home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Gravity

Gravity

Share:
Author : Akihito9
Published : 09 Nov 2013, Updated : 14 Nov 2013
Cast : Park Chanyeol, Kris Wu, OC, EXO (as cameos)
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |3918 Views |1 Loves
Gravity
CHAPTER 2 : #2: Surprise By Surprise

 

#2: Surprise by Surprise

 

“Kau sering menguap hari ini, Sena-ya,” kata wanita berambut sedikit ikal di hadapannya. Matanya tidak lepas dari ipad yang Sena berikan padanya kurang dari sepuluh menit yang lalu. Hampir sepuluh menit Sena terduduk di kursi di hadapan atasannya, menunggu mantan seniornya di universitas itu  memeriksa laporan acara yang ia tangani seminggu yang lalu, dan hampir setiap menitnya ia menguap.

Ia memang jarang tidur minggu ini. Fashion Show yang ia tangani seminggu lalu adalah acara yang cukup besar. Acaranya berlalu dengan sukses tapi tugas Sena belum selesai hanya dengan selesainya acara itu, ia masih harus mengurus tetek bengek selepas acara dan membuat laporannya untuk diserahkan pada atasannya. Acara besar seperti itu juga tidak bisa dilewatkan begitu saja tanpa dicantumkan ke dalam portofolionya. Ia menghabiskan sebagian malamnya menyortir foto-foto yang terlihat bagus dari tim dokumentasi untuk dimasukkan ke dalam laporannya dan daftar portofolionya. Ia melakukannya di kantor karena Sena tidak pernah bisa menahan godaan kasur jika mengerjakannya di rumah. Ia baru memutuskan pulang setelah menentukan foto-foto yang pas.

Sena baru selesai memarkir mobilnya di basement ketika ia keluar lagi dari gedung dan berjalan menuju coffee shop 24 jam di seberang apartemennya. Ia sudah sangat mengantuk tapi ia perlu bertahan sebentar lagi untuk mengedit laporannya.

Sena membuka pintu dan masuk. Ia berjalan lurus ke konter dan mengantri di belakang laki-laki yang amat tinggi. Ia bisa mencium bau parfum maskulin laki-laki itu yang terasa familiar tapi ia tidak begitu peduli. Sena sangat lelah dan mengantuk. Ia khawatir ia sudah bermimpi sambil berdiri di sebuah coffeee shop di tengah malam ketika ia melihat laki-laki tinggi dihadapannya bergeser dan berubah menjadi Kris, tunangannya. Sena mendongak ketika mendengar namanya dipanggil.

Senang rasanya mengetahui ia tidak bermimpi sambil berdiri. Laki-laki itu memang Kris meskipun sulit rasanya mempercayainya. Seingatnya Kris baru akan kembali besok tapi ia memilih tidak menanyakannya. Setelah memesan kopi dan membiarkan Kris membayarnya, mereka memutuskan untuk naik ke apartemen Sena. Sena berjalan terseok-seok di samping Kris. Mereka tidak saling bicara sampai Kris yang tidak tahan melihat Sena yang kelihatan bisa jatuh kapan saja mencoba menawarkan bantuan. “Kau kelihatan ngantuk sekali. Mau kugendong?“

Sena berhenti dan memincingkan matanya, kantuknya hilang seketika. “Tidak perlu. Pertanyaanmu sudah membuatmu bangun lagi, Kris.“

Kris berhenti. “Tapi kau kelihatan seperti bisa jatuh kapan saja. Kau yakin tidak mau kugendong saja?“

“Tidak, tidak, tidak, aku bukan anak lima tahun, kau tahu.“

“Tidak ada yang melihat kalau kau memang malu, Sena-ya,“ Kris berkata lagi. Ia menyeringai. Sena memerah.

“Yah!“

Kris tertawa. Sena menggerutu. Mereka diam di tempat sampai mata Sena menyadari satu bungkusan di tangan Kris. “Apa itu?“

Kris melirik bungkusan di tangan kirinya. “Ini roti.“

Sena memincing. “Wu Yi Fan, Kau belum makan jam segini?“

Kris mengangguk. Sena menggerutu lagi dan mengambil kopi di tangan kanan Kris, menaruhnya di tangan kanannya sendiri, dan menggunakan tangan kirinya untuk menarik –ah, lebih tepatnya menyeret- tangan tunangannya menuju tangga di hadapan mereka. Yang diseret hanya mengikuti dengan sukarela. Pelan-pelan ia melepaskan genggaman tunangannya di lengannya dan menyelipkan jari-jarinya di antara jari-jari Sena. Ia menggenggamnya erat.

