home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Ramadhan Cinta

Ramadhan Cinta

Share:
Author : yoonsdream
Published : 25 May 2018, Updated : 25 May 2018
Cast : TVXQ Changmin, TVXQ Yunho, Airin (OC)
Tags :
Status : Complete
1 Subscribes |649 Views |2 Loves
Ramadhan Cinta
CHAPTER 1 : Pulang

Akhirnya Airin pulang. Hampir lima tahun dia tidak mengunjungi kampung halamannya di Salatiga. Sejak ayahnya dipindahtugaskan ke Jakarta Selatan pada tahun 2013 silam belum pernah ia mengunjungi tanah kelahirannya ini. Dan bulan puasa kali ini setelah studinya selesai ayah mengizinkannya untuk menghabiskan waktu di rumah nenek.

Ditelusurinya jalanan menuju rumah neneknya dengan semburat senyum mengingat masa kecil yang ia habiskan di kota ini. Ah... sampai saat ini mendengar nama Salatiga disebut masih membuat hatinya berdebar. Mengingatkan Airin pada sosok tinggi yang selalu melindunginya jika teman-teman mengganggu. Shim Changmin. Airin menghela nafas, berhenti sejenak di bawah pohon rambutan yang tumbuh lebat di sebelah lapangan bola. Bagaimana keadaan pria itu sekarang?  

Airin duduk di bawah naungan pohon rindang itu, diletakkan ranselnya kemudian mengikat rambut panjang berponi itu, walau angin semilir menerpa paras ayu wajahnya, tetap saja perjalanan dari tempat pemberhentian bus menuju rumah nenek yang lumayan jauh membuat ia berkeringat. Pandangannya tertuju pada lapangan bola di sebelahnya. Dulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar Changmin lah yang selalu mengantarkan Airin sampai gerbang sekolah. Airin kecil dengan rambut ekor kuda berseragam merah putih, dan Changmin yang sudah terlihat gagah dengan setelan putih birunya. Airin menghela nafas lagi sembari tersenyum mengingat paras tampan yang tak pernah bisa sirna dari ingatannya itu. Masih membekas kenangan indah khas anak-anak maupun romansa remaja yang terukir bersamanya.

“Iki Nduk Airin tho?” (ini nak Airin ya?) Airin refleks berdiri dan melihat seorang pria paruh baya duduk di atas sepeda tuanya, keningnya berkerut mencoba mengingat wajah yang terlihat tidak asing itu. “Pakwo Gito nggeh?” Airin menyebutkan sebuah nama setelah berusaha mengingatnya. “Lha itu inget sama Pakwo. Mau ke rumah mbah ya? Sini Pakwo bawakan tas kamu, tapi kamu jalan sendiri yo” pria paruh baya itu mengambil tas Airin, “ngga usah pakwo, biar Airin aja yang bawa, sebentar lagi sampai kok”, tapi tetap pria itu mengambil tasnya, “uwis, ndak papa. Ndang kamu jalan sana, mesakke gadis cantik bawa berat-berat, dari terminal ini mesti”. Airin tertawa kemudian berjalan di samping Pakwo yang menggiring sepedanya. Pakwo Gito ini merupakan tetangga neneknya. Dulu ia sering main ke rumahnya atau sekedar mengacaukan halaman rumahnya. Berkat Pakwo itu perjalanan Airin menuju rumah nenek menjadi tidak sepi, banyak hal yang mereka bicarakan, membuat Airin sejenak lupa dengan sosok Shim Changmin.

Siapa Shim Changmin? Dulu di bangku kuliah, setiap ada lelaki yang mencoba untuk mendekatinya, selalu Erin sahabat karibnya akan mengingatkan, “kalo lo bisa ngegebet Airin dan bikin dia nggantiin nama Changmin di hatinya pake nama elo, gue bakalan jadi kacung elo selama tiga bulan!” pertanda bahwa belum satu orangpun yang berhasil menaklukan hatinya. Erin sebagai sahabat karib semasa awal Airin pindah tentu sudah tau kisah Changmin sang Pangeran pemilik tahta hati Airin.

Sesampai di rumah nenek, Airin disambut dengan suka cita, mbah kakung dan mbah uti, begitu ia memanggil kakek dan neneknya, sedang beristirahan di serambi rumah joglo mereka yang luas. Berulang kali Airin hujani ciuman oleh sang nenek. “akhirnya ayahmu mau berbaik hati mengirimkan kamu ke sini nduk, punya rasa kasihan juga dia sama nenek renta ini” Airin tertawa lebar, “siapa bilang ini nenek-nenek? Orang masih cantik begini, ya nggak mbah kung?” mereka tertawa bersama.

Setelah berbincang sebentar kemudian Airin mengemasi barangnya dan merapikan kamar yang sudah lima tahun ditinggalkannya namun tetap tidak ada yang berubah, masih rapi bahkan tanpa debu. Pasti nenek selalu membereskannya. Airin berbaring sembari menatap langit-langit kamarnya. Menanyakan tujuan dari kepulangannya ini pada dirinya sendiri. Tiba-tiba matanya tertuju pada lemari utama kamar tersebut, karena memejamkan mata tidak juga membuatnya terlelap, iseng ia membongkar beberapa barang yang ia simpan rapi dan tidak dibawa pindah saat itu. Dan... ia menemukan sebuah diary biru, seulas senyum menghias di bibirnya saat membaca halaman pertama:

“Untuk Airin,

Sukses selalu, tumbuhlah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik, jika kamu sudah cantik jadilah pacarku.

Dari Changmin”

Kemudian ingatan Airin melambung ke masa-masa itu..

Masa di mana hanya bermain dan Changmin lah dunia bagi Airin.

Airin dan Changmin tumbuh besar bersama, bahkan kata Bunda Changmin lah yang sering mengajak Airin bermain saat ia masih bayi. Ayah dan Ibu Changmin merupakan teman sekolah Ibunda Airin semasa kuliah di UKSW dan kala itu Ibunda Airin termasuk mahasiswi Islam yang masih minim di kampus Kristen tersebut, Pasangan berdarah Tionghoa yang Airin panggil dengan Om Shim dan Tante Liem itu memutuskan untuk menikah saat mereka di tahap smester akhir, kemudian lahirlah Shim Yunho sang kakak, dan setahun kemudian Shim Changmin lahir. Empat tahun setelahnya Ellin, nama Bunda Airin menikah dengan Arman seorang Pegawai Negri Sipil, kemudian setahun setelahnya Airin lahir, namun naas, rahim Ellin harus diangkat karena tumor yang sudah membesar bersama bayi. Maka Airin positif menjadi anak tunggal keluarga kecil tersebut. Begitulah akhirnya Airin kecil tumbuh bersama Changmin dan Yunho, walau rumah mereka berjarak beberapa rumah namun Changmin senang menghabiskan waktu bermain dengan Airin, berbeda dengan Yunho yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Meski berbeda agama orangtua Airin mempercayakan anaknya bermain bersama mereka, karena di kota tersebut ragam agama memang berhubungan dengan baik.

Jalan menuju sekolah melewati rumah Airin, maka Airin akan selalu menunggu Changmin lewat dan Changmin juga akan selalu menunggu jika Airin belum siap. Dari Airin kelas dua SD dan Changmin kelas enam mereka selalu berangkat bersama. Ketika Airin bertengkar dengan teman sebayanya, maka ia akan menangis dan menuju kelas Changmin, dan entah karena faktor menjadi bungsu di keluarga, Changmin juga memperlakukan Airin layaknya adik sendiri, memarahi anak-anak yang suka iseng menarik rambut kuda Airin atau menyembunyikan alat tulisnya.

Begitulah hubungan mereka hingga Airin menjadi pelajar SMP, dan Changmin SMA. Entah kapan dimulainya, lama-lama di mata Airin Changmin bukan lagi seorang kakak.

Saat Airin duduk di kelas dua SMP dan Changmin kelas akhir masa SMA nya, seperti biasa jika Changmin main ke rumah, pasti tanpa sungkan dia masuk ke kamar Airin. Begitu pula hari itu, Airin yang sedang tiduran sambil membaca komik hanya mengenakan kaos singlet, “Rin! Bangun deh!” reflek Airin menutupkan selimut ke badannya, “Mas ketuk pintu dulu ngapa sihh!!!” teriak Airin. “Ya ampun... Harus nih? Kudu banget aku ulangi masuknya?” jawab Changmin, “yaudah sih, apa juga yang kamu tutupin? Hahaha” Changmin melanjutkan dengan nada mengolok, muka Airin memerah malu, dalam hati ia membatin juga, kenapa reaksinya berlebihan? Bahkan dulu mereka juga mandi bersama. “Apaan nyariin? Pasti ada maunya!” akhirnya Airin keluar dari selimutnya dan memakai cardigannya.

“Jadi gini Rin, Mas-mu yang paling ganteng ini sore nanti mau nyoba ngajak kencan si Selly, tau kan kamu? Anak kelas sebelah aku yang jago ballet itu, aku pernah cerita kan?” Changmin bercerita penuh antusias.

“iya tau. Terus kenapa ke sini?” jawab Airin cuek.

“nah, coba liat aku Rin!” Changmin memegang pundak Airin yang lebih rendah darinya, dan membungkukkan sedikit badannya, otomatis wajah Airin berhadapan langsung dengan wajah Changmin, Airin menatap bola mata yang hanya berjarak beberapa centi itu lekat, dadanya sesak, bahkan ia bisa mendengar jantungnya berdetak kencang, Airin belum bisa mencerna reaksi berlebihan dari dirinya kemudian Changmin tersenyum manis, sangat manis! Airin menahan nafasnya, sepertinya jika itu terus berlanjut ia bisa pingsan, namun.. “gimana? Potongan rambutku bagus kan? Udah cocok belum jalan sama Selly?”  Airin menghembuskan nafasnya keras, menghentakkan tangan Changmin dari bahunya, mendengus kesal. “Hey! Reaksi apaan itu?!” tanya Changmin. “Halo Mas yang ngakunya ganteng, kenapa ngga nanya sama Mas Yunho sih? Jauh-jauh ke sini Cuma nanya itu doang?”

“plis dong Rin, hal kaya gini tu buka sesuatu yang bisa di nilai sesama pria” jawab Changmin.

“jadi, Mas sekarang nganggep aku wanita? Bukan anak kecil lagi?” tanya Airin ketus.

“loh, iya dong. Buktinya kemaren kamu uda naksir temen aku, kan berarti uda gede Rin” canda Changmin.

“au’ ah, terserah!” Airin hendak meninggalkan kamarnya namun terulang lagi tangan Changmin lebih cepat menggenggam pergelangan tanga Airin, “tunggu dulu dong, kamu belum jawab, ada yang perlu dikoreksi ngga dari penampilan aku?”, biasanya rambut Changmin selalu menutupi jidatnya, kali ini ia seakan ingin memerkan seluruh bagian wajahnya yang nyaris sempurna itu. “Apaan sih! Sakit tau! Iya iya cakep! Cepetan lepasin napa!” Airin menolak kontak mata lagi, ia takut jantungnya tidak bisa dikendalikan. Changmin melepas tangan Airin, namun sepersekian detik kemudian ia mencubit pipi Airin gemas “makasih ya Adik kecil-ku yang paling cantik” lalu keluar dari kamarnya girang, meningalkan Airin dengan wajahnya yang mulai memerah, Airin terduduk lesu mencoba menenangkan jantungnya, sambil mencerna apa maksud reaksi badan yang berlebihan tadi?     

Airin mencoba meyakinkan hatinya bahwa itu hanya pubertas sebagaimana yang guru-guru nya ajarkan. Tidak lebih. Maka dua minggu setelahnya ketika ada teman kelas yang menyatakan cinta padanya, ia terima walau Airin tak merasakan sebagaimana yang ia rasakan pada Changmin. Airin mencoba menyibukkan dirinya pada orang lain dan menghindari Changmin

Changmin memperkenalkan Selly pada Airin, dan ia melihat perubahan pada gadis kecil yang beranjak dewasa itu. Dia tidak lagi bertingkah menggemaskan, namun cenderung pendiam sekarang, suka mengalihkan pembicaraan, jika main ke rumah yang dicari Yunho bukan Changmin. Bercerita tentang anak-anak lelaki yang mendekatinya kepada Yunho.

