milikku, “mau dibawa ke mana?”

      “Ke…sana,” mataku berkeliling mencari setiap permukaan kosong yang tersedia sampai mendarat di meja kasir di sebrang tempat duduknya.

     “Tak perlu repot-repot,” ucapnya seraya mengangkat pot kecilku sejajar matanya. “tapi yang ini cantik.”

     “Bunga ini bukan buatmu.”

     “Benarkah?” Seringainya membuatku tertawa.

     “Aku sudah bosan melihatnya di kamarku.” Dihirupnya petuniaku. Matanya di balik frame otomatis terpejam ketika menghirup aroma manis yang tipis dan jarang. Kesempatan bagiku untuk curi pandang lalu berpaling, pura-pura menyibukan diri segera setelah Ia beralih menatapku.

    “Mau pergi, ya?” Ibu menjulurkan kepala dari pintu dapur, “boleh minta tolong matikan keran di taman ketika kau keluar?”

    “Baiklah.”  Kulakukan yang diminta Ibu sebelum bergegas dan mengunci pagar. Trotoar agak licin karena masih basah, membuat aku berhati-hati mengambil langkah. Tetangga sebelah sedang berjalan bersama anjingnya sambil menyapaku selamat pagi.

     Seseorang mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi, membuat angin berhembus kencang bersamanya dan hampir menyingkap rok terusan yang aku pakai. Sejumlah air terciprat ke arahku. Untung saja aku sigap sebelum semua terlambat.

     “Maaf!” seru pemuda itu sambil menoleh dan melambaikan satu tangannya padaku tapi ia masih mengayuh.

Pukul 10 malam. Band musik terakhir sudah selesai tampil, sebentar lagi ritual menari bersama akan dilaksanakan. Bukannya aku mengharapkan dia datang atau apa. Aku mengerti kalau dia sibuk dengan apapun yang dia kerjakan. Tapi sahabatku, Chanmi, sampai repot-repot mendandaniku karena dengar dia mengajakku kencan.

     Meski aku tak yakin apa itu benar-benar ajakan kencan. Dia cuma bilang akan bertemu denganku di festival. Bertemu ‘kan tidak harus kencan. Yang kulakukan sekarang, menikmati sisa malamku dan festival ini dengan teman-temanku.

     Lalu aku melihat kepalanya menyembul di antara kerumunan orang. Tidak harus melihat wajahnya untuk tahu bahwa memang ia yang berdiri di sana. Ia sedang bersama Baekhyun Oppa mengobrol tentang sesuatu. Ketika ia berbalik dan pandangan kami bertemu (sebenarnya bisa saja dia hanya melihat melewati aku, tapi entah ya… dia pakai topeng, sih), kami mematung. Tak lama kemudian ia berkata sesuatu pada Baekhyun Oppa lalu menghampiriku.

     ”Bagaimana jika, langit-langitnya dicat warna robin ?” Tanya Baeksoon sambil menunjukanku katalog desain interior.

     ”Hmm, biar kulihat,” desain interior bukanlah bidang kami berdua, mungkin Baekhyun Oppa sedang mabuk ketika meminta kami untuk mengatur ruang seluas 7x9 meter tempatnya membuka perpustakaan indie. Atau begitu ia menyebutnya. “Robin bagus.”

      “Sudah kuduga.” Baeksoon berlari kecil ke arah kaleng-kaleng cat di pojok ruangan.

       “Tapi kita tidak punya warna robin.” Ucapku.

       “Kita bisa pakai otak.” Dibukanya beberapa kaleng lalu menuangkan warna kuning, biru, dan putih dengan komposisi berbeda.

        “Wow, Soon, Kau pintar sekali!” Ujung bibirnya terangkat, bangga mendengar pujianku, “ternyata kelas seni rupa ada gunanya juga, ya.”

        “Ayo mulai.” Ucapnya sambil menyerahkan kuas dinding padaku.

       Aku bekerja mulai dari tengah ke bagian sisi, sementara Baeksoon bekerja sebaliknya. Kami pikir begini akan jauh lebih cepat. Setelah mengecat seluruh ruangan, kami masih harus memindahkan barang-barang dan mengaturnya dengan waktu yang sempit.

     “Ya! Oppa!” pergelangan tanganku diseretnya hingga kami menjauh dari keramaian. Dia begitu manis waktu meminta izin mengajakku pergi tadi, sekarang dia seperti berusaha membuat tangan dan tubuhku terpisah. “Kita mau kemana, sih?”

     “Sabar,” ia terus menyeretku sampai kami sangat jauh dari tempat festival. Dalam hatiku aku berdoa, semoga dia tak membawaku ke tempat aneh.

      Lalu kami sampai di jembatan yang memisahkan kota. Kalau melongok ke bawah, kau akan melihat bayangan lampu jembatan  dan penerangan jalan umum dari sungai. Airnya begitu tenang hingga terlihat seperti cermin, sesekali angin bertiup membuat bayangan lampu menari.

     Kami baru memindahkan sofa ketika waktu menunjukan pukul 14.56, masih banyak barang yang harus ditata sedangkan Baekhyun Oppa menginginkan tempat ini selesai kurang dari tiga jam lagi.

     Tiba-tiba lonceng berdenting tanda ada orang yang masuk. Seketika kami terkena serangan panik, takut kalau ternyata Baekhyun Oppa sengaja datang lebih awal untuk melihat hasil kerja kami yang masih jauh di bawah standar penilaian.

     Terpaksa aku yang harus mengecek tamu tak diundang itu karena malah memilih gunting, bukannya kertas. Diam-diam aku mengintip dari balik sekat, seorang pemuda bertubuh tinggi (jelas bukan Baekhyun Oppa, membuat aku sedikit lega) berdiri memperhatikan dinding yang baru saja kami cat dengan warna robin. Sepeda yang diparkirkan di luar terlihat familiar.

     “Hai,” sapanya ketika menyadari keberadaanku. Kulambaikan tanganku dan bibirku mengisyaratkan ‘Halo’ padanya.

     “Tunggu sebentar lagi,” katanya. Tak lama kemudian aku mendengar dentum keras dari kejauhan, kembang api sudah diluncurkan. Ketika aku akan berpaling ke arah langit, tangannya menahan kepalaku agar tidak bergerak. “Lihat dari sini,” sambil menunjuk sungai di depan kami.

      Pendaran warna bermain dengan mataku. Bayangan kembang api membentuk simbol-simbol yang sulit dibaca setelah terbias air. Seperti melihat lukisan bergerak, pemandangan di bawah sini tak kalah cantik. Lalu aku melihat dua bayangan lagi. Bayangannya mencium pipiku, dan aku yang wajahnya semerah tomat.

      “Chanyeol Opp-“ bibirnya menghentikan kalimatku. Kedua tangannya merengkuh pipiku agar aku tidak tersungkur meski lututku sudah selemas jeli. Matanya terpejam dan harum peppermint pasta giginya terasa menyenangkan di hidungku. Sampai ia melumat bibirku, menunggu aku untuk membalas ciumannya. Tapi aku terlalu kaget untuk merespon, yang kulakukan hanya meremas kemeja yang ia kenakan.

     “Kalau Jumat depan kita menonton film, kau mau ‘kan?”

      Iya! Tentu saja! Akan sangat menyenangkan! Tapi tak satupun kata keluar dari mulutku jadi aku mengangguk sebelum dia mengira kalau aku menolaknya.

      “Siapa yang datang?” Baeksoon ikut melongokan kepalanya di sekat tempatku bersembunyi, “Ah, Kau. Kenapa lama sekali? Tempat ini kacau meski ada kami berdua, butuh bantuan di mana-mana.”

      Baeksoon menjelaskan tugas yang harus dilakukan pemuda itu. Banyak rak yang harus dipindahkan dari ruang penyimpanan, belum lagi sofa dan kursi malas yang beratnya minta ampun.

      “Oh, iya…” Baeksoon memanggilku, “kenalkan Chanyeol Oppa, sepupu kami dari kota.”

      “Senang bertemu denganmu.” Ucapnya, tersenyum sambil menjabat tanganku.

-

ahhh.. suck ending... tapi siapa yang peduli, 'kan? lolol.. Jangan sungkan untuk komentar, klik tombol love, dan post sesuatu di halamanku :D aku ngga gigit jadi jangan malu-maluuu

 

 

 

               

                

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK