Salju lagi...
Kuhela napas ketika salju pertama turun ke muka bumi. Bahkan setelah ke sekian hari pun, reaksiku masih sama.
Aku benci salju. Ia dingin. Juga suram.
Di tahun-tahun sebelumnya, aku selalu mengosongkan jadwal di setiap malam natal. Setelah misa, akan kuhabiskan malam dengan duduk manis di cafe yang tak jauh dari sungai Han. Sendiri.
Namun tidak untuk tahun ini.
Selesai misa malam natal, bersama beberapa member Super Junior, Yesung, Leeteuk, dan Eunhyuk, kami menyanggupi tawaran untuk menjadi bintang tamu dalam program Christmas eve di radio SGS.
"Ryeowook-a, kau tidak menunggu gadis itu lagi?" tanya Yesung seraya menyentuh bahuku.
Aku terdiam. Kemudian menunduk.
"Hyeong, ada kalanya kita lelah menunggu," kataku sambil berjalan menuju ruang siaran.
*
"Terima kasih sudah hadir," kata penyiar wanita sambil membungkuk, mengantar kami keluar dari ruang siaran.
"Sama-sama," jawab kami berempat nyaris bersamaan sambil membungkuk pula.
Basa-basi singkat pun segera disudahi ketika kusenggol lengan Leeteuk untuk menghentikan hobi bicaranya itu.
"Hyeong, aku ke toilet sebentar. Kalian ke mobil lah dulu," kataku kemudian membelok ke kiri, menuju toilet yang terletak di ujung koridor, dekat tangga.
Kususuri koridor yang dihiasi pencahayaan minim dengan langkah ragu. Setengah hatiku memikirkan janji itu. Sebagian lagi berusaha mengabaikannya.
Dia yang mengingkari janji.
Kugeleng kepala kuat-kuat demi mengusir pikiran tentang gadis itu. Gadis yang mendominasi kenangan indah masa kecilku. Yang perlahan berubah menjadi kenangan buruk bagiku.
"Permisi, ini pesanan Anda," seru seseorang dari pintu depan, mengagetkanku.
Aku menoleh cepat. Kemudian membeku melihat pemandangan yang kutangkap.
Hwang hyena? Felis?
Benarkah dia?
Kutajamkan pandangan, meneliti gadis kurus berambut panjang itu. Ia mengenakan topi berwarna merah dengan logo sebuah restoran di bagian depannya. Senyum lebar menghiasi wajahnya kala pemesan - yang adalah kru radio - membayar makanannya. Ia membungkuk nyaris sembilan puluh derajat lalu berbalik pergi.
Itu benar dia kan?
Hwang hyena, gadis tomboi yang tumbuh besar bersamaku. Yang sejak kecil selalu suka menonton film-film Holywood hingga memintaku untuk tidak memanggil nama koreanya, melainkan nama barat yang dibuatnya sendiri. Felis. Yang seharusnya ditulis Felice, tetapi katanya, agar unik, ia ingin ditulis Felis.
Kuputuskan untuk mengikuti Felis, mengabaikan keinginanku ke toilet.
Felis berjalan menuju sepedanya yang di parkir tak jauh dari pintu utama. Sambil berjalan, diliriknya jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Ia sedikit terkejut kemudian memacu sepedanya.
Refleks, kuraih sepeda - yang entah milik siapa - yang diparkir tak jauh dari milik Felis. Tak ingin melewatkan kesempatan bertemu, kupacu sepeda dengan kecepatan maksimal. Untunglah jalan cukup lengang. Setidaknya orang-orang akan memilih duduk di ruang dengan penghangat bersama pasangan atau keluarganya daripada membiarkan salju membekukan tubuh.
Aku segera mengerem sepeda kala menyadari satu hal. Felis berhenti di cafe yang biasa kukunjungi. Cafe yang menjadi tempat yang telah kami sepakati tujuh tahun yang lalu.
Kuamati Felis dari jauh.
Aku ingin segera muncul ke hadapannya, namun entah mengapa, tiba-tiba nyaliku menciut.
Ia tidak pernah muncul. Tetapi malam ini ke cafe itu?
Dahiku berkerut bingung tatkala melihat Felis memilih duduk di bangku pojok cafe yang agak tertutup dengan sebuah buku tebal yang diangkat agak tinggi, menutupi wajahnya.
"Apa kabarmu," sapaku, berusaha terdengar seringan mungkin sambil mengambil posisi duduk di bangku tepat di hadapan Felis. "Felis," sambungku.
Gadis bernama Felis itu terlonjak kaget dan refleks menurunkan bukunya untuk melihat pemilik suara yang mengejutkannya.
Mata bulatnya melebar. Bertemu pandang denganku.
Spontan, Felis bangkit lalu berlari ke luar cafe. Aku mengejarnya.
"Felis!" seruku, berusaha menghentikan larinya.
Ia mengabaikanku.
"Felis!" seruku lagi seraya meraih lengan kanannya.
Larinya terhenti. Napasnya terengah-engah. Aku pun demikian.
"Lepaskan tanganku," lirihnya.
"Kenapa kau melarikan diri?" tanyaku sambil mengelola napas yang tersengal.
Felis bungkam.
"Kau selalu di sana? Setiap tahun?"
"..."
"Kenapa tidak menghampiriku?" tanyaku lagi, makin frustrasi.
"Lepaskan," ujarnya rendah seraya berusaha melepaskan genggaman tanganku yang semakin erat.
Bukannya melepaskan, segera kutarik tubuh mungilnya ke dalam pelukanku. Ia meronta. Aku semakin mempererat dekapan.
"Aku merindukanmu," bisikku. Membuatnya berhenti memberontak.
Untuk beberapa saat, kunikmati detik-detik bersamanya. Hingga ia melepaskan diri dari pelukanku.
"Ryeowook-a, berjanjilah, jangan pernah menungguku. Jangan pula mencariku," katanya rendah.
"Kenapa?" tanyaku tak terima.
"Kita berada di dua dunia yang jauh berbeda. Biarlah kita hidup dengan jalan masing-masing,” jelasnya kemudian melangkah pelan meninggalkanku.
*