“Rin, aku ada salah apa sama kamu?” tanya Changmin suatu hari yang sengaja menghampiri Airin yang sedang membaca komik di ayunan dekat rumah, Changmin duduk di sampingnya.

“engga ada. Kenapa emang? Eh, gimana kak Sally? Kok uda jarang jalan bareng lagi?” sahut Airin.

“tuh kan, ini udah ke-lima kalinya lho aku nanya, kamu kenapa?” Changmin menekankan pertanyaannya lagi.

Airin menghela nafas, menutup komiknya ia menguatkan diri menatap lelaki di sampingnya, tenggorokanya tercekat, sedikit bergetar saat dia berkata sambil berusaha tersenyum lebar, “engga apa-apa Mas, nanti deh kapan-kapan aku cerita ya” sudah, hanya itu jawaban Airin.

Setelahnya, Changmin sibuk mempersiapkan ujian ke perguruan tingginya, dia sudah putus setelah tiga bulan pacaran dengan Sally dan berencana fokus dengan sekolahnya. Airin masih sama, berperang melawan hati dan perasaan yang tak bisa dikendalikannya.

Hari itu kelulusan Changmin dari SMA nya, Om Shim, tante Liem, Mas Yunho, Bunda dan Airin datang, mengucapkan selamat hingga foto bersama. Esok Changmin akan berangkat ke Semarang ia mendapatkan beasiswa karena nilainya yang tertinggi di sekolahan. Malam itu selepas isya Airin duduk-duduk di bangku taman dekat rumah, haruskah ia katakan sebelum esok Changmin pergi? Ataukah biarkan saja, dan mungkin akan hilang dengan sendirinya? Ia sudah mencoba beberapa bulan ini dan hasilnya? Hanya tambah menyesakkan dada, merasa nista dengan diri sendiri dan segala perasaan itu, hari-hari yang harusnya berlalu seperti biasa tapi hanya karena dirinya yang tak bisa mengendalikan perasaan itu menjadi suram. Airin tenggelam dalam fikirannya.

“Rin.. kamu ngapain malem-malem di sini?” Changmin duduk di sebelah Airin yang tampak terkejut dengan kedatangan Changmin yang tiba-tiba. “Mas ngapain di sini?” tanya Airin balik, “abis dari rumah Bayu, ngambil beberapa syarat buat berangkat besok” jawabnya, “oh.. iya, besok ya Mas pergi” Airin mengguman.

“kamu beneran ngga mau ngasih tau aku tentang perubahan sikap kamu? Apa kamu ngga ngerasa kalo kamu berubah Rin?” tanya Changmin lembut. Membuat Airin menarik nafas dalam. “aku juga ngga tau Mas kenapa aku jadi kaya gini..” tiba-tiba air matanya mengalir, dan Airin sesenggukan, Changmin merangkul bahu kecil yang tergoncang itu, membiarkan ia sedikit tenang, kemudian dia usap air mata yang mengalir di pipi Airin.

“Rin, yang kamu rasakan itu wajar. Ngga salah. Kita bukan saudara, kamu ngga perlu ngerasa berdosa sama perasaanmu sendiri” ujar Changmin, Airin membelalakkan matanya yang merah karena tangis, “kok Mas tau?” Changmin mengacak rambut Airin gemas. Kemudian Changmin menghela nafas, matanya menatap langit malam, dalam remang lampu taman pun Airin masih bisa melihat ketampanan pria itu.. “kamu ingat waktu kamu kelas lima SD, trus aku boncengin kamu dan jatoh?” Airin mengangguk, “itu aku sengaja, haha” Airin belum berkata, masih dengan tatapan heran, “kamu ingat waktu kamu main ke rumahku, aku usir dan marah-marah sama kamu dengan alasan mau serius belajar buat masuk SMA?” tanya Changmin lagi.. “Iya! Inget banget, Mas jahat, hampir setengah tahun aku ngga boleh main ke rumah padahal ujiannya masih lama” jawab Airin yang masih sedikit kesal mengingatnya, Changmin hanya tertawa renyah.. kemudian melanjutkan perkataanya,

“itu masa-masa aku mencoba mengendalikan perasaanku padamu Rin” deg... hati Airin seperti jatuh. “coba kamu bayangkan, bagaimana bisa aku suka pada bocah ingusan yang masih SD ini? Sementara gadis-gadis cantik di sekolah mengantri ingin aku ajak kencan” candaan Changmin tidak membuat raut wajah Airin berubah. Lalu Changmin memegang pipi Airin dan berkata, “Jadi, kamu ngga usah khwatir, bukan kamu saja yang merasakannya, dan jangan khawatir, bukan berarti aku bersikap biasa seperti ini karena perasaan itu sudah hilang, kamu saja yang ngga bisa dengerin detak jantung aku yang kaya drum band, tapi... untuk saat ini kita fokuskan dulu sekolah kita ya.. nanti ketika aku pulang dan menjadi orang yang berhasil, biar aku datang menghadap ayahmu” Airin masih mencerna semua kalimat yang Changmin lontarkan, “heh, kok bengong!” akhirnya Changmin mencubit pipi Airin. “Ah! Sakit!” Airin memegangi pipinya, “gitu dong, dari tadi kaya patung aja”.

Esok paginya Changmin berangkat diantar dengan senyuman Airin dari pemberangkatan bus, sambil membawa bingkisan pemberian Changmin sebelum dia pergi tadi, sebuah diary biru bertuliskan..

     “Untuk Airin,

Sukses selalu, tumbuhlah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik, jika kamu sudah cantik jadilah pacarku.

Dari Changmin”

...........................................................................

Airin menutup diary biru yang mulai usang itu, dan tersenyum, matanya menggenang menahan air yang ingin mengalir, Nenek memanggil dari luar dan membuyarkan lamunan masa lalu nya tentang sosok pria bernama Shim Changmin, yang mau tak mau menjadi suatu alasan juga kepulangannya setelah lima tahun ini, apakah dia baik baik saja? Apakah dia sudah menikah? Karena setelah kepergiannya tidak ada satu kabarpun yang ia dengar tentang dirinya. Hari itu Airin habiskan dengan membongkar-bongkar kenangan yang tertinggal di rumah tersebut. Malam ini tarawih pertama bulan ramadhan ini, dulu walau Changmin bukan muslim tapi dia sering mengantar Airin ke masjid jika teman-temannya sudah berangkat, ikut bermain petasan dengan yang lain, menjahili Yunho yang benci suara petasan, ah... mengapa setiap sudut tempat ini meninggalkan bayangannya?

Dalam kurun waktu lima tahun saja ternyata sudah banyak yang berubah, Airin melupakan beberapa wajah yang menyapanya, karena dulu saat ia meninggalkan kota kecil ini mereka masih anak-anak. Remaja seusianya juga sudah jarang ia temukan di masjid, mereka kebanyakan sudah berkeluarga atau pindah ke kota lain.

Selama hampir satu minggu tinggal di sana, Airin hanya menghabiskan waktu dengan nenek dan kakek serta mengunjungi beberapa saudara. Tapi selama itu dia juga tak berani berkunjung ke rumah Tante Liem, tidak ada yang memberi cerita tentang kabar keluarga itu juga di sana, apakah masih sama atau sudah pindah. Sayang sekali, tak sedikitpun Airin mendengar kabar Changmin dan keluarganya, Airin pun tak memiliki keberanian untuk bertanya.

Suatu sore Airin menunggu waktu berbuka dengan duduk di taman tempat ia sering singgahi dulu, menatap anak-anak yang berkejaran saling tertawa riang, indah sekali hidup seperti itu.. batin Airin, ia juga pernah merasakannya, masa di mana ia tidak harus memikirkan konsekuensi dari permainannya.

Ia duduk di bangku tempat terakhir kali bertemu dengan Changmin.

..........................................

Hari itu Changmin libur semester, ia benar-benar menjadi mahasiswa yang jenius. Airin yang sekolah SMA selalu membanggakan Mas yang kini menjadi pacarnya itu. Setiap bulan mereka berkirim kabar melalui surat, meski sudah ada handphone Airin tetap meminta Changmin menuliskan kata-kata semangat untuknya di kertas. Dua tahun mereka jalani masa muda yang indah tersebut, meski hanya bertemu dua tahun sekali namun Airin sangat bahagia dengan hidupnya. Namun ia belum berani mengakatakan pada kedua orangtua nya. Saat itu Airin kelas dua SMA ketika sang ayah mendapatkan panggilan untuk pindah ke Jakarta, Airin yang tanggung sekolahnya sebentar lagi akan lulus ayah mengizinkan untuk ditinggal dengan nenek. Hingga suatu sore saat Changmin pulang dan mereka bertemu di taman, ketika itu Changmin sedang bercerita tentang rencana masa depannya, ia menggenggam tangan Airin dengan tatapan penuh cinta, namun tiba-tiba ayah Airin tak sengaja melihatnya, ia murka. Wajahnya memerah menahan amarah, Airin bilang ingin menjelaskan, tetapi ayah minta untuk ibu mengurung Airin di kamar. Kemudian Changmin berdua saja dengan ayah di ruang tamu, Airin terisak di kamarnya.

“Om kecewa sama kamu. Om percayakan Airin ke kamu bukan untuk hal seperti ini! Om sudah anggap kamu seperti anak om sendiri, tapi apa yang kamu lakukan?!” Ayah Airin berusaha setenang mungkin,

“maafkan saya om, tapi saya sungguh-sungguh dengan Airin” sedikit bergetar suara Changmin. Ayah Airin menarik nafasnya perlahan kemudian berkata...

“nak, bukannya Om tidak percaya sama kamu, bukannya Om meragukan kamu, Om tau betul kamu anak yang baik dan dari kekuarga baik-baik, tapi nak... ada satu hal yang membuat Om tidak bisa memberikan Airin kepada kamu bahkan jika kamu menunggu, Om tidak akan memberikan anak semata wayang Om kepada orang yang berbeda keyakinan”

Changmin terdiam, selama ini ia tidak pernah memikirkan hal ini, ia merasa semua yang berjalan antara dirinya dan Airin sudah diatur begitu saja, ia tak pernah ingat bahwa ada jurang pemisah diantara mereka. Setelah hari itu, Airin akhirnya dibawa orang tuanya ke Jakarta dan pindah sekolah hingga kuliah, tanpa diperbolehkan berhubungan lagi dengan Changmin dalam bentuk apapun.

..............................................................................

Adzan berkumandang merdu, membuyarkan lamunan Airin, dari belakang nenek sudah memanggil untuk berbuka. Airin membatin, suara adzan hari ini sepertinya beda dari hari-hari sebelumnya. Entah mengapa ia meneteskan air mata. Indah sekali. Mungkin benar kata teman-temannya di kampus yang selalu meminta Airin untuk melupakan Changmin dan memulai hubungan yang baru, bahwa... selama apapun kita bertahan dan berharap, jika bukan kepada Sang Pencipta maka hanya kecewa yang diterima.

Ah... sudah saatnya Airin harus benar-benar kembali dan menyerahkan segalanya kepada Sang Pemilik Hati. Selama ini Airin merasa terlalu sombong dan menikmati kehidupannya tanpa mengingat jika semuanya hanyalah titipan semata. Ayah Bundanya memang tidak terlalu agamis, tapi di usia sedewasa ini Airin merasa seharusnya dia bisa menjemput hidayahnya sendiri dan memasrahkan semuanya kepada Allah.

Malam ini tarawih menuju satu minggu lebaran. Kembali Airin mendengarkan adzan merdu yang sore tadi ia dengarkan. Suaranya sungguh menenangkan hati. Seperti biasa Airin pulang tarawih ketika masjid mulai sepi, ia suka berlama-lama di masjid. Saat ia akan mengambil sandalnya, seseorang memanggil namanya,

“Rin.. ini Airin kan?”

Airin menoleh, semua aktifitas disekitarnya seperti berhenti, waktu membeku, di hadapannya, seorang lelaki dengan baju koko putih dan sarung coklat kotak-kotak lengkap dengan peci hitamnya menyapa, tidak, Airin tidak akan pernah lupa wajah itu... “Mas.. kok?” ya... Changmin tepat berada di hadapannya. Setelah sapaan yang kikuk, akhirnya Airin bisa mengucapka sepatah dua patah kata,

“Mas kapan datengnya?” pertanyaan klasik selain apa kabar.

“tadi siang Rin, kamu udah lama ya? Kok ngga bilang-bilang kalo mau pulang?” Changmin mencoba mencari topik.

“Mas, sejak kapan....?” belum sempat melanjutkan, “ah.. ini?” Changmin menyahut sambil menunjuk sajadahnya, akhirnya mereka berhenti sejenak dan bertukar kabar, karena terlalu banyak hal yang harus di tanyakan.

“tiga bulan setelah kamu pergi Ayahku tumbang, bisnisnya tidak lancar dan terkena stroke, seminggu setelahnya ia pergi meninggalkan kami selamanya” Changmin mengawali ceritanya. Airin kaget, karena memang tidak ada satu kabarpun yang sampai ke telinganya. “Yunho telah menikah dan hidup bersama anak dan istrinya di Surabaya. Tiga tahun yang lalu Ibuku diajak Yunho tinggal bersamanya, karena di sini seorang diri.” Lanjut Changmin.

“lalu kamu Mas?” tanya Airin tak sabar, lantaran Changmin berhenti lama dari ceritanya.

“Aku selesai kuliah sebenarnya dapat beasiswa ke Australi, tp aku menolak dan memilih untuk bekerja saja. Kepergian ayah memberikan pukulan berat buatku Rin, kamu taulah aku bergantung banget sama Ayah. Ketika itu aku hampir terjun ke dunia malam, tapi Allah kirimkan malaikatnya dalam sosok seorang guru, yang kemudian membimbing aku, sampai akhirnya aku mengucap syahadat dan belajar banyak hal tentang Islam termasuk mengaji, kamu dengar azan magrib dan isya’ tadi kan? Insya Allah walau belum dalam ilmu agama aku bakalan terus aku tambah. Alhamdulillah ibu ngga ngelarang, selama aku serius dan konsisten.” Changmin tersenyum, dengan senyum yang masih sama menawannya, namun kali ini berbeda, auranya sungguh menenangkan.

“alhamdulillah...” ucap Airin pelan..

“jadi sekarang aku udah pede datang ke ayahmu Rin.” Ucap Changmin tiba-tiba.

“Mau ngapain?” tanya Airin dengan mata bundarnya yang lucu, Changmin gemas ingin mecubit pipinya tapi di tahan dan ia mengalihkan pandangannya kemudian tertawa.

“ngelamar kamu lah.” Airin kaget. Orang ini benar-benar penuh kejutan, lemah rasanya jantung Airin di dekatnya.

“Siapa bilang aku masih single?” ujar Airin bercanda.

“Nenek. Memangnya aku kaya kamu yang sama sekali ngga nyari kabar aku? Aku tau kamu selesai wisuda dua bulan yang lalu, aku tau kamu selama kuliah bertahan jomblo” ucap Changmin tertawa dengan tawanya yang khas.

“Ih dasar stalker ya! Siapa mata-mata kamu Mas?! Hah! Siapa? nanti aku datengin dia, ga sopan sama aku” balas Airin tertawa juga.

Beberapa saat kemudian Changmin berkata lagi,

“jadi...” Changmin menghirup nafas dalam-dalam,

“Airin.. maukah kamu menjadikan aku imam disetiap sholatmu? Maukah kamu setiap bangun tidur di seluruh hidupmu memandang wajahku di sampingmu? Maukah kamu menyukaiku sebagaimana tujuh tahun yang lalu tanpa berkurang sedikitpun walau kelak wajahku telah keriput? maukah kamu mengasuh anak-anak kita nanti?”

Kalau saja Airin tidak terisak dengan tangisan harunya, mungkin Changmin belum berhenti melanjutkan kata-katanya.

Seumur hidupnya, Airin tidak akan pernah melupakan ramadhan kali ini, ramadhan yang telah menjawab atas cinta yang selama ini dinantikannya.

Instagram: @ayoonivers  twitter: @yoonstweet99

 

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK