"Berita terkini ; pebisnis Oh Jongup dan istrinya Im Sohyang meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat. Belum diketahui pasti—"
Aku bahkan tidak mendengar kelanjutan apa-apa lagi. Tapi gosokan lapku di permukaan meja lama-lama melambat dan akhirnya berhenti.
Tanpa sebab yang jelas, aku berlari keluar restoran. Masih lengkap dalam celemek, dan kain kotor di tanganku, aku berlari ke kediaman keluarga Oh yang jaraknya beberapa kilo dari tempatku bekerja sambilan.
By the way, aku Kim Seulgi.
Dan aku tidak tahu kalau nantinya ini akan mengubah seluruh aspek kehidupanku.
Di rumah besar keluarga Oh yang kaya semua terlihat sepi, kecuali dapur yang jadi tempat aku berdiri sekarang, di tengah-tengah kepala pelayan Jung, dan juga para pelayan yang terdiri dari 5 orang, beserta supir pribadi dan tukang kebun.
Wajahku tidak berekspresi, tapi sama seperti yang lain. Kami semua syok dengan berita itu.
"Pesawatnya jatuh di ladang tak jauh dari pemukiman warga. Mereka menemukan tubuhnya nyaris tidak dapat dikenali."
Bibi Youngrae adalah pelayan yang bekerja paling lama di kediaman keluarga Oh. Aku tidak terkejut saat dia menangis mengetahui tuan yang dia rawat dari kecil meninggalkannya begitu saja.
"Bagaimana dengan tuan muda?" Aku tidak bisa mencegah bibirku bertanya.
"Mereka akan menerima jenazah di rumah sakit St Mary dan menggelar pemakaman di sana."
Aku tidak bertanya lagi setelahnya. Dan membiarkan kesunyian menelan kami dalam pikiran masing-masing.
Pasangan tuan dan nyonya Oh adalah orang yang baik, aku yakin Tuhan pasti akan menempatkan mereka di surga. Yang menjadi pikiranku justru tuan muda Oh Sehun.
Tidak—tahan—jangan mengira cemas pada satu orang berarti kau memiliki satu aspek perasaan padanya. Apa yang aku punya murni dalam empati bukan tahap romantisme.
Seluruh kota sudah tahu bagaimana kehidupan tuan muda Oh yang gemerlap. Sebagaimana anak orang kaya yang punya banyak harta, dia suka berpesta, menghamburkan uang dan bermain wanita.
Aku berhenti di ruang tengah mansion Oh. Sebuah foto keluarga besar terletak di tengah-tengah ruangan yang bernuansa shabby chic—hasil tangan nyonya Oh—hatiku berjengit ngilu.
Tahu dua orang aristokrat itu tak akan ada lagi untuk menggodaku atau sekedar memintaku melakukan ini dan itu selayaknya bawahan dan majikan.
Ketika aku masih kecil dan orang tuaku meninggal dunia. Tuan Oh Jongup membawaku ke rumahnya, memberiku izin tinggal bahkan sampai menyekolahkanku di tempat bergengsi bersama tuan muda Sehun.
Aku tentu tidak berpikir itu gratis, sebagai gantinya aku bekerja sebagai pelayan dan menemani tuan Sehun sebagai teman mainnya. Aku kira kami cukup akrab sebelum dia beranjak remaja dan mulai bertingkah menyebalkan.
Sejak itu aku memperlakukan hubungan kami tidak lebih dari sekedar tuan dan pelayannya.
Ponselku tiba-tiba bergetar dari dalam tasku, kontaknya milik Do Kyungsoo, aku pikir ini ada hubungannya dengan pekerjaan yang kutinggalkan di restoran.
Astaga, aku mungkin akan dipecat!
Aku buru-buru keluar dari rumah tuan Oh dan berjalan ke halte bus setelah pamit pada yang lain.
"Halo?"
"Kau di mana, Kim Seulgi? Bos hampir mencekikku karena tiba-tiba kau lari dari pekerjaanmu?"
Nada suara Do Kyungsoo di sebrang telepon menggangguku. Tetapi dia benar, aku tidak seharusnya lari tanpa bilang apa-apa padanya.
"Maaf, bisa cover aku lebih lama lagi, aku dalam perjalanan kembali. Nanti kujelaskan alasannya," kataku. Keringatku mengalir ke pelipis, beberapa kali aku mengibaskan tangan berharap mengusir udara di musim panas yang kering ini.
Do Kyungsoo mendengung sebagai jawaban, kemudian menutup panggilan karena tidak berhasil mendapatkan banyak penjelasan dariku. Ia sudah tahu, ketika aku mengatakan nanti, maka aku tidak akan bicara sampai aku tahu itu waktu yang tepat.
Sekembalinya aku dari rumah tuan Oh. Bosku memang marah besar, tapi tidak cukup untuk menendangku dari pekerjaanku sebagai pramusaji.
Jarang ada yang tahan bekerja dengannya yang bermulut bagai pelaut. Aku dan Kyungsoo adalah pengecualian. Kami sama-sama kuliah, dan dia hanya perlu membayar jasa kami setengah dari harga normal pekerja penuh.
"Kau bilang kau akan cerita?" Kami berhenti di depan toko kelontong.
"Tuan Oh meninggal." Aku akhirnya bercerita.
"Majikanmu? Yang masuk berita itu?"
"O," aku mengangguk sambil makan es kiko.
"Aku turut berduka cita," Do Kyungsoo tidak membahas itu lagi di topik berikutnya. Jika urusan menghibur orang, dia memang agak canggung.
Aku juga tidak buka mulut lagi. Kami berpisah di jalan kembali ke kos kami masing-masing. Ini semester terakhirku sebelum sidang skripsi sebulan lagi, aku berpikir untuk mencari hunian baru yang jauh dari kota sepadat Seoul.
Malam itu, aku tidak bisa tidur setelah memimpikan tuan Oh dan nyonya Im.
-
Kepala pelayan Jung tidak berbohong ketika bilang bahwa upacara pemakaman akan dilaksanakan selama tiga hari di St. Mary.
Aku datang pada hari kedua dan ketiga, karena aku yakin para tamu penting yang merepotkan akan datang seluruhnya di hari pertama.
Di aula penghormatan, aku melihat bahu tuan Sehun yang terduduk menerima segala ucapan bela sungkawa dari pelayat. Rata-rata tepukan di bahu, namun tak sedikit yang bungkam.
Jika ada orang di dunia yang pintar menahan ekspresi, maka penghargaan itu aku berikan pada tuan Sehun. Dia jarang tersenyum, lebih banyak tak berekspresi sama sekali.
Tetapi, tiga hari ini ada pengecualian. Aku melihat kosong di matanya, ada kesedihan.
Katakan aku sok tahu. Yeah, aku bisa menerima itu. Aku cuma pelayannya, aku tidak tahu banyak tentangnya.
Selama dua hari terakhir aku membantu pihak keluarga menghidangkan makanan dan melayani tamu yang datang. Bau alkohol bisa tercium di sudut meja, selagi aku berusaha tidak mengernyitkan hidungku.
Di hari ketiga, tuan Sehun tidak lagi duduk di altar penghormatan, tiba-tiba dia duduk di ruang perjamuan dan mengundang simpati dari tamu-tamu yang berangsur sedikit.
"Seulgi-ah, berikan makanan untuk tuan muda. Sudah tiga hari dia tidak makan dengan teratur," tiba-tiba kepala pelayan Jung mendorong nampan berisi makanan ke arahku.
Aku melihat padanya dan meja tuan Sehun dengan skeptis.
"Kha." (Pergi)
Toh, pada akhirnya aku mendatangi mejanya dengan nampan itu. Dia bergeming, entah menyadari tidaknya kehadiranku di depan wajahnya.
"Silahkan tuan muda." Aku berkata setelah menaruh semua piring dan mangkuk ke meja.
Lama dia tidak mengatakan apa-apa, aku memutuskan untuk beranjak, namun tuan Sehun nampaknya tidak setuju dengan pergerakanku.
"Di mana alkoholnya?"
Ah, dia dalam keadaan seperti ini dan masih memikirkan alkohol. "Tapi—anda menyetir tuan Sehun," aku mencoba memberitahunya.
"Kubilang. Mana. Alkohol. Nya!" Tuan Sehun menaikan nada suaranya.
Dia memang orang yang mengerikan. Ini alasan kenapa aku tidak mau berurusan terlalu banyak dengannya.
"Maaf, tapi aku tidak bisa membiarkan tuan Sehun mabuk." Ucapku tegas.
Cukup tuan dan nyonya Oh yang pergi. Jangan ada lagi.
Mata tuan Sehun berkilat dengan sangat mengerikan, aku merasakan basah di telapak tanganku.
"Kau berani menentangku?" tidak lama dia bertanya, tangannya yang panjang mendorong semua piring dan mangkuk di atas meja hingga semua hidangan jatuh mengotori bajuku.
Aku berjengit panik karna kaget. Teriakan kecil lolos dari bibirku merasakan sup yang panas jatuh di atas pahaku.
Semua orang menahan napas mereka selama beberapa menit. Aku memberanikan diri menatap kedua mata tuan Sehun yang masih berkilat penuh amarah.
Ingin rasanya aku mengatakan sesuatu padanya, tetapi aku hanya berdiri dan meninggalkan tuan Sehun ke toilet untuk membersihkan sisa-sisa makanan di celanaku.
Itu pasti akan membuat kulitku merah besok. Si tuan muda itu!
Diam bukan berarti karena aku tidak berani menghadapinya, terkadang kau tahu kau tidak bisa menyelesaikan semua masalah dengan perkataan bijak atau penuh emosi seperti heroin-heroin dalam drama kacangan di sabtu pagi.
Semuanya butuh momentum. Dan aku tidak mau tuan Sehun tahu kalau aku mengasihaninya, ia pasti akan terluka dan itu menyebalkan.
Di saat seperti ini ponselku berbunyi lagi, nada deringnya kuambil dari lagu Selena Gomez yang Fetish.
"Halo?"
"...."
Aku berlari meninggalkan pemakaman sesudah mengambil tas dan mantelku. Melupakan masalahku karena ada resolusi yang harus aku laksanakan.
"Aplikasi anda untuk beasiswa short course di Belanda disetujui. Bisa anda datang untuk melihat tahap selanjutnya?"
-
Sejak insiden itu aku tidak lagi melihat tuan Oh. Terakhir kali datang ke kediamannya aku menyampaikan surat pengunduran diriku pada kepala pelayan Jung.
Agak sedih, mereka sudah seperti keluargaku disaat aku cuma sendiri. Jadi kami mengadakan perayaan kecil sebelum aku bertolak ke Belanda selama satu tahun untuk pendidikan tempo singkat.
Beberapa bulan sebelum keberangkatan aku sibuk dengan skripsi dan persidangan. Tidak sempat untuk bersantai bahkan memikirkan yang lain.
Dan ketika aku sadar semua telah berakhir, di sinilah aku, bandara Incheon.
"Beritahu aku kalau kau sudah sampai."
Aku memutar kepalaku menghadap Kyungsoo. Hari ini hanya dia yang datang karena aku tidak punya banyak teman selama kuliah.
Sambil tersenyum aku menyentuh bahunya. Dia punya porsi tubuh bidang meski tinggi kami nyaris sama. "Aku tahu kau tidak bisa hidup tanpaku, yeobo."
Kyungsoo menepis tanganku, "hentikan itu menjijikan."
"Baiklah Do Kyungsoo, jaga dirimu baik-baik, sampai bertemu 12 bulan lagi." Aku melambaikan tangan.
Aku menarik koperku setelah berpisah dari Kyungsoo menuju ke terminal luar negeri. Tidak tahu kalau dalam beberapa bulan kepergianku, dunia bisa sangat berubah hanya sekejap.
Dan tuan Oh Sehun yang selalu berdiri di atas kudanya, akan jatuh berlutut bagai pengemis di hari berikutnya setelah kepergianku.
[]