“NEO PABOYA! YEOJA PABO! Hal sekecil itu saja kau bisa lupa! Aku tidak bisa membayangkan kau akan jadi Ibu Rumah Tangga yang baik!” Changmin merebahkan diri di sofa lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Mianhae, sungguh, aku benar-benar lupa. Aku tidak ingat kalau aku meninggalkan ponsel-mu di restoran. Mianhae,” Berkali-kali aku menunduk pada laki-laki di hadapanku ini. Sudah 7 tahun kami berpacaran, dan 2 tahun terakhir ia memang selalu memarahiku untuk hal yang menurutku tidak terlalu penting. Orang tua kami mendesak kami agar cepat-cepat menikah. Dan 2 bulan lagi, kami akan menikah.
Dulu memang aku sangat mencintai Changmin. Tapi 2 tahun ini, perasaanku padanya perlahan menghilang. Dia selalu menyalahkan apapun yang aku perbuat. Semua selalu salah dimatanya.
Tapi, aku tidak bisa menolak permintaan kedua orang tuaku. Mau tidak mau, mulai 2 bulan lagi aku harus tahan hidup dengannya.
“Kau! Kau hanya bisa berkata maaf setiap kali membuat kesalahan! Seharusnya...“
“Seharusnya kau tidak memarahiku terus seperti ini! Apa kau tidak punya perasaan?! Hah?! Kau sadar sudah berapa tahun kau memperbudakku seperti ini?!” Aku mengatur nafasku yang mulai memburu. Aku mohon, jangan menangis disini.
“Semua yang aku lakukan selalu salah dimatamu! Aku sudah berusaha keras untukmu! Tapi kau? Kau bisa tersenyum bahkan tertawa lepas jika bersama Sooyoung! Sebenarnya siapa kekasihmu? Siapa calon istrimu? Aku atau Sooyoung?!” Aku mengepalkan tanganku, kesal. Saat Changmin akan membuka mulut, seorang perempuan bertubuh tinggi masuk.
“Oppa!” Dia mendekat kearahku dan Changmin dengan wajah ceria. Wajahnya berubah terkejut setelah melihatku hampir meneteskan air mata.
“A-ada apa?” Tanyanya dengan wajah bingung.
“Cih, kau bahkan memberitahu password apartemenmu!” Aku pergi meninggalkan mereka berdua yang diam seribu bahasa. Aku membanting pintu apartemen Changmin dan berlari menuju mobilku di basement.
Aku menangis sekeras yang aku bisa di dalam mobil. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang sedang berlalu-lalang memperhatikanku. Aku hanya ingin menenangkan diri. Hanya menenangkan diri...
~ ~ ~
Aku mengambil pakaian dalam, hot pants biru jeans, kaos putih dan cardigan biru. Aku meletakannya di meja dekat wastafel.
Aku membuka keran air panas dan membiarkannya mengisi bathtub sampai penuh. Lalu, pergi ke dapur untuk membuat teh sambil menunggu air.
Aku menyeruput teh yang baru aku buat. “Kenapa hidupku dipenuhi banyak masalah...”
Getaran ponselku membuyarkan lamunanku. Lee Changmin. Aku mengurungkan niat untuk mengangkatnya. Aku menggeser opsi reject pada layar ponselku, dan langsung beranjak menuju kamar mandi.
Tidak lupa, aku menuangkan busa sabun kedalam air. Aroma pekat bunga blossom langsung menusuk hidungku. Aku menghirupnya dalam-dalam, membiarkannya memenuhi paru-paruku. Untuk sementara beban dihatiku mulai menguap. Entah kenapa, tiba-tiba terfikirkan suatu hal untuk pergi.
“Aku harus pergi. Aku harus kabur. Aku tidak mau melewati 7 tahun lagi dengan Changmin. 7 tahun sudah cukup bagiku. Ya, aku harus pergi. Mungkin, ke Paris? Atau London, kota masa kecilku?”
Cukup lama aku memikirkan hal itu, hingga akhirnya aku tertidur di dalam bathtub dengan posisi yang tidak nyaman.
Ponselku bergetar lagi. Aku terbangun, dan aku harap bukan dari Changmin. Aku mengeringkan tanganku, lalu mengambil ponsel yang aku letakan disisi bathtub dengan malas.
“Yeoboseyo,”
“Subin, kau sedang apa?”
Aku melihat nama yang tertera di layar ponselku, lalu menempelkannya kembali ke telingaku.
“Aku sedang mandi. Mworayo?”
“Apa kau berniat untuk datang ke rumah sahabatmu yang tampan dan kesepian ini? Eomma dan Appa sedang tidak ada di rumah, aku hanya bersama nuna. Jadi mampirlah kemari, oke?”
“Tanpa kau suruh pun aku memang akan ke rumahmu. Sudahlah, jangan ganggu aku. Aku akan datang,” Tanpa menunggu jawaban dari Daehyun, aku langsung memutuskan sambungan telepon.
~ ~ ~
“Daehyun-ah, apa aku harus lari dari kenyataan pahit ini? Aku tidak mau menikah dengan Changmin,” Aku bersandar di sofa Daehyun, dan memperhatikannya yang sedang bermain game di laptopnya.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,”
“Yah, kau tahu, mungkin aku harus meninggalkan Seoul atau...“
“Meninggalkan Seoul? Waegeurae?” Daehyun menatapku dengan pandangan tidak percaya. “Ah, aku jadi kalah. Kau terlalu mengejutkanku,”
“Aku tidak tahan jika harus hidup dengan laki-laki itu. Naega andwae,”
“Kalau begitu, katakan saja pada orang tuamu kalau kau belum siap menikah. Usiamu baru 20 tahun, kau juga baru lulus SMA, aku yakin kau memang belum siap,” Daehyun duduk di sebelahku.
“Tidak semudah itu. Kau ingat saat dulu aku memohon untuk tidak pindah ke London ? Orang tuaku sangat keras, mereka tidak mau mendengarkan aku,”
“Mungkin untuk masa depanmu, mereka akan menyetujui ini,”
“Aku sudah mengatakannya pada mereka, tapi mereka bilang, aku hanya akan membebani mereka jika aku tidak cepat-cepat menikah,”
Daehyun diam. Mungkin ia bingung harus menjawab apa. Dia adalah teman terbaikku. Kami berteman sejak di sekolah dasar. Dia selalau mau mendengarkan semua keluh kesah kehidupanku. Aku bersyukur bisa mengenalnya.
“Kalau begitu lakukan apa yang terbaik. Sekalipun kau harus meninggalkan Seoul, kau tidak boleh menghilang selamanya. Kau harus bisa membereskan semua masalahmu itu. Membiarkan suatu masalah berantakan tanpa ada niat sedikitpun untuk membereskannya, lama kelamaan masalahmu akan datang semakin banyak dan semakin banyak,”
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Dia benar. Aku harus bisa membereskan semua masalahku.
~ ~ ~
Tit tit tit tit tit tit
Aku menekan 6 digit angka pada tombol password di sebelah pintu apartemenku. 060319. 19 Maret 2006, hari dimana aku berpacaran dengan Changmin.
Aku membuka pintu apartemenku, melepas sepatuku dan menggantinya dengan sandal rumah. Aku menekan saklar lampu, dan secara refleks aku mundur beberapa langkah ke belakang.
“Darimana saja kau? Sudah hampir jam 10 dan kau baru pulang?” Changmin berdiri dan mendekat kearahku. Aku melemparkan pandangan kau-tidak-perlu-tahu.
“Ya, sebentar lagi kau akan menikah! Kau tidak boleh keluyuran malam-malam dengan pakaian seperti wanita malam! Kau harus...“
“Menikah, menikah, menikah dan menikah! Kau selalu berbicara aku tidak akan jadi Ibu Rumah Tangga yang baik, bagaimana denganmu? Apa kau akan menyiksaku saat kita sudah menikah nanti?! Kau selalu seperti ini, selalu menyalahkanku, padahal sebenarnya yang salah itu kau! Dan kau bilang apa? Wanita malam? Kau mau menikahi wanita malam sepertiku?! Aku sudah tidak tahan denganmu, kita akhiri saja. Kita batalkan pernikahan!” Aku meluapkan semua emosiku. Suaraku meninggi, dan mulutku tidak bisa aku kendalikan.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku. Memang tidak terlalu sakit, tapi sangat menyakitkan hatiku. Hatiku seperti disayat-sayat sebilah pisau yang baru diasah. Aku menangis. Aku menatap Changmin yang membelalakkan mata seperti terkejut dengan perbuatannya dengan tatapan ingin membunuh. Changmin terlihat menyesal, lalu pergi menuju kamarku.
Aku menangis terisak diatas kasurku. Changmin, dia benar-benar menyebalkan! Aku bahkan tidak pernah tahu apa alasan 2 tahun terakhir ini dia jadi seperti itu.
“Subin-ah,” Changmin mengetuk pintu kamarku yang terkunci.
“Subin-ah, mianhae. Aku tidak tahu kenapa aku begitu. Bukalah, kita bicara sebentar,”
Aku meremas bantal sekuat tenagaku, seakan bantal itu adalah Changmin. Aku haruspergi. Aku harus pergi tanpa pengetahuan siapapun. Ya, aku memang harus pergi.
Aku menangis semakin keras, dan panggilan Changmin juga semakin keras. Entah kenapa, dia bisa masuk ke kamarku. Ah, aku baru ingat. Aku meletakkan kunci cadangannya di lemari, disebelah pintu kamarku. Aku memaki diriku sendiri di dalam hati.
“Mianhae. Aku janji, ini yang terakhir kalinya aku memarahimu. Aku janji,” Changmin langsung memelukku. Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga, tapi aku terlalu lemah. Aku hanya bisa menangis dipelukannya saat ini.
~ ~ ~
“1 tiket ke Paris. Aku ingin yang berangkat secepatnya,”
“Baik. Oh, nona, ada 1 tiket lagi yang berangkat malam ini. Apa kau mau mengambilnya?”
“Ne. Aku akan mengambilnya,”
“Arrasseo. 1 tiket ke Paris, berangkat pukul 10 malam ini,”
“Hm. Kamsahamnida,”
Aku melemparkan ponselku ke kasur, dan mulai bersiap-siap untuk pergi nanti malam. Aku meletakkan baju-bajuku dengan asal ke dalam koper berukuran besar, lalu melemparkan alat-alat kecantikan kedalam koper yang lebih kecil.
Ponselku bergetar. Daehyun.
“Yeoboseyo,”
“Subin-ah, bolehkah aku ke apartemenmu malam ini?”
Aku diam membeku. Apa aku harus memberitahu Daehyun?
“Subin?”
“Ah, ne?”
“Bolehkah aku...“
“Aku akan ke Paris. Malam ini,”
“Mwo?! Ke Paris? Malam ini?!”
“Hm,”
“Apa kau sudah gila?! Bahkan kau tidak memberitahuku sebelumnya!”
“Aku sudah memberitahumu bahwa aku akan lari. Kau ingat?”
“But, Paris? Subin, that’s crazy!”
“Ya. Aku memang gila. Datanglah secepatnya kalau kau masih ingin bertemu denganku,” Aku langsung memutuskan sambungan telepon.
~ ~ ~
“Subin-ah, berfikirlah 2 kali! Kau tidak boleh seperti ini!” Daehyun mengikutiku kemanapun aku pergi seperti anjing yang setia pada pemiliknya. Dari mulai aku membereskan barang-barangku, sampai aku membuat teh untuk kami.
“Kau tahu apa yang Changmin lakukan semalam? Ini membuatku semakin tidak tahan berada disini,” Aku menaruh 2 cangkir teh diatas meja, lalu duduk dan menyeruput teh itu.
“Apa orang tuamu tau soal ini?” Daehyun meneguk tehnya dengan cepat. Aku menggeleng.
“Omona, ini benar-benar gila!”
“Karena itu, aku ingin kau menjaga rahasia. Aku tidak akan menghilang lebih dari 1 tahun. Aku akan mengabarimu setiap waktu,”
“Andwae! Mianhae, andwaeyeseo,”
“Daehyun-ah. Jebal. Kau harus mengerti kondisiku saat ini,” Aku menunjukkan puppy eyes-ku. Setelah lama kubujuk, akhirnya Daehyun mau menutup mulut.
“Aku akan menghilang mungkin paling lama 1 tahun. Aku akan mengganti nomor ponselku, dan menutup semua informasiku. Tapi aku akan tetap mengabarimu. Arrasseo?”
“Ne, arrasseo. Serahkan saja padaku. Tapi, aku ingin kau menemaniku jalan-jalan, sebagai salam perpisahan. Bagaimana?”
Aku langsung memasang senyuman lebar, dan mengambil tas selempang kecilku lalu menarik lengan Daehyun.
“Aku ingin belanja.”
~ ~ ~
Aroma kopi masuk ke hidungku dan memenuhi paru-paruku. Aku mengedarkan pandanganku, dan yang banyak terlihat adalah orang-orang berambut pirang. Aku menarik kedua koperku menuju pintu pesawat.
“Kau yakin akan pergi?” Daehyun menatapku nanar. Aku mengangguk mantap.
“Jaga kesehatanmu. Cepatlah selesaikan skripsimu. Aku yakin kau bisa. Jangan lupa makan,” Aku memegang tangan Daehyun. Daehyun memelukku erat. Sebisa mungkin aku menahan tangis, namun lama kelamaan tangsiku pecah juga.
“Ah, aku punya sesuatu untukmu,” Daehyun merogoh saku celananya. Ia memakaikanku sebuah kalung dengan liontin daun berkelopak 4 berwarna perak.
“Semoga kau selalu beruntung disana. Jangan menghilang terlalu lama. Kau harus mengabariku terus, ya?”
Aku mengelus pipi Daehyun. Mungkin, aku akan tinggal selamanya disana. Mianhae.
“Sekarang pergilah. Hati-hati,” Daehyun melepaskan tanganku dari pipinya. Perlahan aku mulai berjalan menuju pintu masuk pesawat. Aku menyerahkan tiketku pada petugas bandara, lalu masuk ke dalam pesawat.
Pesawat mulai lepas landas. Aku menatap keluar jendela. Selamat tinggal Seoul, selamat tinggal Korea. Selamat tinggal Appa, Eomma, Daehyun... Changmin. Aku mungkin, akan kembali...
~ ~ ~
Aku melihat secarik kertas yang bertuliskan alamat. Ya, kurasa memang ini rumahnya.
Aku mengetuk pintu sebuah rumah tua 3 lantai. Kuharap aku tidak salah rumah.
“Bonjour, mam!” Aku terus mengetuk pintu besar itu. Namun tidak ada jawaban. Sudah kutekan berkali-kali bel rumahnya, masih tidak ada jawaban.
Aku menyalakan ponselku, dan cepat-cepat menuju menu email.
To : daehyun.best.absolute.perfect@yahoo.com
Subject : Aku sudah sampai!
Daehyun-ah, aku sudah sampai di Paris. Aku juga sudah sampai di rumah paman dan bibi. Tapi kurasa mereka sedang tidak di rumah, terpaksa aku menunggu mereka. Keadaanku baik-baik saja hehehe. Kau harus ingat, tidak boleh memberitahu siapapun aku di Paris!
Send!
Aku menyimpan koperku disamping pintu, lalu duduk diatasnya. Kuhirup dalam-dalam angin yang berhembus kencang dan membiarkannya menerpa wajahku. ‘Aku merasa sangat tenang. Bibirku menyunggingkan segaris senyum.
“Excoje’mo?” Seorang pria paruh baya menyentuh pundakku. Aku langsung menoleh ke arah suara berat itu.
“Samchon, annyeonghasaeyo,” Aku menunduk 90 derajat kearahnya. Ia mengernyitkan dahi.
“Paman, apa kau ingat aku?” Ia menggelengkan kepalanya perlahan.
“Aku keponakanmu dari Korea. Anak dari Han Jongwook dan Cho Eunhwa. Ingat?” Aku tersenyum lebar kearahnya. Pandangannya terlihat menerawang.
“Ah, Han Subin? Wah, kau sudah besar. Ayo masuk!”
~ ~ ~
“Istriku, kau ingat gadis ini? Dia keponakanmu dari Korea,” Bibi terlihat sangat kebingungan. Dan beberapa saat kemudian, ia menjatuhkan belanjaannya lalu memelukku.
“Ah, Subin kau sudah besar! Bagaimana kabar orang tuamu?”
“Umm, kuharap mereka baik,” Aku tersenyum kearahnya. Paman dan Bibi saling berpandangan, aku tahu mereka bingung dengan jawabanku.
“Aku jarang bertemu mereka. Dan aku pergi kesini tanpa sepengetahuan mereka. Jadi aku ingin Paman dan Bibi merahasiakan keberadaanku, ya? Jebal,”
“Ah, kami agak meragukan itu. Tapi apa alasanmu kabur kemari?”
Aku menghela nafas, dan mulai menceritakan penderitaanku selama di Korea.
~ ~ ~
“Baiklah, kau boleh tinggal disini sementara,”
Mataku berbinar, dan berkali-kali aku berterimakasih pada mereka. Ya, kurasa rencana pertamaku berhasil.
“Paman, Bibi. Kalau tidak merepotkan, aku ingin dicarikan apartemen yang dekat dengan kota. Boleh?”
“Besok akan aku carikan. Perusahaanku kebetulan berada di kota, jadi besok malam aku akan memesankannya untukmu,”
“Ne, gomawoyo,”
Paman menepuk-nepuk pundakku. Aku menarik koperku ke lantai atas, menuju ke kamar tamu. Kamar yang cukup luas, dan bergaya ala Prancis modern. Sangat nyaman.
~ ~ ~
5 months later.
“Ricky, novelku sudah terbit 3 hari yang lalu. Apa kau sudah membacanya?”
“Belum. Aku terlalu sibuk untuk membaca novel,”
“Ayolah Ricky, hanya sebentar saja. Bacalah novel pertama karya sepupumu ini, ya?”
“Ah, baiklah. Aku akan membelinya pulang sekolah nanti. Kau menulisnya dalam bahasa Prancis kan, bukan Korea?”
“Tentu saja. Promosikan pada teman-temanmu juga ya!”
Aku langsung memutuskan sambungan telepon. Ricky, anak dari Paman dan Bibi. Aku sempat melupakan keberadaannya, karena sudah 15 tahun kami tidak bertemu. Untunglah aku bisa bertemu dengannya lagi.
Dia adalah ‘Daehyun’ dalam keluargaku. Sejak dulu kami memang sudah sangat dekat. Biarpun usiaku 3 tahun lebih tua, kami tidak pernah menjadikan usia sebagai penghalang.
Selama 5 bulan di Paris, aku mencoba untuk menulis novel, mengingat bahasa Prancisku yang bisa dibilang sangat bagus untuk orang Korea. Dan baru 3 hari setelah penerbitan novel perdanaku, aku tidak menduga novel yang aku tulis berdasarkan pengalaman pribadi itu menjadi sangat sukses di Paris. Apa mereka senang membaca tulisan penderitaanku selama bertahun-tahun?
Eomma, Appa, dan Changmin sudah kewalahan mencariku kemana-mana. Untunglah Daehyun menutup mulutnya rapat-rapat. Dan dia bilang, wajahku sudah ditempel di semua sisi kota Seoul sebagai orang hilang.
Apartemenku terletak tidak jauh dari menara Eiffel, sehingga tidak mungkin aku tidak menikmati masa-masa pelarianku ini. Aku memang tidak pernah benar-benar pergi ke menara Eiffel. Setiap hari aku bisa melihatnya dari balkon apartemenku.
Aku menopang dagu pada pagar di balkon apartemenku, dan memandang langit siang yang cerah, membiarkan rambut panjangku berkibar ditiup angin. Aku berani bersumpah, aku belum pernah merasakan ketenangan yang amat sangat seperti ini. Aku harap aku bisa seperti ini di Seoul.
Ponselku bergetar, membuatku tersadar dari lamunanku. Nomor tidak dikenal, tapi ini nomor Korea.
“Yeoboseyo,”
“Subin-ah, ini aku Daehyun.”
Aku menautkan kedua alisku. Daehyun? Sudah seminggu ini kami tidak berkontak.
“Daehyun? Kau pakai telepon umum?”
“Ne. Karena itu waktuku tidak lama. Aku hanya ingin memberitahumu, Changmin tahu kau berada di Paris. Dia juga tahu rumah Paman dan Bibimu itu. Jadi hati-hatilah! Dan yang aku dengar, dia bilang dia akan ke Paris besok.”
Tut tut tut.
Aku mengernyitkan dahi, belum mengerti sepenuhnya ucapan Daehyun yang terus meluncur seperti kereta api express. Beberapa lama kemudian, wajahku menjadi sangat panik.
Changmin tahu aku disini? Tapi, bagaimana bisa? Apa mungkin Paman, Bibi, atau Ricky memberitahunya? Tidak. Tidak mungkin. Mereka tidak mengenal Changmin.
Ah, ya. Aku baru ingat. Changmin itu orang sukses dan sangat kaya di Seoul. Dia pasti bisa melakukan semua hal yang bahkan sangat ‘gila’ sekalipun.
Aku benar-benar sangat cemas. Aku takut ia akan menyiksaku disini dan menyeretku masuk kedalam mobilnya untuk kembali ke Korea. Aku mengambil ponselku dan langsung menghubungi Ricky.
“Ada apa?”
“Um, apa kau sedang istirahat?”
“Menurutmu?”
“Baiklah maaf kalau aku mengganggumu. Tapi pulang sekolah nanti, bisakah kau datang ke apartemenku?”
“Bukankah kau menyuruhku untuk membeli novelmu?”
“Ah, benar. Lupakan sajalah, kau boleh pinjam punyaku. Kau harus datang ke apartemenku pulang sekolah nanti. Aku sangat membutuhkanmu,”
“Baiklah aku mengerti. Tunggu aku,”
Ricky langsung memutuskan sambungan telepon. Aku melemparkan ponselku ke atas kasur, lalu pergi ke dapur untuk membuat milkshake dingin.
Saat aku sedang mengocok botol berisi susu, belku berbunyi. Ah, sepertinya itu Ricky. Aku langsung melesat menuju pintu.
“Ricky, cepat sekali kau dat...“ Botol yang aku pegang seketika jatuh, milkshake yang sedang aku buat membasahi lantai dan kakiku sendiri. Jantungku seakan berhenti berdetak. Mataku melebar melihat siapa yang datang. Aku mundur beberapa langkah dari posisiku berdiri.
“C-Changmin?”
“Kau kemana saja?” Suaranya tidak terdengar dingin seperti biasanya. Wajahnya berubah menjadi lebih murung, dan tubuhnya menjadi agak kurus. Setengah tahun kita tidak bertemu, apa kau sekhawatir itu?
“Mianhae,”
~ ~ ~
Aku melangkahkan kaki ke dapur, memasak makan malam untukku dan Changmin. Entah kenapa, aku mau saja saat ia bilang ingin makan malam disini, dan ingin merasakan masakan Prancis buatanku. Pikiranku tentangnya saat dia datang kesini, kuhapus kembali. Dia kembali seperti 5 tahun yang lalu.
Aku mengambil bahan-bahan yang ada di dapurku, lalu mulai memotong bahan untuk memasak Coq au Vin.
“Kau ke Paris sejak... ehem... sejak kejadian malam itu?” Nada ragu kental sekali dari setiap kalimat yang ia keluarkan. Aku menghela nafas cukup panjang sambil tetap memotong ayam dihadapanku.
“Hm,”
“Lalu, kenapa kau tidak memberitahu siapapun kalau kau pergi?”
“Kurasa tidak akan ada yang peduli,”
Hening. Hanya terdengar suara dari Coq au Vin yang meletup-letup diatas kompor. Hingga akhirnya aku mendengar suara pintu dibuka.
“Subin, apa ada tamu?” Aku dan Changmin langsung menoleh kearah Ricky. Ricky mengangguk kearah Changmin.
“Siapa dia?”
“Bisakah kau lebih sopan sedikit?”
“Hei, dia tidak akan mengerti apa yang kita bicarakan. Siapa laki-laki itu?”
“Changmin. Dia yang sering aku ceritakan padamu,”
Changmin menggaruk tengkuknya. Kurasa ia bingung mendengar namanya disebut. Ricky mendekat kearahku lalu mengambil sesendok Coq au Vin yang masih berada di dalam wajan.
“Untunglah aku membuat lebih. Makan malamlah disini, kau masih mengerti bahasa Korea, kan?”
“Yah, sedikit. Baiklah. Aku akan mendengarkanmu dan Changmin berbicara,”
Aku meletakkan 3 piring berisi Coq au Vin diatas meja makan. Mereka mulai menyantapnya.
“Hmmm, mashita. Kau pintar masak juga,” Changmin benar-benar kembali ke 5 tahun lalu saat ini. Aku memperhatikan wajahnya yang terus menyunggingkan senyum manisnya. Tanpa kusadari, air mataku mulai menetes. Aku cepat-cepat menghapusnya, dan fokus pada piring dihadapanku.
“Waegeurae?” Changmin memperhatikan wajahku yang menunduk. Aku langsung mengangkat wajahku dan tersenyum kearahnya.
“Gwaenchana. Bagaimana masakanku? Enak, kan?”
“Kau selalu mengalihkan pembicaraan. Itulah sisi burukmu,” Ricky berkata sambil tetap fokus pada makanannya. Aku melotot kearahnya dan memukul bahunya.
“Apa yang dia katakan?” Changmin menatap kami berdua bergantian.
“Aniya. Tidak penting. Lanjutkan makanmu,”
~ ~ ~
Seperti malam biasanya, aku menopang dagu di pagar balkon apartemenku. Hujan deras sedang turun, sehingga mau tidak mau aku harus bersama Changmin sampai besok.
“Subin-ah,”
Aku merasakan kehangatan di kedua bahuku. Aku menoleh kebelakang.
“Kembalilah ke posisimu,” Changmin membalikkan badanku. Ia memeluk perutku dan menopang dagunya di bahuku.
“Mianhae. Kejadian malam itu, aku tidak tahu kenapa. Aku benar-benar merasa bersalah sejak itu. Dan perlakuan kasarku yang lain, itu karena selama 2 tahun perusahaanku hampir mengalami kebangkrutan besar. Aku hampir menyerah, dan, yah, aku melampiaskan semua kekesalanku pada semua orang termasuk padamu,”
“Dan soal Sooyoung, aku dan dia hanya teman biasa. Teman yang sudah lama tidak bertemu. Jadi, aku ingin kita seperti dulu lagi. Seperti 5 tahun yang lalu. Pulanglah, Subin. Semua orang sudah menunggumu disana,”
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan agar isakan tangisku tidak terdengar. Andwaeyo Changmin-ah. Andwae. Aku lebih bahagia tinggal disini, jauh dari masalah di Seoul.
Changmin mengecup pipiku lembut. Aku sangat merindukanmu seperti ini Changmin. Aku ingin kau benar-benar kembali seperti 5 tahun yang lalu...
“Masuklah. Udara mulai dingin,” Aku berbalik, lalu Changmin memelukku erat. Aku menangis dipelukannya.
“Jebal. Kembalilah ke Seoul. Kau tahu, orang tuamu, orang tuaku, dan aku... Kami mencarimu kemana-mana. Dan aku baru bisa menemukanmu setelah aku pergi ke bandara, dan menemukan namamu dalam pemesanan tiket ke Paris 5 bulan lalu,”
“Tapi, darimana kau tahu aku tinggal disini?”
“Bukankah kau penulis terkenal di Paris?”
Aku tersenyum mendengarnya, dan memeluk Changmin semakin erat. Changmin melepaskan pelukannya.
“Saranghae,”
Changmin mencium bibirku sekilas. Aku hanya bisa diam mematung.
“Udaranya sangat dingin. Kajja,”
Changmin mengusap telapak tangannya, dan masuk ke dalam. Aku tersenyum melihatnya, lalu menyusul Changmin masuk.
~ ~ ~
Pagi ini terasa sangat berbeda. Changmin membangunkanku dan memberiku kecupan selamat pagi.
“Good morning my love,” Changmin mengecup pipiku lembut. Aku membalik posisi tidurku dan menutup wajah dengan selimut.
“Ya, bangunlah. Sudah pagi,”
“10 menit lagi,”
“Kau selalu bangun siang-siang?” Changmin mencubit pipiku. Aku bangun dengan malas, lalu menuju ke kamar mandi.
Aku mengambil bubur Prancis dari kulkas, lalu menghangatkannya. Changmin duduk di kursi meja makan. Wajahnya terlihat ceria pagi ini.
“Subin-ah, aku ingin melihat Eiffel lebih dekat. Siang nanti, antarkan aku kesana, ya?”
“Dari balkon juga Eiffel terlihat cukup dekat,” Jawabku acuh sambil tetap mengaduk bubur di dalam panci.
“Aku ingin melihatnya lebih dekat lagi. Ayolah antarkan aku, ya?” Changmin memelukku dari belakang sambil menunjukan wajah aegyo-nya. Ah, dia memang sangat tampan jika sudah seperti ini.
“Hm. Oke, sekarang duduklah. Aku membuatkan sarapan untukmu,”
~ ~ ~
Setengah tahun di Paris, baru kali ini aku melihat menara Eiffel sedekat ini. Yah, aku berfikir untuk apa pergi kesini, toh dari balkon apartemen pun Eiffel terlihat cukup dekat.
Aku berjalan berdampingan dengan Changmin. Changmin terlihat sangat senang. Entah karena ia melihat Eiffel lebih dekat, atau karena ia berkencan denganku.
“Kau senang?” Tanyaku memecah keheningan diantara kami sejak tadi.
“Ne. Jeongmal,”
Aku mengangguk mengerti.
“Subin, duduklah disana. Aku akan beli es krim,” Changmin menunjuk sebuah kursi taman yang kosong, lalu menarikku untuk duduk diatasnya.
“Tunggu sebentar,” Changmin melambaikan tangan kearahku.
Aku duduk dengan tenang, sambil sesekali melihat ke kanan dan ke kiri. Ada seorang anak perempuan manis dengan balon gas berwarna pink di tangannya. Aku memperhatikannya, lalu ia mendekat kearahku dan memberikan balonnya padaku. Aku mengernyitkan dahi.
“Ada apa, anak manis?” Aku mengelus rambut lembut anak itu.
“Bacalah tulisannya,” Setelah berkata seperti itu, ia langsung pergi berlari.
Aku membaca kertas yang menggantung pada benang itu. Hanya huruf ‘I’ yang terdapat pada secarik kertas kecil itu. Aku memegang balon itu, tidak peduli dengan tulisannya.
Seorang anak berjalan mendekat kearahku lagi, dan memberikan balonnya padaku. Aku menautkan alisku.
“Apa ini hari balon gratis?” Gumamku sembari melihat kertas kecil yang lagi-lagi terdapat pada benang dari balon gas itu. Kali ini simbol hati berwarna merah yang tertulis pada kertas itu. Seorang anak lagi menghampiriku dan memberikan balonnya padaku lagi. ‘You’, itulah yang terdapat pada secarik kertas yang diikatkan pada benang kenur itu.
Aku membaca satu per satu tulisannya.
“I... ♥... You... I love you?” Aku mengedarkan pandanganku. Tidak ada siapapun yang aku kenal.
Tiba-tiba, beberapa orang anak berlarian kearahku dan menjatuhkan setangkai bunga mawar merah yang mereka bawa. Sekarang, kursi taman yang sedang aku duduki dipenuhi bunga mawar.
“Siapa yang merencanakan ini? Aneh sekali,”
Ada seorang anak lagi yang berlari kearahku, tapi kali ini dia datang dengan tangan kosong.
“Soeur, vous épouser le frère Changmin (Kakak, maukah kau menikahi kak Changmin)?” Tanyanya dengan wajah polosnya yang manis. Anak lelaki itu terlihat sangat ceria. Alisku saling bertaut.
“Changmin?” Anak lelaki itu langsung pergi berlari begitu Changmin datang. Ia tersenyum sangat lebar sehingga matanya hampir tak terlihat.
“Kau senang?”
“Aku tidak mengerti,”
“Hhhh...,” Changmin menghela nafas dan melihat ke arah langit lalu menepuk tangannya. Tanpa aku duga, Eomma, Appa, Paman, Bibi, orang tua Changmin, Daehyun, Ricky, Sooyoung dan semua anak yang menghampiriku tadi, datang secara bersamaan ke arahku dan Changmin. Aku melebarkan mataku dan membuka mulutku.
“Kau terkejut?” Changmin masih tersenyum senang. Aku berdiri mendekat ke arah Changmin.
“Ini... kau...,”
“Ne. Aku yang mengajak mereka semua kesini,” Changmin merogoh saku celananya, dan ditangannya terlihat sebuah kotak berbentuk hati berwarna putih. Ia langsung berlutut dihadapanku.
“Aku ingin kita menikah. Aku ingin kita kembali menjalin hubungan seperti 5 tahun lalu, tapi kali ini dalam sebuah hubungan keluarga. Aku ingin kau menemaniku sampai aku mati. Subin-ssi, marry me?” Changmin membuka kotak putih ditangannya, dan didalamnya terlihat sebuah cincin emas putih dengan berlian putih di sekelilingnya. Mataku semakin melebar. Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku.
Changmin memakaikan cincin itu di jari manisku, dan ukurannya sangat pas. Aku tersenyum, lalu meneteskan air mata bahagia.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” Changmin berdiri dan tersenyum penuh harap. Aku mengangguk cepat dan memeluk Changmin erat. Orang-orang tersenyum bahagia dan bertepuk tangan gembira. Aku menangis bahagia dipelukan Changmin. Hari ini... hari terindah dalam hidupku. Aku bersumpah tidak akan melupakannya sampai aku mati.
~ ~ ~
6 years later
“Ricky, benar kau akan menikah? Kapan?”
“Bulan depan. Jangan lupa datang, ya! Bawa anak-anakmu juga,”
“Ya. Aku tidak akan lupa. Tapi kenapa begitu mendadak?”
“Ah, waktu sedang pesta ulang tahunku bulan lalu, aku tidak sengaja, hmmm, menghamili pacarku. Kami sedang mabuk, jadi, yah, sekarang sudah 5 minggu,”
“Ah kau ini ceroboh sekali! Baiklah kalau begitu, jaga calon anak dan istrimu baik-baik,”
“Aku tidak sengaja! Ya, pasti akan kujaga mereka,”
Sekarang aku sudah menjadi seorang Ibu 2 anak. Daehyun juga sudah menikah. Changmin, perusahaannya sekarang menjadi perusahaan tersukses ke-5 di Korea. Tidak ada alasan untuk kami tidak bahagia.
6 tahun menikah, aku baru bisa merasakan kebahagiaan di Seoul. Bahkan lebih bahagia daripada saat aku di Paris waktu itu. Aku sangat bersyukur. Dan kebahagiaanku ini juga dirasakan oleh Daehyun dan Ricky.
Kami bertiga yakin bahwa kami bertiga adalah orang yang memiliki keluarga paling bahagia di dunia.