Setelah langkah lebar-lebar Sena yang diikuti dengan santai oleh Kris yang memang berkaki panjang, mereka berhenti di depan pintu apartemen bernomor 201. Sena melepaskan genggaman tangannya dan mulai mengaduk-aduk tasnya. Ia mengeluarkan sebuah kunci dan memasukkannya ke lubang kunci. Ya, kunci, bukan kartu atau fingerprint seperti yang sedang jadi tren saat ini. Sena memang tidak tinggal di apartemen mewah. Ia tinggal di apartemen dua lantai yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman. Setiap lantai punya empat unit identik yang terdiri dari satu kamar tidur, satu dapur, satu kamar madi, dan satu ruang duduk . Sena belum pernah pindah apartemen sejak pertama kali menempatinya saat ia mendapatkan gaji pertamanya. Sena baru akan pindah jika gajinya sudah cukup  stabil untuk membiayai apartemen yang lebih bagus. Lagipula dulunya apartemen itu diisi oleh orang-orang yang menyenangkan. Mereka semua ramah dan seperti keluarga kedua baginya yang ditinggal orang tuanya pindah ke daerah pinggir Seoul. Namun orang-orang itu sekarang pindah menyisakan satu pasang kakek nenek penghuni kamar 101 sebagai satu-satunya penghuni yang ia kenal benar. Pekerjaan Sena mulai membuatnya sibuk dan membuatnya tidak sempat berkenalan dengan penghuni-penghuni baru yang berdatangan silih berganti. Ia hanya kenal nama dan wajah penghuni tiga kamar yang selantai dengannya dan sama sekali tidak tahu tentang ketiga penghuni kamar lantai bawah selain kakek-nenek yang sudah ia anggap keluarga tadi.

Kris masuk setelah Sena membuka pintunya. Ia langsung dihadapkan pada dapur. Pintu masuknya memang ada di antara dapur dan tembok kamar mandi. Lurus di depan dapur ada ruang duduk dengan jendela yang menghadap ke coffee shop di seberang jalan. Di samping ruang duduk ada ruangan kecil yang Sena gunakan jadi ruang kerjanya.  Sementara lorong yang terbentuk antara kamar mandi yang berhadapan dengan ruang kerjanya berakhir pada kamar tidur Sena. Tidak luas tapi nyaman. Kris tidak pernah merasa risih berada di apartemen Sena karena walaupun apartemen tidak terlalu rapi, apartemen Sena selalu bersih, tidak ada debu dimanapun. Kris masih bertanya-tanya bagaimana cara Sena membersihkan apartemennya dengan kesibukannya saat ini.

Kris berjalan lurus ke sofa abu-abu setelah mengganti sepatunya dengan sandal rumah. Ia mengambil selimut biru tua yang tersampir asal di sofa dan menaruhnya di lengan sofa. Ia bisa mencium bau wangi dari selimut itu dan tersenyum. Ia duduk dan mengecek smartphonenya sementara Sena berkutat di dapur. Sena membuka lemari esnya yang nyaris kosong dan menyadari kebodohannya. “Err, Kris?“

Kris mengangkat kepalanya menaikkan sebelah alisnya.

“Aku baru ingat, aku tidak sempat belanja minggu ini. Lemari esku cuma berisi tiga telur. Apa kau oke dengan itu?“

Kris bangkit dan menghampiri kursi meja makan. Ia duduk di kursi yang menghadap ke dapur. “Oke, buat saja scrambled egg seperti biasa.“

“Baiklah, kau bisa makan rotimu kalau kau masih lapar nanti,“ jawab Sena kemudian. Ia mengambil penggorengan dan menaruhnya di atas kompor untuk memanaskannya sebentar. Sambil menunggu ia menyambar kopinya di meja dapur dan menangkap mata Kris yang memandanginya. “Well, ada yang aneh?“

Kris tersenyum. “Tidak, aku cuma suka melihatmu di dapur.“

Sena memutar bola matanya dan berbalik untuk mulai memasak. “Jangan berpikir aneh-aneh, Kris.“ Sena mendengar Kris tertawa. Sena tersenyum simpul diam-diam. “Kau yang jangan berpikir aneh-aneh, Sena. Aku tidak berpikir apa-apa, aku cuma melihatmu dan menyukainya itu saja.“

Sena tidak menjawab. Ia mengambil piring dari salah satu lemari dapur dan menaruh scrambleg eggnya di situ. Ia membawanya ke meja makan. “Mau minum sesuatu?“

Kris mulai menghabiskan makanannya. “Air putih saja, tolong.“

Piring Kris sudah setengah habis waktu Sena  kembali dengan segelas air. “Kau benar-benar lapar, rupanya.“

“Hmm.“

Sena menaruh gelasnya di meja. “Baiklah, semuanya seratus ribu won.“

“Dan ini akan jadi scrambleg egg termahal yang pernah kumakan.” Sena tertawa. Kris mengikutinya. Ia berpura-pura mengeluarkan dompetnya dan menangkap tatapan tajam Sena.

