“Kau tidak pernah bilang kalau dulu kau membelikannya anjing, Kai.”
Langkah Krystal menggebu dan cepat. Ia meninggalkan sosok laki-laki dengan snapback hitam yang semula berjalan sejajar dengannya. Akan tetapi, tak sulit bagi laki-laki itu untuk menyamakan kembali langkahnya dengan Krystal—tubuhnya beberapa milisenti lebih tinggi dibandingkan gadis tersebut, begitupun dengan langkah kakinya yang juga lebih lebar. “Aku rasa aku tidak perlu memberitahumu. Tidak ada...hal yang istimewa tentang itu.”
Secara tiba-tiba Krystal menghentikan gerakannya. Impuls, Kai ikut berhenti. Jalanan tak begitu ramai. Hanya beberapa orang berjalan melewati Krystal dan Kai secara bergantian. Membuat keduanya terlihat seperti pusat pusaran padatnya jalanan Seoul. Krystal mendongak, menatap Kai. “Tapi sampai sekarang Jennie masih...anjing itu masih...” Ia menghela napas dalam-dalam. “anjing yang kau berikan masih hidup dan Jennie masih memeliharanya dengan baik. Anjing itu tumbuh dengan baik.”
Mungkin tatapan Kai tak selalu tajam. Namun ketika objek pandangannya adalah Krystal, kedua manik Kai tak bisa tak melembut. Krystal memang terkadang menyebalkan—ia mengganti isi iPod jadul Kai dengan lagu-lagu kesukaan gadis itu, mengambil camilan yang sengaja Kai taruh di belakang jok mobilnya, dan terkadang mengajak laki-laki itu menghabiskan waktu senggang dengan menonton film romantis Hollywood yang bukan merupakan pilihan teratas Kai. Tapi entah bagaimanapun, gadis itu tetap menjadi orang pertama yang Kai hubungi jika ia merasa konstipasinya kambuh atau anjing peliharaannya sakit. “Lantas aku harus menyuruh Jennie membuang Kuma begitu saja karena kami sudah tidak bersama?”
Krystal tahu Kai memang bukan laki-laki paling jahat di dunia—Kai menghabiskan banyak waktu luangnya untuk terus-menerus bermain game dan mengabaikan pesan dari Krystal, tidak membalas pesannya dengan menggunakan emoji, atau memiliki mantan bernama Jennie yang tercatat sebagai teman satu perkumpulan Krystal di kampus. Namun tepat saat ini, Krystal benar-benar ingin menghilangkan keberadaan Kai dari tanah Seoul dan mendeportasinya ke tempat lain di ujung dunia. “Bahkan kalian bersama-sama menamai anjing tersebut? Luar biasa. Boleh aku lihat akta kelahirannya? Ah, harusnya aku sadar mengapa kau juga memelihara anjing!”
“Kini kau terdengar irasional. Aku menyukai anjing tentu tidak ada hubungannya dengan Jennie.” Kai melepaskan snapback hitamnya. Ia menatap Krystal dalam diam selama beberapa detik. “Jika mau membahas tentang pemberian orang terdahulu, bagaimana dengan kaktus pemberian Seunghyun ketika kalian berpacaran dulu? Bukankah sampai sekarang masih kau simpan dan rawat dengan baik?”
Dahi Krystal berkerut. “Aku hanya suka kaktus itu. Tapi aku bahkan tidak mengingat-ingat siapa pemberinya. Aku sekadar ingin...merawatnya. Dengan baik. Sampai ia tumbuh besar.”
Kai tertawa kecil ketika menangkap kebingungan pada suara Krystal. “Kalau begitu, bukankah aku yang seharusnya khawatir karena kau yang masih menyimpan pemberian dari masa lalumu?”
Krystal tentu tak benar-benar khawatir tentang Kai dan Jennie. Kai tidak pernah membawa Jennie dalam pembicaraan antara mereka berdua. Kai pun tidak menyimpan pemberian apapun dari Jennie–setidaknya itu yang Kai akui, mungkin jika ada waktu Krystal akan mencari tahu lebih lanjut kalau-kalau ada baju atau sepatu milik Kai yang diberikan Jennie. “Mana mungkin aku masih mengingat masa lalu sementara aku sudah...” Volume suara Krystal merendah. “memulai sesuatu yang baru denganmu.”
Entah sudah berapa waktu Krystal dan Kai menjadi pusat lalu-lalang orang-orang di jalanan Seoul. Beberapa pejalan kaki melayangkan pandangan kesal sebab perlu diakui, mereka berdua membuat akses jadi agak terhambat. “Begitu pun dengan aku, Krystal.”
Menyadari tatapan orang-orang semakin lekat, Kai menepuk pelan puncak kepala Krystal. Tangannya menyulur hingga ujung rambut gadis itu yang kini dipangkas sebahu. Dengan perlahan, ia memakaikan snapback hitam kepunyaannya pada Krystal. Sedikit terkejut, Krystal memukul pelan lengan Kai. “Kau ini—“
“Sepertinya besok pagi kita akan muncul di headline surat kabar karena sudah membuat seluruh pejalan kaki Seoul sebal karena telah menghalangi langkah mereka.” Digenggamnya satu tangan Krystal dengan sigap. “Kurasa aku sudah bisa mendengar suara patbingsoo di kedai sana memanggil-manggil nama kita. Ayo bergegas.”
Keduanya pun melanjutkan langkah bersama. Tidak ada yang berusaha mendahului atau menunjukan langkah lebih cepat. Ditinggalkannya tempat semula mereka terdiam. Ditinggalkannya pembicaraan mengenai masa lalu. Ditinggalkannya warna dan keberadaan orang-orang terdahulu. Kini sekarang. Masa lalu sudah lewat. Ada warna serta kebersamaan baru. Warna yang berbeda dan menarik dengan caranya tersendiri. Setidaknya kini Kai dan Krystal bersama. Hanya kebersamaan itulah yang terpenting untuk saat ini dan—dalam doa mereka—di hari-hari kemudian.