“Shiro!”
“Minna, kajja.”
“Shiro! Aku tidak mau!”
Park Hyosin, nama perempuan pemilik panti asuhan ‘sarang’ itu kembali menghela nafas. Sudah hampir 5 menit Hyosin membujuk anak perempuan yang bernama Minna ini untuk ikut bersamanya ke panti asuhan. Namun anak itu masih saja menolak.
“kau sangat keras kepala ne? baiklah, kau bilang tadi kau kehilangan ibumu? Dimana tepatnya?” dengan sabar Hyosin menghadapi anak kecil ini.
“Eomma tadi bilang hanya mau ke toilet sebentar dan pergi, namun sedari tadi dia belum kembali.” ucap Minna sembari mengusap air matanya.
“sejak kapan kau disini?”
“molla. Tapi cukup lama sejak pagi hingga saat ini.” anak kecil itu kembali terdiam setelah mengucapkannya.
“sekarang bahkan sudah sore nak, kau pasti sudah lama sekali menunggunya. Kau ikut saja bersamaku ne? ke panti asuhan untuk sementara. Siapa tahu nanti orang tuamu akan mencarimu kesana.”
“Shiro!!! Aku ingin eomma! Eomma!!” minna kembali menangis seraya menyerukan kata ‘eomma’ berkali-kali.
Hyosin tak tega melihat anak itu terus seperti ini. mungkin seharusnya dia ikut menemaninya menunggu eommanya itu.
“baiklah, aku akan menemanimu disini. Lagipula di tempat pemberhentian bis seperti ini dimana eommamu akan mendapatkan toiletnya?”
Hyosin lalu duduk di samping Minna. Minna yang tadinya menangis lalu terdiam memandang Hyosin. Hyosin tersenyum, Minna ragu sejenak. Apakah dia harus balas tersenyum atau tidak. namun melihat senyum Hyosin yang tak kunjung pudar Minna lalu membalas senyumannya, bahkan tak Minna sadari mulutnya sudah tersenyum lebar.
“berapa umurmu?” Tanya Hyosin.
“6 tahun.”
@@@
Setelah beberapa jam menunggu kembali di halte, akhirnya Minna mau ikut dengan Hyosin karena eommanya yang tak kunjung datang.
“eomma jahat sekali padaku.”
“Sudahlah. Sementara kau tinggal disini saja ya? Aku yakin jika eommamu mencarimu, dia akan mudah menemukanmu karena panti asuhan ini tak jauh dari halte tadi.” Hyosin menenangkan.
“em.” Minna mengangguk. Bukan karena ingin tinggal disini, namun dia mengangguk karena percaya ibunya akan kembali dan mencarinya. Dia yakin itu. setidaknya itu yang dia harapkan.
@@@
Angin sepoi perlahan membelai rambut Minna yang sedang berdiri di depan pintu masuk panti. Minna melipirkan poninya dan berjalan menuju taman.
tap... tap... tap...
Minna melangkah seraya terus menghirup udara dalam-dalam, lalu berhenti tepat di taman. dengan alas berbalut rumput, Minna menanggalkan dirinya duduk. Ia kemudian terdiam, terlebih karena merenung.
Keyakinan itu tak terbukti. Sudah 1 bulan semenjak kejadian itu eommanya tak kembali. selama itu pula dia terus menunggu di taman tepat di depan panti asuhan sepulang sekolah.
Sekolah. Dia harus mengenyam sekolah setelah 2 minggu sejak kejadian eomma-yang-meninggalkan-anaknya-di-halte itu. awalnya Minna enggan untuk sekolah, namun setelah dibujuk terus menerus oleh Hyosin-yang tentunya dengan senyumannya- Minna akhirnya mau.
“Hei kau! Kenapa sih selalu menghalangi pemandangan dengan duduk di rumput tepat tak jauh dari kami? Rambutmu yang berjumbai-jumbai itu sangat mengganggu!” tahu-tahu seorang laki-laki berteriak dari kejauhan.
Minna melirik ke belakang, melihat siapa gerangan yang berteriak-teriak tak keruan. Dan ternyata dalam pandangannya terlihat dua orang lelaki. Yang satu masih kecil, seusianya mungkin. Dia terlihat mengerutkan keningnya dalam-dalam, Minna menduga pasti dia yang berteriak tadi. Dan satunya lagi sudah besar, sekitar anak umur belasan tahun mungkin.
“hei bocah! Kau tak boleh seperti itu pada teman kita!” ucap lelaki belasan tahun itu sambil memukul kepala lelaki bocah.
“aish jinja, kapan dia menjadi teman kita?” gerutu lelaki kecil itu seraya mengusap-usap kepalanya.
Minna hanya bisa bergeming melihat tingkah mereka berdua. Sebenarnya kenapa sih mereka?
“ya! Kalau berani kemari!” Minna yang mulai geram berteriak sekencang yang dia bisa.
Kedua lelaki itu membulatkan matanya, tanda terkejut. Saling bertukar pandang, lalu melihat kearah Minna, lalu bertukar pandang lagi, dan melihat kearah Minna lagi. lelaki bocah yang paling awal sadar, lalu menghampiri Minna, disusul dengan si lelaki umur sebelasan.
“kau ini! kenapa sih selalu duduk disini? Menghalangi pemandangan!” lelaki bocah itu kini duduk di sebelah kiri Minna, disusul dengan pekikannya tadi.
Minna menatap sebal kearah lelaki bocah itu. lalu mendengus saat lelaki belasan tahun itu duduk di samping kanannya.
“lalu apa lagi?!” Minna menyemprot mereka berdua sesaat setelah lelaki belasan tahun itu duduk. Mereka berdua melotot lagi.
“kau ini! lebih garang dari laki-laki rupanya!” si lelaki bocah mengoceh.
“ya! Kau ini…” omongan Minna seketika terpotong oleh omongan lelaki umur belasan tahun itu.
“sudahlah kalian ini! baiklah, maaf soal bocah ingusan satu ini. kenalkan, aku Kwon Jiyong. Dan si ingus, em maksudku si bocah ingus ini namanya Choi Junhong. Kau ini pasti Minna kan?” Jiyong memperkenalkan dirinya dan junhong seraya menjulurkan tangannya untuk bersalaman.
Minna mengerjapkan matanya, seketika terpesona dengan sikap yang diperlihatkan oleh lelaki di samping kanannya itu. Minna menganggukkan kepalanya. namun saat Minna akan membalas uluran tangan Jiyong, tangannya sudah ditarik Junhong untuk bersalaman dengannya.
“Oke namaku Choi Junhong. Ingat ya, Choi JUNHONG.” Junhong memberikan penekanan terhadap kata Junhongnya.
“kau sangat tidak sopan! Aku akan bersalaman dengan Jiyong tadi!” Minna mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke udara, tanda akan memukulnya. Namun Junhong berhasil mengelak dan langsung berdiri lalu berlari.
“maaf, dia selalu begitu. tapi aslinya dia sangat baik, sangat perhatian menurutku.Oya, berapa umurmu? Kurasa kau masih sangat kecil.” Jiyong mengusap puncak kepala Minna. Minna lalu tersenyum malu.
“berarti orang itu tidak asli ya sekarang. Palsu maksudnya? umurku 6 tahun.” Perkataan awal Minna berhasil membuat Jiyong terpingkal.
“kau ini sangat lucu. Em, umurku 15 tahun, hehe. Dan junhong baru berumur 7 tahun. Kami berbeda 8 tahun. Dan kau mungkin, em berbeda 9 tahun denganku.”
“berarti aku harus memanggilmu oppa! maaf tadi aku memanggilmu Jiyong saja. Gwaenchana Oppa?” Minna sangat malu sekali saat mengucap kata ‘oppa’ pada lelaki disampingnya.
“ne, gwaenchana.” Jiyong tersenyum. Minna diserbu semburat merah pada wajahnya.
“apa tadi aku mendengarnya menyebutmu dengan embel-embel ‘oppa’? sudah kuduga, kau sangat tua Hyung!” tanpa diberi aba-aba, Minna lalu berdiri dan mengejar Junhong seraya berteriak “tenang saja! Aku tidak akan memanggilmu dengan embel-embel ‘Oppa’ walaupun kau lebih tua 1 tahun denganku!”
Dan pernyataan itu otomatis membuat Junhong berhenti berlari tanpa mempedulikan Minna yang sudah memukul lengan Junhong dengan ganas.