“Yah! Aku hanya bercanda.“

Kris menyeringai. “Aku juga sedang bercanda, Jung Sena.“ Sena memutar bola matanya dan meninggalkan Kris yang melanjutkan makan. “Kau marah?“

“Tidak.“

“Lalu kenapa pergi?“

“Aku hanya mau mengambil macbookku Kris,“ kata Sena yang baru kembali dari ruang kerjanya. Ia membawa macbook putih di dekapannya. “Kenapa kau berubah manja sekali sejak pulang dari Jepang,“ katanya sambil membuka macbooknya di coffee table di ruang duduk. Ia mengeluarkan flashdisk dari sakunya dan menyambungkannya. Kris meletakkan piring kotornya di tempat cucian lalu mengambil dua gelas kopi yang sempat terlupakan dan mengikuti Sena ke ruang duduk. “Kau kelihatan capek, kenapa tidak dikerjakan besok saja? Ini sudah larut.“

“Aku sudah harus menyerahkan laporannya besok. Ini tidak akan lama.“

Kris duduk di sebelah Sena dan melirik layar notebook. “Hei, aku kenal orang itu,“ kata Kris ketika Sena tengah memasukkan salah satu foto ke dalam laporannya. Ia menyisipkan tangannya ke rambut Sena dan menjadikannya pembunuh kebosanan.

Menyadari tidak ada respon dari perempuan itu, Kris bertanya lagi. “Apa aku mengganggu?“

“Lumayan.“

“Apa aku harus pergi?“

“Jangan, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak ketiduran kalau tidak ada yang mengawasiku.“ Sena mengalihkan pandangannya dan bertemu dengan mata Kris.  “Aku janji tidak lama,“ Ia mengalihkan pandangannya kembali pada notebooknya. Ia melanjutkan dengan suara rendah, “lagipula aku sudah lama tidak mellihatmu.“

Kris yang mengerti kata-kata berkode Sena hanya mengacak rambut tunangannya, menarik kepalanya dan mengecup keningnya. Yang diperlakukan seperti itu sibuk mengalihkan pikiran dan menyembunyikan rasa malu, terlebih ketika suara dalam Kris berkata samar, “Hmm, miss you too.“

Belasan menit kemudian, suara macbook yang tertutup membuat Kris menyimpan smartphonenya. “Kau lelah?”

Sena mengangguk, ia menyandarkan kepalanya ke bahu tunangannya. “Mau tidur sekarang?“

“Aku mau mengobrol denganmu.“

“Kau tidak mau tiduran?“

“Begini saja cukup,” kata Sena sambil membenarkan posisinya di bahu Kris. Menit-menit selanjutnya yang telah Kris antisipasi akan penuh dengan celotehan perempuan di sebelahnya justru sehening pemakaman. Bukan berarti mereka tidak menikmatinya. Mereka sudah terlalu lama saling mengenal untuk saling canggung hanya karena hening yang sederhana. Mereka justru menikmatinya. Di Seoul yang sibuk, hening bagi dua manusia yang bergelung di sofa itu lebih mahal daripada sebulan makan malam dengan dengan daging sapi korea, namun bukan berarti mereka tidak mampu melakukannya.

“Sebegitu rindunya kau pada bahuku, hm?” tanya Kris sambil melirik Rolex di tangannya yang menunjukkan waktu sepuluh menit setelah tengah malam.

“Hmm.”

“Tidak mau menyalakan tv? Musik?”

Sena menggeleng.

“Kau bisa tidur sekarang kalau kau mau, kau tahu? Jangan merasa bersalah kalau mau mengusirku,” Kris berkata ringan.

“Kau ingin pulang?”

“Tidak juga.”

“Kau tidak lelah?”

Nope.” Kemudian menyadari tidak ada balasan dari perempuan di sampingnya, ia menambahkan lagi, “Jangan merasa bersalah begitu, Sena-ya. Aku sudah tidur dua jam sebelum kemari.”

“Kukira kau baru akan kembali besok,” katanya pelan.

“Ingat soal Nase Group yang kuceritakan di telepon? Rapat yang dijadwalkan hari ini ternyata hanya berlaku untuk orang-orang Nase, kami cukup yakin mereka akan bergabung jadi aku melewatkan satu rapat dan event penutupnya lalu terbang ke sini,” Kris menjelaskan.

Sena bergerak-gerak. “Kau yakin tidak apa-apa? Bagaimana kalau imagemu tercoreng?”

Kris tertawa ringan. “Luhan akan menanganinya, Sena-ya. Menurutku ia bahkan mampu meyakinkan mereka sendirian. Kupikir dia hanya tidak ingin mati kebosanan di sana makanya ia mengajakku.” Sena bernapas lega setelah mendengar nama Luhan disebut. Kris menghentikan tawanya dan menyeringai. “Dan jangan khawatir soal image, tidakkah itu justru memperlihatkan sisi seorang profesional yang selalu sibuk padaku?”

“Kau pikir mereka anak sma?” balas Sena. Ia mencubit lengan Kris main-main sementara si korban tampaknya terlalu cool untuk mengaduh. Ia justru tertawa ringan.

“Kau tahu apa yang membuatku mempertaruhkan imageku dan pulang ke sini?”

Kening  Sena berkerut.  Sebelum rangkaian kata yang telah ia susun sempat keluar dari mulutnya, Ia merasakan tangan Kris menyelinap ke bahunya dan menegakkan badan Sena. Ia berdiri dan berjalan menuju dapur tempat bungkusan yang ia klaim berisi roti berada dan membawanya ke depan coffee table di hadapan Sena.

Sena nyengir. “Kau tau, Kris, kalau kau lapar kenapa-“

-kau tidak makan rotimu dari tadi saja?

Ia tidak sempat melanjutkan kalimatnya. Sena terperangah mendapati sebuah cake mungil yang kini duduk di atas coffee tablenya.

Kris mengeluarkan korek api dan menyalakan lilin di atas kue mungil dengan dekorasi cokelat dan vanila itu. Ia mengangkatnya dari meja, dan justru mendudukkan diri di coffee table sambil memegang kue itu. Pada waktu normal Sena pasti akan meledak memarahi siapapun yang sembarangan menduduki coffee tablenya. Tapi kali ini tidak normal, setidaknya bagi Sena –dan mungkin- laki-laki di hadapannya. Menganggap hari lahirnya –yang baru ia sadari saat Kris mengeluarkan kue itu- sebagai hari spesial tidak berlebihan bukan?

“Happy twenty seven, Sena-ya. Now make your wish and blow the candles, Dear,” Kris berkata lagi. Sena menutup matanya dan mengeja permohonannya dalam hati. Ia meniup lilin-lilinnya dengan mata basah. Kris menaruh kuenya di meja dan melebarkan lengannya yang panjang untuk Sena. Ia memeluknya. Ia membelai rambut Sena dan membiarkan kausnya basah.

Sena mengakhiri tangisnya dengan berterima kasih pada Kris. Tidak dengan kata-kata, tapi Kris tidak peduli. Ia mengerti segalanya hanya dengan sepasang mata basah yang menatapnya dan tangan yang menyentuh kedua pipinya dengan halus. Jarak di antara mereka melebur. Waktu menjadi samar. Naluri adalah cahaya yang menuntun mereka keluar dari kotak gelap yang mengungkung, menemui dunia yang hanya bisa dipahami oleh mereka.

Kris tidak bisa lebih bahagia lagi. Ini bukan yang pertama. Mereka sudah separuh jalan, tapi Sena selalu berjalan di belakangnya, menunggu Kris menariknya agar mereka bisa berjalan secara perlahan. Ini bukan yang pertama, tapi ini adalah awal. Karena pada akhirnya Sena mau berjalan di sampingnya. Mereka akan berjalan bersama sekarang. Ia tidak peduli apakah mereka akan berjalan seperti biasa atau berlari sekencang-kencangnya, Kris hanya ingin Sena di sampingnya sampai mereka sampai di ujung pemberhentian.

Sena menarik diri dan mereka kembali ke unit apartemen 6x8 itu lagi. Kris menepuk puncak kepala Sena dan mencium keningnya sebelum bangkit dari sofa. “Baiklah, kurasa sudah waktunya aku kembali.“

Sena menarik tangan Kris yang hendak beranjak. “Kau tidak mau tinggal dan makan kuenya dulu?“

Kris menatap mata Sena. Sena balas menatapnya dan Kris mengerti. Ia duduk lagi dan mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol tentang banyak hal di sofa kesayangan Sena. Esoknya Sena bangun dengan mata berat dan tubuh lelah karena mengobrol nyaris semalaman. Ia terlambat tiga menit tapi ia bahagia.

“Lihat sekarang kau tersenyum sendiri,“ kata sebuah suara yang berhasil masuk ke otak Sena. Ia tersentak dan kembali ke ruang kerja atasannya. Yeonhee tersenyum padanya. “Apa seseorang baru saja memberimu kejutan? Pacar?“

Pipi Sena memerah.

Yeonhee meninggalkan ipad Sena di meja dan berjalan menuju ke tepi jendela kantornya yang lebar.  “Kau membuatku iri, kau tahu?“ Ia tersenyum pada Sena. “Pulanglah, kau kelihatan seperti zombie,“ katanya lalu tertawa kecil.

Ia membuat Sena terperangah. Sena melirik ipad yang tergeletak di meja lalu menatap senior sekaligus atasannya kembali.

“Pekerjaanmu bagus seperti biasa Sena-ya. Anggap saja ini ucapan selamat sekaligus kado dariku. Chukkaeyo,“ katanya penuh senyum seperti biasa.

Sena cepat-cepat berdiri dan menghampiri seniornya, melingkarkan tangannya dan memeluk seniornya sekilas. “Sunbae, terima kasih.“

“Ya, ya, pulanglah dan tidur. Aku tidak ingin membuatmu berharap terlalu tinggi dulu, tapi kurasa aku akan mengusulkanmu ke direktur.”

Mata Sena melebar. “Benarkah? Ah, Sunbae, kenapa kau baik sekali.“ Ia memeluk seniornya sekali lagi. “Sekali lagi terima kasih, Sunbae.  Benar-benar terima kasih. Ah, siapapun yang mendapatkanmu pasti beruntung.“

Yeonhee hanya membalasnya dengan senyum. Sena ikut tersenyum. “Baiklah, Sunbae, kurasa aku harus segera pulang. Aku benar-benar mengantuk sejak pagi ini.”

Yeonhee tersenyum lagi. Ia memang tidak banyak bicara, tapi Sena mengaguminya. Yeonhee yang cantik, pintar, dan baik itu sudah seperti kakaknya sendiri. Yeonhee adalah personifikasi dari kesempurnaan jadi Sena menjadikannya panutan. Yeonhee sudah pernah menyuruhnya memanggilnya Unnie tapi Sena terlalu menghormatinya jadi ia kukuh memanggilnya Sunbae.

Sena membereskan ipad dan barang-barangnya dengan muka cerah sambil sesekali menguap. Ia meninggalkan ruangan itu dengan senyum tipis. Ia sedang akan berjalan untuk mengambil barang-barang dari mejanya ketika Ahjoong, rekannya memberitahunya ada seseorang yang sudah menunggunya sejak tadi.

Sena sudah cukup banyak terkejut hari ini. Ia tidak ingat sudah membuat janji siang ini, tapi ia tidak akan marah jika seseorang yang datang itu berniat memberinya kejutan manis yang lain. Ia berjalan dengan ringan ke lantai satu dan menemukan seseorang berpostur tinggi duduk sambil minum kopi di kursi yang biasa mereka gunakan untuk berdiskusi dengan klien.

Laki-laki itu tersenyum pada Sena saat Sena berjalan mendekat. Sena sudah cukup terkejut dengan kunjungannya yang tiba-tiba. Sekarang Sena penasaran apakah alasannya kemari juga akan menjadi kejutan bagi Sena.



Writer's note:

A-yo, guys. First of all, thank you so muuuuuuch for your like, retweet, tweet, love, and comments. Tadinya nggak ngira bakal selese kurang dari seminggu, tapi baca komen kalian bikin semangat ngelanjutin walaupun nggak tahu kenapa komennya cuma keliatan kalo dibuka pake hape. But still, you guys just made my day. ^o^

Anyway jangan bosen-bosen ngelike, share, ngeretweet, ngefav, ngeklik love, apalagi ngekomen ya. It's nice hearing your thought about this fic. Silakan menebak-nebak siapa cowok yang dateng ke kantor Sena. ^^

And finally i just learned how to use photoshop. Setelah 3 tahun nginstal, akhirnya aplikasi itu ada gunanya juga haha. I made this posters. What do you think? ._.a

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK