home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Last Kiss (Sequel Of Dating...?) - Part 1

Last Kiss (Sequel Of Dating...?) - Part 1

Share:
Author : SJFF_INA
Published : 23 Jan 2014, Updated : 23 Jan 2014
Cast : kyuhyun super junior
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |916 Views |0 Loves
Last Kiss (Sequel of Dating...?) - Part 1
CHAPTER 1 : Part1

 

 

***

 

 

Aku berdiri di atas kaki kebasku sembari meragu menatap seorang pria bersetelan tuksedo hitam dengan simbol Tuhan di lehernya. Wajahnya terkesan begitu mendamaikan. Sedikit banyak pengaruh orang ini mampu memupus kegundahan yang perlahan menyergapku tanpa sebab.  

 

            “Mempelai wanita memasuki aula,” seruan lantang tersebut hampir-hampir mengejutkanku. Hah, apa . . . sudah saatnya?

 

Hati-hati aku mulai membalikan tubuh, memutar arah pandangku secara telak. Nampak puluhan atau bahkan mungkin ratusan orang berjajar memenuhi sudut-sudut kursi gereja. Membelah diri menjadi dua bagian serta menyisakan segaris lurus jalanan berkarpet merah dengan taburan mawar di permukaannya.

 

Dari pintu kayu yang menganga terbuka hingga meloloskan sebersit cahaya kemilau, aku memfokuskan mataku. Di balik cahaya tersebut tiba-tiba muncul dua pasang kaki manusia. Sedikit menguatan hati, aku mengamati lebih rinci. Seorang pria paruh baya dengan wajah lugas andalannya terkesan begitu percaya diri mengayunkan langkahnya, tatapan tajam yang terkadang mampu tersulap menjadi sorot keayahan merupakan satu-satunya yang teramat kuhafal sebagai milik Presdir Cho—Appaku, pria kehormatanku tersebut hari ini menjelma sebagai ayah yang begitu bijak terbukti dengan tangan di awal keriputnya tengah menggamit sayang lengan mungil milik seseorang yang belum sempat kulirik bagaimana rupanya nanmun dapat kujamin jika hadirnya begitu berarti buatku.

 

            “Aku menitipkannya padamu.” Suara berat ini milik Appa. Kapan ia sampai di hadapanku? Ckk, bagaimana bisa melamun kuperbuat di saat-saat seperti ini?

 

Masih dalam situasi gamang, aku menampilkan anggukan singkat guna menjawabnya. Sebuah senyuman ringan melayang dari raut wajah tegas Appa sebelum akhirnya ia meninggalkanku bersama sentuhan lain yang teramat lembut di atas kulit telapak tangan sana.

 

Aku melihatnya, tanganku menggenggam erat sebuah telapak lain yang begitu mungil, lentik dan halus. Begitu kulit ini bertemu dengannya entah mengapa semua ketenangan beramai-ramai  bergumul menyelimuti. Rasanya nyaman . . . .

 

            “ . . . .”

 

Aku melewatkan sebentuk rangakain prosesi janji menikah yang di bacakan pendeta, kedua belah cuping telingaku hanya mampu mendengar suara merdu mengudara, membunyikan sebaris kalimat paling syahdu di dunia. “Iya, saya bersedia.”

 

Tunggu . . . itu, bukan aku. Arghh, Cho Kyuhyun! Seceroboh itu kah diriku sampai-sampai melewatkan bagianku sendiri untuk bersumpah? Ckk, apa pula tadi yang kuucapkan? Semoga sesuatu itu bukanlah hal memalukan.

 

            “Kalian boleh mengekspresikan rasa cinta.” Oh, aku sedikit menyeringai ketika pendeta menitahkan perintah paling ehmm, apa boleh aku mengatakan apabila dari seluruh kalimatnya inilah yang telah kutunggu-tunggu datangnya? Tidak masalah aku menguarkan janji yang benar-benar tak kusadari atau aku juga sama sekali tidak keberatan kala mataku menagkap benda berkilauan sudah tahu-tahu tersemat indah di jari manisku. Sungguh, namun untuk ritual inti ini aku ingin melakukannya dengan penuh perasaan—akal sehat.

 

Aku memutar tubuhku pelan ke kiri, di sana dapat terlihat seorang wanita bergaun panjang warna putih gading dengan palet bergaris jingga di sisi-sisinya. Tangan mulusnya erat menggenggam sebuket bunga lili segar. Mempertinggi telusurku akhirnya iris ini berhasil mengunci tatap dua bulatan cokelat bersinar. Sorotnya meneduhkan, seakan dengan hanya memandangnya maka tak masalah bila aku harus terjebak di ladang gurun tanpa oasis sekalipun. Asalkan ada cahaya itu, nyawaku tentulah tidak mungkin dengan mudah melayang.

 

Aku menarik sudut-sudut bibir demi mengeluarkan seulas senyum simpul, berharap wanita di hadapanku juga mau berbaik hati membalasnya. Dan sepersekian detik berselang, raut wajahnya bersemu merah, bibir ranumnya merekah bahagia. Ya Tuhan, tiba-tiba aku lupa caranya bernapas.  

 

Cupp . . .

 

Bibirku mengenai keningnya. Entah mengapa sasaran pendaratan ini yang kupilih? Dan benakku sedang malas-malasnya bila harus menggali seribu alasan yang mungkin mampu menjelaskan. Sebab seluruh deru pusat pikirku hanyalah untuk memperdalam kecupan ini. Bagai ada aliran listrik yang tiba-tiba menyengat, jantungku bertalu menggila. Lompatannya sungguh luar biasa, seolah ia ingin keluar dari rongga dada dan mendekap objek memabukan ini sendiri.

 

            “Hah,” aku menghela napas lirih sembari melepaskan kecupanku serta langsung beralih guna menyatukan keningku dengan keningnya. Dari jarak minimalis ini, aku sanggup melihat betapa menawannya wanita ini, betapa beruntungnya orang yang mampu mengikatnya—melegalkan diri sebagai satu-satunya pemilik hati sekaligus raganya.

 

            “Nara~ya . . . .”

 

            “Okay, CUT!!” Suara pengganggu ini akhirnya kemabali mengalun. Aishh, kupatahkan juga lama-lama pita suaranya!

 

            “Kalian hebat. Baiklah setelah ini kita shooting satu kali lagi untuk menyampaikan pesan tahun baru CHF Company dan rekanan.” Ahh, begitulah kenyataannya. Kami tengah shooting iklan ‘Pesan Tahun Baru’. Sebuah kegiatan rutin perusahaan CHF untuk setiap awal tahunnya sebagai daya upaya mendekatkan diri pada masyarakat. Selaku bidang usaha yang bergerak dalam masalah produk kain unggulan, kecintaan warga Korea juga sebagai salah satu perusahaan turun-temurun tertua sudah sepantasnya bila CHF mampu lebih mengeratkan diri dengan konsumen-konsumen sekaligus penggemarnya. Namun yang kuheran dari mana para pelaku seni itu mendapatkan ide pernikahan dalam tema iklan tahun ini? Serta bagaimana bisa Appa menyetujui anak-anaknya berperan sebagai icon bintangnya? Ckkk, orang-orang kolot CHF itu memang suka aneh serta sulit di pahami!

 

            “Oppa?” Sedang seru-serunya mengatai para tertua keluarga tiba-tiba suara yang amat kukenali menyeruak memenuhi seluruh rongga telinga. Ahh, hatiku pasti akan demo lagi.

 

            “Hmm,” aku bergumam ringan sembari sedikit menoleh ke arahnya yang kini sudah duduk manis tepat di sisi kananku.

 

            “Aku lelah sekali. Tidak bisakah kita pulang saja?” ia bertanya dengan ekspresi letih yang cukup kentara. Ahh, gadis ini pasti tidak memiliki waktu tidur efektif sebab setelah intens kuperhatikan ternyata matanya menyamarkan kantung. Apa sebenarnya yang dikerjakannya?

 

            “Kau dengar sendiri ‘kan apa kata sutradara Jo tadi? Jangan cegeng, begini saja letih!” Dasar mulut terkutuk! Demi Tuhan, niatku bukan mengelurkan kalimat pedas itu tapi entah kenapa sulit sekali sisi baik  melingkupiku.

 

            “Ya, tidak usah mengejek juga. Kata-katamu malah membuatku tambah lelah. Aishh, berdekatan bersamamu memang bukan sebuah solusi. Aku per—“

 

Brukk . . .

 

Aku menarik pergelangan tangannya yang hendak beranjak hingga jatuhlah tubuh gadis itu—Cho Nara tepat  di tempatnya semula.

 

            “Aishh, Opp—“

 

Sebelum ia merutukiku dengan jurus sumpah serapah. Tanganku sudah membalikan tubuhnya agar membelakangi posisi dudukku. Dengan sedikit memutar tubuh sekaligus bersandar nyaman di permukaan lengan sofa, aku mulai menyentuh arena bahunya yang terekspos tanpa halangan dalam balutan wedding dress.

 

Sampai titik ini, jujur aku ragu. Namun berbekalkan sebuah tarikan napas pelan akhirnya tanganku bergerak juga guna memijit daerah itu perlahan. Mencoba menyalurkan kerileksan melalui sentuhan-sentuhan ringan, pijitan-pijitan pelan. Aku bukanlah tukang pijit dan dapat di pastikan geli sekali bila harus mempraktikan kegiatan demikian. Tetapi nyatanya kini?

 

            “Apa dengan begini akan sedikit lebih nyaman?” ujarku mengumam, meminta respon tepatnya. Takut-takut gadis itu malah justru kesakitan akibat tingkahku.

 

            “Jika Oppa melakukannya satu jam penuh maka besok aku pasti akan kembali sehat seperti bayi baru lahir,” jawabnya tak kalah pelannya dengan cicitanku. Aish, dikiranya aku ini sang penghapus dosa hingga mampu membuatnya seperti bayi lagi? Gadis ini memang selalu seenaknya.

 

Aku hanya mampu tersenyum tipis dalam diam.

***

 

Aku membantingkan dengan keras tubuh remukku ke atas permukaan ranjang yang bila dipikir-pikir telah resmi kutinggalkan secara permanen semenjak 2 tahun lalu. Meski begitu, sensasi menenangkan ruang pribadi ini tak berubah sedikit pun. Eomma memang perawat handal. Apa pun di tangannya pasti akan tertata juga teratur, sungguh berbeda dengan putrinya yang satu itu—si tukang onar. Hah, mengingat Nara, aku juga jadi tak bisa mengelak dari hasil obrolan private bersama Appa beberpa waktu lalu. Ckk, apa yang harus kuperbuat? Rasanya kepalaku hampir meledak karena memikirkan solusi macam apa yang hendak kuambil. Kenapa terasa rumit sekali? Bila ternyata menjadi dewasa bisa sepusing ini, maka aku berharap Tuhan menciptakanku sebagai immortal agar tak mampu menua.

 

            “Ahh, aku setuju.” Secepat kilat aku menolehkan kepalaku ke sumber suara. Bunyi ‘kretekk’ pun amat kusesali hadirnya setelah memastikan bahwa si pengganggu itu tidak lain juga tidak bukan adalah, si mungil itu—Cho Nara. Harusnya aku tak perlu terlalu terkejut dan dapat bersikap santai saja serta paling penting tak perlu mendapati kemungkinan tulangku yang bergeser. Awas saja gadis ini!

 

            “Kau? Membaca pikiranku? Kau immortal?” sungguh sepanjang usia baru kali ini aku mengakui kalau ermm, pertanyaan barusan idot sekali. Di era abad 21 ini masih terbelenggu dengan cerita kuno mengenai vampir? Makhluk penghisap darah? Pemilik daya meramal? Membaca pikiran? Aishh, payah kau Cho Kyuhyun!

 

            “Ap—? HAHAHAHA, ka hahau bilang hahaha apahhhaha?” Nara terpingkal di posisinya berdiri sambil memukul-mukul beringas ranjang tempatku rebahan.

 

            “Immortal? Hahaha, apa kau tidak merasa kalau kau begitu, emmm klasik, Oppa? Kurangilah kadar dramaholicmu HAHAHAHA,” lagi ia melanjutkan ejekannya.

 

Aku mendelik menatapnya nyalang. “Berhenti tertawa atau kutendang kau keluar kamar,CHO NARA!!”

 

Nara berangsur-angsur membekap mulutnya. Meski kekehan lirih berhasil lolos dari celahnya tapi setidaknya hal tersebut tak terlalu menyulut kedongkolan.

 

            “Mi-mianhae.” Mulut mungilnya menyuarakan kata tersebut membuat hatiku sedikit banyak merasa terpuaskan. Tentu saja, membuat Cho Kyuhyun marah penangkalnya hanya satu, MAAF. Tanpa permintaan tersebut, sampai keujung dunia orang itu tak akan pernah kuampuni.

 

Aku mengunci mulut serta justru malah menuntun tubuhku bergerak menggelinding guna menempati sisi kosong lain pada permukaan ranjang.

Dalam posisi miring menghadap gadis Cho itu, aku mengaktifkan tanganku guna menepuk-nepuk arena kosong yang baru saja kutinggalkan.

 

Entah gadis bodoh itu mengerti maksudku atau tidak namun beberapa detik berselang kakinya tampak melangkah mendekat. Meski aroma meragu tergambarkan jelas dari polahnya, Nara tetap berusaha menuruti kemauan yang aku sendiri bingung kenapa hatiku dambakan?

 

Srettt . . . .

 

Berdekatan dengannya selalu membuat rasa sabarku menipis hingga akhirnya tangan kananku berimprovisasi sendiri untuk menariknya, membuat tubuhnya terjatuh tepat di sisi ranjang sebelah kiri.

 

            “Aishh,” Nara meringis pelan di posisinya yang kebetulan langsung berhadapan denganku. Hahaha, ekspresinya lucu. Bibir merengutnya merupakan raut teralami yang kebaradaannya kerap kali tak mampu kutekan kadar kejenakaannya.

 

Dan selepas mengudaranya bunyi rintih tersebut kini yang tersisa hanya sunyi. Telingaku sekan tuli atau memang udara telah lenyap serta membawa seluruh gema yang mestinya kudengar.

 

Dalam situasi ini, aku hanya sanggup memandangi wajah seorang gadis belia. Ia menawan, mataku kerap merasai sebias kesilauan bila telah lekat menatapnya. Kadang aku pun meragu serta sedikit mengguri pada Tuhan. Mengapa Ia begitu berbaik budi, menitipkan makna berbau sempurna terhadap gadis sembrono layaknya Cho Nara? Apa tidak ada gadis lain yang mampu mengembannya? Kenapa mesti Cho Nara? Kenapa hanya gadis ini yang terpancar begitu mengagumkan? Kenapa Tuhan mengijinkan jantungku bertalu untuknya? Kenapa? Kenapa . . . ia adikku???

 

            “Kyuh—“

 

Sreett . . . .

 

Untuk yang ke—entah berapa kali, tanganku menggapainya agar lebih dekat. Tidak tahu faktor apa yang mendukungnya tapi tanpa terduga tubuh Nara telah seluruhnya terkurung dalam dekap hangatku. Aku merengkuhnya, erat. Sangat erat, seolah bila aku sedik saja mengendurkannya, ia akan terserap lubang angin. Terbawa pergi dari jangkauanku.

 

            “Oppa, wae?” tanyanya ragu teredam dada lebarku.

 

Aku menghirup aroma khas milik Nara. Bau ini, tanpa tersadari telah lama kuhafal sebagai kepunyaannya. “Pernahkah kita melakukan ini di masa lalu?”

 

            “Hmm? Aku tak ingat. Hubungan kita dari dulu tidaklah akrab. Jadi—“

 

            “Apa yang akan terjadi kiranya jika dulu kita dekat?” tanyaku memotong perkataannya.

 

            “Emm, mungkin saling berpelukan bukanlah hal yang canggung?” jawabnya dengan nada menerka.

 

            “Lalu apa yang kiranya akan terjadi sekarang bila dulu kita . . . lebih dekat?” lagi aku mengajukan sebaris pertanyaan padanya. Astaga, semoga gadis ini tak menyadari hadirnya perubahan dalam intonasi suaraku.

 

            “Kyuhyun Oppa? Gwaencahana ?” ujarnya justru mengabaikan tanyaku.

 

Sebuah tangan mungil terasa melingkari arena pinggangku. “Mungkin aku akan sulit lepas darimu.”

Mataku terbelalak, jantungku berpacu liar. Apabila kantung air mataku mudah jebol maka kini sudah dapat di pastikan wajah ini akan terbasahi oleh air asin tersebut.

Ya Tuhan, haruskah ini terjadi?

 

Sekali lagi aku menghela napas gusar. Merasa sukses sebagai pecundang. Memikirkan kegundahan antara rasa gamang, ragu, takut, cemas, bingung. Aku benci kombinasi rupa-rupa rasa ini. Aku muak terhadap situasi ini. Aku . . . bolehkah menyerah saja??

 

“Cho Nara.” Suaraku lirih memecah sepi, meruntuhkan segudang tanya dalam benak sana.

 

Ne?” Pernahkah seseorang merasakan sesak mendalam? Di mana seolah seluruh organ perasa dalam diri berbondong-bondong hendak remuk. Jantungku ingin meledak, hatiku tak kuasa lagi agar lebih lama bertahan.  Benakku hampir terpecah ruah menumpahkan seluruh deru rumit isinya. Ya Tuhan, aku lebih rela mati di banding harus menanggung semua ini.

 

            “A—“ Sial kerongkonganku memberontak, suaraku tercekat. Kenapa? Kenapa sulit sekali mengatakan sebaris kalimat yang bahkan telah lama kuhafal selama setahun belakangan?

 

            “Oppa? Waeyo?” Tolong sekali saja, bisakah gadis ini diam? Bersediakah dirinya tak menambah ruwet masalahku? Aku sudah cukup kewalahan mengurusi organ-organ pembentukku yang berambisi untuk berkhianat dan ia? Kalau dirinya terus bersikap macam ini, aku tak sanggup menjamin jika kegoyahan itu mampu kuatasi.

 

            “Kyuhyun Oppa?” aku menyukai caranya mengucapkan namaku. Aku menantikan saat-saat di mana hanya ada aku seorang yang sudi ia panggil begitu.

 

            “Aku akan menikah,” itu suaraku.

 

Hening.

 

Aku tak merasakan adanya pergerakan berarti dari diri Nara dalam pelukanku. Tidak juga muncul suara ceriwis khas mulutnya yang kerap memberondongku dengan sejuta tanya. Apa dia baik-baik saja? Begitu sibuk memikirkan responnya, aku bahkan mengabaikan reaksi alamiah tubuhku. Seluruh gerak peka itu serasa mati total. Begitupun ketika sebulir lelehan tangis lolos dari kelopak mataku.

 

            “Begitukah?” Akhirnya hal yang paling kunanti keluar jua. Dalam lingkup hati perih juga hampir busuk nampaknya akibat lara, aku hanya sanggup berdiam diri. Tak menemukan sebaris pun huruf yang pantas guna menjawab ujarannya. Meski seolah tak acuh namun sungguh aku menyadarinya. Aku menangkap kegelisahan dari gerik Nara di dekapanku, aku mendengar kegusaran dalam nada bicaranya. Apa ia merasa sakit? Apa ia juga sama sepertiku?

 

            “Waeyo?” kata tanya ini tiba-tiba mengudara membelai lubang pendengaranku, memaksaku menangkap lagi suara serak yang begitu jarang Nara kuarkan.

 

            “Aku sudah 26 tahun, bukankah menurutmu sudah pantas bila membina keluarga?” aku meredam suara piluku. Sungguh, selama setahun ini telah banyak pelatihan kebohongan yang coba kutekuni. Dan parahnya kempuanku masih saja payah!

 

            “Tapi kenapa baru sekarang Oppa mengatakannya? Oppa tak pernah terlihat tengah menjalin sebuah hubungan,” ujarnya meragukanku masih bertahan dengan suara memuakan yang paling kubenci—aku tak suka caranya bersedih. Demi apa pun juga, aku rela menukarkan seluruh daftar bahagia dalam hidupku untuknya.

 

            “Namun begitulah kenyataannya. Lagipula tak harus pula bukan aku melapor padamu mengenai segala bentuk tindak yang kuperbuat? Kau hanya . . . adikku.” Mulutku bergetar, hampir-hampir aku tak kuasa mengeluarkan sebaris kalimat tersebut namun janjiku pada Tuhan, pada Appa tidak akan kukhianati, lagi

 

            “Tap—“

 

            “Cho Nara, kembalilah seperti dahulu. Jangan terlalu dekat denganku, kembalilah menjadi Nara yang menyebalkan, si pembangkang yang tak pernah lupa membalas cacianku, ejekanku, makianku. Jadilah Cho Nara yang lepas tangan dari Cho Kyuhyun.”

 

Lengan yang melingkari pinggangku tiba-tiba menghilang. Nara menggeliat dalam dekapanku, memaksa rengkuhanku mengendur. Kepalanya mendongak dalam jarak dekat padaku.

Dua bulatan cokelat nampak berkilat, memancarkan embun kental dari sorotnya. Gadis ini? Ia menangis? Tuhan, bagaimana ini?

Tangisnya mengirisku, tatapan sendu tersebut memenceloskan hatiku. Aku harus apa?

 

            “Oppa?” Suaranya sukses menyalurkan getar gentar kedalam jiwaku. Gadis ini menangis, terisak dan itu . . . karenaku.

 

            “Tak selamanya orang-orang akan setia bertahan di sisimu. Ada kalanya seseorang merasa lelah, ada masanya kekalahan itu menghampiri. Nara~ya, jangan datang,” lanjutku sekuat tenaga menahan hasrat untuk segera menariknya, menghabiskan jarak, dan membungkam suara tangisnya menggunakan mulutku sendiri. Menyalurkan pesan lewat tindakan akan jauh lebih mudah namun aku tak sanggup mewujudkannya sebab aku kotor.

 

            “Kyuhyun Oppa.” Air matanya menderas. Aku tahu, bahkan mampu dengan jelas melihat wajahnya sudah sempurna terbasahi oleh objek yang amat kukutuki hadirnya. Namun sekali lagi, aku masih berusaha keras guna mengabaikannya walaupun sesungguhnya diri ini benar-benar tak suka melihatnya menangis.

 

            “Jangan hadir di pernikahanku,” ujarku dan detik itu aku merasai jatuhnya lelehan benda asin dari dalam kelopak sana. Aku menangis, jenis air mata yang aku bersumpah hanya akan kukeluarkan demi dirinya, Cho Nara. Seakan mengakui diri sebagai pecundang. Aku justru memperlihatkan sisi lemah yang susah payah kututupi padanya. Aku ini bagaimana sebenarnya? Mauku itu apa?

 

            “Oppa, kau membenciku?” Iya, sangat. Aku benci pada dirimu yang mengapa pasrah saja ketika takdir mengirimkanmu dalam lingkungan hidup keluarga Cho? Karenamu yang begitu lemah, sebeb kau yang teramat sulit terabaikan aku jadi terjebak sekaligus sulit mengelak. Kau menyiksaku. Hadirmu benar-benar membelengguku, Nara kenapa kau lakukan ini terhadapku?

 

            “Jika ada manusia yang paling kubenci tak lain dan tak bukan ia adalah diriku sendiri,” sisi waras hatiku tiba-tiba berseru, memenangkan perdebatan hingga akhirnya menampilkan sebaris kalimat paling jujur tersebut. Iya, bagaimanapun juga di sini individu yang paling menyebalkan itu adalah diriku. Aku muak, sungguh-sungguh merasa jemu pada sosokku sendiri.

 

Nara menatapku serius dalam rinai tangisnya. “Kau . . . ?”

 

“Aku malu, aku . . . jijik. Di antara seluruh dosa besar yang di laknat Tuhan kenapa aku harus terjebak dalam dosa yang tak mungkin mampu kusesali.” Bersama keberanian yang kian ciut, aku balik memandang Nara. Aku menyalurkan hasrat tersirat dalam sorot letihku ini. Rongga benakku sesak, di sana seperti sedang terjadi demo, debat, saling salah-menyalahkan. Kacau, berkecamuk tanpa ujung.

 

“Maks—“

 

“Mungkin aku . . . mencintaimu.”

 

Dukk . . . .

 

Tubuhku terdorong hebat, seinci lagi bahkan dapat di pastikan lantai dingin akan menjadi alas keras yang meremukkan dalam pendaratanku.

 

Beralih dari kondisi yang tak menguntungkan, mataku menangkap raut asing yang sejauh ini baru kedapatan kutemui di wajah Nara. Gadis itu telah beringsut terduduk, bersandar pada punggung ranjang. Bola mata favoritku terjerat tengah bergerak-gerak resah dalam keterbukaannya. Hidung tingginya kembang-kempis menampakan siklus respirasi yang terkesan sulit ia jalani. Sementara bibirnya tergamit menutup guna membendung isakan-isakan lirih. Cho Nara . . . .

 

            “Nara~ya . . . ?” aku bergumam terkejut. Tentu saja, sirat depresi di wajahnya belum pernah kutahu. Dan aku bahkan tak mampu memastikan sesakit apa hatinya dalam lingkup raut macam itu.

 

            “Nara~ya . . . ?” aku bergerak merangkak demi mendekatinya, menyimpuhkan tubuhku di hadapannya. Tanganku perlahan mencoba menyentuh bahu ringkih tanpa pertahanan yang sedang bergetar begitu hebat.

 

            “Pergi.” Suara lirih nan tajamnya mengalun, menghentikan segala niat egois yang baru saja hendak kuperbuat.

 

            “Nara~ya,” aku keras kepala. Tak kuindahkan gumamannya dan tetap bersiap menyentuh jengkal kulit tubuhnya.

 

            “KUBILANG PERGI, HAHHH . . . “ ia berteriak kalut, bolanya memerah dengan air mata yang kian menggumul di permukaan wajah mulusnya. Hatiku terkoyak. Aku pendosa,Ya Tuhan . . . Kau pantas memusnahkanku. Sebab rasa haram yang sepatutnya tak Nara ketahui aku jadi menakutinya, mengecewakannya, menyakitinya. Ia pasti terguncang dengan pengakuanku. Tapi sungguh aku tak punya cara lain. Cintaku buatnya ternyata melampaui batas arti besar yang kupaham. Ia begitu menggebu, sulit kukendalikan. Namun kini pangkalnya aku justru tanpa belas kasih menyiksanya.

 

            “Nara~ya,” aku mengiba, memanggil namanya dengan segenap rasa cinta biadab ini. Tuhan, hempaskanlah aku dari dunia-Mu . . . .

 

Nara bergerak menjauh, merapatkan tubuhnya pada punggung ranjang. Berkali-kali ia menggelengkan kepalanya keras, Nara semakin histeris. Ia bahkan menangkupkan kedua telapak tangannya di sekitaran telinga. Ia sudah tak sudi mendengarkan suaraku. Apa ia membenciku? Tidak. Jangan lakukan itu, kumohon . . . .

 

            “HAHH, Hiks . . . Hiks . . . hiks . . . .”

 

            “Mianhae,” ucapku kemudian tambah tak kuasa mendapatinya bersikap seakan jijik padaku. Aku memang bersalah. Aku menerima tuduhan bajingan, pengecut, pecundang atau apa pun juga sebagai pengganti predikat berengsek namun tolong jangan pernah biarkan gadis ini membenciku. Aku tak sanggup. Tuhan, kenapa aku harus mencintai adikku sendiri?

 

            “Nara~ya.” Dan entah bagaimana bisa kenangan-kenangan masa lalu secara spontan berkelebatan dalam benakku. Memutar kaset-kaset kenangan dengan begitu jernihnya.

 

            “Appa, dia adik bayi yang ada di perut Eomma ‘kah?” Suatu waktu aku yang berusia lima tahun melayangkan pertanyaan paling bodoh sedunia.

 

            “Ne, Kyuhyun~ah. Adik bayinya sudah lahir, lihat dia cantik sekali bukan?” Appa yang tengah memangkuku di kursi tunggu sisi ranjang pembaringan Eomma dalam ruang rawat rumah sakit bertanya dengan nada kegembiraan yang teramat kentara.

 

Entah seperti apa rupa cantik yang di maksudkan oleh Appa sebab pasalnya aku belum pernah melihat wajah objek cantik tersebut semenjak 2 hari ia lahir ke bumi ini. Namun sore itu, mataku ragu-ragu mencuri pandang ke arah ranjang, di mana Eomma tengah berbaring dengan senyum kelegaan sembari tangannya mendekap sayang sesosok makhluk kecil dalam balutan kain. Saat itu, seolah ada sihir gypsi, aku terjebak dalam tatapanku sendiri yang langsung bertemu dengan dua bulatan mungil, warnanya cokelat bersinar, sungguh cerah, pendaraan cahaya seakan mengalir dari kedua mata itu. Aku menyukai aroma menenangkan yang terkuar dari dalamnya.

 

            “Nanti kalau kalian sudah sama-sama besar, kau harus menjaganya, melindunginya, jangan menyakitinya. Bermainlah bersama, kalian harus saling menyayangi.”Dan tak ada yang dapat menduga bila bocah pria berusia lima tahun sanggup mengimbuhkan dalam hati, ‘mencintai’. Tak ada yang tahu bila itu hanya sekadar gurauan atau memang . . . .

 

            “Sampai mati Kyu akan melakukannya, Appa,” ujarku mantap sambil tak sekalipun bersedia mengalihkan perhatian dari seseosok mungil yang dari detik awal telah sukses menebar efek hipnotis terhadapku.

 

***

 

            “Aihh, kakiku sakit, semua gara-gara Kyuhyun Oppa. Aku ‘kan sudah bilang larinya jangan cepat-cepat.” Pagi itu di kompleks taman kota, aku berkacak pinggang serta merasa menang begitu mendapati sosok dengan bola mata mungil yang menawan tersungkur jatuh akibat tersandung kakinya sendiri. Jujur, sebenarnya hati kecilku kasihan namun melihat ekspresi matanya yang mengerling seolah tengah memancarkan sinar magnetik, mau-tak mau sisi isengku aktif. Gadis itu terlalu diberi banyak kemenakjuban oleh Sang Pencipta serta parahnya, selalu aku yang mampu membacanya lebih dulu. Entah ini sial, malapetaka atau berkah? Aku malas memikirkannya, terpenting aku nyaman akan hal tersebut.

 

            “Makanya jangan terlalu berambisi mengejarku sebab sampai mati pun kau tercipta bukan sebagai pengejar. Sadarilah itu, Nara~ya. Di dunia ini hanya aku yang akan berperan sebagai pengejarmu. Jadi nikmati saja pelarianmu, ne?” aku si bocah berusia 11 tahun mengucapkan pernyataan yang sampai sekarang begitu kurutuki hadirnya. Kejar-mengejar, aku sudah bosan. Mengejar hanya meninggalkan bekas mengiris di ulu hati serta merupakan pekerjaan bodoh tak berujung yang menyiksa, membabak belurkan hatiku.

 

***

 

Aku menekuk mukaku, masih merasa kesal juga belum terima karena harus tersingkir dalam babak awal perlombaan menggesek biola. Sungguh kemampuanku tak seburuk itu hingga terpaksa angkat koper lebih dulu dari ajang tahunan tingkat pelajar sekolah menengah atas di seluruh Seoul ini. Tidak bisakah mereka melihat bakat terpendamku? Semua orang juga, sama saja. Tak ada pujian apa pun yang keluar bagiku. Ckk . . . tidak berguna!

 

“Kyuhyun Oppa?” Suara kecil namun melengking ini datang menggurui atmosfer kekesalanku. Seorang gadis berusia 12 tahun berlari terburu menuju ke arahku. Rambut ekor kudanya tampak menari-nari bebas di udara di karenakan efek lajunya tersebut. Sesaat aku tercengang, entah sudah yang keberapa kalinya hal ini terjadi, namun satu kesadaran belakangan memberitahu bahwa mataku jadi semakin teliti memerhatikannya.

 

“Hmm? Kau hadir? Tadi aku tak melihatmu saat tampil,” ucapku terheran menyambut gadis mungil itu ketika jaraknya sudah tepat berada di depanku.

 

“Makanya kau kalah ne? Aku baru selesai les bahasa, Jung Seonsaengnim melarangku pergi menonton pertunjukanmu bila aku tak menyelesaikan tugas harianku,” jelasnya dengan ekspresi sesal tapi menyiratkan ejekan pula. Sungguh, aku tak sedikit pun mengharapkan keikut sertaannya menonton pertunjukan tadi karena sejak awal kami sama sekali tak dekat. Ia memang adikku namun benteng antisipasi selalunya terbangun dalam diriku bila gadis ini sudah mulai menyebarkan aroma mengancm dengan aksinya yang mendekatiku. Tidak tahu, tapi aku tak pernah berhenti khawatir jika kami mulai terbuka satu sama lain.

 

“Dan lagipula, kita ‘kan tidak dekat. Tentu tak wajib bagiku untuk menontonmu.” Detik itu aku mengepalkan kedua buku jemari, tak dapat memastikan apa sebabnya namun hatiku panas. Aku sama sekali tak menyukai pilihan kalimatnya tersebut. Aneh, padahal faktanya memang demikian, benakku pun mengakuinya tapi . . . .

 

“Aku juga tak bersedia di lihat olehmu. Sudahlah, pulang saja sana. Memang tak ada yang memedulikanku. Aku benar-benar tak berguna, payah. Apa bisaku? Lomba begini saja hasilnya memalukan. Harusnya memang sejak awal tak usah kuterima suruhan Hwang Seonsaengnim toh aku justru mema—“

 

Lengan kecil menggapai punggungku, dadaku terasa hangat dengan menempelnya wajah Nara di sana. “Jangan hiraukan mereka!”

 

“Tak peduli jika seluruh Korea mengabaikanmu, tak melirikmu, tak menyadari hadirmu. Namun aku akan jadi yang terdepan untuk mengatakan, Kyuhyun Oppa adalah jagoan Cho Nara. Oppa terhebat. Meski kerap mengejekku, menjahiliku, mengataiku ingusan tapi jauh dari sifat-sifat mengesalkan itu, aku sadar jika Oppa adalah pria pertama yang sudi menyayangiku. Oleh karenanya aku akan selalu mendukungmu sebab aku menyayangi Oppa,” ujarnya lantang. Pabo, Cho Nara . . .  kau memberiku pengharapan. Kau semakin menyusahkan hatiku. Dan aku paham hari itu fokus canduku bukan lagi berpusat pada bola mata bersinarnya, Cho Nara telah memengaruhiku secara telak guna tak dapat berpaling dari seluruh aspek tentangnya.

 

***

 

            “Oppa, percaya tidak kalau kau adalah pria tertampan yang pernah kutemui?” Berkat ucapannya yang begitu tak terduga tersebut mau-tak mau hatiku berlonjak kegirangan. Ia bilang apa? Tampan? Pria? Ia menganggapku sebagai pria yang tampan apa berarti itu maksudnya—

 

            “Seandainya Appa tak menyekolahkanku di SMA khusus putri, kini pasti sudah banyak pria menawan yang kujumpai. Bukannya Kyuhyun Oppa lagi Kyuhyun Oppa lagi. Hah, kasihan sekali mata ini tak punya hidangan lain. Pasti lama-lama aku akan muak dengan wajah datarmu itu HAHAHA,” serobotnya membuatku tak bisa menahan diri guna mendaratkan sepaket jitakan pada arena kepalanya. Ia itu memuji atau mengejek niatnya?

Namun aku suka bentuk tuturannya tenatangku entah itu ejekan atau sanjungan tak terencananya. Bagiku begitulah caranya menyayangiku, mungkin.

 

***

 

            “Hiks . . . Hahh . . . Hikss . . .  kenapa?” kata tanya di sela isakannya langsung menyabutku di alam nyata. Kembali menendangku dalam kubangan pilu.

 

Aku diam, ia pasti hendak melanjutkan kebimbangannya. “Kenapa harus aku??”

 

Benar, kalimat serupa pun selalu menggema di benakku. Kenapa? Kenapa rasa bajingan ini merenggut adikku? Kenapa aku harus cinta pada Cho Nara, saudara kandungku?

 

            “Hah, Hiks . . . kenapa, aku??”

 

Tanganku bergerak, bersiap menyentuhnya namun belum sempat semua itu terjadi, kibasan keras telah menghalangi aksiku. Ia . . . menolakku.

 

            “Ka-u . . . .”

 

            “Aku akan menikah,” tegasku meyakinkannya. Mengulangi sebentuk ujaran paling ambigu maknanya di dalam sana.

 

Nara menegang, perlahan kepalanya mendongak menatapku. Dan banjir air mata di wajahnya bagaikan belati yang mengiris hati. Aku terluka, melihatnya menangis, aku sulit bernapas.

 

            “Dengan begitu kau tak perlu khawatir sebab aku akan . . . mundur,” lanjutku sulit.

 

Jemari mungilnya menggapai wajahku perlahan, menangkupnya sayang. “Oppa??” ia menghapus segaris air mata yang tiba-tiba jatuh menelusuri pipiku.

 

Jangan biarkan moment ini berlalu, Tuhan. Jejak lembut di permukaan wajahku, aku tak akan melupakannya.

 

Tidak tahan lebih dalam menyelami situasi ini, aku roboh. Memasrahkan tubuh letihku dalam dekapannya. Hingga akhirnya kami menangis berama-sama. Membanjiri ruangan dengan suara serak penuh keputus asaan.

 

***

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK