Dulu saat usiaku masih bisa dihitung dengan jari aku selalu senang ketika teman sebayaku mengajaku bermain rumah-rumahan. Bermain rumah rumahan sama seperti bermain peran, ada yang berperan sebagai ayah, ibu atau anaknya. Saat itu permainan seperti itu sangat mengasyikan, kita bisa membayangkan peran sebagai orang dewasa. Aku paling senang ketika disuruh berperan sebgai ibu, menurutku berperan menjadi ibu berarti aku bisa memainkan seluruh alat masak masakan sendirian tanpa di ganggu.
Memori itu sudah sangat jauh tersimpan dalam folder memori otakku. Kini usiaku menginjak kepala empat, dan saat ini aku tidak lagi bermain peran sebagai ibu tapi aku benar benar sudah menjadi ibu untuk putri cantiku, yeri. Menjadi ibu tak seindah bayangan masa kecilku dulu. Banyak hal hal yang membuatku tertekan ketika aku memainkan posisi ini. Terlebih, aku harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup dan menghidupi anakku. Sudah 5 tahun aku menjalani peran ibu ini sendirian, suamiku, jinyoung, lebih suka tempat yang tenang, sehingga tuhan panggil dia terlalu cepat.
Aku adalah seorang psikolog di rumah sakit negeri di pulau jeju. Dulu saat ji young masih bersama kami, kami tinggal di seoul. Namun kepergiannya membawa dampak cukup banyak dalam kehidupanku dan yeri. Akhirnya kami memutuskan untuk pindah dari hiruk pikuk kesesakan kota besar itu ke pulau jeju. Aku menemukan damai ku disini, deburan ombak selalu menjadi teman memulai dan mengakhiri hariku. Setidaknya tempat ini bisa menjadi pelarianku dari kenangan kenangan yang sebenarnya ingin ku ingat, tapi kenangan itu juga sangat menyakitkan. Semua berjalan dengan baik selama lima tahun sejak kepergian suamiku. Aku membuka klinik ku disini, yeri juga sudah mulai terbiasa dengan sekolah barunya. Semua tahun tahun tanpa suamiku selalu kujalani dengan baik bersama yeri disini, walau sepertinya tahun ini tidak terlalu baik.
Tahun ini yeri lulus dari sekolahnya dan akan melanjutkan kuliahnya. Yeri termaksuk anak yang pintar menurutku. Disekolah nilainya cukup baik untuk bisa mewujudkan cita citanya menjadi dokter. Setidaknya dulu itulah cita citanya. Hal berubah 180 derajat pada yeri ketika ayahnya pergi. Dari pengamatannku, aku masih bisa melihat kemarahannya padaku setiap kali iya merindukan ayahnya. Ya, lima tahun kepergian ayahnya, ia masih percaya bahwa karna aku terlalu cinta akan pekerjaanku lah yang menyebabkan ia kehilangan ayahnya.
Kini setelah ia lulus sekolah, aku baru tahu kalau ternyata selama sekolah menengah atas ia aktiv mengikuti komunitas story telling di sekolahnya. Kenyataan ini mebuat aku membenci diriku sendiri, bagaimana mungkin seorang ibu tidak tahu apa yang dilakukan annaknya. Bisa saja seperti itu, aku kan sibuk dengan klinik ku, toh semua yang aku lakukan demi yeri. Begitu pikirku untuk menghibur diriku sendiri. Tapi pikiran itu tidak merubah kenyataan bahwa ia tidak mau meneruskan studinya dibidang kedokteran dan memilih untuk mengambil program studi kebahasaan.
“yeri-ya, ibu yakin itu hanyalah keinginan sesaat kamu, bukankah dulukamu yang sendiri kalau kamu ingin masuk sekolah kedokteran?” kataku pada suatu sore ketika yeri menyatakan keinginannya padaku untuk masuk jurusan bahasa korea.
“iya bu,, benar sekali” jawabnya “ tapi itu kan dulu bu” katanya sambil lalu. “ yeri-ya, kamu gk bisa bohong sama ibu. Ibu tahu betul kamu senang sekali kalau kamu datang ke klinik ibu dan bantu orang orang di klinik” kataku masih mencoba meyakinkannya. Aku tak akan menyerah terhadap anakku.
“iya, ibu benar. Yeri senang kalo bisa bantu ibu diklinik. Tapi bu, yeri gak mau tinggalin keluarga yeri nanti demi pekerjaan kayak ibu”
aku tidak bisa marah atas pendapatnya itu. terkadang aku sendiri juga sering berpikiran bahwa mungkin kematian suamiku itu karna salah ku. Tapi bukan berarti yeri bisa semaunya untuk menjalani hidupnya. Aku ingin yeri menjadi dokter bukan karna aku juga seorang dokter. Aku hanya ingin dia memiliki pekerjaan yang stabil. Kalau, hanya kalau, kalau aku meninggal lebih dulu dari anak itu, ia akan benar benar sebatang kara. Nenek, kakek dan ayahnya sudah tiada. Dan aku sangat khawatir memikirkan masa depan yeri bila aku juga sudah pergi. Aku takut, takut apabila ia di rendahkan oleh orang lain jika aku tak ada. Aku takut, takut jika ia diperlakukan rendah oleh orang lain karna ia sebatang kara. Dan aku yakin, jika ia menjadi dokter ia tak akan begitu mendapat kesulitan di masa depannya kelak.
~~~~
Jarum pendek pada jam dinding sudah hampir mendekati angka 12, mataku juga terasa mulai berat. Sudah dua kaleng kopi kuhabiskan sambil menunggu anak itu. sebenarnya kemana anak itu pergi, bahkan telfonnya mati dan tak bisa dihubungi.
Drett
Suara handphone ku bergetar. Ah, sakali lagi aku kecewa. Kukira yeri meberiku kabar tapi ternyata orang itu lagi yang mengirimiku pesan. Kubuka pesan pada aplikasi whatsapp itu. dan benar saja, si tuan penolong itu lagi.
“ apa kau masih belum tidur?” tanya nya melalui pesan itu. aku lihat statusnya online dan aku yakin dia menunggu aku membalas.
“ belum, aku masih menunggu yeri” jawabku jujur.
Entahlah, sangat mudah bagiku berkata jujur pada si tuan penolong ini. Rasanya seperti berbicara pada buku harianmu sendiri. Aku dengan sangat mudah dan ringan mengatakan apa saja kepadanya. Ku sebut dia si tuan penolong. Pertemuan kami sangat tak di sengaja. Oh tidak, kami belum pernah bertemu secara langsung. Perkenalanku dengan si tuan penolong ini berawal dari sebuah pesan whatsapp yang salah sambung. Entahlah, aku juga tidak terlalu paham bagaimana pesan nya bisa salah sambung ke nomerku.
Sekitar setahun yang lalu ketika aku sedang butuh sekali seorang teman, peasan dari si tuan penolong masuk ke nomerku. Awalnya aku hanya berpikir mungkin orang ini bisa jadi pendengarku. Dan dimulai lah hari hari kami saling berkirim pesan. Satu hal yang kami sama sama sepakati adalah kami tidak memberi tahu nama masing masing. Kami sepakat bahwa kami lebih baik menjadi teman berbagi cerita. Dan menurutku hal itu sangat membantu kehidupanku, banyak keluh kesah kehidupanku kuceritakan padanya.
Pip pip pip. Cklek. Suara pintu depan. Ahh akhirnya pulang juga anak itu
“ yeri-yaa,, kamu tahu ini sudah jam bera..” berdiri di depan pintu dengan rambut di urai dan di tata rapi dan make up serta pakaian yang membuat siapa saja yang melihatnya akan berpikir bahwa ia baru saja pulang dari klub malam. “ dari mana kamu?” tanyaku bergetar
“aku capek bu,” jawabnya acuh “ KWON YERI!!!”
“ aku benar benar lelah bu, aku mohon” katanya dan dengan acuhnya masuk ke kamarnya.
Aku tak paham lagi dengan anak itu, kini setelah ia mulai masuk universitas ia makin sering pulang larut malam. Bukannya aku tak mengerti seperti apa kehidupan di dunia perkuliahan. Aku tentu saja paham betul bahwa sebagai mahasiswa banyak sekali kegiatan yang harus di lakukan. Tapi yang membuatku berteriak setiap malam ketika yeri pulang adalah dandanannya yang tak wajar.Ia selalu pulang dengan pakain dan gaya berdandan yang berbeda dari saat dia berangkat kuliah.
Dret dret. Waktu yang tepat batinku.
Aku kembali ke kamar ku dan membuka pesan dari si tuan penolong lagi.
“apa dia masih belum pulang?” bagus sekali dia bertanya, aku sudah ingin bercerita tentang yeri padanya. Aku tak tahan memikirkannya sendirian
“sudah baru saja” jawabku. Dia mengetik.
Dret dret
“ lalu apa katanya?”
“dia bilang dia lelah dan tak ingin di ganggu” jawabku sambil melihat statusnya masih online. Dia mengetik. Cukup lama.
“ aku memang belum pernah punya anak usia remaja dan aku tak yakin bisa memberimu saran. Tapi yang jelas aku pernah jadi anak muda yang sering berdebat dengan orang tuaku dulu. Saat itu menurtku akan berkata jujur bila orang tua ku tidak membentaku”. Lalu statusnya berubah offline.
Hah dia pikir aku tidak pernah muda.
“kau tidak akan paham hati orang tua sampai kau menjadi orang tua, aku benar benar khawatir akan masa depannya. Tapi akan ku coba, thanks” balasku dan kemudian tertidur.
~~~~
Satu hari lagi telah kulewati. Pagi datang lagi dan itu berarti aku harus kembali pada semua kenyataan hidupku. Seperti semua pagi hari para ibu, kami memulai hari dengan pergi ke dapur. Aku ingin mencoba berbicara dengan yeri pagi ini jadi kubuatkan sarapan kesukannya. Bubur abalone.
Sudah pukul 7.15, tapi yeri belum juga keluar dari kamarnya. “ yeri- ya, kubuatkan kau bubur abalone, keluarlah dan kita sarapan”
Tidak ada respon darinya, apa dia masih marah. Harusnyakan aku yang marah, dasar anak jaman sekarang. “ yeri-ya,, ibu harus berangkat ke klinik ku taruh buburnya di meja.” Teriak ku sambil berjalan ke pintu depan “ ohh yaa, aku tahu kau ada kelas jam sepuluh nanti. Aku tak pedulu kau masih marah atau tidak, aku tak ingin kau bolos kuliah” teriak ku dari pintu depan. Dan aku pun berangkat.
~~~
Akhirnya pekerjaanku hari ini selesai juga. Aku akan langsung pulang, aku sudah ingin sekali berbicara dengan yeri dan aku juga tau kalau hari ini ia kuliah hanya sampai jam empat. Ku harap ia tidak pulang larut lagi hari ini.
“yeri-yaa, ibu pulang” lampu nya menyala berarti ia sudah pulang. Kutaruh tas ku di meja dekat dapur. “ ohh kenapa buburnya tak dimakan” kataku ketika melihat mangkuk bubur yang ku taruh meja tadi pagi masih penuh.
“yeri-yaa, aku ingin bicara padamu. Keluarlah sebentar dan aku berjanji aku tidak akan berteriak padamu”
“yeri-yaa aku tau kau di dalam. Keluarlah sebentar”
Ku ketuk pintu kamarnya tapi dia tak menjawab. Dan oh.. pintunya tidak dikunci. Kucoba untuk membuka pintu
“yeri-yaa!!! Kau tak apa??”
Panik. Yeri tergeletak dilantai. Wajahnya sangat pucat, bibirnya kebiruan. Tubuhnya sangat panas. Ku gendong yeri di pungungku. Sesaat aku bingung. Oh ya rumah sakit, aku harus ke rumah sakit. Ku bawa yeri keluar kamar dan ku ambil tas ku asal asalan.
Dret dret
Aku berlari keluar rumah secepat yang kau bisa. Sudah hampir malam, kuharap masih ada klinik yang buka.
Dret dret
Tidak. Tidak sekarang tuan penolong. Kau tidak bisa menolongku sekarang.
~~~~
Pikiranku tak fokus, aku tak tau harus berbuat apa. Yeri sudah masuk ruang UGD dan mereka sedang menanganinya. Ya yeri akan baik baik saja. Batinku menghibur diri. Aku duduk di ruang tunggu UGD. Aku beru menyadari kakiku gemetar karan habis berlali sambil menggendong yeri. Aku tidak akan memaafkan diriku bila sampai terjadi sesuatu pada anak itu. tidak sebelum kami saling berbicara mengenai masalahnya akhir” ini.
Dret dret
Ajaib. Mengapa orang ini selalu mengirimiku pesan saat aku membutuhkan seseorang untuk bercerita. Ada tiga pesan darinya. Kubuka pesannya
Pesan pertama
“oh ya sama sama, aku juga berterima kasih karna kau masih mau mendengar saran dari orang yang belum pernah jadi orang tua. Tapi dengarkan aku bercerita kali ini. Ada seseorang yang aku kenal dari sebuah kominitas, iya begitu ceria dan kehadirannya selalu jadi penyemangat bagi orang di sekitarnya. Ia pernah bilang padaku bahwa salah satu keluarganya hanya percaya bahwa pekerjaan tertentu akan membuatnya bahagia. dan dia punya definisi bahagia yang berbeda dengan keluarganya dan akhirnya dia mengalami banyak tekanan hingga harus ke psikiater. Yaa aku hanya berharap kau dan anakmu bisa saling menghargai definisi bahagia masing masing. Oh ya akn ku kirim fotonya. Anak ini benar” manis,”
Pesan kedua adalah sebuah foto dengan caption “ ini foto komunitas kami saat sedang memberi bantuan di panti asuhan. Anak yang ku ceritakan adalah anak yg ada di tengah dan memegang boneka tangan. Ia benar benar story teller yang hebat”
Mataku terasa panas saat itu juga. Gumpalan air tergenang di pi ujung pelupuk mataku. Anak manis itu, rambut panjang yang di tata dan dandanan seperti sedang di club. Aku mengenalnya dengan baik. anak yang sama yang kini berbaring di ruang UGD. Aku tak mau melihat pesan ketiganya. Lebih tepatnya aku tak tau apa yang harus ku perbuat. Aku terlalu marah pada diriku sendiri.
Mengatas namakan perjuangan orang tua, tapi bahkan aku sendiri tak tau anak ku pergi ke psikiater sedangkan aku adalah seorang psikiater.